Thursday 21 November 2013

Mini Bus


Dulu keluargaku punya sebuah mobil mini bus tua. Bernama Mitsubisi. Mobil itu sudah sangat tua. Setiap jalan, suaranya berisik dan mengganggu penumpang di dalamnya. Di dalamnya ada tempat duduk yang sudah usang, robek di sana sini. Kaca mobil itu pun sudah buram. Bahkan di bagian belakang bukan kaca lagi, melainkan plastik yang direkatkan menyerupai kaca. Tak hanya itu, beberapa bagian mobil itu pun sudah keropos saking tuanya. Asalkan mobil itu masih bisa digunakan, semua itu tak jadi masalah untuk keluargaku yang saat itu hidup pas-pasan.

Setiap pagi, keluargaku sibuk dengan rutinitasnya. Ayahku bersiap ke kantor, ibuku bersiap mengajar, sedangkan aku, dua kakakku dan seorang adikku bersiap ke sekolah. Ayah selalu masuk mobil duluan, sambil menunggu kami semua siap, ayah selalu menyalakan radio tua yang ada dalam mobil yang memutar lagu dangdut. Ya, ayahku memang sangat menyukai lagu dangdut. Setelah beberapa menit kemudian, barulah aku dan saudara-saudariku masuk mobil, disusul oleh ibuku. Tapi kakak tertuaku selalu paling masuk paling akhir, karena ia sering terlambat bangun. Masih mending kalo ia sudah berpakaian, karena seringkali ia baru berpakaian di dalam mobil.

Ayah pun mengendarai mobil itu menuju sekolah kakakku, sekolahku, dan sekolah tempat mengajar ibuku. Selama perjalanan, kami sering mengobrol tentang banyak hal. Satu per satu kami turun di tempat tujuan masing-masing. Biasanya, setelah pulang sekolah, aku, kakak, adik, dan ibuku pergi ke rumah kakek yang letaknya tak jauh dari sekolah kita masing-masing. Di rumah kakek, kami menunggu ayah datang untuk menjemput kami. Setelah ayah datang, barulah kami pulang. Biasanya kami singgah di warung makan pinggir jalan untuk makan malam. Hal ini berlangsung bertahun-tahun. Sampai kedua kakakku kerja dan mini bus tua itu mulai rusak. 

Kadang aku merindukan mobil tua itu karena entah sejak kapan aku menyadari kalau bersama mobil tua itulah kami paling banyak menghabiskan waktu bersama. Banyak cerita, tawa, dan canda. Kini momen seperti itu sudah jarang kurasakan. Apalagi, kedua saudaraku sudah tak tinggal bersama kami. Kakak tertuaku sibuk dengan kegiatannya sendiri. Ayah yang sering pulang malam dan ibu yang terlalu lelah karena seharian mengajar anak-anak di sekolah. Memang semua tak bisa kembali seperti dulu lagi. Tetapi paling tidak, momen bahagia itu masih tersimpan dalam ingatanku....

Dunia




Duniaku berbeda. Langitnya gelap. Hanya ada malam. Tanpa bulan dan bintang. Juga hanya ada satu pohon. Sebuah pohon beringin yang besar dan berdaun lebat. Di sanalah aku bersembunyi jika sedih.

Duniaku, tak ada laut, gunung, maupun danau. Hanya ada padang pasir, tempatku berlari, menari, dan berputar-putar setiap hari. Tanpa beban, tanpa risau. Seakan hidup tak ada akhirnya.

Duniaku, hidup beberapa orang. Tak banyak, mungkin bisa dihitung jari. Orang-orang yang tinggal seizinku dengan syarat, ketulusan.

Duniaku, memang tak sehebat duniamu. Tetapi, di sanalah aku bisa bahagia bersama orang-orang yang tulus menyayangiku. Duniaku, hatiku. Tempat yang lebih luas dari yang kau bayangkan. Tempat yang lebih indah dari yang kau lihat. Juga tempat yang lebih menyenangkan dari yang kau rasakan. Itulah duniaku....

I Love You

Hari telah senja saat aku melihatmu duduk di taman itu. Kau masih sama seperti yang dulu. Matamu masih memberikan kehangatan meski ada sepasang kacamata yang membingkainya. Rambutmu pun masih subur meski telah berubah warna dan kulitmu masih putih bersih meski sudah tak kencang lagi.

Kau melihatku sambil tersenyum. Senyum yang tak pernah berubah sejak dulu. Masih menjadi senyum terindah yang pernah kulihat. Dengan senyum itu, kau menyapaku, menanyakan kabarku. Aku menjawabmu dengan kalimat yang sudah fasih kulontarkan. “Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” aku bertanya. Raut wajahmu mulai berubah. Raut kesedihan yang tak pernah kubayangkan akan terlukis di wajahmu. Kau mulai menerawang jauh.

Aku tahu, Amanda, wanita yang kau nikahi itu meninggalkanmu. Aku sungguh tak menyangka, wanita yang dulu begitu kau puja karena cintanya padamu meninggalkanmu begitu saja. Apalagi demi pria lain. Padahal dia adalah wanita yang paling beruntung karena memilikimu, manusia paling sempurna yang pernah kutemui.

Aku bisa merasakan kesedihanmu dari nada bicaramu. Aku tahu tentang dua anakmu yang telah kau besarkan seorang diri dan bagaimana kerja kerasmu untuk menghidupi mereka. Kau banting tulang siang dan malam hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sampai tanganmu tak sempurna lagi karena kecelakaan kerja. Aku tahu kau sangat menyayangi mereka. Aku pun tahu bagaimana mereka membalas kasih sayangmu dengan meninggalkanmu. Ya, aku tahu. Setelah mereka dewasa dan menjadi orang sukses, mereka tak pernah menemuimu lagi. Mereka bahkan tak pernah mengakui posisimu sebagai ayah mereka dan aku tahu kesedihanmu karena hal itu.

Aku tahu telah banyak perih yang kau rasakan. Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku masih seperti dulu. Aku masih orang yang selalu memperhatikanmu dari jauh. Masih orang yang selalu memujamu hingga saat ini. Saat tak ada seorangpun berada di sampingmu, aku ingin menjadi orang yang selalu berada di sampingmu, menerima semua keluh kesahmu, menjadi pengobat lukamu, dan penghibur kesedihan hatimu. Aku ingin menjadi orang yang bisa menguatkanmu, mengubah air matamu menjadi senyuman, dan melindungimu dengan segenap kekuatan yang kumiliki.

Aku memanggilmu, namamu adalah kata terindah yang pernah terucap dari bibirku. Kau pun menoleh, menatapku hangat. Hatiku gemetar. Setelah setengah abad berlalu, inilah saat yang tepat untuk mengatakannya. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu dengan segenap jiwa dan ragaku. Aku mencintaimu sejak dulu. Sejak kau belum mengenal cinta dan aku masih pura-pura tidak suka. Aku mencintaimu lebih dari apapun dan aku masih bertahan mencintaimu meski kau telah bersama orang lain. Aku mencintaimu. Aku masih mencintaimu hingga usiaku tak muda lagi. Aku mencintaimu hingga tak menerima orang lain menjadi pendamping hidupku. Aku mencintaimu dengan setiap tetes darah yang mengalir dalam tubuhku. Aku mencintaimu dengan kadar yang tak pernah berubah sejak dulu. Aku mencintaimu. Sungguh.

Kau tampak terkejut mendengar kalimat-kalimat yang terlontar dari mulutku. Tetapi kau tersenyum ramah. “Terima kasih sudah mencintaiku,” ucapmu pelan namun jelas. Aku pun tersenyum bahagia. Kau menggenggam tanganku erat. Perasaan yang telah tersimpan puluhan tahun ini pun bermekaran laksana kuncup bunga di taman. Aku berjanji akan selalu berada di sisimu, Q. Selamanya....
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...