Aku telah berbuat kesalahan.
Kesalahan dalam menentukan pilihan. Namun, aku tak dapat memutar waktu dan
mengubah pilihan itu. Aku telah salah. Dan kini aku harus menanggung
kesalahanku itu....
“Hei, Arlin! Apa kabar?”
seseorang menepuk pundak Arlin pelan. Arlin berbalik dan tersenyum mengetahui
siapa yang menyapanya. “Riska?” tanya Arlin meyakinkan. Ia memang mengenal
wajah itu, tapi tidak dengan penampilan seperti ini. “Ya, of course. Memangnya
kau tidak mengenaliku?” tanya Riska. Arlin menggeleng pelan. “Aku tahu, hanya
saja kau sedikit berubah”, kata Arlin seraya memperhatikan penampilan Riska
dengan lebih seksama. Penampilan Riska memang tampak lebih mencolok dari
dahulu. Rambut cokelat pirang yang sedikit bergelombang, mata yang dihias kontak
lens biru laut, serta gaya pakaian yang sedikit terbuka, membuat Arlin sempat
ragu kalau orang itu adalah temannya. “Tapi tetap aku tetap cantik kan?” kata
Riska. Arlin mengangguk pelan, “Ya, kau cantik.” Riska tertawa kecil lalu
mengajak Arlin untuk mengobrol di kafe terdekat.
“Sedang sibuk apa sekarang?”
tanya Riska setelah mereka duduk di kursi kafe dekat jendela. Seorang pelayan
datang mencatat pesanan mereka. Dua cangkir cappucino dan dua potong chesee
cake. “Aku masih sibuk mengejar gelar doktor, sekarang sedang menyusun. Doakan
ya semoga semuanya berjalan lancar.”, jawab Arlin. Riska memandang temannya itu
kagum. “Kau hebat! Masih mau belajar. Aku sendiri masih beruntung bisa meraih
gelar sarjanaku. Itupun berkat bantuanmu.” kata Riska. Arlin tersenyum, “Kau
sendiri sedang sibuk apa sekarang?” tanya Arlin balik. Pesanan mereka datang.
Setelah mengucapkan terima kasih, mereka
melanjutkan pembicaraan. “Sibuk jadi ibu rumah tangga. Aku kan’ sudah
punya dua anak sekarang”, kata Riska. “Oh iya, maaf aku tidak datang ke acara
pernikahanmu dulu. Waktu itu aku sedang berada di Jerman” ucap Arlin. “It’s okey.
Aku tahu kau sibuk. Bagaimana kabar suamimu?” Deg! Pertanyaan Riska seakan
menusuk jantung Arlin. Pertanyaan yang paling ia hindari. Pertanyaan paling tidak
ia suka. Tetapi orang-orang terus saja menanyakan pertanyaan yang sama saat
bertemu dengannya. Karena pertanyaan sederhana itu cukup kuat untuk mengorek
kembali lukanya.
Arlin meyeruput cappucinonya.
“Aku sudah berpisah” ucapnya kemudian. Riska terkejut mendengarnya. “Maaf, aku
tidak tahu. Kenapa bisa?” tanya Riska lagi. Ia tidak menyangka Arlin akan
berpisah secepat itu. Padahal ia menikah lebih dulu daripada Arlin. Arlin
menyeruput cappucinonya lagi. Pahit. Itulah yang dirasakannya saat ini. Arlin tidak
bisa mengatakan alasannya. Bukan, ia bukan tidak bisa tapi ia tidak mau.
Memberikan alasan perpisahan itu sama saja dengan memaksanya kembali ke masa
itu. Kembali merasakan kesakitan itu dan kepedihan yang menyelimutinya.
“Tidak ada kecocokan. Lagipula
kejadiannya sudah lama. Aku tidak ingin mengungkitnya lagi”, ucap Arlin sambil
tersenyum kecut. Riska mengangguk mengerti. Arlin memandang jam tangannya,
sudah menunjukkan pukul 21.36. “Sudah malam. Kapan-kapan kita bisa bertemu
lagi. Aku harus pulang.” kata Arlin. “Tentu. Berapa nomormu sekarang?”, tanya
Riska. Arlin membuka tes kecilnya lalu memberikan selembar kartu namanya pada
Riska. “Kau bisa menghubungiku kapan saja. Sampai jumpa.” kata Arlin sambil
berlalu. “Iya, bye-bye.” Riska melambaikan tangannya ke arah Arlin yang telah
berada di belakang kemudi mobil dan melaju pergi.
“Hebat!” Arlin masih
mengingat pujian Riska. “Hebat? Kurasa kau salah. Justru kaulah yang hebat.
Hidupmu sempurna, Riska. Kau bertemu seorang pria yang baik dan memiliki anak. Kau
hebat!” guman Arlin. Matanya mulai kabur oleh butir-butir air yang menetes satu
per satu ke pipinya. Ia tak tahu mengapa ia menangis. Ia hanya iri. Ia iri pada
Riska.
Tiba-tiba seseorang melintas di
depannya. Arlin mengijak rem refleks. Tetapi ia terlambat. Badan mobilnya telah
menabrak seseorang. Arlin gemetar. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan saat
ini. Jalanan memang sedang sepi. Tak ada seorangpun yang melihat kejadian itu.
Lalu bagaimana keadaan orang yang ia tabrak itu? Arlin ingin keluar dari
mobilnya dan melihat orang itu. Tapi ia takut menghadapi segala kemungkinan.
Bagaimana kalau orang itu terluka parah? Atau bagaimana kalau orang itu sudah
mati? Arlin semakin ketakutan. Ia tetap duduk mematung di balik kemudi
mobilnya.
Seseorang bangkit. Arlin dapat
melihatnya. Seorang pria yang sebagian wajahnya tertutup darah yang masih
menetes. Pria itu mencoba melihat ke dalam mobil meski matanya disilaukan oleh
cahaya lampu mobil yang telah menabraknya. Arlin semakin ketakutan. Pria itu
menghampiri Arlin. Lalu mengetuk kaca mobil Arlin pelan. Arlin tak berani
memandang wajah pria itu. Namun, Arlin menurunkan sedikit kaca mobilnya.
Dipandangnya pria itu dengan sangat ketakutan. “Ma...”.
“Maaf.” kata pria itu mendahului
Arlin. Arlin setengah terkejut mendengarnya. Atau mungkin ia yang salah
mendengar? “Aku yang salah. Tidak melihat mobilmu melintas dan menyebrang
begitu saja. Maaf”, kata pria itu pelan
lalu beranjak pergi. Arlin terpaku dalam kebingungan. Tapi ia segera keluar
dari mobilnya dan menahan pria itu. “Kita ke rumah sakit”, ucapnya kemudian.
Pria itu keluar dari unit gawat
darurat dengan perban di kepalanya. Lukanya sudah dibersihkan. Sehingga Arlin
baru bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ternyata pria itu masih sangat muda.
Mungkin beda sepuluh tahun dari Arlin. “Kau masih di sini?” tanya pemuda itu.
Arlin heran melihat sikap pemuda itu. Sudah jelas Arlin lebih tua darinya, tapi
nada bicaranya sangat tidak sopan. Arlin menahan nalurinya sebagai pengajar
untuk menceramahi anak muda itu. Ia sadar ini bukan saat yang tepat.
“Bagaimana keadaanmu? Apa kau
bisa pulang sendiri? Atau bagaimana kalau aku mengantarmu pulang, dik?” tanya
Arlin dengan sedikit menekankan pada kata Dik agar pemuda itu tahu ia
lebih tua darinya. “Dik? Namaku bukan Dik, tapi Raditya. Kau bisa memanggilku
Radit,” kata pemuda bernama Radit itu. Arlin sedikit kesal juga dibuatnya.
“Sepertinya kau baik-baik saja. Kau pasti bisa pulang sendiri. Soal kecelakaan
tadi, itu juga salahku. Aku minta maaf,” kata Arlin lalu beranjak pergi. Radit
hanya diam saja. Namun ia tak dapat menahan bibirnya untuk tidak tersenyum.
No comments:
Post a Comment