Sunday, 7 September 2014

[Cerpen] Ice Princess

Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Sepanjang perjalanan, ia hanya melihat keluar jendela dengan tatapan kosong. Bahkan, nyanyian pengamen jalanan yang suaranya seperti Ariel Noah pun tak bisa mencuri perhatiannya.

Bosan. Baru kali ini aku ditemani oleh seseorang yang bahkan terlihat tidak tertarik berbicara padaku. Biasanya, gadis yang berada di dekatku pasti cerewet bukan main. Bahkan, mereka sering menggodaku dengan pujian-pujian yang sudah biasa kudengar. ‘Kau mirip Al-Ghazali, putra Ahmad Dhani itu’. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Tapi, kali ini tidak. Entah kenapa aku sangat ingin mendengar pujian itu terucap olehnya. Oleh gadis yang dikenal paling pendiam itu.
“Oh ya, Farah. Kita berhenti di depan.” kataku. Dia hanya mengangguk pelan. Tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya.

“Sudah sampai. Ayo, kita turun.” Aku pun meminta bus berhenti. Lalu turun tepan di halte dekat pabrik sepatu. Gadis itu mengikutiku dari belakang.

Kami berjalan dalam diam. Aku pun tak tahu bagaimana memulai pembicaraan dengan gadis yang sejak tadi hanya menganggguk atau menggeleng padaku. Ya, memang ini kali pertama aku bersamanya. Walapun teman sekelas, aku hampir tidak pernah berbicara padanya. Mungkin bukan hanya aku, tapi juga teman-teman di kelasku. Dia memang jarang bergaul. Dia hanya berbicara jika hal itu benar-benar dia anggap perlu dijawab. Tampaknya, dia satu-satunya gadis yang kukenal tak pernah bergosip.

Untungnya, dia lumayan cantik. Awalnya, banyak temanku yang naksir padanya. Tapi karena jarang bicara, banyak yang menganggapnya dingin dan sombong. Walaupun kalau dipikir-pikir, dia pantas jadi gadis sombong. Karena selain cantik, dia juga pintar dan kata orang dia berasal dari keluarga berada. Selain sifat tertutupnya itu, sebenarnya dia hampir mendekati gadis sempurna.

“Sudah sampai.” Aku mengetuk pintu rumahku. Seorang wanita paruh baya membuka pintu. Dia ibuku.

“Oh, kamu sudah pulang? Cepat sekali.”

“Sebenarnya belum, Bu. Aku cuma mau ambil tugas proyek yang ketinggalan.” Ucapku mejawab rasa penasaran ibu. Aku tahu saat ini ibu pasti berpikir aku sedang bolos sekolah. Padahal aku sudah berhenti membolos sejak minggu lalu.

“Benar?” tanya ibu. Tuh, kan’ sudah kuduga ia tidak percaya padaku.

“Benar, bu. Tanya saja dia. Dia teman sekelasku.” Kataku sambil mengarahkan pandanganku pada Farah yang sedari tadi bersembunyi di belakangku.

“Oh, temannya Radit ya? Siapa namamu, nak?” ibuku menyambutnya ramah.

“Dia Farah, Bu. Farah, ayo duduk.” Aku pun masuk ke dalam rumah dan menyuruh Farah duduk di ruang tamu.

“Tunggu sebentar ya, tante buatkan minum dulu.” Ucap ibuku sambil berlalu ke dapur.

Farah duduk dalam diam. Matanya fokus menatap meja. Walaupun tak ada hal yang menarik di sana.

“Aku ke kamar dulu, ya.” Ucapku yang hanya dibalas anggukan olehnya. Seperti biasa.

Aku pun mengambil replika kapal phinisi yang terbuat dari kayu yang tersimpan rapi di atas meja belajarku. Ini adalah tugas proyek seni memahat yang seharusnya dikerjakan berkelompok. Ya, aku sekelompok dengan gadis pendiam itu. Dan karena tidak ada pembicaraan tentang hal itu, aku pun membuatnya sendiri. Sedangkan dia juga tak pernah berbicara padaku tentang hal itu. Ia baru mengajakku bicara saat tugas itu sudah mau dikumpulkan.

Aku membawa replika itu dari kamar ke ruang tamu dengan sangat hati-hati. Maklum, butuh waktu seminggu lebih untuk menyelesaikan replika itu. Namun, saat sampai di ruang tamu, ada pemandangan yang tidak biasa yang menarik perhatianku. Gadis pendiam itu tertawa. Suaranya pun hampir sama besar dengan suara tawa ibuku yang duduk di depannya.

“Apa yang kalian bicarakan?” tanyaku penasaran. Ibu hanya tersenyum penuh makna. Lalu meninggalkan kami di ruang tamu. Sedangkan Farah kembali diam sambil berusaha meredakan tawanya. Hal itu semakin membuatku penasaran. Sebenarnya apa yang mereka bicarakan?

***

Selama perjalanan kembali ke sekolah, dia hanya terdiam tanpa satupun kata yang terucap dari bibirnya. Hal itu membuatku jengkel. Aku sudah mengerjakan tugas proyek ini sendirian. Tapi, dia bahkan tidak mengucapkan terima kasih? Hah, sudahlah. Memangnya aku setuju memasukkan namanya dalam tugas ini? Tidak. Aku akan menambahkan kata ‘TIDAK AKTIF’ di belakang namanya. Ya, benar. Aku akan melakukan itu.

“Biar aku yang bawa.” Aku menoleh menatapnya. Aku tidak salah dengarkah? Dia berbicara padaku?

“Boleh aku yang bawa?” dia bertanya. Ternyata dia memang berbicara padaku. Ini suatu keajaiban.

“Apa kau bisa? Ini lumayan berat, lho” jawabku terus terang. Ya, walaupun terbuat dari kayu, replika ini memang lumayan berat untuk ukuran sebuah replika.

Dia mengangguk pelan. Sambil tersenyum. Manis.

Teng....

Waktu seakan berhenti berputar.

Hei, dimana aku? Kenapa aku serasa seperti berada di atas awan?

“Aku bisa,kok. Lagipula aku tidak berbuat apa-apa dalam tugas proyek ini. Maaf.”

“Hah?” Aku kembali tersadar.

“Berapa total biaya yang kau keluarkan? Aku akan menggantinya.”

“Biaya?”

“Iya. Karna aku tidak membantu apa-apa, jadi biar aku yang menanggung semua biayanya.”

What? Jadi ini soal uang?

Sial. Apa dia tidak tahu kalau aku sangat sensitif dengan kata uang?

Seperti kebanyakan orang tidak mampu lainnya, aku paling sensitif jika menyangkut tentang uang. Aku masih punya harga diri. Karena paling tidak, hanya hal itu yang bisa dibanggakan dari orang miskin sepertiku.

“Tidak perlu! Memangnya aku terlihat seperti pengemis yang meminta uang? Aku tidak butuh uangmu!” tanpa kusadari nada suaraku mulai meninggi. Dia tampak terkejut mendengarnya. Bahkan, seluruh penumpang bus pun ikut melihatku kaget.

“Bukan. Maksudku...” Suaranya tertahan. Aku tahu dia berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan padaku. Tapi, aku terlanjur emosi. Aku tidak mungkin menarik kata-kataku kembali. Oleh karena itu, begitu bus berhenti di halte depan sekolahku, aku segera turun. Sambil membawa replika, tanpa menoleh ke belakang lagi.

“Radit!!!”

Langkahku terhenti. Dia memanggilku. Balik? Tidak. Balik? Tidak.

Aku bisa merasakan langkahnya berlari menghampiriku.

“Maaf. Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Sungguh. Aku minta maaf.”

Dia menunduk tanpa melihatku. Lalu bagaimana? Dia tampak sangat menyesal. Padahal kalau dipikir-pikir aku juga yang terlalu berlebihan menanggapinya.

“Woi, Radit lagi ngapain kamu sama ice princess?” suara Tony mengejutkanku. Ada Andre dan Ifan ikut di belakangnya.

Aku baru sadar, ini sudah jam 2 siang. Sudah waktunya pulang. Pantas saja halaman sekolah mendadak ramai karena banyaknya siswa yang berlari keluar kelas.

“Hei! Ditanya malah ngelamun. Kau sudah berteman ya dengan ice princess ini?” sambung Ifan menyadarkanku. Aku pun menoleh melihat Farah. Dia hanya menatapku dalam diam.

“Tidak-lah. Radit kan’ pernah bilang gak mau temenan sama si ice princess. Iya kan’ Dit?” Andre ikut menimpali.

Sial. Mereka ingat. Aku memang pernah mengatakan itu. Bahkan aku juga yang pertama kali menjulukinya ice princess. Tapi itu dulu.

“Iya.” Tapi aku tidak mungkin menarik ucapanku kembali.

Farah melangkah pergi. Tapi aku bisa melihat manik kekecewaan dari tatapan terakhirnya tadi.

Lalu bagaimana sekarang?

***

“Wah, hasil kerja kelompokmu sangat bagus. Kau memang ada bakat di bidang ini.”

Pak Warno, guru seniku itu tersenyum lebar. Matanya jeli megamati tiap detil replika buatanku itu.

“Kalian kerjakan bersama-sama kan’?” tanyanya.

Aku hanya mengangguk mengiyakan lalu pamit pulang.

Ya, kuputuskan untuk mengumpulkan tugas proyek itu sebagai hasil kerja kelompok. Karena paling tidak, Farah sudah menemaniku pulang ke rumah untuk mengambilnya. Walaupun hubungan kami berakhir dengan buruk.

Saat keluar dari gerbang sekolah, aku sempat melihat Farah yang masih berdiri di dekat gerbang. Mungkin sedang menunggu jemputan.

Dia sempat melihatku juga. Tetapi ia segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kembali menjadi ice princess. Tuan putri yang dingin.

Aku pun tidak berniat menghampirinya. Bagaimanapun keadaannya, aku masih lelaki yang punya harga diri. Lelaki yang tidak bisa mengaku salah, walaupun sebenarnya bersalah.

Biarlah hubungan kami tetap seperti ini.

Biarlah dia tetap menjadi tuan putri yang dingin.

Aku tidak akan mendekatinya lagi.

Walaupun tidak bisa kupungkiri, senyumnya tadi masih tertinggal di otakku.

Aku ingin melihatnya tersenyum lagi.

Ah, tidak.

Semoga aku tidak sekelompok dengannya lagi.

***

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...