Friday 16 August 2013

My Mistake 2 Part 3

Sudah sebulan berlalu sejak peristiwa itu. Pemuda bernama Radit itu telah menghilang dari pandangan Arlin. Tanpa kabar, tanpa sebab. Namun hal itu membuat Arlin tenang. Ia yakin Radit sudah menyerah dan melanjutkan hidupnya di tempat lain. 

Hari ini libur. Arlin mengunjungi kediaman orang tuanya di Bandung. Sesampainya di rumah, ibu Arlin menyambut kedatangan Arlin dengan perasaan bahagia. Karena pekerjaan, Arlin memang jarang pulang ke rumah orang tuanya. Jadi wajar saja ibu Arlin begitu bahagia melihat kedatangan putri sulungnya itu. 

“Istirahatlah, kau pasti lelah,” kata ibunya sambil membereskan piring kotor di meja makan. Arlin membantu ibunya mencuci piring. “Dimana Antony? Aku tidak melihatnya sejak tadi,” tanya Arlin pada ibunya. “Biasa, lagi main futsal. Memang adikmu yang satu itu tidak pernah betah tinggal di rumah,”jawab ibu Arlin. Arlin mengangguk mengerti. Setelah mencuci piring, Arlin menaiki tangga menuju kamarnya. Sepanjang tangga yang dilaluinya, terdapat foto-foto keluarga yang terpajang menghias dinding. Foto pertama, diambil ketika Arlin masih berusia sepuluh tahun bersama dua adiknya, Anita dan Antony yang saat itu berusia lima dan dua tahun. Foto kedua, adalah foto ibunya bersama almarhum ayahnya yang sudah pergi lima tahun yang lalu. Arlin terhenti sejenak pada anak tangga itu untuk memperhatikan wajah ayahnya dalam foto. Ada seberkas kerinduan yang tak dapat ia ungkapkan. Ia memang anak yang paling dekat dengan ayahnya. Foto ketiga, adalah foto keluarga yang diambil saat Arlin beranjak remaja. Dalam foto itu terlukis kebahagiaan keluarganya yang mungkin tak dapat terulang kembali. Foto ketiga, adalah foto yang baru dipajang. Arlin sendiri baru pertama kali melihatnya. Itu adalah foto Anita dengan gaun pengantin putih gading. Bersama seorang pria yang tak lain adalah suami Anita yang telah berpacaran dengan adiknya itu sejak SMA. Arlin ikut bahagia melihat adiknya itu mendapat suami yang baik. Foto terakhir adalah foto Arlin saat wisuda di Jerman. Arlin tak dapat membendung air matanya. 

Selama bertahun-tahun Arlin dihantui perasaan bersalah. Bersalah pada kedua orang tua dan adik-adiknya. Ia merasa bersalah telah mencoreng nama baik keluarga dengan menjadi satu-satunya orang yang mengalami perceraian. Ia merasa telah gagal menjadi contoh yang baik untuk adik-adiknya. Ia merasa menjadi beban hidup keluarganya. Apalagi saat ada acara keluarga besar, Arlin tak tahu dimana ia harus menyembunyikan wajahnya. 

Arlin berbaring di tempat tidurnya sambil menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya agar ia bisa menangis sepuasnya tanpa diketahui oleh siapapun... 

*** 

Hari terakhir di Bandung, Arlin mengajak ibu dan adik bungsunya, Antony ke Trans Studio. Hari itu hari libur, jadi suasana di pusat wahana itu cukup ramai. Setelah membeli tiket, Arlin sekeluarga pun memasuki Trans Studio dan mulai mencoba wahana yang ada satu per satu. 

“Ibu tunggu di sini, aku akan pergi membeli air minum. Anton, jaga ibu ya,” perintah Arlin. “Sip,sista,” seru Anton sambil menaikkan jempolnya. Arlin pun berjalan menuju counter minuman. Saat akan kembali ke tempat ibu dan adiknya menunggu, seseorang menepuk pundak Arlin. Ketika berbalik, Arlin terkejut bukan main. Minuman yang dibawanya jatuh dan tumpah membasahi kakinya. 

“Ternyata benar ini kau!,” seru pria itu. Arlin tidak dapat berkata apa-apa. Hatinya bagai teriris sembilu melihat seseorang yang dulu pernah menyakitinya itu. “Bagaimana kabarmu? Kau tampak makin cantik saja!” ujar pria itu tanpa merasa bersalah sedikitpun. Arlin menahan air matanya yang nyaris menetes. Arlin berusaha pergi tapi pria itu menahan tangannya. “Lepaskan!” teriak Arlin histeris. Ia jijik melihat tangan yang pernah memukulnya itu menyentuhnya lagi. “Jual mahal amat sih! Bagaimanapun aku ini masih mantan suamimu tau!” bentak pria itu. “Lepaskan!” Arlin tak dapat menahan air matanya lagi, ia ketakutan. “Lepaskan dia.” tiba-tiba seseorang datang melepaskan genggaman pria itu dari tangan Arlin. “Eh, lo siapa? Ada hubungan apa lo sama istri gue!” tanya pria itu. “Hubungan apapun, kurasa tidak ada hubungannya denganmu,” kata pemuda itu sambil menarik tangan Arlin menjauh. 

“Kau tidak apa-apa?”, tanya pemuda itu. Tubuh Arlin masih merinding karena takut. Ia berusaha mengendalikan ketakutannya dan menatap pemuda yang telah menolongnya itu. “Radit...” air mata Arlin mengalir deras. Ia tak tahu bagaimana harus berterima kasih pada Radit. “Sekarang sudah tidak apa-apa. Jangan menangis lagi,” kata Radit sambil menepuk-nepuk pundak Arlin pelan untuk menghentikan isak tangisnya. 

“Kakak dari mana saja, dari tadi ibu menanyakan kakak terus,”ujar Anton. “Kakak minta maaf, tadi kakak habis bertemu dengan seseorang, dia Raditya.” kata Arlin. “Radit? Lo Radit kan? Raditya Anggara!” seru Anton sambil memandangi Radit dari atas sampai bawah, “Lo makin keren aja bro,” lanjutnya. “Ya, Anton. Pa kabar nih?” tanya Radit balik. Arlin mengerutkan kening heran, “Kamu kenal Radit?” “Ya iyalah kak, masak kakak lupa sih. Waktu kecil kan’ Radit suka main ke rumah. Ya, Radit maklumi kakak gue yah, pengaruh usia nih,” ujar Anton yang langsung dibalas jitakan dari Arlin “Aw, sakit kak!,” keluh Anton. Radit tersenyum melihat tingkah kakak beradik itu. 

Sesampainya di rumah, ibu dan Arlin menuju dapur untuk mempersiapkan makan malam. Sementara Anton dan Radit mengobrol di ruang tamu. Pikiran Arlin masih tertuju pada Radit. Apa benar kalau dulu dia sering datang ke rumahnya? Arlin benar-benar tidak ingat. 

“Kamu pertama ketemu Radit dimana?”, tanya ibunya penasaran. Arlin bingung harus menjawab apa, ia tak mau jujur mengatakan kalau ia bertemu Radit karena sebuah kecelakaan. Ia takut ibunya akan khawatir. “Dulu Arlin sempat mengajar dia di kampus. Dia salah satu mahasiswa Arlin, bu.” kata Arlin. Ibu Arlin mengangguk mengerti, “Anak-anak memang tumbuh dengan cepat. Padahal ibu masih ingat dulu dia masih kecil sekali, lucu dengan pipinya yang tembem. Ibu tidak menyangka dia akan tumbuh dengan sangat baik, dan tampan, ibu sampai tidak yakin itu dia” lanjut ibu sambil tertawa kecil. Arlin kembali memutar memorinya, anak kecil berpipi tembem, tampaknya ia mulai mengingat anak itu. Tetangga yang dulu sempat tinggal di sebelah rumahnya. Ya, anak gemuk itu...Radit? 

“Sayang dia pindah rumah waktu itu, ibu sudah tidak pernah melihatnya. Hari ini barulah ibu melihatnya lagi,” kata ibu. “Lalu kapan tepatnya Radit pindah, bu?” tanya Arlin. Ibunya mengingat-ingat kembali waktu tepatnya. “Kalau tidak salah waktu dia berumur sebelas tahun, ya ibu ingat karena umurnya hanya berbeda setahun dari Anton. Tepat sehari setelah pernikahanmu dulu,” jelas ibu. Arlin terdiam membisu. Mungkinkah Radit memang sudah mengenalinya?


My Mistake 2 Part 2

Arlin bersiap berangkat ke kampus. Bukan sebagai mahasiswa, tapi sebagai dosen. Ya, Arlin memang seorang dosen yang merangkap sebagai mahasiswa di saat bersamaan. Arlin seorang dosen akuntansi yang sedang berusaha meraih gelar doktornya. Hari ini ia bertugas untuk menggantikan seorang dosennya yang sedang cuti karena berobat ke luar negeri. Arlin diberi tanggung jawab penuh untuk mengajar mahasiswa baru. 

Waktu tepat menunjukkan pukul 08.00 saat Arlin melangkahkan kakinya memasuki kelas. Tanpa canggung, Arlin berdiri di depan tiga puluh mahasiswa yang baru ditemuinya. Setelah memperkenalkan diri, ia pun mulai mengecek kehadiran mahasiswanya. 

Ada sekitar tiga puluh mahasiswa yang ia sebut namanya satu per satu. Mahasiswa bergiliran menyahut saat nama mereka disebut. Ada yang menjawab, “Hadir, bu.” Ada pula yang menjawab “Hadir, kak.” karena beranggapan umur dosen yang sedang memanggil namanya itu tak berbeda jauh darinya. Arlin memang terlihat muda walau usianya sudah menginjak tiga puluh tahun ini. Nama terakhir membuat Arlin terhenti sejenak. Raditya Anggara. Tampaknya nama itu tak asing baginya. Akhirnya, Arlin mengabsen nama terakhir itu. Seorang mahasiswa yang duduk paling belakang menyahut, “Hadir!” seru mahasiswa yang kepalanya diperban itu. 

*** 

Radit mengisap rokoknya kemudian menghembuskan asap racun tanpa merasa berdosa. Seorang pemuda berkacamata menepuknya dari belakang. “Woi! Kenapa kepala lo? Kok diperban gitu?” tanya pemuda bernama Bian itu. “Kemarin gak sengaja nabrak mobil,” ujar Radit sambil tetap menikmati kegiatannya merokok. Alis Bian mengkerut, “Nabrak atau ditabrak? Jelasin yang bener,” tanya Bian tak mengerti. “Nabrak! Gue nabrak mobil, masak gitu aja gak ngerti sih,” ketus Radit lalu berjalan meninggalkan Bian yang masih berusaha mencerna kalimatnya. 

Radit melangkah memasuki ruang dosen. Di depan sebuah meja bertuliskan papan nama Arlina Kamelia, M.E. ia duduk. Arlin yang sedang asyik membaca terkejut melihat Radit yang tiba-tiba muncul di hadapannya. “Aku lapar. Makan yuk!” ajak Radit tanpa tedeng aling-aling. Arlin keheranan melihat tingkah mahasiswanya itu. “Apa yang kau katakan?” tanya Arlin tak percaya. “ Aku belum makan dari kemarin. Kepalaku nyut-nyutan terus. Sekarang baru mendingan. Ayo kita pergi makan.” ujar Radit. Arlin mencoba menahan emosinya, “Apa kau sadar sedang berbicara pada siapa? Atau mungkin benturan di kepalamu sudah membuatmu tidak waras?”. Radit tersenyum mendengar ucapan Arlin. “Kau benar. Karena benturan itu aku jadi tidak waras. Kau harus bertanggung jawab.” Arlin menghela nafas panjang, “Jadi sekarang apa maumu?” tanya Arlin berusaha sabar. “Makan. Mudah kan’? Aku tunggu di gerbang belakang kampus.” ujar Radit lalu beranjak pergi. Arlin mendengus kesal. Entah apa yang harus ia lakukan pada pemuda tak tahu diri itu. 

Arlin menancap gas mobilnya meninggalkan kampus. Tanpa menemui Radit. Arlin merasa inilah yang harus ia lakukan daripada harus menuruti keinginan mahasiswanya yang tidak waras itu. 

Hari Senin berikutnya, Arlin kembali mengajar di kelas yang sama. Dengan mahasiswa yang sama. Dan ada Radit pula. Tanpa rasa canggung, Arlin mengajar. Walaupun sepasang mata terus menatapnya. Arlin pura-pura tidak menyadarinya. Tapi ia tahu sepasang mata yang terus menatapnya itu adalah Radit tanpa perban di kepalanya. Hanya saja Radit tampak lebih kurus dari minggu lalu. 

“Kenapa kau tidak datang?” tanya Radit saat mencegat Arlin memasuki mobilnya. “Radit, sebaiknya kau menghentikan tingkahmu ini. Aku ini dosenmu. Kau seharusnya lebih hormat padaku. Apa kau tidak sadar? Aku bisa melaporkan tingkah lakumu ini pada Ketua Jurusan. Kau pun tahu kan’ akibatnya jika itu kulakukan!” ujar Arlin tak bisa menahan kesabarannya lagi. “Laporkan saja.” balas Radit. “Lalu apa setelah kau melaporkanku, kau bisa memenuhi keinginanku? Kau tahu, aku belum makan dari minggu lalu. Dan sekarang perutku amat sangat lapar.” sambung Radit. Arlin tidak percaya akan apa yang didengarnya. Benarkah pemuda itu tidak sudah seminggu tidak makan? Memang pemuda itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Tapi apa benar dia sudah satu minggu tidak makan? Apa dia orang senekat itu? Akhirnya, Arlin menyetujui permintaan Radit. 

Di hadapan Arlin sudah tersaji berbagai macam hidangan. Mulai dari ayam bakar, kepiting pedas manis, udang goreng tepung, sambal balado, sayur kangkung tumis, dan rendang. Semua pesanan Radit. “Baiklah, sekarang saatnya makan. Selamat makan!” seru Radit girang. Lalu memakan makanannya dengan lahap. Sepertinya benar dia sudah tidak makan satu minggu, pikir Arlin. Radit tersedak karena makan terlalu cepat. “Pelan-pelan saja,” kata Arlin sambil menyodorkan minuman ke arah Radit. Radit heran melihat Arlin yang tidak makan. “Kenapa kau tidak makan?” tanya Radit. “Aku tidak lapar.” jawab Arlin. Radit mengangguk mengerti lalu melanjutkan makannya. 

Setelah selesai makan, Arlin dan Raditpun melangkah keluar restoran. Langit mulai gelap pertanda akan hujan. Arlin harus pulang ke rumah secepatnya, sebelum hujan turun. “Sekarang kita sudah impas, bukan? Jadi mulai sekarang anggap aku sebagai dosenmu.” kata Arlin. Radit tersenyum tapi tak mengatakan apa-apa. 

Hujan turun, sangat deras. Arlin yang baru akan menyeberang jalan menghentikan langkahnya. Tubuhnya tiba-tiba terpaku. Menggigil. Kaku. Tak dapat digerakkan. Hujan membasahi sekujur tubuhnya. Tapi Arlin tidak dapat berbuat apa-apa. Radit melihat kejadian itu lalu menarik tangan Arlin untuk berteduh di depan sebuah toko. “Ada apa denganmu?” tanya Radit cemas. Arlin hanya dapat menatap Radit tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Namun Radit bisa mengetahui kalau saat ini Arlin sangat ketakutan. Rasa takut yang tak bisa ia pahami sebabnya. Arlin tak kuat menopang tubuhnya. Ia jatuh pingsan. 

Radit menyeka wajah Arlin dengan handuk yang sudah ia basahi air hangat. Radit memandangi wajah itu. Masih tampak bekas kesedihan di sana. Kesedihan yang timbul akibat luka yang amat dalam. Radit ingin tahu penyebabnya. 

Tak lama kemudian Arlin sadar. Ia mendapati dirinya terbaring di sebuah kamar yang sangat asing baginya. Kamar bernuansa biru langit yang tak terlalu luas. Hanya ada sebuah tempat tidur kecil, lemari, dan meja bundar. Di samping lemari tampak buku-buku yang dibiarkan bertumpuk hingga membentuk menara yang cukup tinggi. Arlin mengerjapkan mata, ia tidak sedang bermimpi. Ia memang sedang berada di kamar yang sangat asing. Ia pun beranjak dari tempat tidur dan menyadari bahwa ia memakai pakaian yang bukan miliknya. Sebuah kaos lengan panjang yang kebesaran dan celana jeans pendek. Arlin terkejut melihat keadaan dirinya. Pikirannya mencoba mengingat kembali apa yang telah terjadi. Radit. 

“Oh, kau sudah bangun,” kata Radit saat muncul dari balik pintu. Ia membawa segelas cokelat panas yang ia letakkan di meja bundar. “A..Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa berada di sini?” tanya Arlin. “Kau lupa? Kau pingsan di depanku. Karena aku tidak tahu rumahmu, jadi aku membawamu ke kos-ku” ujar Radit dengan ekspresi datar. “Apa? Ke kosmu? Apa kau sudah gila?! Lalu bagaimana dengan pakaianku? Jangan bilang kalau kau yang menggantinya!” Arlin mulai histeris. Ia tidak berani membayangkan apa yang terjadi. “Pakaianmu basah. Jadi, aku meminta ibu kos-ku untuk menggantikan pakaianmu. Aku tidak akan segila itu untuk menyentuh tubuh dosenku. Mengerti? Jadi apa sekarang kau bisa tenang dan duduk sebentar?” tanya Radit sambil menunjuk tempat di dekatnya di meja bundar. Arlin melihatnya ragu. “Lagipula di luar masih hujan,”sambung Radit. Perkataan Radit itu sukses membuat Arlin duduk. 

“Minumlah. Kau pasti haus,” kata Radit sambil menyodorkan segelas cokelat panas yang dibawanya tadi. Arlin tidak menghiraukannya. Ia cemas memikirkan dirinya yang harus terjebak di kamar mahasiswanya sendiri tanpa bisa berbuat apa-apa. “Kenapa? Apa kau tak percaya padaku? Apa aku terlihat seperti laki-laki bajingan? Kalau aku ingin melakukan hal yang tidak-tidak, aku pasti sudah melakukannya sejak tadi, waktu kau tidak sadarkan diri,” jelas Radit mencoba membuat Arlin percaya padanya. Arlin berpikir sejenak, ia memang sulit untuk mempercayai laki-laki setelah apa yang telah dialaminya. Tapi melihat wajah Radit, pikirannya berubah. Entah mengapa ia merasa mempercayai wajah itu. Tangannya kemudian bergerak memegang gelas itu dan meminumnya. 

“Apa karena hujan? Kau takut pada hujan?” tanya Radit meski ia sudah tahu jawabannya dari apa yang dilihatnya tadi. Arlin tidak langsung menjawab. Matanya menerawang jauh. Radit menghidupkan radio yang berada di dekatnya. Terdengar suara penyiar wanita yang bercuap-cuap kemudian memutar sebuah lagu. Seasons in the sun – Westlife mengalun mengisi ruangan. Suara rintik hujan samar berganti suara merdu Shane, Nicky, Mark, dan Bryan. 

“Benar, aku takut pada hujan. Hujan membuatku teringat masa lalu yang menyakitkan.” kata Arlin pelan. Radit terdiam, ia membiarkan Arlin melanjutkan ceritanya. “Entah apa aku harus menceritakan hal ini padamu. Kau mungkin tidak akan mengerti. Kau masih terlalu muda untuk mengerti,”. Arlin menghela nafas panjang. “Aku pernah menikah saat masih jadi mahasiswa strata satu semester tiga. Pernikahan karena dijodohkan. Dan menerima pernikahan itu adalah satu-satunya kesalahan terbesar yang pernah kulakukan dalam hidupku,” ungkap Arlin. Matanya mulai berkaca-kaca. Radit hanya menatap Arlin tanpa ekspresi terkejut sama sekali. Radit memang sudah tahu. Teman-temannya pernah bercerita tentang hal itu. 

“Aku telah salah memilih. Sosok yang menikahiku tidak seperti bayanganku sebelumnya. Dia kasar dan...selalu memukulku hanya karena aku berbicara pada teman priaku. Bukan hanya perlakuannya saja yang menyakitkan, tapi...juga perkataannya. Suatu hari, dia memukulku tanpa alasan, dengan stick golf miliknya. Lalu mengusirku saat hujan di luar sangat deras. Seluruh tubuhku terluka dan...rasanya semakin perih saat terbasuh air hujan...” 

“Sejak saat itu, aku sangat takut pada hujan. Aku tidak tahu alasannya... Hanya saja jika terkena sedikit saja air hujan, aku tak dapat mengendalikan tubuhku. Aku tak tahu bagaimana mengendalikannya...” air mata Arlin mengalir bak sungai mengingat peristiwa sepuluh tahun silam. Radit hanya dapat memberikan sapu tangan miliknya untuk menghapus air mata Arlin. 

“Sekarang kau tahu bagaimana hidupku yang sebenarnya. Inilah aku. Hanya seorang janda yang dipenuhi luka trauma. Aku menceritakan hal ini agar kau tahu yang sebenarnya. Aku tidak seperti yang kau pikirkan. Jangan menyia-nyiakan masa mudamu hanya karena orang sepertiku. Aku adalah dosenmu. Selamanya akan tetap seperti itu,” kata Arlin setelah dapat mengontrol dirinya kembali. 

“Memangnya kenapa? Apa menjadi janda itu sebuah dosa? Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu. Aku menyukaimu, Arlin. Bisakah kau membiarkan aku mengobati lukamu? Aku berjanji tidak akan pernah menyakitimu,” kata Radit. Arlin tersenyum tipis mendengarnya. Tangannya bergerak membelai rambut Radit lembut. “Kau bahkan lebih muda dari adik bungsuku. Setiap melihatmu aku merasa seperti melihat adikku sendiri. Kau sangat manis. Tapi apa yang bisa kau lakukan? Kau hanya anak muda yang baru mengenal dunia. Seperti diriku sepuluh tahun lalu. Kau belum tahu apa-apa. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan karena suatu saat kau pasti akan menyesalinya. Hujan sudah berhenti, aku harus pulang,” kata Arlin sambil beranjak menuju pintu. “Apa karena kau dosenku? Jadi aku tidak bisa bersamamu?” tanya Radit. Arlin tersenyum lalu pergi tanpa menghiraukan pertanyaan pemuda itu.

Wednesday 14 August 2013

My Mistake 2 Part 1


Aku telah berbuat kesalahan. Kesalahan dalam menentukan pilihan. Namun, aku tak dapat memutar waktu dan mengubah pilihan itu. Aku telah salah. Dan kini aku harus menanggung kesalahanku itu....
“Hei, Arlin! Apa kabar?” seseorang menepuk pundak Arlin pelan. Arlin berbalik dan tersenyum mengetahui siapa yang menyapanya. “Riska?” tanya Arlin meyakinkan. Ia memang mengenal wajah itu, tapi tidak dengan penampilan seperti ini. “Ya, of course. Memangnya kau tidak mengenaliku?” tanya Riska. Arlin menggeleng pelan. “Aku tahu, hanya saja kau sedikit berubah”, kata Arlin seraya memperhatikan penampilan Riska dengan lebih seksama. Penampilan Riska memang tampak lebih mencolok dari dahulu. Rambut cokelat pirang yang sedikit bergelombang, mata yang dihias kontak lens biru laut, serta gaya pakaian yang sedikit terbuka, membuat Arlin sempat ragu kalau orang itu adalah temannya. “Tapi tetap aku tetap cantik kan?” kata Riska. Arlin mengangguk pelan, “Ya, kau cantik.” Riska tertawa kecil lalu mengajak Arlin untuk mengobrol di kafe terdekat.
“Sedang sibuk apa sekarang?” tanya Riska setelah mereka duduk di kursi kafe dekat jendela. Seorang pelayan datang mencatat pesanan mereka. Dua cangkir cappucino dan dua potong chesee cake. “Aku masih sibuk mengejar gelar doktor, sekarang sedang menyusun. Doakan ya semoga semuanya berjalan lancar.”, jawab Arlin. Riska memandang temannya itu kagum. “Kau hebat! Masih mau belajar. Aku sendiri masih beruntung bisa meraih gelar sarjanaku. Itupun berkat bantuanmu.” kata Riska. Arlin tersenyum, “Kau sendiri sedang sibuk apa sekarang?” tanya Arlin balik. Pesanan mereka datang. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka  melanjutkan pembicaraan. “Sibuk jadi ibu rumah tangga. Aku kan’ sudah punya dua anak sekarang”, kata Riska. “Oh iya, maaf aku tidak datang ke acara pernikahanmu dulu. Waktu itu aku sedang berada di Jerman” ucap Arlin. “It’s okey. Aku tahu kau sibuk. Bagaimana kabar suamimu?” Deg! Pertanyaan Riska seakan menusuk jantung Arlin. Pertanyaan yang paling ia hindari. Pertanyaan paling tidak ia suka. Tetapi orang-orang terus saja menanyakan pertanyaan yang sama saat bertemu dengannya. Karena pertanyaan sederhana itu cukup kuat untuk mengorek kembali lukanya.
Arlin meyeruput cappucinonya. “Aku sudah berpisah” ucapnya kemudian. Riska terkejut mendengarnya. “Maaf, aku tidak tahu. Kenapa bisa?” tanya Riska lagi. Ia tidak menyangka Arlin akan berpisah secepat itu. Padahal ia menikah lebih dulu daripada Arlin. Arlin menyeruput cappucinonya lagi. Pahit. Itulah yang dirasakannya saat ini. Arlin tidak bisa mengatakan alasannya. Bukan, ia bukan tidak bisa tapi ia tidak mau. Memberikan alasan perpisahan itu sama saja dengan memaksanya kembali ke masa itu. Kembali merasakan kesakitan itu dan kepedihan yang menyelimutinya.
“Tidak ada kecocokan. Lagipula kejadiannya sudah lama. Aku tidak ingin mengungkitnya lagi”, ucap Arlin sambil tersenyum kecut. Riska mengangguk mengerti. Arlin memandang jam tangannya, sudah menunjukkan pukul 21.36. “Sudah malam. Kapan-kapan kita bisa bertemu lagi. Aku harus pulang.” kata Arlin. “Tentu. Berapa nomormu sekarang?”, tanya Riska. Arlin membuka tes kecilnya lalu memberikan selembar kartu namanya pada Riska. “Kau bisa menghubungiku kapan saja. Sampai jumpa.” kata Arlin sambil berlalu. “Iya, bye-bye.” Riska melambaikan tangannya ke arah Arlin yang telah berada di belakang kemudi mobil dan melaju pergi.
“Hebat!” Arlin masih mengingat pujian Riska. “Hebat? Kurasa kau salah. Justru kaulah yang hebat. Hidupmu sempurna, Riska. Kau bertemu seorang pria yang baik dan memiliki anak. Kau hebat!” guman Arlin. Matanya mulai kabur oleh butir-butir air yang menetes satu per satu ke pipinya. Ia tak tahu mengapa ia menangis. Ia hanya iri. Ia iri pada Riska.
Tiba-tiba seseorang melintas di depannya. Arlin mengijak rem refleks. Tetapi ia terlambat. Badan mobilnya telah menabrak seseorang. Arlin gemetar. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Jalanan memang sedang sepi. Tak ada seorangpun yang melihat kejadian itu. Lalu bagaimana keadaan orang yang ia tabrak itu? Arlin ingin keluar dari mobilnya dan melihat orang itu. Tapi ia takut menghadapi segala kemungkinan. Bagaimana kalau orang itu terluka parah? Atau bagaimana kalau orang itu sudah mati? Arlin semakin ketakutan. Ia tetap duduk mematung di balik kemudi mobilnya.
Seseorang bangkit. Arlin dapat melihatnya. Seorang pria yang sebagian wajahnya tertutup darah yang masih menetes. Pria itu mencoba melihat ke dalam mobil meski matanya disilaukan oleh cahaya lampu mobil yang telah menabraknya. Arlin semakin ketakutan. Pria itu menghampiri Arlin. Lalu mengetuk kaca mobil Arlin pelan. Arlin tak berani memandang wajah pria itu. Namun, Arlin menurunkan sedikit kaca mobilnya. Dipandangnya pria itu dengan sangat ketakutan. “Ma...”.
“Maaf.” kata pria itu mendahului Arlin. Arlin setengah terkejut mendengarnya. Atau mungkin ia yang salah mendengar? “Aku yang salah. Tidak melihat mobilmu melintas dan menyebrang begitu saja. Maaf”,  kata pria itu pelan lalu beranjak pergi. Arlin terpaku dalam kebingungan. Tapi ia segera keluar dari mobilnya dan menahan pria itu. “Kita ke rumah sakit”, ucapnya kemudian.
Pria itu keluar dari unit gawat darurat dengan perban di kepalanya. Lukanya sudah dibersihkan. Sehingga Arlin baru bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ternyata pria itu masih sangat muda. Mungkin beda sepuluh tahun dari Arlin. “Kau masih di sini?” tanya pemuda itu. Arlin heran melihat sikap pemuda itu. Sudah jelas Arlin lebih tua darinya, tapi nada bicaranya sangat tidak sopan. Arlin menahan nalurinya sebagai pengajar untuk menceramahi anak muda itu. Ia sadar ini bukan saat yang tepat.
“Bagaimana keadaanmu? Apa kau bisa pulang sendiri? Atau bagaimana kalau aku mengantarmu pulang, dik?” tanya Arlin dengan sedikit menekankan pada kata Dik agar pemuda itu tahu ia lebih tua darinya. “Dik? Namaku bukan Dik, tapi Raditya. Kau bisa memanggilku Radit,” kata pemuda bernama Radit itu. Arlin sedikit kesal juga dibuatnya. “Sepertinya kau baik-baik saja. Kau pasti bisa pulang sendiri. Soal kecelakaan tadi, itu juga salahku. Aku minta maaf,” kata Arlin lalu beranjak pergi. Radit hanya diam saja. Namun ia tak dapat menahan bibirnya untuk tidak tersenyum.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...