1)
Pengertian
Pantun
Pantun
berarti misal, umpama, ibarat, atau tamsil Suprapto (2009:2). Pantun merupakan salah satu jenis puisi Melayu lama yang
secara luas dikenal di kalangan masyarakat Nusantara. Pantun pada mulanya
merupakan sastra lisan, namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis
Hidayati (2010 :1).
Pantun
berasal dari bahasa Minangkabau yaitu patuntun yang berarti "petuntun". Dalam bahasa sunda atau
di Jawa Barat, istilah pantun dikenal sebagai paparikan,
sedangkan di Jawa Tengah dikenal sebagai parikan, dalam bahasa Toraja disebut londe, dalam bahasa Batak dikenal
sebagai umpasa, dan masyarakat
Maluku menyebutnya panton Hidayati (2010:1-4).
Pantun
memiliki kata-kata yang khas, kekhasan kata-kata dalam pantun ditunjukkan
melalui penggunaan kata-katanya, ungkapan pengarang, serta kemerduan bunyinya
karena pilihan kata pada bunyi akhir yang teratur. Semua bentuk pantun terdiri atas
sampiran
dan isi. Sampiran adalah dua
baris pertama, sedangkan dua baris terakhir merupakan isi yang merupakan tujuan
dari pantun tersebut Sari (2012:239).
Pantun
digunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik formal maupun informal. Formal
misalnya, dalam pernikahan. Pernikahan yang menggunakan pantun dalam tata cara
pernikahan adalah pernikahan adat Betawi, yaitu ketika acara buka palang pintu
yang diikuti dengan pencak silat. Informal misalnya dalam perbincangan sehari-hari.
Perbincangan yang ditambahkan dengan pantun akan semakin menarik dan tidak
membosankan Alexa (2009).
2) Syarat-syarat Pantun
Pantun merupakan salah satu bentuk sastra yang paling
popular di antara tradisi lisan masyarakat Melayu. Seorang pengkaji Budaya
Melayu bernama R.O. Winsted (dalam Waridah, 2009:338), menyatakan bahwa pantun
bukanlah sekadar gubahan kata-kata yang mempunyai rima dan irama, tetapi merupakan
rangkaian kata yang indah untuk menggambarkan kehangatan seperti cinta, kasih
sayang, dan rindu dendam penuturnya.
Menurut
Waridah (2009:338), Pantun memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri ini tidak
boleh diubah. Jika diubah, pantun tersebut akan menjadi seloka, gurindam, atau
bentuk puisi lama lainnya. Ciri-ciri pantun adalah sebagai berikut.
a) Tiap bait
terdiri atas empat baris (larik),
b) Tiap baris
terdiri atas 8 sampai 12 suku kata,
c) Rima akhir
setiap baris adalah a-b-a-b,
d) Baris pertama
dan kedua merupakan sampiran,
e) Baris ketiga
dan keempat merupakan isi.
Ciri-ciri pantun juga dikemukakan
oleh Suprapto (2009:6), yang terdiri dari enam antara lain:
a) Tiap satu bait
terdiri atas empat baris,
b) Tiap satu bait
berisi kandungan maksud yang lengkap,
c) Bait berima
akhir silang, yaitu a b a b,
d) Tiap baris
terdiri atas 3-5 kata atau 8-12 suku kata,
e) Baris pertama
dan kedua merupakan sampiran pantun,
f) Baris ketiga
dan keempat merupakan isi pantun.
Pendapat
yang sedikit berbeda juga dikemukakakan oleh Hidayati (2010: 5-6), yang
menyatakan ciri-ciri pantun sebagai berikut.
a)
Setiap bait terdiri atas empat larik
(baris),
b)
Setiap suku kata tiap larik sama atau
hampir sama (biasanya terdiri atas 8-12 suku kata),
c)
Berima (bersajak) ab-ab,
d) Larik pertama
dan kedua berupa sampiran,
e) Larik ketiga
dan keempat disebut maksud (isi).
Adapun
syarat-syarat pantun menurut Sari (2012: 239), antara lain:
a) Satu bait
terdiri atas empat baris,
b) Baris pertama
dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi,
c) Setiap baris
terdiri atas 8-12 suku kata,
d) Rima akhir
berpola a-b-a-b.
Beberapa ahli lainnya juga
memberikan batasan dan syarat-syarat pantun yang dirangkum oleh Fenny (2009)
antara lain: Zaidan Hendy, yang
mengungkapkan bahwa pantun mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a)
Tiap bait terdiri atas empat baris
kalimat,
b)
Tiap baris terdiri atas 4-6 kata atau
8-12 suku kata,
c)
Taris pertama dan kedua disebut
sampiran dan baris ketiga dan keempat disebut isi, sampiran melukiskan alam dan
kehidupan sedangkan isi pantun berkenaan dengan maksud pemantun,
d)
Bersajak silang atau a-b-a-b, artinya
bunyi akhir baris pertama sama dengan bunyi akhir baris ketiga dan bunyi akhir
baris kedua sama dengan bunyi akhir baris keempat,
e)
Pantun digunakan untuk pergaulan dan berisikan
curahan perasaan, buah pikiran, kehendak, kenangan dan sebagainya,
f)
Tiap bait pantun selalu dapat berdiri
sendiri, kecuali pada pantun berkait,
g)
Pantun yang baik atau bermutu memiliki
hubungan antara sampiran dan isi.
Contoh:
Air dalam bertambah dalam,
hujan di hulu belum lagi teduh,
Hati dendam bertambah dendam,
dendam dahulu
belum lagi sembuh.
Hubungan antara sampiran dan isi yang
tampak pada pantun di atas ialah sama-sama melukiskan keadaan yang makin
menghebat. Pantun yang
kurang bermutu menurut Zaidan,
yang diciptakan oleh kebanyakan orang, umumnya tidak memiliki hubungan antara sampiran dan isi.
Contoh:
Buah pinang buah belimbing,
ketiga dengan buah mangga.
Sungguh senang beristri sumbing,
biar marah tertawa juga.
Sebait pantun di atas tidak menunjukkan
adanya hubungan antara sampiran dan isi, kecuali adanya persamaan bunyi.
Hooykaas, (dalam Fenny: 2009) kemudian mengatakan
bahwa pada pantun yang baik, terdapat hubungan makna tersembunyi dalam
sampiran, sedangkan pada pantun yang kurang baik, hubungan tersebut semata-mata
hanya untuk keperluan persamaan bunyi. Pendapat Hooykaas ini sejalan dengan
pendapat Tenas Effendy (dalam Fenny: 2009) yang menyebut pantun yang baik dengan sebutan pantun sempurna atau penuh, dan
pantun yang kurang baik dengan sebutan pantun tak penuh atau tak sempurna.
Karena sampiran dan isi sama-sama mengandung makna yang dalam (berisi), maka
kemudian dikatakan, “sampiran dapat menjadi isi, dan isi dapat menjadi
sampiran.”
Selanjutnya Zulfahnur, dkk (dalam Fenny: 2009), mengungkapkan bahwa sebait pantun
terikat oleh beberapa syarat antara lain:
a)
bilangan baris tiap bait adalah empat, bersajak AB-AB,
b)
terdiri dari 8-12 suku kata tiap baris, umumnya 10 suku kata,
c)
pantun umumnya mempunyai sajak akhir, tetapi ada juga
yang bersajak awal atau bersajak tengah.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas,
dapat disimpulkan bahwa pantun adalah bentuk puisi lama yang terdiri atas empat baris yang bersajak
bersilih dua-dua (pola ab-ab), dan biasanya tiap baris terdiri atas empat sampai lima perkataan. Dua baris pertama disebut sampiran
(pembayang), sedangkan dua baris berikutnya disebut isi pantun. Antara sampiran
dan isi terdapat hubungan yang saling berkaitan. Oleh karena itu, tidak boleh
membuat sampiran asal jadi hanya untuk menyamakan bunyi baris pertama dengan
baris ketiga dan baris kedua dengan baris keempat.
3) Jenis-Jenis Pantun
Pantun yang berkembang dalam tradisi lisan dan tulis di
Indonesia memiliki keragaman yang luar biasa. Beberapa ahli membagi jenis
pantun menjadi beberapa bagian di antaranya.
Suprapto (2009:14-22) menguraikan jenis pantun berdasarkan
pemakainya, berdasarkan isi, dan
berdasarkan bentuknya. Berdasarkan pemakainya pantun dibagi menjadi tiga yaitu:
pantun anak-anak, pantun orang muda, dan pantun orang tua. Berdasarkan isinya
terbagi menjadi dua belas yaitu: pantun
bersuka cita, pantun berduka cita, pantun jenaka, pantun teka-teki, pantun
dagang atau nasib, pantun perkenalan, pantun berkasih-kasihan, pantun
perceraian, pantun beriba hati, pantun nasihat, pantun adat, dan pantun agama.
Berdasarkan bentuknya terbagi atas lima yaitu: pantun biasa, pantun kilat atau
karmina, pantun berkait atau seloka, talibun, dan pantun modern.
Selanjutnya Hidayati (2010: 7-64), membagi jenis pantun
berdasarkan bentuk dan isi (tema). Berdasarkan bentuknya, pantun dibagi menjadi
tiga yaitu: talibun, pantun kilat atau karmina, dan pantun berkait. Berdasarkan
isi atau temanya pantun terdiri atas tiga bagian yaitu:
a) Pantun anak-anak, terdiri dari:
(1) pantun bersuka cita, dan
(2) pantun berduka cita.
b) Pantun orang muda, terbagi atas dua
bagian antara lain:
(1) pantun muda, yang mencakup pantun perkenalan, pantun
berkasih-kasihan, pantun perceraian, dan pantun beriba hati,
(2) pantun dagang atau nasib, dan
(3) pantun teka-teki.
c) Pantun orang tua antara lain pantun
nasihat, pantun adat, dan pantun agama.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Budiono (2010:26-30),
yang juga membagi jenis pantun berdasarkan bentuk dan isinya. Berdasarkan
bentuknya pantun terbagi atas tiga yaitu: pantun kilat atau karmina, talibun dan
seloka (pantun berkait). Berdasarkan isinya pantun
dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu: (1)
Pantun
anak-anak yang terdiri atas: pantun bersuka cita, pantun berduka cita, dan pantun
jenaka anak. (2) Pantun orang muda terdiri dari: pantun
berkenalan, pantun berkasih-kasihan, pantun perpisahan, pantun beriba hati, pantun
dagang atau nasib, dan pantun jenaka anak muda. (3)
Pantun
orang tua terdiri dari: pantun adat, pantun nasihat, pantun agama, dan pantun
budi.
Selain itu Sari (2012: 240-268), membagi jenis pantun
berdasarkan jumlah larik atau baris dan berdasarkan isinya. Berdasarkan jumlah
larik atau baris, pantun dibedakan menjadi empat yaitu: pantun biasa, pantun
kilat (karmina), talibun, dan pantun
berkait (seloka). Berdasarkan isinya, pantun
terdiri atas tiga jenis yaitu sebagai berikut.
a)
Pantun anak-anak, terdiri atas pantun jenaka dan pantun
teka-teki.
b)
Pantun remaja, terdiri atas pantun perkenalan, pantun
percintaan, dan pantun perpisahan.
c)
Pantun orang tua, terdiri atas pantun adat, pantun agama,
pantun budi, pantun nasihat, pantun kepahlawanan, pantun kias, dan pantun
peribahasa.
Dari beberapa pendapat di atas dapat diuraikan jenis-jenis
pantun yang dibedakan berdasarkan bentuk (jumlah baris) dan berdasarkan isi
(tema). Berikut jenis-jenis pantun:
a)
Berdasarkan bentuk/jumlah baris tiap bait, pantun dibedakan menjadi:
(1)
Pantun biasa yaitu pantun yang
terdiri dari empat baris tiap bait. Pantun biasa sering juga disebut pantun saja.
Contoh:
Kemuning dalam semak
Jatuh melayang selamanya
Meski
ilmu setinggi tegak
Tidak
sembahyang apa gunanya
(1)
Pantun kilat atau karmina yaitu pantun yang hanya tersusun
atas dua baris bersajak a,a. baris pertama merupakan sampiran dan baris kedua
merupakan isinya.
Contoh:
Dahulu
perang sekarang besi
Dahulu sayang sekarang benci
(2)
Pantun berkait atau pantun rantai
atau seloka
yaitu pantun yang berisikan pepatah atau perumpamaan yang mengandung senda
gurau, sindiran, bahkan ejekan. Seloka tidak cukup ditulis dengan satu bait
saja sebab merupakan jalinan atas beberapa bait.
Contoh:
Seganda gugur di halaman
Daun melayang masuk kulah
Dengan adinda minta berkenalan
Rindunya bukan ulah-ulah
Daun melayang masuk kulah
Batang berangan di tepi paya
Rindunya bukan ulah-ulah
Jangan tuan tidak percaya
(3)
Talibun yaitu sejenis puisi lama seperti
pantun karena mempunyai sampiran dan
isi, tetapi lebih dari empat baris (mulai dari 6 baris sampai 20 baris).
Berirama abc-abc, abcd-abcd, abcde-abcde, dan seterusnya.
Contoh:
Kalau
anak pergi ke pulau
Yu beli, belanak pun beli
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi
merantau
Ibu cari, sanak pun cari
Induk semang cari dahulu
(4) Pantun modern adalah pantun yang
tidak memiliki sampiran dan atau sebuah bentuk syair yang berirama a b a b, dan
tiap baris terdiri atas empat sampai lima kata atau 8-12 suku kata.
Contoh:
Jika di kelas suka
mengantuk
Semua pelajaran
sulit diterima
Maka jangan duduk
membungkuk
Agar tidak terpejamlah mata
b) Berdasarkan isi atau temanya, pantun dapat dikelompokkan
menjadi beberapa jenis antara lain:
(1) Pantun
anak-anak adalah pantun yang isinya
menggambarkan atau melukiskan kehidupan dunia anak-anak. Biasanya berisi rasa
senang maupun sedih. Pantun anak-anak terdiri atas:
(a) Pantun bersuka cita yaitu pantun yang isinya
menggambarkan atau melukiskan kegembiraan hati seorang anak.
Contoh:
Mari
kita makan ke kebun
Bawa guni isikan padi
Mari kita berlawan pantun
Bawa menyanyi menyukakan hati
(b) Pantun berduka cita yaitu pantun yang isinya
menggambarkan atau melukiskan kesedihan hati seorang anak.
Contoh:
Besar buahnya pisang batu
Jatuh melayang selaranya
Saya
ini anak piatu
Sanak saudara tidak punya
(c)
Pantun jenaka yaitu pantun yang bertujuan untuk
menghibur orang yang mendengar, terkadang dijadikan sebagai media untuk saling
menyindir dalam suasana yang penuh keakraban, sehingga tidak menimbulkan rasa
tersinggung, dan dengan pantun jenaka diharapkan suasana akan menjadi semakin
riang.
Contoh:
Jalan-jalan ke rawa-rawa
Jika capai duduk di pohon palm
Geli hati menahan tawa
Melihat katak memakai helm
Jika capai duduk di pohon palm
Geli hati menahan tawa
Melihat katak memakai helm
(d) Pantun teka-teki yaitu pantun yang
memerlukan jawaban yang merupakan satu dari alat untuk menggerakkan cara
berpikir secara spontan dalam membina kemahiran berpikir dengan tepat.
Contoh:
Beras
ladang sulung tahun
Malam
malam memasak nasi
Dalam
batang ada daun
Dalam daun ada isi
(2) Pantun orang muda adalah pantun yang
isinya menggambarkan atau melukiskan kehidupan orang yang masih berusia muda.
Pantun orang muda terbagi menjadi 5 yaitu:
(a) Pantun perkenalan yaitu pantun yang digunakan oleh
muda-mudi untuk saling mengenal dengan lawan jenisnya. Biasanya pantun ini
berisi pertanyaan, pujian, dan sanjungan terhadap lawan jenis yang disukainya.
Contoh:
Jalan-jalan ke pantai marina
Sempatkan diri menyantap ikan
Cewek cantik yang duduk di sana
Bolehkah kita berkenalan?
(b)
Pantun berkasih-kasihan yaitu pantun yang menggambarkan atau melukiskan
muda-mudi yang sudah saling mencintai mencurahkan isi hati dan perasaan
masing-masing. Biasanya berisi pujian, sanjungan, dan juga harapan-harapan
indah sepasang orang muda yang sedang jatuh cinta.
Contoh:
Kalau tuan jalan dahulu
Carikan saya bunga kamboja
Kalau tuan mati dahulu
Nantikan saya di pintu surga
(c) Pantun perceraian yaitu pantun yang menggambarkan atau
melukiskan tentang perasaan ketidaksukaan seseorang terhadap lawan jenis karena
sesuatu sebab, sehingga akhirnya memutuskan untuk berpisah satu sama lain.
Contoh:
pucuk pauh delima batu
anak sembilang di tapak tangan
biar jauh di negeri satu
hilang di mata di hati jangan
(d) Pantun beriba hati
yaitu pantun yang isinya menggambarkan atau melukiskan
bagaimana kesedihan yang dialami oleh seseorang dikarenakan suatu sebab. Bisa
karena cintanya tak tergapai atau bertepuk sebelah tangan, atau karena
penderitaan hidup yang dialaminya.
Contoh:
Anak keling
berbaju sitin
Sudah sitin sekelat pula
Hamba hina lagi miskin
Sudah miskin melarat pula
(e)
Pantun dagang atau nasib yaitu pantun yang menggambarkan atau melukiskan nasib
atau keadaan seseorang yang tengah merenungi nasib dirinya. Biasanya
didendangkan oleh orang muda yang tinggal di negeri orang dan teringat pada
tanah kelahirannya atau karena nasibnya tidak seberuntung orang lain.
Contoh:
Mati ditembak oleh Belanda
Pebur terserak
tengah padang
Duduk
terkenang akan adinda
Nyawa di tubuh rasa melayang
(3) Pantun orang tua adalah pantun yang isinya
menggambarkan atau melukiskan kehidupan orang yang usianya sudah tua. Pantun
orang tua terdiri dari:
(a) Pantun nasihat yaitu pantun yang berisi
nasihat orang tua kepada anak muda. Pantun ini
biasanya bersifat mengajar atau memberi nasihat untuk melakukan sesuatu yang
baik dan meninggalkan yang buruk.
Contoh:
Kalau Harimau sedang mengaum
Bunyinya sangat berirama
Kalau
ada ulangan umum
Marilah kita belajar bersama
(b) Pantun adat yaitu pantun yang
berisi tentang petuah yang memiliki hubungan dengan adat setempat. Biasanya
pantun dituturkan oleh orang tua kepada anak muda berupa himbauan agar si anak
muda tidak melupakan adat yang ada.
Contoh:
Kalau dinding tidak berlantai
Apa
gunanya kayu dipepat
Kalau
runding tidak selesai
Apa gunanya
penghulu adat
(c) Pantun
agama yaitu pantun berisi petuah-petuah keagamaan, yang mengingatkan manusia
dengan Keesaan Allah dan balasan di hari kemudian.
Contoh:
Banyaklah bulan antara bulan
Tidak semulia bulan puasa
Banyaklah tuan serupa tuan
Tidak semulia Tuhan Yang Esa
Tidak semulia bulan puasa
Banyaklah tuan serupa tuan
Tidak semulia Tuhan Yang Esa
(d) Pantun budi adalah
pantun yang isinya mengenai budi pekerti, biasanya berupa pemberian atau
bantuan kepada orang lain, serta bagaimana nilai budi bagi seseorang.
Contoh:
Kalau keladi sudah ditanam
Jangan lagi meminta balas
Kalau budi sudah ditanam
Jangan lagi meminta balas
Jangan lagi meminta balas
Kalau budi sudah ditanam
Jangan lagi meminta balas
(e) Pantun
kepahlawanan adalah pantun yang isinya berhubungan dengan semangat
kepahlawanan.
Contoh:
Redup bintang haripun subuh
Subuh tiba bintang tak nampak
Hidup pantang mencari musuh
Musuh tiba pantang ditolak
Subuh tiba bintang tak nampak
Hidup pantang mencari musuh
Musuh tiba pantang ditolak
(f) Pantun
kias atau ibarat adalah pantun bersifat kiasan, ibarat atau perbandingan.
Dengan demikian, pernyataan isinya selalu ditemui dalam bentuk peribahasa
tetapi gambaran pernyataannya lebih halus, luas dan mendalam.
Contoh:
Disangka nanas di tengah padang
Rupanya urat jawi-jawi
Disangka panas hingga petang
Kiranya hujan tengah hari
(g) Pantun
peribahasa yaitu pantun yang mudah dikenal melalui penyampaian isinya yang menggunakan
peribahasa-peribahasa yang begitu jelas bentuk serta susunannya.
Contoh:
Berakit-rakit kehulu
Berenang-renang ke
tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian
Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan pada kemampuan
anak dalam menulis jenis pantun orang tua, yang terdiri atas pantun nasihat,
dan pantun agama. Kedua pantun ini merupakan pantun yang mengandung pesan-pesan
positif atau nasihat yang baik untuk setiap kalangan. Penulis menganggap bahwa jenis
pantun orang tua ini, sangat penting
untuk dibelajarkan kepada siswa SMP. Mengingat masa SMP yang masih labil dan masih berada dalam tahap
peralihan menuju masa remaja. Maka perlu adanya pembelajaran menulis pantun
yang mengandung pesan positif sebagai bekal untuk mereka dalam menempuh
kehidupan, yang nantinya bisa berdampak baik terhadap siswa itu sendiri maupun
terhadap orang lain.
4) Cara Menulis Pantun
Menurut Fenny (2009) untuk menulis pantun, hal yang harus
diperhatikan ialah membuat topik atau tema terlebih dahulu, sama halnya jika
hendak membuat karangan yang lain. Tema dalam penulisan pantun sangat
penting, karena dengan tema pantun-pantun yang dibuat oleh siswa akan lebih
terarah kepada sesuatu maksud yang diharapkan. Dan juga tidak akan merebak ke mana-mana,
yang akhirnya dapat mendatangkan masalah.
Penggunaan tema yang sempit dapat
mengekang sedikit kreativitas bagi siswa dalam menulis pantun. Oleh karena itu,
guru harus lebih bijaksana dalam memilih tema yang didalamnya dapat mengandung
atau mencakup berbagai permasalahan keseharian. Tema yang cocok diberikan dalam
proses pembelajaran misalnya saja berkaitan dengan masalah politik, sosial
budaya, percintaan, dan kehidupan keluarga. Misalnya, tema tentang sosial
budaya dengan mengambil topik soal kebersihan kota atau masalah sampah.
Hal pertama yang harus dilakukan yaitu
membuat isinya terlebih dahulu. Untuk membuat isi harus diingat bahwa pantun
terdiri atas empat baris. Dua baris pertama sampiran, dan dua baris berikutnya
ialah isi. Jadi, soal sampah tersebut dapat disusun dalam dua baris kalimat,
yang setiap baris kalimatnya terdiri atas empat perkataan dan berkisar antara 8
sampai 12 suku kata.
Kemungkinan jika dibuatkan kalimat
biasa, boleh jadi kalimatnya cukup panjang. Misalnya: Di kota yang semakin
ramai dan berkembang ini, ternyata mempunyai masalah lain yang sangat terkait
dengan masalah kesehatan warganya, yaitu sampah yang berserakan di mana-mana dan
seterusnya”.
Pengertian dari kalimat di atas mungkin
bisa lebih panjang, namun hal tersebut dapat diringkas dalam dua baris kalimat
isi sebagai berikut.
Jika sampah dibiarkan berserak,
penyakit diundang, masalah datang.
Di sinilah kelebihan pantun, dapat
meringkas kalimat yang panjang, tanpa harus kehilangan makna atau arti sebuah
kalimat yang ditulis panjang-panjang.
Jika isi pantun sudah didapatkan,
langkah selanjutnya ialah membuat sampirannya. Walau kata kedua dari suku akhir
baris isi pertama dan kedua diberi tanda tebal. Namun jangan hal itu yang
menjadi perhatian, tapi justru yang harus diperhatikan ialah pada suku akhir
dari kata keempat baris pertama dan kedua, yaitu rak dan tang,
sebab yang hendak dicari ialah sajaknya atau persamaan bunyi.
Sebuah pantun yang baik, suku akhir
kata kedua sampiran pertama bersajak dengan suku akhir kata kedua dari isi yang
pertama. Apalagi suku akhir kata keempat dari sampiran pertama seharusnya
bersajak dengan suku akhir kata keempat isi pertama, karena di sinilah nilai persajakan
dalam pantun itu yaitu baris pertama sama dengan baris ketiga dan baris kedua
sama dengan baris keempat. Tetapi kalau dibuat sekaligus, takut terlalu sulit
menyusunnya. Memang tidak sedikit kata-kata yang bersuku akhir pah,
misalnya pelepah, sampah, nipah, tempah, terompah, dan sebagainya.
Begitupun suku kata yang akhirannya dang, misalnya udang, sedang,
ladang, kandang, bidang, tendang, dan sebagainya. Kalaupun sulit untuk
mencari kata yang bersuku akhir pah, masih ada jalan lain yaitu dengan
membuang huruf p nya, dan mengambil ah nya saja. Begitupun dengan dang, buang
huruf d nya, sehingga yang tertinggal hanya ang nya. Akan tetapi
jangan sampai dibuang a nya juga, sehingga hanya tinggal ng nya
saja karena hal tersebut dapat menghilangkan sajaknya. Begitupun untuk
suku akhir dari kata rak dan tang yang menjadi tujuan.
Kata yang bersuku akhir rak dan tang
dalam kosa kata bahasa Indonesia cukup banyak, misalnya untuk kata rak,
yaitu kerak, jarak, marak, serak, gerak, merak, arak, dan sebagainya. Sedangkan untuk kata tang,
yaitu hutang, pantang, batang, petang, lantang, dan sebagainya. Sekarang
baru membuat sampiran pertama dan kedua dengan mencari kalimat yang suku akhir
kata keempatnya adalah rak dan tang.
Misalnya:
Cantik
sungguh si burung merak,
terbang
rendah di waktu petang.
Kemudian antara sampiran dan isi baru disatukan menjadi:
Cantik
sungguh si burung merak,
terbang
rendah di waktu petang.
Jika
sampah dibiarkan berserak,
penyakit diundang, masalah datang.
Jika menginginkan suku akhir kata kedua baris pertama dengan
suku akhir kata kedua dari baris ketiga bersajak juga. Begitupun dengan suku
akhir kata kedua baris kedua dengan suku akhir kata kedua baris keempat
bersajak agar terlihat lebih indah bunyinya, maka sampirannya harus diubah, menjadi:
Daun
nipah jangan diarak,
bawa
ke ladang di waktu petang.
Jika
sampah dibiarkan berserak,
penyakit diundang, masalah datang.
Demikian halnya jika membuat pantun
teka-teki. Misalnya membuat teka-teki tentang parut, salah satu alat dapur yang
berfungsi untuk memarut kelapa guna diambil santannya. Jika diperhatikan dengan
teliti ada keanehan mengenai cara kerja parut, hal inilah yang dapat mengilhami
kepada semua orang untuk membuat teka-teki, yaitu mata parut yang sedemikian
banyak itu, cukup tajam. Daging kelapa yang sudah disediakan, dirapatkan ke
mata parut, lalu digerakkkan dari atas ke bawah sambil ditekan. Dari pergerakan
itu semua, seperti layaknya orang menyapu, dapat dilihat, daging kelapa itu
tertinggal diantara mata parut. Ada terus. Semakin gerakan menyapu dilakukan,
daging kelapa itu semakin banyak dimata-mata parut. Logikanya, orang menyapu
tentu lantai akan menjadi bersih, tetapi sebaliknya sangat berbeda dengan
bidang bangun parut. Semakin disapu, semakin kotor karena banyaknya daging
kelapa yang menyangkut dimata parut. Dari sini dapat dibuatkan inti pantunnya,
yaitu Semakin disapu, semakin kotor.
Tugas selanjutnya ialah membuat
sampiran. Untuk membuat sampiran, boleh membuat yang sederhana, yaitu hanya
untuk mencari persamaan bunyi (bersajak) tanpa mengindahkan makna atau arti
atau keterkaitan dengan isi seolah satu kesatuan kalimat yang saling mendukung.
Jika ingin membuat sampiran yang sederhana, hal yang dilakukan ialah mencari
kosa kata yang bersuku akhir tor atau paling tidak or. Misalnya kantor,
setor, dan motor. Jika sudah mendapatkan kosa kata untuk membuat
akhiran pantun yang sesuai dengan kata kotor, langkah selanjutnya ialah
menentukan letak inti pertanyaannya. Apakah diletakkan dibaris ketiga atau
baris keempat. Jika diletakkan pada baris ketiga, kalimat baris keempat dapat
dibuat sebagai berikut: apakah itu, cobalah terka. Sehingga hasilnya
menjadi:
Semakin disapu, semakin kotor,
Apakah itu,
cobalah terka.
Sekarang barulah mencari sampirannya.
Suku akhir tor atau or dari kata kotor dapat diambil salah
satu saja, misalnya kata kantor, kemudian tinggal mencari suku kata yang
berakhir ka dari kata terka, yang merupakan kata terakhir dari
baris terakhir. Untuk kata yang bersuku akhir ka, dalam kosa kata bahasa
Indonesia cukup banyak, misalnya bingka, ketika, sangka, nangka, dan
luka. Misalnya diambil kata bingka. Sekarang kata kantor dan bingka
baru dijadikan sampiran, menjadi:
pagi-pagi pergi ke kantor,
singgah ke warung beli bingka.
Kemudian antara sampiran dan isi baru
disatukan, hasilnya menjadi:
pagi-pagi pergi ke kantor,
singgah
ke warung beli bingka.
Semakin disapu, semakin kotor,
Apakah itu,
cobalah terka.
Jadilah pantun teka-teki. Dan jawaban
pantun teka-teki itu, tentulah parutan kelapa. Jika inti
pertanyaan diletakkan pada baris keempat, kalimat baris ketiga sebagai berikut:
Jika pandai kenapa bodoh. Sehingga hasilnya menjadi:
Jika pandai kenapa bodoh,
Semakin disapu,
semakin kotor.
Langkah selanjutnya ialah membuat
sampirannya agar lengkap menjadi sebait pantun. Suku akhir kata kantor
yang bersajak dengan kata kotor dapat digunakan lagi, sekarang tinggal
mencari suku akhir doh, yang akan bersajak dengan kata bodoh.
Misalnya kata jodoh sehingga jika dibuatkan sampirannya, menjadi:
Ramai-ramai mencari jodoh,
mencari jodoh
sampai ke kantor.
Langkah terakhir baru disatukan antara
isi dan sampirannya sehingga menjadi:
Ramai-ramai mencari jodoh,
mencari jodoh sampai ke kantor.
Jika pandai kenapa bodoh,
Semakin disapu,
semakin kotor.
Dan jawaban dari pantun teka-teki tersebut tentunya ialah
parutan kelapa.
Jika diperhatikan sampirannya dari
keempat contoh pantun di atas, memang terasa kurang kuat dan terkesan
memaksakan kata-kata hanya untuk mencari persamaan bunyi sehingga kalimat
sampirannya tidak mempunyai keutuhan arti. Tetapi hal ini tidak dianggap salah,
hanya mutunya dianggap kurang.
Namun, jika dilihat dari pantun-pantun
pusaka yang ada, bahwa tidak semua pantun pusaka tersebut dikatakan sempurna
atau tinggi mutunya, terkadang ada yang setiap barisnya tidak terdiri atas
empat perkataan tetapi hanya tiga perkataan atau ada lima perkataan. Selain itu
juga, masih banyak pantun-pantun yang betul-betul hanya mengutamakan persamaan
bunyi, padahal tidak bersajak. Seperti kata lintah dengan cinta pada pantun
berikut ini.
Dari mana datangnya Lintah,
dari sawah turun ke kali
Dari mana datangnya cinta,
dari mata turun
ke hati.
Sepintas lalu terdengar sama-sama
berakhiran ta, tetapi
jika diamati benar barulah terasa bedanya antara bunyi tah dengan ta itu.
Yang satu
terdengar lebih tebal atau kental dan yang satu terasa ringan (Fenny: 2009).
Demikianlah pantun-pantun yang banyak
terlihat, jika dirasakan banyak sekali kekurangannya. Namun, hal itu tidak
menjadi masalah justru menjadi canda gurauan, tidak ada niat untuk mengecilkan hati
apalagi mencemooh. Sesungguhnya jiwa melayu yang terdapat dalam filosofi pantun
tidak suka untuk saling menyakiti apalagi sampai melukai. Begitu indah pantun
bagi kehidupan orang Melayu khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya yang
telah mendarah daging dalam jiwa dan raga.
5) Manfaat Menulis Pantun
Menurut
Abdul hadi (dalam Qomariyah: 2010),
Secara luas menulis pantun dapat dikatakan sebagai sarana “komunikasi” yaitu suatu proses
pengiriman dan penerimaan pesan-pesan yang pasti terjadi sewaktu-waktu bila
seseorang ingin berkenalan, menyampaikan wejangan, dan berhubungan satu sama
lain dengan bahasa yang lebih singkat tanpa kalimat yang terlalu panjang.
Pantun menjadi sarana yang efektif yang
dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Pantun dapat digunakan sebagai
alat komunikasi, untuk menyelipkan nasihat atau wejangan, atau bahkan untuk
melakukan kritik sosial, tanpa mencederai perasaan siapa pun. Mengingat pantun
tidak terikat oleh batas usia, status sosial, agama dan suku bangsa, maka
pantun dapat dihasilkan atau dinikmati semua orang dalam situasi apa pun dan
untuk keperluan yang bermacam-macam sesuai kebutuhan. Bahkan banyak lirik lagu
yang menyisipkan pantun di dalamnya. Maka dari itu, keterampilan menulis pantun
sangat diperlukan agar memudahkan seseorang atau pelajar merangkai kata menjadi
pantun yang sesuai dengan syarat-syarat pantun.
Sadikin (dalam Qomariyah: 2010) menyatakan bahwa pantun sebagai alat
pemelihara bahasa, pantun juga berperan sebagai penjaga fungsi kata dan
kemampuan sebagai alur berpikir. Berdasarkan pernyataan Sadikin tersebut, terampil
menulis pantun dapat menolong kita berpikir secara kritis, dapat memperdalam
daya tanggap atau persepsi kita.
Tradisi berpantun akan menjadi media bagi
seseorang untuk berpikir tentang makna kata sebelum berujar. Orang yang senang
dan terbiasa berpantun akan mampu berpikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa
memiliki kaitan dengan kata yang lain.
Demikian pula dalam pembelajaran di sekolah,
pantun dapat digunakan sebagai sarana untuk mengasah kepedulian siswa terhadap
masalah-masalah sosial yang dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya,
sebagaimana kita ketahui bersama, banyak sekali masalah-masalah sosial,
masalah-masalah bangsa yang membutuhkan pemecahan serius. Untuk itu pemikiran
kaum muda tentu sangat diharapkan.
Dalam
kegiatan apresiasi sastra di sekolah, khususnya pada materi menulis puisi lama,
siswa dapat diajak untuk mengasah kepeduliannya terhadap masalah-masalah bangsa
dengan menuliskannya dalam sebuah pantun. Guru dapat memberikan sedikit
apersepsi dan membatasi tema yang akan dituangkan dalam pantun agar tidak
terlalu luas.
No comments:
Post a Comment