Sunday, 24 August 2014

Evaluasi BIPA (Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing)

EVALUASI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

BAGI PENUTUR ASING

Prosiding
Semiloka Nasional Pengujian Bahasa Pusat Bahasa, Kemendiknas, 2010
Liliana Muliastuti, M.Pd. *)



PENGANTAR

Belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing pada kebanyakan orang asing
dapat dikategorikan sebagai belajar bahasa kedua. Para siswa asing tersebut sudah
memiliki bahasa pertama (bahasa ibu) sebelum mereka belajar bahasa Indoneia.
Dengan kondisi demikian, tentu saja pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur
asing (BIPA)menjadi berbeda dibandingkan dengan pengajaran bahasa Indonesia
sebagai bahasa pertama (B1). Pengajaran BIPA lebih kompleks dan rumit karena
siswa asing tersebut berasal dari berbagai negara. Pengajar BIPA harus memiliki
kompetensi berbahasa Indonesia dan kompetensi sebagai pengajar bahasa
Indonesia. Tanpa kompetensi tersebut, pengajar akan banyak menemui kendala. Dengan kompetensi sebagai pengajar BIPA, para pengajar tentunya juga
harus memiliki kemampuan dalam menyusun evaluasi BIPA. Berkaitan dengan
evaluasi pembelajaran BIPA, permasalahan yang sering dihadapi oleh pengajar,
antara lain: bentuk, jenis dan kualifikasi alat ukur yang digunakan. Untuk program
BIPA, para penyelenggara sudah harus menyiapkan tes yang valid sejak
penyelenggara mulai menerima peserta program. Melalui tes tersebut,
penyelenggara mengharapkan dapat mengklasifikasikan siswa pada kelas yang
tepat. Penyelenggaraan pengajaran BIPA biasanya mengklasifikasikan peserta atas
kelas dasar, menengah, dan mahir.

Setiap kegiatan pembelajaran memerlukan acuan untuk memantau
keberhasilannya. Dalam ilmu pendidikan kegiatan tersebut disebut dengan istilah
evaluasi. Kegiatan evaluasi merupakan proses sistematis yang terdapat dalam dunia
pendidikan dan pengajaran, termasuk pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa
asing (selanjutnya disingkat BIPA). Widodo (1995:6) dalam Imron Rosidi
mengatakan bahwa pengajaran BIPA seringkali dihadapkan pada permasalahan
evaluasi pembelajaran, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil. Dalam evaluasi
proses pembelajaran, banyak hal yang berpengaruh terhadap kelangsungan proses
belajar mengajar. Berkaitan dengan evaluasi hasil pembelajaran, permasalahan
yang sering dihadapi oleh pengajar, antara lain: bentuk, jenis dan kualifikasi alat
ukur yang digunakan. Kondisi seperti ini akan selalu dialami pengajar ketika
melaksanakan tes penentuan level, baik untuk kepentingan placement tes, pre tes,
maupun tes akhir program (Imron Rosidi, 2009).


Berikut ini adalah hakikat evaluasi yang dikemukakan Imron Rosidi dalam
makalahnya “Prosedur dan Teknik Evaluasi Pembelajaran Bahasa Indonesia sebagai
Bahasa Asing”. Evaluasi dalam pengertian luas dapat diartikan sebagai suatu proses
merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi atau data yang
diperlukan sebagai dasar untuk membuat alternatif keputusan. Dengan demikian,
setiap kegiatan evaluasi atau penilaian merupakan suatu proses yang sengaja
direncanakan untuk memperoleh informasi atau data (Purwanto, 1992). Informasi
atau data yang dikumpulkan haruslah mendukung tujuan evaluasi yang
direncanakan.

Dalam hubungannya dengan kegiatan pembelajaran, Gronlund (1976)
merumuskan pengertian evaluasi sebagai suatu proses sistematis untuk menentukan
atau membuat keputusan tentang ketercapaian tujuan pengajaran. Wrighstone
(dalam Purwanto, 1992) mengemukakan bahwa evaluasi ialah penafsiran terhadap
pertumbuhan dan kemajuan siswa ke arah tujuan-tujuan atau nilai-nilai yang telah
ditetapkan dalam kurikulum.

Mengenai hubungan antara evaluasi dengan pengajaran, disebutkan oleh
Parnel (Purwanto, 1984) bahwa pengukuran merupakan langkah awal pengajaran.
Tanpa pengukuran tidak akan terjadi penilaian. Tanpa penilaian tidak akan terjadi
umpan balik. Tanpa umpan balik tidak akan diperoleh pengetahuan yang baik
tentang hasil. Tanpa pengetahuan tentang hasil tidak dapat terjadi perbaikan yang
sistematis dalam belajar.

Melalui evaluasi, seorang pengajar dapat (1) mengetahui apakah pebelajar
mampu menguasai materi yang telah diajarkan, (2) apakah mereka bersikap
sebagaimana yang diharapkan, (3) apakah mereka telah memiliki keterampilan
berbahasa, (4) mengetahui keberhasilan proses belajar mengajar yang telah
dilaksanakan, dan (5) menentukan kebijakan selanjutnya.

Tujuan pengajaran BIPA sebagaimana tujuan pengajaran lainnya meliputi
ranah pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Oleh sebab itu, model evaluasi yang
diterapkan dalam BIPA juga harus mengacu pada ketiga ranah tersebut. Bila tidak
demikian, pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dari pebelajar
tidak dapat diketahui dengan pasti. Padahal, kepastian hasil evaluasi inilah yang
dijadikan titik tolak untuk menentukan kebijakan selanjutnya.

Bentuk alat ukur evaluasi dapat berupa tes dan nontes. Bentuk alat ukur
yang berupa tes dapat digunakan untuk menguji kompetensi (1) struktur dan
ekspresi tulis, (2) kosakata dan membaca, serta (3) menyimak. Nontes digunakan
untuk menguji kompetensi (1) berbicara dan (2) menulis dengan bentuk penugasan.
Melalui pengamatan, pengukuran kompetensi berbicara dan menulis dilakukan.
Untuk melakukan penskoran digunakan lembar pengamatan yang dilengkapi skala
berjenjang.

Semua bentuk evaluasi tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi
keberhasilan pembelajaran BIPA.




JENIS DAN TUJUAN TES DALAM PEMBELAJARAN BIPA

Tes adalah alat, prosedur evaluasi yang bertujuan untuk mengetahui
tingkat kemampuan testee dengan menggunakan pertanyaan atau tugas yang harus
dijawab atau dikerjakan. Berdasarkan tujuannya, tes dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis, misalnya: tes seleksi, tes masuk, tes penempatan, tes diagnostik,
tes keberhasilan, tes perkembangan, tes hasil prestasi belajar, dan tes penguasaan.

Dalam hal tes bahasa, dapat pula diklasifikasikan tes berdasarkan empat
keterampilan berbahasa: tes menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Klasifikasi tes pun dapat dilakukan berdasarkan aspeknya; tes kebahasaan dan tes
keterampilan berbahasa.

Tes bahasa sangat penting dalam pembelajaran bahasa karena tes dapat
memonitor keberhasilan, baik pembelajar maupun pebelajar dalam mencapai
tujuannya. Bagi siswa, tes dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar hasil
yang telah dicapai, yaitu kemampuan yang telah diperoleh, sedangkan bagi
pengajar, tes dapat digunakan untuk mengetahui keefektivan pendekatan, metode,
teknik, serta fasilitas yang digunakan dalam proses pembelajaaran.

Tidak terlepas dari kepentingan tes dalam belajar-mengajar bahasa,
menurut Harris (1967:2-4) tes bahasa mempunyai enam tujuan yang berhubungan
dan tidak saling mengecualikan, yaitu: (1) untuk menentukan kesiapan siswa
menerima suatu program pelajaran, (2) untuk mengelompokkan atau menempatkan
siswa pada kelas yang tepat, (3) untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan khusus
individu yang dites, (4) untuk mengukur bakat belajar, (5) untuk mengukur luas
pencapaian tujuan belajar pada siswa, dan (6) untuk menilai keefektivan
pengajaran.

Sudah disebutkan di atas bahwa tes dalam pengajaran BIPA juga dapat
dikelompokkan atas tes kebahasaan dan tes keterampilan berbahasa. Bidang
kebahasaan terdiri dari sub-bidang ucapan/ejaan, kosakata, dan struktur. Bidang
kecakapan berbahasa meliputi : mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Pemisahan tersebut dalam praktiknya tidak mutlak sebab di dalam keempat
kecakapan berbahasa itu diterapkan ucapan, kosakata, dan struktur.

Berikut ini akan dibicarakan masing-masing sub-bidang tes bahasa yang dapat
diterapkan dalam pengajaran BIPA.

1) Evaluasi Kebahasaan


Berikut ini adalah tes yang digunakan sebagai alat evaluasi untuk ranah
kebahasaan:

Tes Ucapan dan Ejaan

Tes ucapan adalah tes untuk menilai kecepatan dan ketepatan
mengucapkan bunyi-bunyi bahasa dan mengidentifikasi bunyi-bunyi yang didengar
atau diperdengarkan. Tes ejaan adalah tes yang digunakan untuk menilai ketepatan
menuliskannya. Pengembangan alat tes untuk menilai pengucapan masih menjadi


wacana diskusi dengan beberapa alasan. Pertama, tekanan bunyi dalam bahasa
Indonesia tidak membedakan arti; kedua, belum ada ucapan baku dan banyaknya
variasi ucapan dalam bahasa Indonesia juga tidak membedakan arti; ketiga, tes
ucapan produktif harus dilaksanakan secara individual yang tentu akan makan
banyak waktu dan tenaga (Y. Karmin, 2000).

Untuk siswa BIPA, tes ucapan dan ejaan merupakan bagian tes penting
mengingat tanpa penguasaan dua hal tersebut komunikasi akan terhambat. Kendala
yang dialami para siswa BIPA pada kedua aspek ini biasanya adalah kebiasaan
dalam B1 yang akan terbawa ke dalam bahasa Indonesia yang sering kita sebut
dengan istilah interferensi. Namun demikian, pengajar BIPA hendaknya tetap
melakukan tes tersebut untuk dapat mengetahui kompetensi siswa dalam ucapan
dan ejaan.



Tes Kosakata

Tes kosakata bertujuan untuk mengukur pengetahuan dan produksi kata-
kata yang digunakan dalam berbicara dan menulis. Menurut Harris (1969:48) yang
mula-mula harus diterapkan adalah apakah kosakata yang akan diteskan itu
kosakata aktif atau kosakata pasif, yaitu kata-kata yang akan digunakan dalam
berbicara dan menulis atau yang akan digunakan khusus untuk memahami bacaan.
Meskipun kamus dapat digunakan dalam memilih kata-kata yang akan diteskan,
pada umumnya digunakan daftar kata yang dibuat berdasarkan frekuensi
pemakaiannya secara nyata.

Pengetahuan tentang kosakata merupakan hal yang sangat penting untuk
mengembangkan dan menunjukkan keterampilan berbahasa: mendengarkan,
berbicara, membaca dan menulis. Namun, hal itu tidak selamanya berarti bahwa
kosa kata harus diteskan secara terpisah (Hughes, 1989:146). Tes kosakata dapat
dilakukan tersendiri, dapat juga dilakukan secara terpadu dengan keempat
keterampilan itu. Dalam hal ini perlu diperhatikan perbedaan antara kemampuan
produktif (berbicara dan menulis) dan kemampuan reseptif (mendengarkan dan
membaca).

Tes kosakata umumnya menggunakan soal bentuk objektif pilihan ganda,
melibatkan sinonim, definisi atau parafrase, isian dan gambar. Dalam menyusun tes
kosakata Harris (1969:54-57) menyarankan hal-hal berikut ini:

1. tes dalam bentuk definisi dengan menggunakan kata-kata sederhana yang
mudah dipahami.
2. semua alternatif jawaban tes memiliki tingkat kesukaran yang lebih kurang
sama.
3. jika memungkinkan, semua pilihan berhubungan dengan bidang atau kegiatan
yang sama.
4. panjang pilihan jawaban lebih kurang sama.
5. butir soal harus bebas dari kesalahan ejaan.





Dalam pengajaran BIPA, tes kosakata tentu harus disesuaikan dengan tema-
tema yang telah dikuasai siswa. Setiap kosakata terkait dengan tema-tema
tertentu. Tes kosakata yang tidak relevan dengan tema yang telah dikuasai siswa
akan menimbulkan frustasi pada siswa. Jika siswa telah menguasai tema hukum,
maka kosakata yang terkait dengan bidang hukum dapat diujikan. Namun, untuk
siswa BIPA tingkat dasar yang tentunya masih berhubungan dengan tema-tema yang
dekat dengan kehidupannya (tema konkret) akan sulit mengerjakan tes kosakata
tersebut.



Tes Struktur (Tata Bahasa)

Dalam ilmu bahasa disepakati secara umum bahwa tata bahasa meliputi dua
cabang: morfologi dan sintaksis. Namun, dalam buku-buku tata bahasa Indonesia
(tradisional) dibicarakan juga bidang fonologi. Hal itu terjadi karena dalam hirarki
unsur bahasa, fonem merupakan salah satu unsur. Fonem merupakan unsur
terkecil mendasari pembentukan unsur di atasnya walaupun fonem belum
mengandung arti.

Karena fonem belum mengandung arti, dengan demikian tes fonologi tidak
lepas dari kata. Selanjutnya, bentuk kata menjadi mantap dan sempurna setelah
dipakai di dalam struktur sintaksis. Tes morfologi dapat diberikan dalam satuan
sintaksis (kelompok kata, klausa, atau kalimat). Dengan demikian, tes struktur
terdiri atas fonologi, morfologi, dan sintaksis.

Sesuai dengan ruang lingkup tata bahasa, isi tes akan mencakup pemakaian
bunyi, pembentukan dan pemakaian kata, kelompok kata, klausa, dan kalimat.
Masing-masing dengan porsinya yang memadai. Adapun butir-butir soal tesnya
dapat berbentuk:

a. melengkapi kalimat (sederhana),
b. melengkapi kalimat (pilihan ganda), dan
c. tes rumpang (cloze test) (Y. Karmin, 2000).
 
Tes tatabahasa sebaiknya tidak dilaksanakan tersendiri, tetapi terintegrasi
dalam konteksnya. Contoh dalam pelaksanaan tes di atas misalnya, sebelum siswa
diminta untuk melengkapi kalimat harus terlebih dahulu ada wacana yang dibaca
atau disimak siswa. Selanjutnya, dengan konteks wacana tadi, tes diberikan.
Dengan demikian, tes tersebut dapat terintegrasi pula dengan tes keterampilan
berbahasa lainnya.

Bagi siswa BIPA, keterkaitan konteks dengan tes akan memudahkan siswa
berpikir untuk memilih kosakata atau kalimat yang tepat. Tanpa hal tersebut, siswa
akan sangat sulit mengerjakan tes tersebut. Di samping itu, terintegrasinya tes
bahasa dengan keterampilan berbahasa akan sangat membantu siswa dalam
berkomunikasi lisan maupun tulisan, mengingat tujuan siswa BIPA adalah belajar
berbahasa bukan bertatabahasa.

2) Evaluasi Keberbahasaan

Berikut ini adalah uraian untuk jenis-jenis tes yang digunakan dalam
evaluasi keberbahasaan:



Tes Menyimak/ Mendengarkan

Menyimak merupakan keterampilan berbahasa yang pertama kali dikuasai
anak sebelum menguasaai keterampilan berbicara, membaca, dan menulis.
Keterampilan menyimak pada hakikatnya lebih bersifat kognitif dengan aspek yang
lebih tinggi. Kemampuan ini mencakup menerima, menganalisis, memahami, dan
menyimpulkan informasi lisan yang disampaikan dalam bahasa target.
Teknik evaluasi yang dapat dilakukan dipaparkan berikut.

a) Menyebutkan/menuliskan kembali suatu informasi sederhana (fonem, nama
sesuatu, jumlah, keadaan sesuatu, peristiwa, dan lain-lain).
b) Menyebutkan/menuliskan kembali deskripsi atau uraian suatu peristiwa,
benda, keadaan, sebab akibat, dan lain-lain.
c) Menyebutkan/menuliskan kembali suatu hal (kelahiran, pengalaman kawan-
kawan, dan lain-lain).
d) Menyebutkan/menuliskan kembali suatu cerita.
Menyimpulkan suatu percakapan.
e) Menjawab suat pertanyaan dari suatu soal (objektif, esai berstuktural, atau esai
bebas).
f) Menyimpulkan tema dan unsur-unsur lainnya dari sebuah cerita.
g) Memperbaiki ucapan-ucapan yang salah yang tidak sesuai dengan bahasa target
(Imron Rosidi.blogspot.com.,1 Oktober 2009).




Dalam tulisan ini yang dimaksud tes mendengarkan adalah tes yang tidak
hanya untuk mengetahui apakah seseorang mendengar atau tidak, tetapi untuk
mengukur kemampuan seseorang memahami bahasa lisan yang didengarnya.

Materi dalam tes ini dapat berupa satu kalimat perintah, pertanyaan, atau
pernyataan tentang fakta; dapat juga berupa simulasi percakapan singkat atau
uraian wacana ekspositori. Melalui tes ini, peserta tes diharapkan dapat merespons
“sinyal” fonologi, gramatikal, dan leksikal secara serentak. Jawaban mereka akan
menunjukkan sejauhmana mereka dapat memahami makna dari unsur yang
disinyalkan bila digunakan dalam komunikasi verbal (Harris, 1969:35) dalam Y.
Karmin, 2000.

Pada umumnya, tes menyimak selalu dilakukan dengan media audio atau
audiovisual. Yang harus diingat oleh para pengajar BIPA adalah pembicara yang
terekam pada media tersebut harus jelas baik suara, lafal, dan intonasinya.
Rekaman yang buruk akan menyebabkan hasil tes tidak valid. Sebelum tes,
pengajar harus terlebih dahulu menyiapkan perangkat tes dengan baik sehingga tes
dapat berjalan lancar.






Tes Berbicara

Keterampilan berbicara sangat komplek karena tidak hanya menuntut
pemahaman terhadap masalah yang akan diinformasikan, tetapi juga menuntut
kemampuan menggunakan perangkat kebahasaan dan nonkebahasaan. Evaluasi
keterampilan berbicara dilaksanakan untuk mengetahui kemampuan pebelajar
dalam menggunakan bahasa target secara lisan untuk menyampaikan pikiran,
perasaan, dan keberadaannya.

Teknik evaluasi yang dapat digunakan dipaparkan berikut.

a) Mengucapkan huruf, nama, keadaan dalam bahasa target.
b) Menceritakan kembali dialog, cerita, peristiwa yang didengar atau yang dibaca.
c) Menceritakan gambar.
d) Melakukan wawancara.
e) Menyampaikan pengalaman, peristiwa, ilmu pengetahuan seecara lisan.
f) Menjawab pertanyaan sederhana dan komplek.
h) Bermain peran (Imron Rosidi,blogspot.com.,1 Oktober 2009).




Baik Harris (1969), Halim (1982), maupun Madsen (1983) menyatakan
bahwa tes berbicara umumnya dianggap sebagai tes yang paling sukar
dilaksanakan. Salah satu sebabnya adalah bahwa hakikat keterampilan berbicara
itu sendiri sukar didefinisikan. Kemampuan berbicara merupakan keterampilan
yang rumit karena melibatkan empat atau lima unsur:

1. ucapan,
2. tata bahasa
3. kosakata
4. kefasihan, dan
5. pemahaman.




Tes berbicara dapat dilakukan dengan berbagai cara di antaranya : tes
jawaban terbatas, teknik terbimbing, dan wawancara (Madsen, 1983 :12). Tentu
saja semua itu dilaksanakan secara lisan dan individual. Namun, menurut Amran
Halim (Halim, 1974 :136) dan Harris dapat juga tes berbicara dilaksanakan secara
tertulis dengan bentuk objektif yang dapat menunjukkan bukti-bukti tidak langsung
mengenai kemampuan berbicara seseorang.



Tes Membaca

Evaluasi keterampilan membaca dimaksudkan untuk mengetahui
kemampuan pebelajar (1) memahami informasi, (2) menerima, mengklafikasi,
menganalisis, dan menyimpulkan informasi, (3) ketepatan lafal dan intonasi ketika
membaca dalam bahasa target.

Teknik evaluasi yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan
membaca dipaparkan berikut.

a) Membaca dengan lafal dan intonasi yang tepat.
b) Menjawab pertanyaan-pertanyaan.



c) Menyimpulkan tema dan unsur-unsur lainnya dari cerita yang dibaca.
d) Mengindentifikasi, mengklasifiksi, dan menyimpulkan bahan bacaan.
e) Menentukan kata sulit, umum, dan khusus, homonim, homofon, hiponim,
sinonim, dan antonim.
f) Melengkapi bagian-bagian tertentu dari bacaan yang sengaja dihilangkan (teknik
klose).
i) Menyusun kembali rangkaian informasi yang kurang tepat dari suatu bacaan
dalam bahasa target (Imron Rosidi, blogspot.com.,1 Oktober 2009).




Kegiatan membaca ada bermacam-macam, di antaranya membaca cepat,
membaca sekilas, membaca keras, dan membaca pemahaman. Pembedaan jenis
membaca itu dapat didasarkan atas tujuannya atau tekniknya.

Untuk tes membaca pemahaman, pemilihan teks akan sangat menentukan
hasil tes. Berikut ini adalah hal yang harus diperhatikan dalam memilih teks
menurut Hughes (1989 : 119-120):

1. ingatlah selalu spesifikasinya dan cobalah memilih sampel yang representatif
dan jangan mengulang memilih teks yang semacam hanya karena teks tersebut
yang tersedia;
2. pilih teks dengan panjang teks sesuai dengan kemampuan siswa;
3. agar mendapatkan reliabilitas yang dapat diterima, masukkan kutipan sebanyak
mungkin dalam teks itu;
4. untuk teks membaca sekilas, carilah kutipan yang mengandung banyak
informasi terpisah;
5. pilihlah teks yang menarik bagi peserta, tetapi yang tidak terlalu mengagumkan
atau mengganggu mereka;
6. hindari teks yang merupakan informasi yang mungkin bagian dari pengetahuan
umum calon;
7. jangan memilih teks yang terlalu bermuatan budaya; dan
8. jangan menggunakan teks yang telah dibaca oleh siswa.




Bentuk soal tes dapat berupa soal tes objektif dengan jawaban benar-salah,
jawaban singkat, dan pilihan ganda dengan berbagai variasinya. Karena tes ini
berlaku untuk membaca pemahaman, secara umum teknik mengetesnya adalah
memberikan kutipan yang berisi masalah kepada peserta dan mengetes ketepatan
pemahaman mereka (Lado, 1969 : 232). Semua tes tentu saja dilaksanakan secara
tertulis; dengan demikian, ketepatan ucapan, intonasi, dan kelancaran tidak
diperhitungkan.

Tes Menulis

Evaluasi keterampilan menulis bertujuan mengetahui kemampuan pebelajar
dalam menyampikan ide, perasaan, dan pikirannya, serta menggunakan perangkat
bahasa target secara tulis.

Teknik evaluasi yang dapat digunakan dipaparkan berikut.

a) Menulis huruf, nama, peristiwa, dan keadaan yang diperdengarkan,
diperlihatkan, dan bicara.
b) Menyampaikan kembali secara tertulis suatu cerita, dialog, peristiwa yang
didengar atau dibaca.
c) Menuliskan cerita berdasarkan gambar atau rangkaian gambar.



d) Melaporkan pengalaman, peristiwa, pekerjaan, atau perjalanan secara tulis.
e) Menjawab pertanyaan sederhana atau komplek secara tulis.
f) Membuat karangan berdasarkan tema tertentu.
g) Menggunakan ejaan dan tanda baca secara tetap (Imron Rosidi, blogspot.com.,1
Oktober 2009).




Menulis merupakan kegiatan berbahasa yang melibatkan berbagai
kemampuan dan keterampilan secara terpadu. Tes kemampuan menulis juga ada
beberapa macam. Hal tersebut disebabkan oleh adanya tahap-tahap dalam
pengajaran menulis. Di samping itu, banyak faktor yang dapat dinilai dalam
menulis, seperti : mekanis, kosakata, tata bahasa, ketepatan isi, diksi, retorika,
logika, dan gaya (Madsen, 1983 :101).

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan menulis
seseorang adalah dengan tes menulis. Akan tetapi, tes tersebut banyak
kelemahannya. Alternatif lain untuk menutupi kelemahahan tes tersebut adalah tes
objektif. Kedua jenis tersebut tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan.
Apabila jumlah peserta tes banyak, tes bentuk objektif akan lebih baik.

Bagi pengajar BIPA, kedua bentuk tes hendaknya digunakan untuk dapat
mengukur kemampuan menulis siswa. Tes essai maupun tes objektif dapat
digunakan baik untuk siswa BIPA tingkat dasar, menengah, maupun mahir. Yang
perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya adalah tes harus mengukur sesuai tujuan.
Jika pengajar akan mengukur kemampuan menulis narasi siswa, tentunya tes bentu
essai yang lebih tepat digunakan. Sedangkan tes objektif akan sulit mengukur ranah
psikomotor untuk kemampuan menulis.



Kriteria Tes BIPA

Untuk dapat menyusun tes BIPA yang baik, ada beberapa kriteria yang harus
diperhatikan pengajar. Dalam ilmu pendidikan,kriteria tersebut disebut dengan
istilah validitas dan reliabilitas. Dalam tes BIPA, hal tersebut pun wajib menjadi
perhatian pengajar. Sebagai alat ukur, tes harus memenuhi beberapa syarat, di
antaranya validitas, reliabilitas, dan kepraktisan (Harris, 1969; Davies, 1990) atau
validitas, reliabilitas, skorabilitas, ekonomi, dan administrabilitas (Lado, 1961).
Tiga syarat terakhir yang dikemukakan oleh Lado itu pada dasarnya sama dengan
kepraktisan.

Validitas menunjukkan apakah suatu alat ukur benar-benar mengukur
sesuatu yang harus diukur dengan hasil yang tepat. Bersama dengan reliabilitas,
validitas menunjukkan kualitas alat ukur. Dapat juga dikatakan bahwa validitas
adalah tingkat ketepatan suatu tes mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur.
Validitas dibedakan atas validitas isi (content validity), validitas kriteria (criterion
validity), dan validitas konstruk (construct validity) (Wiersma, 1990:183-194).

Reliabilitas adalah ketetapan sampel. Reliabilitas dapat diuji dengan
berbagai cara; salah satu di antaranya yang paling mudah adalah tes-ulang (retest);
cara yang lain adalah tes bentuk lain (alternate form) dan belah-dua (split-half)


(Mueller, 1986:58-59). Dengan kata lain, reliabilitas terkait dengan kekonsistenan
hasil tes. Tes yang reliabel akan dapat digunakan oleh siapa pun dan dalam waktu
kapan pun.

Kepraktisan tes maksudnya adalah kemungkinan tes dapat dilaksanakan.
Kepraktisan menyangkut segi ekonomi, kemudian administrasi, penyekoran, dan
interpretasi. Dari segi ekonomi, apakah tes memerlukan banyak biaya dan waktu;
dari segi administrasi dan penyekoran apakah tes dapat dilaksanakan mengingat
tenaga dan perlengkapan yang diperlukan. Segi kemudahan interpretasi
menyangkut apakah hasil tesnya, walaupun tes itu reliabel dan valid, masih relevan
dan tidak kadaluarsa (Y. Karmin, 2000).

PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, berikut ini adalah hal-hal yang perlu
disiapkan untuk penyusunan tes bahasa untuk siswa BIPA:

a) Analisis tujuan siswa belajar BIPA,
b) Persiapkan silabus, materi, dan media sesuai tujuan belajar,
c) Susun kisi-kisi tes sesuai tujuan pokok bahasa yang telah ada pada silabus,
d) Siapkan tes dengan jenis yang sesuai dengan aspek yang akan diukur,
e) Menulis soal sesuai dengan kisi-kisi tes, dan
f) Uji coba soal agar valid dan reliabel.




DAFTAR RUJUKAN



Davies, Alan (1990). Principles of Language Testing. Cambridge, Massachuetts :
Basil Blackwell.

Halim, A.,Jazir Burhan, dan Haroen Al Rasjid (1982). Ujian Bahasa. Jakarta: Wira
Nurbakti.

Harris, David P. (1969). Testing English as a Second Language. New York: McGraw-
Hill Company.

Karmin, Y. 2000. Pengembangan Tes BIPA. Makalah Prosiding Konferensi

Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA) III, pada tanggal 11-13
Oktober 1999 di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Madsen, Harold S. (1983). Technique in Testing. Oxford : Oxford University Press.

Mueller, Daniel J. (1986). Measuring Social Attitude. New York : Teachers College
Press.

Ramli, M. 1988. Portofolio dalam Evaluasi dan Pembelajaran. Makalah

yang disampaikan dalam seminar Assesmen Portofolio, Malang, 29 April

1988.

Rosidi,Imron. blogspot.com.,1 Oktober 2009
Suyata, P. 2000. Model Alat Ukur Evaluasi BIPA. Makalah Prosiding

Konferensi Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA) III, pada
tanggal 11-13 Oktober 1999 di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia,
Bandung.

Widodo, H.S. 1995. Tenaga Pengajar: Sosok dan Problematikanya

dalam Penyelenggaraan Program Pembelajaran bahasa Indonesia bagi
Penutur Asing. Makalah yang disampaikan dalam Kongres Internasional
BIPA pada tanggal 28-30 Agustus 1995 di Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, Jakarta.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...