Judul
Skripsi
“Arrghh... pusing!” teriak
Rio sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri tanda frustasi. Aku hanya
menggeleng-geleng kepala melihatnya. “Ada apa, Yo?” tanyaku. Rio kemudian duduk
di lantai sambil menyandarkan kepalanya ke tembok. Aura keceriaan sudah tak
tampak lagi di wajahnya. Yang ada hanya kesukaran, kegalauan, kegundahan, kecemasan, ketakutan,
dan kebimbangan. Semua bercampur aduk hingga membuatnya terlihat seperti orang
yang sedang berada di ambang kematian. Aku yang sedari tadi sibuk mengerjakan
sesuatu dengan sebuah benda ajaib bernama laptop pun memutuskan untuk sejenak
mengalihkan konsentrasiku untuk memfokuskan diri mendengarkan masalah sahabatku
itu.
“Skripsiku, Fad. Mungkin
sampai kapanpun aku tidak akan bisa membuatnya. Bahkan untuk mencari judul saja
sudah membuatku hampir gila...” ucapnya dengan nada putus asa. Aku mengerti
sekarang. Ternyata dia masih belum menemukan judul untuk skripsinya. Padahal
seingatku dia sudah mencari judul sejak tiga minggu yang lalu.
“Jangan putus asa begitu,
Yo. Coba kau berjelajah di perpustakaan kota, mungkin kau bisa menemukan
inspirasi di sana.” ucapku mencoba menyemangatinya. Ya, paling tidak inilah
yang bisa kulakukan. Karena jurusan kami berbeda, aku tidak bisa membantu
apa-apa jika berhubungan dengan masalah pendidikannya. Aku yang sehari-harinya
berkutat dengan angka-angka sangat berbeda dengannya yang berkutat dengan
kata-kata.
“Ya, akan ku coba ke sana.” ucapnya
masih dengan ekspresi yang sama. “Btw, apa yang sedang kau kerjakan?” tanya Rio
sambil memerhatikan layar laptop yang masih dalam keadaan on. “Biasa, menyiapkan
bahan untuk presentasi.” ucapku. Rio menghela nafas, “Kau memang hebat, Fad.
Bagiku matematika adalah persoalan yang sulit, tapi kau bisa mngerjakannya
dengan mudah. Sedangkan aku yang hanya mempelajari bahasa Indonesia sudah
kesulitan hanya untuk menemukan satu judul saja. Bayangkan, Fad. Bukan bahasa
Inggris, Jerman, China, atau Jepang, tapi bahasaku sendiri, bahasa Indonesia!
Aku baru sadar betapa bodohnya diriku.”
“Jangan bicara seperti itu,
Yo. Bagiku bahasa Indonesia sama sulitnya dengan matematika. Bahkan lebih sulit
karena bahasa tidak hanya memerlukan kecerdasan pengetahuan, tetapi juga
kecerdasan beretorika. Kau juga sudah
melalui semuanya sampai tinggal selangkah lagi, yaitu skripsi. Kau harus
berjuang agar semua usahamu sampai saat ini tidak sia-sia. Aku yakin kau bisa
melakukannya!” seruku bersemangat.
“Thanks, Bro.” Rio tersenyum
tipis. Aku menepuk pundaknya untuk setidaknya menyalurkan semangatku agar dia
lebih bersemangat. Hasilnya mujarab, Rio segera mengambil ranselnya dan
berpamitan. Katanya dia akan ke perpustakaan kota. Aku harap dia bisa menemukan
inspirasi untuk judul skripsinya di sana.
***
“Fadli! Fadli!” aku menoleh
melihat orang yang memanggilku tadi. Ternyata dia Vania, teman satu kampusku.
“Ada apa?” tanyaku saat Vania berdiri di dekatku setelah berlari kecil dari
seberang jalan. “Bagaimana tugasmu? Sudah selesai?” ia bertanya. Aku
mengangguk, “Sudah, sejak tiga hari yang lalu. Kalau kau?”
Vania menggeleng pelan,
“Belum. Aku kesulitan mencari bahan. Hmm...maukah kau membantuku?” tanyanya
lagi dengan tatapan penuh harap. Membuatku tidak tega untuk menolaknya.
“Baiklah, aku akan membantumu. Kau sudah ke perpustakaan kota?”
Vania menggeleng lagi,
“Belum. Memangnya di sana banyak bahan tentang tugas ini?” tampaknya dia ragu.
Aku mengangguk pasti. “Baiklah, ayo temani aku ke sana!” serunya bersemangat. Aku
pun mengiyakannya.
Perpustakaan kota yang
terletak di jalan Jendral Sudirman ramai dikunjungi pelajar dan mahasiswa.
Kalau perkiraanku benar, harusnya Rio masih berada di sini. Ini hanya berselang
40 menit sejak tadi dia berpamitan.
“Buku-buku matematika ada di
rak paling belakang.” ucapku saat memerhatikan Vania yang sibuk
celingak-celinguk. Kami pun berjalan menuju rak itu. Aku sesekali memerhatikan
orang-orang yang berdiri di depan rak-rak buku yang kami lewati. Tapi aku tak
juga menemukan sosok Rio. “Apa anak itu sudah pulang, ya?”gumanku. “Hah?Apa?”
tanya Vania. Rupanya ia mendengar ucapanku. “Aku mencari Rio, beberapa menit
yang lalu dia bilang mau ke sini tapi aku tidak melihatnya.” kataku. “Oh, teman
satu kosmu itu? Sepertinya tadi aku melihatnya di jalan Andalas yang kulewati
sebelum menemuimu.” Vania berpikir, “Sepertinya dia masuk ke rumah Anto. Kau
tahu kan? Si Ahli pembuat skripsi aspal itu.”
“Apa?” Aku hampir tidak
percaya mendengar kata-kata Vania. Benarkah Rio menemui Anto? Untuk apa dia
menemui Anto? Jangan-jangan dia ingin memakai skripsi hasil jiplakan dari Anto?
Sebenarnya apa yang ada di pikiran anak itu?
“Vania, aku harus pergi
sekarang. Kau bisa kan’ mencari bahan sendiri?”
“Iya. Trima kasih sudah
menemaniku.” Ucap Vania. Aku hanya tersenyum lalu bergegas pergi. Aku harus
mencegah Rio.
***
Ternyata benar apa kata
Vania. Rio memang berada di rumah Anto.
“Rio!” panggilku setengah
teriak. Rio yang baru saja keluar dari rumah Anto terkejut melihatku.
“Fa..Fadli?” ucapnya terbata-bata membuatku semakin yakin dia telah melakukan
kesalahan.
“Apa yang kau lakukan di
sini?” tanyanya. “Kau sendiri? Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak
bermaksud membuat skripsi jiplakan kan’?” tanyaku to the point. “Te..tentu,
tentu saja tidak!” ucapnya mengelak. Namun sangat jelas kalau dia sedang
berbohong. Rio, yang pandai beretorika itu mengucapkan kalimat sederhana dengan
terbata-bata.
“Kau ini memang tidak bisa
berbohong. Aku tahu kau pasti sudah memesan sebuah skripsi jiplakan pada Anto.
Iya, kan?”
Rio menunduk. “Aku tidak
tahu harus bagaimana lagi, Fad. Otakku buntu. Kau tahu kan’ selama ini aku
hanya menjalani proses perkuliahan seperti air yang mengalir. Aku tidak pernah
bersungguh-sungguh dalam belajar. Akibatnya, sekarang, aku tidak tahu apa-apa.
Tapi aku tidak bisa berhenti di tengah jalan karena aku tahu orang tuaku sangat
menginginkan aku menjadi sarjana dan membuat mereka bangga. Aku terpaksa,
Fadli.”
Rio, tampaknya dia sudah
benar-benar putus asa sampai-sampai iblis berhasil membisikkan ide gila di
pikirannya. Sepertinya aku harus menyeretnya kembali ke jalan yang benar!
“Percuma, Yo. Percuma
mendapatkan gelar dengan cara yang curang, karna pada akhirnya kebenaranlah
yang akan bertahan. Mungkin dengan skripsi jiplakan itu kau bisa meraih gelar
sarjana. Tapi tidak ada yang menjamin kalau dua, empat, lima atau sepuluh tahun
ke depan semua itu tidak akan ketahuan.
Jadi coba kau bayangkan bagaimana perasaan orang tuamu saat tahu anaknya
lulus karena berlaku curang. Apalagi kau itu calon guru, Yo. Bagaimana kalau
murid-muridmu kelak melakukan kecurangan? Kau sudah membahayakan masa depan
bangsa Indonesia.”
Aku berjalan menghampiri Rio,
“Belum terlambat, Yo. Mulai sekarang kau bisa mempelajari bidang studimu
sebaik-baiknya sambil mencari judul yang tepat untuk skripsimu.”
“Kau benar, Fad. Tapi aku
masih tidak yakin bisa melakukannya.”
“Kau pasti bisa. Bukankah
kau baru memasuki tahun kelima? Kau masih mempunyai waktu dua tahun untuk mulai
belajar sebaik-baiknya sebelum membuat skripsi. Lagipula lebih baik menjadi
sarjana yang berkualitas daripada lulus hanya karena dikejar gengsi. Kau pasti
bisa, Yo. Dimana ada niat baik, di situ ada jalan yang lurus.” ucapku sambil
menepuk-nepuk pundak Rio. Rio mengangguk mengerti. Aku lega dia akhirnya
menerima nasehatku.
***
Dua tahun kemudian...
“Arrghh...pusing!” teriak
Rio sambil mengacak-acak rambutnya sendiri tanda frustasi. Aku hanya
menggeleng-geleng kepala melihatnya. “Ada apa lagi, Yo?” tanyaku. Rio duduk di
lantai sambil menyandarkan kepalanya ke tembok. “Besok, acara ramah tamah, Fad.
Tapi aku gak punya kemeja!” ucapnya dengan nada mirip bintang iklan kartu
selular. “Kau ini, masak kemeja pun tidak punya?” Aku beranjak dari dudukku
kemudian mengambil bungkusan plastik yang tersimpan di lemari. “Ini” ucapku
sambil menyerahkan bungkusan itu pada Rio. “Apa ini?” tanyanya sembari membuka
isi bungkusan itu. “Hadiah dariku karena kau sudah lulus dengan IPK tertinggi!”
seruku. Rio tersenyum senang, “Thaks, ya. Bro!” lalu memelukku erat. “Hei,
lepaskan!” teriakku jijik.
“Apa yang kalian lakukan?”
tanya Kak Ilham yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. “Ini tidak seperti yang
kakak bayangkan! Sungguh!” ucapku segera menjelaskan. Kak Ilham hanya
mengangguk mengerti. “Iya, iya. Silakan dilanjutkan!”
“Apanya?!” tanyaku emosi.
Sementara Rio hanya tertawa geli.
***
Don't copas without permission, ok!
No comments:
Post a Comment