Tuesday, 1 July 2014

Cerpen : I Love You

Sudah lama aku tak melihatnya. Mungkin sudah 7 tahun. Sejak aku masih duduk di bangku sekolah atas sampai saat aku telah menjadi pegawai bank di salah satu bank swasta di Jakarta. Hari ini, takdir kembali mempertemukan aku dengannya, cinta pertamaku.


Namanya Qadli. Nama yang unik memang. Hanya dia orang yang kukenal memiliki nama itu. Aku tak tahu artinya. Yang pasti nama itu adalah kata terindah yang pernah kudengar dan sanggup membuat jantungku berdebar cepat hanya dengan menyebutnya. Dia seumur denganku, 24 tahun. Dia tampan. Kulitnya putih bersih. Tubuhnya pun cukup tinggi untuk rata-rata tinggi seorang pria. Matanya bening dan sedikit sayu. Namun, justru hal itu yang membuatku menyukainya. Mata sayu yang menyipit saat tersenyum. Sungguh, aku mungkin tak pernah melihat malaikat. Tapi aku bisa melihatnya dari sosoknya.

Dia pemuda yang cerdas dan pandai bergaul dengan siapa saja. Dia ramah. Senyumnya tulus dan memikat. Dia memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat. Aku bisa tahu ia akan menjadi salah satu pemimpin yang dikagumi suatu hari nanti. Dia pun sosok yang sangat religius yang dapat menghafalkan ayat-ayat kitab suci saat beribadah. Suaranya pun merdu, baik saat menyanyi apalagi saat mengumandangkan adzan.

Aku sangat mengaguminya. Tak banyak pemuda yang seperti dirinya. Aku tahu itu. Oleh karena itu, banyak gadis yang memiliki rasa suka yang sama padanya. Bedanya, mereka berani mendekatinya dan memberi sinyal-sinyal yang jelas. Sedangkan aku hanya bisa memendam perasaanku sendiri.

Aku menyukainya. Bahkan saat aku tak lagi bisa melihatnya karena kami tak lagi kursus di tempat yang sama. Aku masih menyukainya. Selama ini aku hanya bisa mengetahui kabarnya dari facebook. Aku memang sudah berteman dengannya di facebook sejak tahun 2008 lalu. Saat itu temannya belum mencapai 300 orang. Namun, saat ini temannya sudah mencapai ribuan. Terlihat jelas bagaimana kepopulerannya terus berkembang. Sayangnya, dia tak terlalu eksis di facebook. Dia hanya mengetik status di saat-saat tertentu. Padahal aku selalu membuka profilnya setiap kali aku membuka facebook. Aku ingin mengetahui bagaimana kabarnya, apa yang sedang ia pikirkan, maupun dengan siapa ia sekarang. Tapi ia bukan orang yang mau memperbarui status tiap menit. Mungkin dia tidak tahu kalau ada orang yang selalu menunggu kabarnya.

Setelah 7 tahun berlalu, takdir kembali mempertemukan aku dengannya. Dia masih sama seperti yang dulu. Masih mempesona. Dia duduk di barisan depan sedangkan aku berada tepat di belakangnya. Saat ini sedang ada seminar perbankan yang dihadiri oleh pegawai bank seluruh Indonesia. Aku merasa sangat beruntung bisa melihatnya di sini. Memang sudah tujuanku sejak awal untuk mengikuti seminar ini agar bisa bertemu dengannya. Bahkan, tujuanku menjadi pegawai bank memang agar suatu saat aku bisa bertemu dengannya.

Menteri perekonomian sedang berpidato di panggung. Tetapi tak satu pun ucapannya yang masuk ke otakku. Seluruh konsentrasiku hanya tersita untuk memperhatikan dia, cinta pertamaku. Dia sedang memperhatikan pak menteri dengan sangat serius. Sesekali ia bertepuk tangan, mengangguk, atau tersenyum. Mungkin semua pegawai yang berada di tempat ini melakukan hal yang sama. Tetapi aku hanya memperhatikan dia. Dia tersenyum. Senyum pertama yang kulihat setelah tujuh tahun berlalu.

Dua jam berlalu, waktu istirahat pun tiba. Beberapa orang sudah mengantri makanan di dekat meja prasmanan. Sedangkan yang lain masih duduk di tempatnya, atau berbincang-bincang dengan rekan sejawat. Seperti yang dia lakukan, berkumpul dengan beberapa pegawai pria lalu berbincang-bincang. Ingin rasanya aku mendekat dan menyapanya. Tetapi memikirkan hal itu saja sudah membuat jantungku berdebar cepat. Keringat dingin pun mulai membasahi keningku. Aku berusaha menenangkan diri. Menghirup dan menghembuskan nafas dengan pelan untuk mengurangi rasa deg-degan. Entah mengapa aku merasa seperti ini. Dia bahkan tak tahu namaku. Mungkin dia bahkan tak menyadari kalau aku pernah menjadi teman sekelasnya. Bodoh.

Aku tak berselera makan sama sekali. Yang kulakukan hanya memperhatikannya makan dan sudah membuatku merasa kenyang. Setelah makan, dia pergi ke mushollah hotel. Aku pun mengikutinya dari belakang. Beberapa pegawai yang beragama islam memang menyempatkan diri untuk shalat dhuhur saat jam telah menunjukkan pukul 1 siang. Setelah mengambil air wudhu, aku bersiap-siap shalat di tempat wanita. Dia sebagai imam. Masih seperti dulu, suaranya melantunkan takbir terdengar sangat merdu di telingaku. Kembali jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya.

Jika ini adalah kesempatan terakhirku untuk bertemu dengannya, apa yang harus kulakukan? Apakah aku masih bisa bertahan mencintainya? Ataukah aku harus merelakannya?

Setelah duduk beberapa saat, aku mengangkat tanganku dan berdoa dalam hati.

Tuhan, aku tak bisa memikirkan pria lain selain dia untuk menjadi pendamping hidupku. Aku sangat mencintainya. Sungguh sangat mencintainya. Kumohon, berilah aku sedikit keberanian untuk mendekatinya. Sedikit keberanian untuk menyapanya. Sedikit keberanian untuk mengenalnya. Kumohon, Tuhan, kabulkanlah permintaanku ini.

Sambil berjalan kembali ke tempat seminar, aku mendekatkan langkahku dengannya. Melangkah mengikuti langkahnya. Nafasku mulai memburu, jantungku berdetak cepat lagi. Berada dengan jarak sedekat ini adalah hal pertama kalinya bagiku. Sungguh, aku mungkin tidak bisa menyembunyikan rasa gugupku saat ini.

“Qadli.” Aku menyebut namanya setelah berjuang mengatasi perasaan gugup itu. Tetapi dia tidak berbalik. Mungkin dia tak mendengar suaraku yang sekecil semut. Aku kembali menghembuskan nafas berat.

Langkahnya mulai menjauh, sementara aku masih berkutat dengan ketakutanku sendiri. Entah kenapa aku seperti ini. Aku memang bukan orang yang mudah akrab dengan orang lain, apalagi pria, apalagi kalau itu dia. Hanya ingin mengajaknya bicara saja sudah teramat sulit bagiku. Aku sering merasa jengkel pada diriku sendiri. Kenapa aku tidak bisa seperti perempuan pada umumnya, yang supel dan banyak bicara. Yang mudah akrab dengan lawan bicara. Tetapi aku tidak seperti itu. Aku pun tak tahu sebabnya.

Seminar sesi kedua pun dimulai. Detik demi detik berlalu tanpa satupun masuk ke dalam otakku. Hingga seminar pun berakhir. Semua peserta sudah membubarkan diri, pulang ke rumah masing-masing. Sama seperti yang dia lakukan. Dia berjalan ke luar hotel, sepertinya sedang menunggu supir menjemputnya. Aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan pintu hotel. Ia pun memasuki mobil tersebut. Kemudian punggungnya menghilang dari balik pintu mobil.

Aku menghela nafas panjang. Mungkin ini kali terakhir aku bertemu dengannya. Apakah takdir masih berbaik hati memberikan aku kesempatan untuk bertemu dengannya lagi setelah aku menyia-nyiakan kesempatan hari ini? Aku tidak tahu pasti. Yang kutahu, aku hanya mencintai dia dan aku masih bisa bertahan mencintai dia, sampai tahun-tahun berikutnya...

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...