Dia seorang
temanku. Namanya Veli. Dia cantik, modis, pintar, dan pandai bergaul. Dia juga
seorang putri keluarga konglomerat yang setiap saat diantar jemput mobil Mercy.
Dia selalu menjadi pusat perhatian karena kecantikan yang dimilikinya. Setiap
pria yang melihatnya akan berhenti sejenak hanya untuk mengagumi dirinya. Tak
ada yang bisa menolak pesonanya.
Namun tidak
dengan Rio. Entah apa yang dipikirkan cowok itu hingga bisa menolak pernyataan
cinta Veli setahun yang lalu. Setahun yang lalu, Veli dengan percaya diri
mengungkapkan perasaan sukanya pada Rio di hadapan mahasiswa yang sedang
nongkrong di parkiran. Tapi Rio menolaknya. Dengan ramah memang. Namun
terdengar seperti petir di telinga Veli. Veli tidak bisa menerimanya.
Selama satu
tahun Veli membuntuti Rio. Ia melangkah kemanapun cowok itu pergi. Entah ke
kelas, restoran, kafe, perpustakaan, toko, pom bensin, sampai pulang ke
rumahnya. Ia pun selalu menyelipkan surat cintanya di tas Rio tanpa diketahui
oleh si empunya. Ia selalu mengintai Rio dan membantai cewek manapun yang
berusaha mendekati Rio. Rio sendiri tahu diri telah dibuntuti. Tapi Rio tak
berbuat apa-apa. Rio membiarkan Veli dengan rutinitasnya itu. Mungkin Rio
senang juga jadi incaran. Tapi kasihan Veli. Ia tidak seperti dulu lagi.
Veli jarang
makan, apalagi ke salon seperti rutinitasnya dulu. Ia pun sudah tak peduli akan
model-model pakaian yang sedang hits. Nilai-nilainya anjlok. Wajahnya selalu
terlihat pucat dan lelah. Ia tak memikirkan apapun selain Rio. Hanya Rio yang
ada di otaknya.
Aku prihatin
juga melihatnya. Aku tak habis pikir alasan seorang Veli menyia-nyiakan
hidupnya hanya untuk seseorang yang bahkan tak melihatnya. Apa sih yang hebat
dari cowok itu? Memang wajahnya tampan. Hanya itu. Padahal banyak cowok yang
jauh lebih tampan yang naksir Veli. Tapi Veli tak bergeming. Matanya hanya
melihat Rio seorang. Hingga saat ini, saat Veli terbaring sakit dengan infus di
tangannya. Ia tetap bersikeras untuk melihat Rio. Akibatnya, perawat di rumah
sakit harus bekerja ekstra untuk menjaganya.
“Ambil ini,
Ta, lo harus ambil gambar Rio. Gue mau lihat dia. Lo tahu kan’ gue gak akan
bisa tahan kalo enggak liat dia sehari aja. Gue mohon, Ta. Plis bantu gue. Gue
bakal kasih apa aja yang lo mau. Gue bisa bayar lo berapapun yang lo mau. Plis
bantu gue,” Veli menatapku dengan mata yang berkaca-kaca sambil menyerahkan
sebuah kamera profesional. Aku terdiam melihatnya. Berat rasanya menyanggupi
permintaan Veli itu. Aku sudah berulang kali menyarankannya untuk menyerah.
Sudah tak terhitung lagi. Jadi aku tahu apapun yang kukatakan tidak akan
diterima oleh Veli. “Plis...Ta...” kata Veli lagi. Aku pun mengangguk
menyanggupinya.
Hari ini hari
pertama aku menggantikan rutinitas Veli membuntuti Rio. Rio sedang bekerja di
kafe. Dia karyawan di sana. Aku pun berpikir untuk memotretnya dari seberang
jalan. Tapi wajahnya tak terlihat jelas. Tertutup oleh pelanggan. Apa yang
harus kulakukan? Bagaimana Veli bisa melakukannya? Apa mungkin dia berpura-pura
menjadi pelanggan di sana? Ya, mungkin saja. Mungkin sebaiknya aku masuk ke
kafe itu dan memotret Rio dengan jelas.
Jepret!
Satu foto
berhasil kupotret. Tak lama kemudian seorang pelayan menghampiriku sambil
membawa secangkir cappucino pesananku. “Oh, rupanya Anda juga penggemar Rio
ya?” tanyanya dengan tawa yang ditahan. Aku menggeleng cepat. Aku penggemar
orang yang tidak berperasaan itu? Tidak mungkin!
“Trima kasih,”
ucapku singkat. Pelayan itu pun pergi. Aku melihat Rio lagi. Dia sedang
melayani seorang pria gemuk yang ingin membayar. Tak lama kemudian dia berbisik
dengan seorang temannya. Jepret! Foto kedua. Aku tak tahu berapa banyak foto
yang harus kuambil untuk menghibur Veli. Tapi aku pernah melihat ‘koleksi’ foto
milik Veli. Ia menyediakan sebuah kamar khusus untuk memajang foto Rio. Kamar
yang dipenuhi wajah Rio. Aku pernah bertanya berapa kali ia memotret Rio dalam
sehari. Tapi ia pun tak tahu. Ia hanya bilang kalau tangannya tak pernah
berhenti memotret Rio sampai jari-jarinya merah. Kalau mengingat hal itu, aku
sendiri bingung kenapa aku menyanggupi untuk melakukan hal itu. Apalagi kalau
orang itu Rio. Aku membencinya.
“Apa yang kau
lakukan di sini?” aku terkejut. Entah bagaimana Rio sudah duduk di depanku
dan...bicara padaku? Segera aku memotret Rio. Jepret! Jepret! Jepret! Aku sudah
tertangkap basah. Aku tak mengerti kenapa Veli bisa melakukan hal ini sampai
satu tahun. Aku tak peduli dengan mata orang-orang yang menatapku saat aku
melangkah meninggalkan kafe itu. Yang paling penting ‘tugas’ku sudah selesai.
Meski harus menanggung malu seperti ini.
“Sinta!”
seseorang menahan lenganku. Aku menoleh. Dia Rio? “Apa kau bisa pergi begitu
saja setelah memotret orang seenaknya?” tanyanya tak terima. Aku melihatnya
heran. “Bukankah selama ini kau sudah sering menjadi objek foto? Kukira kau
tidak peduli. Kau tidak peduli pada orang yang ingin memotretmu. Kau membiarkan
mereka begitu saja. Jadi kenapa saat ini kau keberatan?!” tanyaku emosi. “Semua
itu berbeda,” jawabnya. Aku semakin tidak mengerti. “Apa bedanya? Kau sendiri
senang kan’ menjadi incaran?! Dasar orang yang tidak berperasaan! Kau membuat
temanku sakit karenamu, bodoh!”
“Tentu
berbeda. Karena yang memotret adalah orang yang berbeda. Karena kamu,” katanya
mengejutkanku. “Dasar orang gila!” aku mencoba pergi. Tapi Rio masih
mencengkram lenganku erat. “Gue suka sama kamu, Sinta. Sejak dulu. Jadi tidak
mungkin gue terima Veli kalau di hati gue cuma ada kamu, Ta.”
“Tidak!” aku
berusaha lepas dari Rio dan berlari sekuat tenaga. Aku bisa merasakan seseorang
mengejarku di belakang. Tapi aku tidak bisa berhenti. Aku tidak bisa menerima
ini. Rio menyukaiku? Tidak! Itu tidak mungkin. Kalau itu benar, berarti akulah
yang telah membuat Veli menderita. Akulah orang yang tidak berperasaan itu.
Tidak! Ini tidak mungkin terjadi! Tak pernah terlintas di benakku untuk
menyakiti Veli. Menyakiti gadis yang kucintai selama ini. Tidak!
Brukkkkkkk!
“Sinta!!!”
Pandanganku
mulai gelap. Aku tak bisa bergerak. Orang-orang mulai mengemuniku. “Sinta!” Rio
mengangkat tubuhku. Tapi aku tidak bisa menahan mataku untuk tidak tertutup.
Veli... Maafkan aku.
****
Aku tak
mengerti akan apa yang telah terjadi. Sinta. Dia meninggal. Kenapa bisa? Apa
karena aku? Aku yang menyuruhnya untuk memotret Rio. Kalau saja aku tidak
menyuruhnya, mungkin Sinta masih ada di sini. Menemaniku. Maafkan aku, Sinta...
“Veli, apa ini
milikmu?” Rio memperlihatkan sebuah kamera hitam. Aku mengangguk pelan. “Tidak
ada foto. Klisenya kosong. Mungkin Sinta menyimpannya,” kata Rio berlalu pergi.
Aku termenung. Kosong? Aku memberi Sinta kemera ini lengkap dengan klise. “Bi,
aku apa boleh ke kamar Sinta,” tanyaku pada bibi penjaga rumah. Bibi
mengangguk. Aku pun menaiki tangga menuju kamar Sinta. Aku membuka pintunya dan
terkejut melihat isi kamar itu. Kamar itu dipenuhi foto-foto. Setelah mendekat,
aku yakin itu fotoku. Itu fotoku. Jadi, Sinta....
****
No comments:
Post a Comment