Author: Lu Shaoran
Cast: EXO Luhan, EXO Sehun, and Park Boram
Rating: NC-21
Length: Oneshoot
Genre: Romance, yaoi, thriller
Annyong, ini fanfiction pertama author. Terinspirasi sama shipper HunHan (Sehun;Luhan). Perhatian! Fanfic ini mengandung hal-hal berbau 'yadong', so not recommended for children, okay! Happy reading...
Cause you're the only one i need...
Sehun hanya menyendiri di kamar, berusaha mencerna apa yang terjadi di sekolah tadi. Luhan, sahabatnya itu telah menyatakan cintanya pada Boram, gadis yang telah lama Luhan sukai, di depan seluruh siswa saat pertandingan sepak bola selesai. Bayangkan bagaimana romantisnya keadaan itu. Bahkan banyak siswi histeris karena patah hati. Luhan memang idola di sekolah. Banyak siswi yang jatuh hati padanya. Karena tak hanya tampan, dia juga pintar dan jago dalam berolahraga. Tak ada yang tidak bisa dilakukan oleh Luhan. Dia bahkan bisa menyelesaikan permainan rubik dalam waktu kurang dari semenit.
Lalu apa bisa Boram menolaknya? Tentu tidak. Walaupun Boram dikenal sebagai gadis pendiam yang kutu buku, dia pun tak dapat memungkiri bahwa Luhan memang mempesona. Tak banyak pemuda yang seperti Luhan. Walaupun banyak gadis yang mengejar Luhan, Luhan bukan playboy. Dan setahu Boram, ia satu-satunya gadis yang ditembak Luhan setelah tiga tahun mereka duduk di bangku SMA.
Sekarang, Luhan dan Boram sudah resmi jadian. Memikirkannya saja sudah membuat Sehun galau tingkat dewa. Bagaimana ia bisa merelakan orang yang disukainya dimiliki orang lain? Padahal ia sudah memendam perasaannya cukup lama. Jauh sebelum Luhan mengenal Boram.
***
Sehun masih sibuk mengerjakan tugas sekolahnya di perpustakaan saat Luhan menghampirinya dengan wajah ceria.
“Ya! Kenapa teleponmu tidak aktif?” tanya Luhan seraya duduk di samping Sehun. Seluruh siswa yang berada di perpustakaan itu pun turut memandang Luhan. Ya, suara Luhan memang berhasil membuat mereka serempak melotot dengan makna ‘tolong diam’. Luhan yang menyadari hal itu hanya tersenyum minta maaf.
“Sehun, kenapa dari kemarin nomormu tidak bisa dihubungi?” tanya Luhan lagi. Kali ini dengan suara membisik. Sehun hanya memandang Luhan sebentar, lalu kembali fokus mengerjakan tugasnya.
“Padahal aku mau mengenalkanmu pada Boram. Kau tahu kan’ kami sudah jadian.” Luhan masih berbisik pelan namun itu tidak dapat menutupi nada kegembiraan dari cara bicaranya. Sehun tetap tidak menanggapi Luhan. Ia masih sibuk mengerjakan tugas sekolahnya.
Luhan heran melihat tingkah Sehun yang tidak memperdulikannya itu. Kalau Sehun seperti ini, itu tandanya ia sedang marah. Luhan tahu itu. Tapi apa salah Luhan? Setahu Luhan, tidak ada masalah antara dia dan Sehun.
Setelah berpikir sejenak, Luhan kemudian sadar akan apa yang terjadi. Ia lalu menyentikkan jarinya spontan. “Oh...aku tahu. Apa kau marah karena aku lupa hari ini ulang tahunmu?” tanya Luhan lagi. Ya, hari ini memang hari ulang tahun Sehun. Dan sudah biasa kalau Luhan melupakannya. Tentu, itu bukan masalah bagi Sehun.
“Mian, Sehun. Aku benar-benar lupa. Hmm... sebagai gantinya kau boleh meminta hadiah apa saja. Aku pasti akan memberikannya!” ujar Luhan. Sehun segera menghentikan kegiatannya, kalimat Luhan barusan terdengar sangat menarik.
“Serius?” tanya Sehun tak percaya.
Luhan mengangguk pasti. “Ya, serius. Kau mau apa? Bilang saja.” lanjut Luhan enteng. Ya, Luhan memang berasal dari keluarga kaya raya. Ayahnya seorang pengusaha sukses di Korea. Sehingga, ia bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan.
“Apa saja?” tanya Sehun lagi.
“Iya. Apa saja.”
Sehun tersenyum. Senyum pertama yang dilihat Luhan setelah dua puluh menit ia berada di sana.
“Aku mau Boram.”
“A..A..Apa?”
“Boram. Kau bisa memberinya untukku?”
“Hah?” Luhan masih tidak percaya pendengarannya. Sehun meminta Boram? Boram? Tidak mungkin!
“Kau pasti bercanda. Hahaha” Luhan tertawa walaupun hal itu terasa janggal untuk dirinya sendiri.
Sehun hanya menatap Luhan serius. Baginya itu bukan candaan. Luhan pun berhenti tertawa.
“Kau serius?” tanya Luhan.
Sehun mengangguk pasti.
“Tapi, Hun, Boram itu pacarku.”
“Aku tahu.”
“Tidak mungkin aku memberikan dia padamu. Kami bahkan belum lewat 24 jam pacaran.”
“Aku tahu.”
“Kalau kau tahu, kenapa kau masih menginginkannya?”
Sehun menghela nafas berat. “Karena aku tahu kau tidak mungkin memberi dia padaku.”
Luhan masih tidak percaya akan apa yang didengarnya itu.
“Tapi, kenapa harus Boram?” tanya Luhan lagi.
“Entahlah.” Sehun mengangkat bahu. “Aku hanya menginginkannya.”
Luhan tak tahu harus berbuat apa. Sungguh, ia akan mengabulkan apapun permintaan Sehun asalkan itu bukan Boram. Tapi kalau itu Boram, ia tidak mungkin mengabulkannya.
“Bagaimana?” tanya Sehun.
“Tidak bisa, Hun. Yang lain saja. Apapun asalkan bukan Boram.” pinta Luhan.
Sehun menggeleng keras. “Aku mau Boram. Kalau kau tidak bisa memberikannya, ya sudah. Aku tidak akan meminta apapun lagi padamu.” Sehun beranjak meninggalkan tempat duduknya. Sementara Luhan hanya terdiam tanpa tahu harus berbuat apa.
***
Luhan hanya memainkan sendok ice cream di hadapannya. Ice cream strawberry-vanilla yang ditambah buah-buahan kesukaannya itu sama sekali tidak menarik perhatiannya. Bahkan gadis manis dengan rambut hitam sebahu yang duduk di hadapannya itu pun heran melihat reaksi Luhan di saat kencan pertama mereka.
“Ada apa?” tanya gadis bernama Boram itu. Luhan yang sedari tadi melamun pun tersadar.
“Tidak ada apa-apa. Maaf.” Luhan merasa bersalah mengabaikan gadis yang dicintainya itu.
Suasana kembali hening. Boram tahu ada yang tidak beres dengan sikap Luhan itu. Setahu dia, Luhan lumayan aktif berbicara. Bahkan, Luhan yang selalu menyapanya duluan. Luhan yang selalu mengajaknya bicara saat ia tak mempunyai seorang temanpun yang mengajaknya bicara. Ya. Karena kepribadiannya yang tertutup, Boram tak memiliki banyak orang yang bisa ia sebut ‘teman’. Teman-teman sekelasnya hanya menganggapnya sebagai ketua kelas yang kutu buku. Sehingga saat Luhan mengajaknya bicara, itu terasa seperti ada matahari yang menerangi kegelapan hatinya. Itulah yang membuatnya jatuh hati pada Luhan. Luhan seperti sosok malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk mewarnai hidupnya. Sejak ia berteman dengan Luhan, siswa yang lain pun mulai berteman dengannya.
Namun, Boram tidak mengerti akan sikap Luhan saat ini. Boram bahkan belum melihat Luhan tersenyum seperti yang selalu ia tunjukkan saat bertemu Boram.
“Apa kau menyesal pacaran denganku?” tanya Boram tiba-tiba. Luhan terkejut mendengarnya.
“Tentu tidak. Kenapa kau berpikir seperti itu?”
Boram terdiam. Pertanyaan yang ia ajukan pada Luhan memang terdengar aneh. Tapi hal itu terlintas begitu saja di kepalanya.
“Tidak apa-apa.” jawab Boram.
Suasana kembali hening. Luhan kemudian mulai memakan ice cream yang sudah mulai mencair untuk mengurangi suasana canggung yang terjadi.
“Oh ya, Boram. Kau kenal Sehun, tidak?” tanya Luhan.
“Sehun? Temanmu kan’?”
Luhan mengangguk. Lalu kembali diam.
“Ada apa dengan Sehun?” tanya Boram balik.
Luhan merasa berat menjawabnya.
“Hari ini dia ulang tahun.”
“Oya? Kau sudah memberinya hadiah?”
“Belum.”
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu harus memberi apa.” Luhan menghembuskan nafas berat.
“Apa ada hadiah yang dia inginkan?”
Glek! Luhan menelan ludah. Iya, ada. Hadiah itu kamu! Batin Luhan berteriak. Namun, mulutnya terkunci rapat.
“Sebaiknya kau memberikan hadiah yang benar-benar dia inginkan. Hadiah itu pasti akan menjadi lebih bermakna.”
Luhan hanya mengangguk pelan mendengar pendapat Boram.
“Kita bisa pergi membelinya sama-sama.” ajak Boram yang dibalas anggukan Luhan.
***
Sehun duduk di kursi meja belajarnya namun pikirannya terbang kemana-mana. Apa yang dilakukan Luhan dan Boram saat ini? Entahlah. Sehun hanya sempat melihat mereka di kedai ice cream yang ia lewati saat pulang sekolah tadi.
Sehun memandangi jam dinding kamarnya, sudah pukul 10 malam. Ia lalu berdiri di dekat jendela kamarnya, melihat keluar jendela, lampu kamar Luhan belum dinyalakan. Ia pun tahu Luhan belum pulang.
Sehun dan Luhan memang bertetangga. Mereka pun sudah menjadi sahabat sejak Luhan pindah ke sebelah rumahnya saat berumur 8 tahun. Karena kedua orang tua Sehun tinggal di luar negeri, Sehun hanya ditemani pembantu. Sedangkan orang tua Luhan yang selalu sibuk, membuat Luhan selalu datang ke rumah Sehun untuk bermain. Begitulah mereka bersahabat hingga mereka beranjak remaja.
Bel rumah Sehun berbunyi. Sehun pun turun ke bawah untuk membuka pintu. Lalu mendapati Luhan berdiri di depan rumahnya.
“Tumben tekan bel.” ujar Sehun lalu berjalan masuk diikuti Luhan dari belakang.
“Aku ingin bicara, tentang Boram.”
Sehun menghentikan langkahnya lalu berbalik melihat Luhan.
“Aku akan memberi dia padamu.”
Sehun menatap Luhan tidak percaya.
“Aku sudah putus dengannya.” lanjut Luhan.
Sehun hanya terdiam mendengarkan Luhan. Ia bisa melihat ekspresi sedih Luhan yang tetap tampak walaupun Luhan berusaha keras menutupinya.
“Terima kasih.” ucap Sehun kemudian.
Luhan pun berbalik meninggalkan rumah Sehun.
Sehun tersenyum. Ia merasa lega dan bahagia. Tetapi sedih di saat yang sama. Sungguh, ia tidak ingin membuat Luhan sedih. Hanya saja, itu satu-satunya cara untuk mendapatkan cintanya kembali.
“Maaf, Luhan...”
***
Boram tak dapat mengabaikan tatapan siswa-siswa yang mengekorinya sejak ia menginjak pintu gerbang sekolah pagi ini. Kabar tentang putusnya hubungan antara dia dan Luhan pasti sudah menyebar seantero sekolah. Itulah sebabnya banyak siswa perempuan yang bersorak gembira karena Luhan sudah ‘available’ lagi. Apalagi mereka putus setelah tak genap sehari berpacaran.
Di koridor saat Boram berjalan menuju ruang kelasnya, ia berpapasan dengan Sehun. Sehun berpura-pura tidak melihat Boram dan terus berjalan menuju kelasnya. Tapi Boram berbalik menahan lengan Sehun.
“Bisa kita bicara?” pinta Boram lalu berjalan menuju taman belakang sekolah. Sehun mengikutinya dari belakang.
Mereka sudah sampai di taman belakang. Memang tempat itu sangat sepi sehingga suara yang terdengar hanya suara angin yang bertiup.
“Ada apa?” tanya Sehun membuka suara.
“Ini pertama kalinya kita bicara, kan?” tanya Boram.
Sehun mengangguk.
“Lalu kenapa kau menyukai orang yang bahkan belum pernah bicara padamu?”
Sehun menyunggingkan senyumnya.
“Apa Luhan yang mengatakannya?”
Boram terdiam. Ia masih menatap Sehun dengan mata yang berkaca-kaca.
“Sepertinya Luhan sudah salah paham. Aku tidak pernah mengatakan kalau aku menyukaimu.”
“Apa?”
“Aku hanya bilang kalau aku menginginkanmu.”
“Apa maksudmu?”
Sehun melangkah maju lalu mendorong Boram hingga terpojok di tembok sekolah.
“Sebenarnya aku hanya menginginkan sesuatu yang paling berharga dari Luhan dan itu adalah kau.”
Sehun lalu mulai menyentuh wajah Boram dengan tangan kanannya. Tapi Boram segera menepis tangannya.
“Aku tidak tahu apa yang dilihat Luhan darimu.” Sehun memandang tubuh Boram mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Menurutku, kau biasa-biasa saja. Tapi apa yang membuat Luhan begitu menyukaimu?”
Boram hanya terdiam sambil berusaha melepaskan diri dari Sehun. Tapi Sehun justru mengunci kedua tangannya di dinding.
“Lepaskan aku!” Boram memberontak. Sehun tidak tinggal diam, ia lalu melepaskan bogem mentah ke pipi mulus Boram hingga Boram mengeluarkan darah dari mulutnya.
“Itu karena kau sudah berani menggoda Luhan.”
Boram menatap Sehun tak percaya. Sehun lalu meninjunya untuk kedua kali hingga Boram terduduk lemas di tanah.
“Itu karena kau sudah membuat Luhan menyukaimu.” ucap Sehun. Walaupun Boram hanya mendengarnya samar-samar sebelum kedua matanya tertutup.
Sehun tersenyum puas.
***
Luhan duduk di bangkunya sambil memandangi tempat duduk Boram yang masih kosong.
“Dimana Ketua kelas kalian?” tanya pak guru.
“Tidak tahu, Pak. Bolos, mungkin.” ujar salah seorang teman kelasnya.
Mereka pun berbisik-bisik kecil. Padahal tadi mereka melihat Boram di sekolah. Tapi kenapa ia tidak masuk untuk belajar. Pasti karena dia sedang patah hati. Begitulah mereka mulai bergunjing.
“Sudah-sudah. Sekarang kita mulai saja pelajaran hari ini.” kata Pak guru.
“Iya, Pak!” sahut mereka serempak.
Sementara Luhan masih terdiam di bangkunya dengan perasaan bersalah yang amat besar.
***
“Hei, Luhan!” panggil Sehun. Luhan berbalik.
“Kau sudah mau pulang?” tanya Sehun. Luhan mengangguk.
“Kita pulang bareng aja.” ujar Sehun.
“Baiklah.”
Sebuah mobil sedang hitam pun berhenti di depan pintu gerbang sekolah. Luhan dan Sehun pun menaiki mobil itu.
Selama perjalanan, suasana hening. Hanya alunan suara Taeyang yang melantunkan lagu “Eyes, Nose, Lips” mengalun lembut dari mp3 player. Sedangkan Luhan hanya bersandar di tempat duduknya sambil menatap kosong keluar jendela.
“Kau kenapa?” tanya Sehun.
“Tidak apa-apa.” Luhan menghembuskan nafas panjang.
“Wajahmu pucat.” tegur Sehun. Lalu memegang kening Luhan. “Kau demam.”
“Aku baik-baik saja.” kata Luhan lagi.
“Apa kau sudah makan?” tanya Sehun. Luhan tidak menjawab. Kedua matanya perlahan tertutup rapat.
***
Luhan masih tertidur pulas di tempat tidur sementara Sehun datang membawa nampan berisi semangkuk bubur, air putih, dan obat. Lalu meletakkannya di meja samping tempat tidur Luhan. Kemudian Sehun mengambil handuk kecil dari kening Luhan dan kembali membasahinya dengan air hangat.
“Apanya yang baik-baik saja? Jelas-jelas kau sedang sakit.” ujar Sehun sambil meletakkan handuk itu lagi di kening Luhan. Tubuh Luhan yang tertutupi selimut tebal pun mulai mengeluarkan keringat. Tak lama kemudian, Luhan mulai menggerakkan kepalanya seperti sedang bermimpi. Lalu mengigau dalam tidurnya.
“Boram...Boram...” ucap Luhan pelan dengan mata yang masih terpejam. Sehun yang mendengarnya sontak terkejut.
“Boram, Boram. Kenapa harus Boram?” tanya Sehun cemburu walaupun ia tahu Luhan tidak akan menjawabnya.
“Boram..” Luhan masih memanggil nama Boram.
Sehun semakin tidak dapat menahan amarahnya.
“Berhentilah memanggil namanya!”
“Bo...” Tiba-tiba Sehun menutup bibir Luhan dengan bibirnya. Menciumnya penuh nafsu hingga bibir Luhan yang tadinya pucat berubah menjadi merah kembali.
Sehun menahan beban tubuhnya dengan kedua tangannya sambil terus mencium Luhan. Sesekali ciumannya terlepas karena Luhan tiba-tiba menggerakkan kepalanya. Tapi Sehun tak berhenti menciumnya. Ia melampiaskan seluruh perasaan yang telah ia pendam selama ini. Ya, dia memang menyukai Luhan. Jauh, sebelum Luhan mengenal Boram. Ia tak tahu pasti kapan tepatnya ia mulai jatuh hati pada pria sempurna itu. Yang ia tahu, ia tidak bisa menghindari perasaan itu. Walaupun perasaan itu adalah hal paling salah yang pernah ia rasakan.
Tiba-tiba Luhan membuka kedua matanya, sontak mendorong tubuh Sehun kasar. Sehun pun tak kalah terkejutnya.
“A..Apa yang kau lakukan?” Luhan langsung terduduk sambil mengusap bibirnya kasar.
“Aku...” Sehun kehilangan kata-kata.
Luhan tidak dapat mempercayai akan apa yang telah dilakukan Sehun padanya. Ia menatap Sehun dengan tatapan aneh sekaligus jijik. Sehun yang ditatap seperti itu mulai gelap mata. Ia lalu mendorong tubuh Luhan hingga terbaring di tempat tidur dan menindihnya.
“Ya! Sehun!! Apa yang kau lakukan!!” Luhan berteriak. Namun, hal itu tidak menghentikan Sehun yang mengikat kedua tangan Luhan dengan rantai yang entah darimana ia dapatkan.
“Yak!! Lapaskan aku, Sehun!!” Luhan masih berontak. Akan tetapi, tenaganya masih lemah untuk melawan Sehun. Sehun pun mengikat kedua kaki Luhan hingga Luhan tak dapat bergerak lagi.
“Lepaskan aku, Sehun!! KAU SUDAH GILA!” Luhan berteriak.
“Ya, kau benar. Aku sudah gila. Aku gila karenamu. Kau tahu?” Sehun lalu kembali mencium Luhan sambil memegangi kepala Luhan dengan kedua tangannya agar Luhan tak dapat menghindari ciumannya. Sehun mencium bibir Luhan yang menutup rapat dengan penuh nafsu. Lalu berusaha membuka mulut Luhan dengan menggigit bibir Luhan ganas.
“Akh!” Luhan meringis kesakitan. Hal itu dimanfaatkan Sehun untuk memasukkan lidahnya kedalam mulut Luhan dan memperdalam ciumannya.
Selang beberapa menit kemudian Sehun melepaskan ciumannya untuk memberi ruang pada Luhan yang mulai kehabisan nafas.
“Berhenti, Sehun! Kumohon!! Hentikan!” pinta Luhan. Tapi Sehun tidak memperdulikannya. Ia lalu beralih ke leher Luhan yang putih itu dan menciumnya lagi diselingi dengan gigitan-gigitan kecil yang meninggalkan jejak kemerahan di leher Luhan. Luhan yang tidak dapat berbuat apa-apa mulai terisak. Ia bukan tipe orang yang gampang mengeluarkan air mata. Tapi aksi Sehun membuatnya menangis karena marah.
Sehun menghentikan kegiatannya. Lalu menatap Luhan dan menghapus air mata Luhan dengan jari-jarinya.
“Jangan menangis, Luhan.” ucap Sehun. Luhan hanya menatap Sehun dengan penuh amarah.
“KAU GILA! Lepaskan aku! Dasar orang gila!!” Luhan tidak memperdulikan status Sehun sebagai sahabatnya. Baginya, kini Sehun hanya orang gila. Sehun tersenyum senang mendengarnya.
“Aku memang sudah gila, Luhan. Kau tahu berapa lama aku sudah memendam perasaan ini? Bahkan saat kau mulai jatuh cinta pada gadis kampungan itu, aku harus berusaha tenang walaupun hatiku marah. Itu semakin membuatku menginginkanmu.” Sehun tersenyum sumringah sambil membuka kancing baju Luhan satu persatu.
“Oya, aku sudah memberi pelajaran pada gadis kampungan itu. Kau tidak akan pernah melihatnya lagi.” Ujar Sehun. Luhan tersontak kaget.
“Apa yang kau lakukan pada Boram?!!”
“Itu... rahasia.” Bisik Sehun tepat ditelinga Luhan lalu mencium bibir Luhan lagi. Luhan hanya menangis meratapi nasibnya.
“Kau adalah milikku, Luhan. Ingat itu baik-baik.” ujar Sehun.
***
Matahari bersinar masuk ke sela-sela ventilasi kamar Sehun sanggup membangunkan Sehun dari tidur lelapnya. Di sampingnya, Luhan masih berbaring membelakanginya. Sehun pun melingkarkan tangannya di pinggang Luhan.
“Good morning, chagi.” ucapnya. Luhan hanya terdiam, pura-pura tertidur. Sehun pun bangun dan melihat Luhan yang masih tertidur. Sehun melihat pergelangan tangan dan kaki Luhan yang sudah merah dan mulai berbekas. Ia kasihan juga melihatnya. Ia pun mulai membuka rantai yang mengikat tangan dan kaki Luhan. Lalu meninggalkan Luhan menuju kamar mandi.
Luhan terbangun dan segera beranjak dari tempat tidur. Ia pun berlari pulang ke rumahnya kemudian mengunci semua pintu dan jendela rumahnya. Dalam kamar mandi, Luhan membersihkan seluruh tubuhnya dengan sabun dan pancuran air yang mengalir. Tapi seberapa keraspun ia berusaha membersihkan dirinya, dia tetap merasa manusia paling kotor di dunia. Ia pun kembali menangis seraya berusaha menghapus memori kelam semalam.
***
Dengan langkah gontai, Luhan keluar dari kamar mandi setelah memakai kaos putih dan celana jeans pendek berwarna biru tua. Ia pun terkejut setengah mati melihat Sehun sudah duduk di tempat tidurnya dengan memakai seragam sekolah rapi.
“Ba, bagaimana kau bisa masuk?” Luhan tidak dapat menyembunyikan perasaan terkejutnya. Sehun tersenyum. “Tidak ada yang tidak bisa kulakukan. Kau tahu itu.”
“Cepat keluar dari rumahku!! Atau, aku akan memanggil polisi!!” ancam Luhan. Sehun pun berdiri lalu melangkah mendekati Luhan. Luhan melangkah mundur menuju pintu lalu mencoba membukanya. Tapi tidak bisa, pintunya terkunci.
“Kau cari ini?”
Luhan berbalik dan mendapati Sehun sudah berada tepat di depannya sambil memamerkan sebuah kunci di tangannya. Sehun pun memasukkan kunci itu ke dalam saku celananya. Lalu meletakkan kedua tangannya di atas bahu Luhan.
“Kau tidak akan bisa lari dariku. Apa kau lupa? Kau adalah MILIKKU.” bisik Sehun.
Tubuh Luhan kembali bergetar hebat. Sosok Sehun sudah menjadi sangat menakutkan baginya. Jujur, ia trauma berat. Sehingga melihat Sehun saja sudah membuatnya kehilangan tenaga karena ketakutan.
Sehun bisa melihat jelas tatapan takut dari mata Luhan. Itu adalah pertama kalinya Luhan menatapnya seperti itu. Dalam hati ia pun tak menginginkan Luhan takut padanya. Karena demi apapun, ia hanya menginginkan Luhan dan mencintai pria itu sama seperti ia mencintai hidupnya.
Sehun lalu menyentuh pipi Luhan yang terlihat pucat karena takut. Luhan hanya berdiri membeku. Sehun pun mencium kening Luhan lembut dengan penuh kasih sayang.
“Jangan takut padaku, Hannie. Aku tidak akan menyakitimu.” kata Sehun seraya memeluk Luhan. Luhan hanya terdiam tanpa membalas pelukan Sehun.
“Ayo kita pergi ke sekolah.”
***
Luhan harus pergi ke sekolah. Atau Sehun akan melakukan hal ‘itu’ lagi. Mereka pun sama-sama berangkat ke sekolah.
Di sekolah, berita tentang Boram yang masuk ke rumah sakit sudah menyebar luas. Kabarnya, Boram terluka parah setelah dibully habis-habisan. Mereka menganggap pelakunya pasti para fans Luhan yang berniat membalas dendam. Sehingga kepala sekolah pun turun tangan akan menindak tegas pelaku pembully-an itu.
Luhan tahu Sehun pelakunya. Tapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Karena Sehun terus berada di sampingnya dan mengamati setiap gerak-geriknya. Bahkan ke kamar mandi sekalipun.
Satu waktu, Sehun dipanggil ke ruang guru. Sehingga Luhan memanfaatkan hal itu untuk menghindar dari Sehun. Luhan menaiki lift menuju lantai paling atas gedung sekolah. Sesampainya di sana, Luhan pun berdiri di sisi tembok yang cukup pendek itu sambil melihat ke bawah. Ia tidak memikirkan apa-apa lagi. Ia ingin mengakhiri hidupnya. Karena baginya, semua tak bermakna lagi. Bahkan, ia membenci dirinya sendiri. Ia tidak akan bisa menghapus kenangan buruk itu seumur hidupnya. Ia pun tidak akan bisa lari dari Sehun. Daripada hidup seperti itu seumur hidupnya, lebih baik ia mengakhiri hidupnya sekarang juga.
Luhan menghembuskan nafas berat sambil memejamkan mata. Ia pun merentangkan kedua tangannya dan bersiap untuk terjun bebas. Tetapi tiba-tiba seseorang menariknya ke belakang hingga ia terjatuh di lantai.
Luhan membuka matanya dan melihat Sehun tepat di hadapannya. Sehun masih berusaha mengatur nafasnya yang tidak beraturan karena berlari menaiki tangga tadi.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Sehun. Luhan tidak menjawab. Bahkan ia tidak mau menatap Sehun. Sehun pun menyentuh dagu Luhan untuk membuat Luhan menatapnya. Tapi Luhan menepis tangannya kasar.
“Jangan sentuh aku. Kau menjijikkan.” ucap Luhan. Sehun hanya menatapnya dalam diam. Luhan pun berdiri kemudian mencoba menaiki tembok itu lagi. Tapi Sehun segera mencegahnya. Ia menarik tangan Luhan menjauh dari tepi tembok. Lalu menyandarkan Luhan ke tembok dengan kasar.
“Kau tidak boleh mati!” ucap Sehun.
“Jangan melarangku! Kau pikir aku masih bisa hidup setelah apa yang kau lakukan?” Kali ini Luhan berani menatap Sehun. Ada seberkas rasa benci bercampur kemarahan dari tatapannya itu.
Sehun tidak dapat berkata apa-apa. Ia tahu betapa Luhan sangat membencinya saat ini. Ia pun tak ingin membuat Luhan terluka seperti ini. Ia hanya sangat mencintai pria itu dengan seluruh hidupnya. Ia ingin pria itu menjadi miliknya. Hanya miliknya.
Pintu itu terbuka dan muncullah seorang penjaga sekolah.
“Hei, kalian cepat pulang. Bapak mau mengunci pintu ini.” ujar penjaga sekolah.
“Baik, Pak.” ujar Sehun.
***
Sehun mengikuti Luhan masuk ke dalam rumah. Ya, karena Sehun-lah yang memegang kunci rumahnya. Jadi, Sehun bebas melakukan apa saja di rumah Luhan. Luhan sendiri tidak dapat berbuat apa-apa selain membiarkan Sehun. Sebab Sehun bisa melakukan apa saja. Ia tidak mungkin melaporkan Sehun karena itu akan merusak nama baik ayahnya. Luhan hanya bisa menunggu saat yang tepat untuk lenyap dari bumi ini.
Sehun memasak di dapur sementara Luhan menunggunya di ruang makan. Tentu itu bukan keinginan Luhan. Ia melakukannya dengan terpaksa.
Tak lama kemudian, Sehun menyajikan dua piring spagetti di meja.
“Makanlah.” kata Sehun. Luhan menurutinya karena Sehun berjanji tidak akan menyentuh Luhan lagi jika Luhan menuruti perintahnya. Sehun tersenyum memandang Luhan. Sedangkan Luhan hanya fokus menghabiskan makanannya agar ia dapat segera beranjak dari tempat itu.
***
Malam mulai larut. Tapi Luhan tak juga bisa memejamkan matanya. Ia takut bagaimana jika Sehun tiba-tiba muncul dan menyerangnya lagi?
Luhan menutupi tubuhnya rapat-rapat dengan selimut tebalnya dan mulai mencoba memejamkan mata. Dalam pikirannya ia menghitung domba-domba mulai dari satu dan seterusnya hingga ia tertidur lelap.
***
Sehun hanya menatap wajah Luhan yang sedang tidur itu sambil tersenyum. Wajah Luhan memang terlihat seperti malaikat. Sejujurnya, Sehun pun merasa bersalah telah menodai malaikat itu. Tetapi perasaan cintanya seakan membenarkan segalanya.
Apalagi bibir Luhan yang berwarna merah ranum itu begitu menggodanya. Ia pun mendekatkan wajahnya dan mencium Luhan. Ciuman yang begitu lembut agar Luhan tak terbangun dari tidurnya.
***
Hari ini hari Minggu. Sehun terbangun lebih lambat dari biasanya. Ia baru bangun saat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Ia pun berjalan menuju kamar Luhan. Tetapi ia tidak melihat Luhan di kamarnya.
Dengan perasaan cemas, Sehun mencari Luhan di seluruh kamar rumah itu. Tapi ia tak juga bisa menemukannya. Sampai ia tiba di dapur dan mendapati Luhan sudah terbaring lemas di lantai. Darah sudah mengalir deras dari pergelangan tangannya sementara di sampingnya tergeletak sebuah pisau dapur.
“Luhan!!” Sehun berlari menghampiri Luhan dan mencoba menyadarkannya. Ia pun segera menelpon ambulance.
***
Sehun merasa bersyukur Luhan masih bisa diselamatkan walaupun ia sudah kehilangan banyak darah. Sambil menggenggam tangan Luhan, Sehun duduk di sisi tempat tidur Luhan, sambil menunggu orang yang disayanginya itu sadar.
Tak lama kemudian, Luhan sadar. Dari baunya, ia tahu kalau dia sedang berada di rumah sakit. Luhan menghela nafas berat. Lagi-lagi niatnya mengakhiri hidup gagal.
Luhan pun mencabut selang infus yang tertancap di pergelangan tangannya dengan paksa. Lalu beranjak dari tempat tidur. Seorang perawat yang sedang berjaga berusaha menghentikannya. Tapi Luhan tidak memperdulikannya. Setelah mendengar terjadi keributan, Sehun yang sedang mengurus administrasi rumah sakit segera berlari menuju ruang UGD.
Luhan melemparkan apapun benda yang dilihatnya agar dokter dan perawat menjauh darinya. Tapi penjaga keamanan segera datang menahan tubuhnya.
“Lepaskan! Lepaskan aku!! Biarkan aku pergi!!!” Luhan berteriak histeris.
“Luhan!” Sehun terkejut melihat aksi Luhan yang histeris itu. Seorang dokter pun segera menyuntikkan obat penenang ke tubuh Luhan. Tak sampai dua menit kemudian, tubuh Luhan melemah dan segera dibaringkan lagi di tempat tidur.
“Trima kasih, dok.” ucap Sehun. Dokter dan para perawat hanya mengangguk lalu meninggalkan mereka.
Sehun pun mendekati Luhan yang sudah tertidur pulas. Dengan lembut, ia membelai rambut Luhan yang sedikit berantakan itu.
“Kau tidak boleh seperti ini, Luhan.” ucapnya.
***
“Bagaimana perasaanmu? Sudah merasa baikan?” tanya seorang wanita paruh baya pada Boram.
Boram hanya mengangguk pelan. “Eomma, kita sudah bisa pulang kan’?”
“Iya. Tapi, kita tunggu hasil laboratorium dulu. Semoga saja tidak ada hal buruk dengan kepalamu.” Ibu Boram pun mengelus pipi anaknya itu dengan lembut. “Aigoo, anakku siapa yang tega melakukan hal ini padamu? Apa kau benar-benar tidak ingat?” tanya ibunya.
Boram mengalihkan pandangannya keluar jendela.
“Aku tidak ingat, Eomma.” kata Boram berbohong. Walaupun ia tahu pasti kalau Sehun-lah pelakunya. Tapi saat ini ia belum bisa mengatakannya. Karena hal itu akan membahayakan Luhan. Ia tidak ingin Luhan berada dalam bahaya.
***
Perlahan Luhan membuka matanya. Ia pun melihat langit-langit kamar yang berwarna biru tua yang dihiasi lukisan bintang terang. Ia tak tahu tempat itu. Ia pun mencoba duduk. Ruangan itu tidak terlalu besar. Tetapi cukup untuk diisi sebuah tempat tidur, lemari pakaian, dan sebuah meja dan sofa, serta rak kaset dan proyektor. Luhan mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya menyadari bahwa tempat itu dipenuhi foto-foto dirinya yang dipajang di dinding. Foto-foto mulai dari ia kecil sampai sekarang. Ada beberapa foto yang diambil secara terang-terangan dan ada pula yang sepertinya diambil dengan sembunyi-sembunyi. Luhan ingin melihat foto itu lebih dekat tapi tangan dan kakinya terantai di tempat tidur.
“Oh, kau sudah sadar. Makanlah, aku membuatkan makanan kesukaanmu.” Sehun muncul dari balik pintu sambil membawa nampan.
“Kau pasti penasaran, tempat apa ini?” Sehun bisa membaca raut wajah Luhan.
“Ini tempat rahasiaku. Tempat aku menyimpan semua hal tentangmu. Setiap malam aku akan berada di tempat ini untuk sekadar mengagumimu. Kau tahu?”
Luhan hanya terdiam. Sehun pun mendekatinya lalu membelai rambutnya lembut.
“Maaf, aku terpaksa harus mengurungmu di tempat ini. Karena kau tidak mau mendengarkanku.”
“Oh ya, ini makanlah. Biar kusuapi.” Sehun pun mulai menyendok nasi dan kari buatannya lalu mengarahkannya ke mulut Luhan. “Aaaaa...”
Luhan tetap menutup mulutnya rapat. Sehun menghela nafas, “Kau ini keras kepala juga rupanya. Terpaksa..” Sehun mulai membuka kancing baju Luhan satu-persatu.
“Jangan! Baiklah, aku akan makan!” Luhan tahu apa yang akan dilakukan Sehun pun tak bisa berbuat apa-apa selain menurutinya. Ia pun memakan kari yang disuapkan Sehun itu.
“Anak pintar...” Sehun tersenyum puas.
***
Boram mulai masuk ke sekolah. Ia memang sudah sehat seperti sediakala. Ia pun kembali belajar seperti biasa. Namun, ketidakhadiran Luhan membuatnya tak bisa fokus pada pelajaran. Apa Luhan baik-baik saja? Boram mulai khawatir. Apalagi saat ia tahu Luhan sudah satu minggu tidak ke sekolah.
Boram ditugasi oleh wali kelas mereka untuk pergi menjenguk Luhan karena sudah seminggu ini tidak ada kabar darinya. Boram yang menyanggupi hal itu pun pergi ke rumah Luhan seorang diri. Namun, berapa kalipun Boram menekan bel rumah Luhan, tetap tak ada jawaban. Luhan tidak ada di rumahnya.
Dari jendela kamarnya, Sehun bisa melihat Boram yang berdiri di depan pintu rumah Luhan. Ia berharap Boram segera pergi dari tempat itu. Tapi tidak, Boram justru mengambil ponsel dari sakunya dan menelpon seseorang.
Boram mulai mengitari rumah Luhan. Ia bisa merasakan ada seseorang yang memperhatikan gerak-geriknya. Tapi begitu ia melihat ke arah jendela, tak ada seorang pun di sana.
***
Sehun berkali-kali mondar-mandir di kamarnya. Ia khawatir mungkin Boram akan tahu kalau ia menyekap Luhan di ruang bawah tanah rumahnya. Tak lama kemudian, bel rumah Sehun berbunyi. Sehun segera berlari ke arah pintu. Dari kamera pengawas ia bisa mengetahui kalau yang datang itu adalah Boram dengan beberapa polisi di belakangnya.
“Aish...shit!” Sehun berusaha mencari cara untuk menutupi keburukannya. Ia pun segera berlari ke kamar kemudian membuka pintu rahasia menuju tempat Luhan disekap.
Luhan terkejut melihat Sehun yang tiba-tiba datang dengan wajah cemas.
“Kau, tunggu di sini. Jangan lakukan apapun. Mengerti!” Sehun pun menutup mulut Luhan dengan lakban dan mengencangkan ikatan tangan dan kaki Luhan.
“Aku akan segera kembali.” Sehun mencium kening Luhan sebelum meninggalkan tempat itu.
“Sehun-ssi. Buka pintunya!” seru seorang polisi sambil terus menekan bel rumah Sehun. Sehun pun membuka pintunya. “Ya. Ada apa ya, pak?” tanya Sehun.
“Boleh kami masuk?”
“Iya, silakan.”
Tiga orang polisi itu pun memasuki rumah Sehun diikuti Boram dari belakang. Mereka pun duduk di ruang tamu.
“Ada apa, Pak?” tanya Sehun lagi.
“Begini, Sehun-ssi. Kami menerima laporan dari nona ini kalau temannya sudah hilang selama seminggu. Namanya Luhan. Apa kau tahu? Katanya kau sahabat Luhan, bukan?”
Sehun menatap tajam Boram sebentar sebelum mengangkat kedua bahunya.
“Saya tidak tahu, Pak. Saya memang sahabat Luhan. Tapi, sudah satu minggu ini saya tidak bertemu dengannya.”
“Itu tidak benar, Pak. Saya sempat melihat dia dan Luhan di rumah sakit lima hari yang lalu.” Boram angkat bicara.
“Apa itu benar, Sehun-ssi?”
Sehun mulai berkeringat dingin. Dalam hati ia mengutuk Boram habis-habisan. ‘Dasar gadis kampungan! Lihat saja pembalasanku nanti!’
“Oh, entahlah, Pak. Saya juga tidak ingat.”
Melihat kelakuan Sehun yang mulai mencurigakan, polisi itu mulai mengambil inisiatif sendiri.
“Kami harus menggeledah rumah Anda, Sehun-ssi” Polisi itu pun memerintahkan kedua anak buahnya untuk menggeledah rumah Sehun.
Sehun hanya bisa melihatnya tanpa berbuat apa-apa. Para polisi itu mulai memeriksa kamar utama, dapur, ruang keluarga, dan kamar mandi. Tapi tidak menghasilkan apa-apa. Mereka pun mulai naik ke lantai dua dimana ada tiga kamar yang salah satunya adalah kamar Sehun. Sehun semakin gugup dan mengeluarkan keringat dingin. Apalagi saat mereka sudah sampai di kamarnya.
“Tidak ada apa-apa di sini, Pak.” Ucap salah satu bawahannya setelah menggeledah kamar Sehun. Sehun menghela nafas lega. Tapi itu tidak menghalangi niat Boram.
“Coba cari lagi, Pak. Mungkin ada ruang tersembunyi.”ujar Boram. Sehun tersedak kaget. Tiba-tiba terdengar suara gelas pecah dari dalam salah satu rak buku.
“Apa itu?” para polisi bergegas berlari ke arah rak buku. Benar saja, setelah menyingkirkan buku-buku itu, mereka menemukan sebuah tombol yang setelah ditekan, membuka sebuah pintu dari balik rak buku itu.
Mereka pun mulai memasuki ruangan itu. Tapi Sehun segera mendahului mereka sambil membawa pistol yang ia rebut dari salah satu polisi tadi.
“Jangan mendekat!” seru Sehun sambil menarik Luhan sebagai sandera.
“Luhan...” Boram tak dapat menyembunyikan perasaan sedihnya.
Salah satu polisi tersebut segera menelpon bala bantuan.
“Tenang, Sehun-ssi.” Ujar seorang polisi sambil perlahan mendekati Sehun dan Luhan.
“Sudah kubilang, jangan mendekat!! Aku tidak akan menyerahkan Luhan pada kalian!! Dia milikku!!! Milikku!!! Mengerti!!” teriak Sehun.
“Baiklah, kami tidak akan mendekat.”
Sehun masih mengarahkan pistol itu ke kepala Luhan. Luhan tidak dapat berbuat apa-apa.
“Maafkan aku, Luhan. Kalau aku tidak bisa memilikimu, maka tidak ada seorang pun yang bisa.” Bisik Sehun sambil menarik pelatuk pistolnya.
“TIDAK!!!” Boram berlari menabrak Sehun dan Luhan sehingga mereka bertiga terjatuh di lantai. Pistol di tangan Sehun pun terlepas. Polisi segera menangkap Sehun dan memborgol kedua tangannya.
“Lepaskan aku!” Sehun memberontak. Tapi para polisi segera menariknya keluar dari tempat itu.
Boram pun segera bangun dan membuka lakban serta ikatan di tangan dan kaki Luhan.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Boram. Luhan mengangguk pelan lalu tersenyum.
“Terima kasih, Boram.” ucapnya.
Boram tersenyum lalu memeluk Luhan erat. Luhan membalas pelukan Boram hangat.
***
Sehun hanya terdiam menanggapi pertanyaan psikiater di hadapannya.
“Sehun-ssi, aku akan bertanya sekali lagi. Bagaimana kau bisa menyukai Luhan?”
Sehun tersenyum.
“Hah.. Bagaimana? Hmm... Bagaimana aku bisa tidak menyukainya? Dia tampan, baik, dan pintar. Dia sempurna.”
“Dia adalah pahlawanku. Waktu duduk di bangku SMP, aku sering di bully karena tubuhku yang lebih kecil dari mereka. Luhan selalu datang menolongku. Bahkan dia juga yang selalu mengobati lukaku.”
“Dia adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk melengkapi hidupku. Dia milikku, dok! Dimana dia sekarang? Apa dia bersama Boram? Dasar gadis kampungan! Aku akan membunuhnya!!!”
Sehun mulai memberontak lagi. Para penjaga segera menahan tubuhnya kemudian menyuntikkan obat penenang di tubuhnya.
***
Satu tahun kemudian...
Luhan baru pulang kuliah dari kampusnya di Columbia University saat Boram menyambutnya dengan sebuah cake cokelat.
“Selamat ulang tahun, Luhan!” seru Boram. Luhan tersenyum.
“Tiup lilinnya...”
Luhan segera meniup lilin kue ulang tahunnya.
“Tidak make a wish dulu?” tanya Boram heran karena Luhan hanya meniup lilin tanpa berdoa terlebih dahulu.
“Untuk apa? Aku sudah bersyukur akan apa yang ada sekarang. Terima kasih, Boram.” ucapnya.
Boram tersenyum. Tapi ia bisa melihat wajah Luhan yang pucat.
“Kau baik-baik saja?”
Luhan mengangguk pelan. Boram memeriksa kening Luhan. Panas. Luhan sedang demam.
“Kau demam. Sebaiknya kau beristirahat. Aku akan membuatkan bubur.”
Luhan mengangguk menuruti perintah Boram.
Beberapa menit kemudian, Boram selesai membuat bubur. Ia pun mengantarkannya ke kamar Luhan.
Luhan sudah tertidur di ranjangnya. Boram pun mengompres panas Luhan dengan meletakkan sebuah handuk kecil di kening Luhan.
“Jangan! Jangan Sehun!! Kumohon lepaskan aku!” Luhan mengigau dalam tidurnya. Boram tahu ia sedang bermimpi buruk.
“Luhan, bangun.” Boram berusaha membangunkan Luhan. Luhan pun terbangun.
“Kau tidak apa-apa?”
Luhan masih mengatur nafasnya yang tidak beraturan.
“Kau bermimpi buruk, Luhan.”
Luhan hanya terdiam tetapi masih jelas nampak perasaan ketakutan dari wajahnya.
“Aku tidak apa-apa, Boram. Pulanglah.”
Boram tahu Luhan sedang berusaha menjauhkan dirinya lagi. Selalu seperti ini. Luhan selalu berusaha membuat Boram menjauh darinya. Boram tahu itu.
“Jangan menutupinya, Luhan. Aku tahu kau sedang terluka.” ucap Boram.
Suasana kembali hening.
“Kau bisa mendapatkan seseorang yang lebih baik dariku, Boram.” Luhan menunduk.
“Tidak, Luhan. Aku hanya mencintaimu. Biarkan aku menghapus kenangan buruk itu.”
Boram mengarahkan wajah Luhan untuk memandangnya lalu menciumnya lembut.
Luhan membalas ciuman Boram. Mulai dari ciuman yang lembut hingga ciuman panas yang membuat lidah mereka saling bertaut.
Luhan pun mulai mendorong tubuh Boram lalu menindihnya tanpa melepaskan ciuman mereka.
Setelah beberapa menit berciuman, Luhan melepaskan ciumannya.
Mereka saling bertatapan penuh makna.
“Kau yakin?”
Boram mengangguk pasti. Mereka pun berciuman lagi sambil melepaskan pakaian mereka masing-masing.
Kenangan indah malam itu telah menghapus kenangan buruk di benak Luhan.
***
Lalu apa bisa Boram menolaknya? Tentu tidak. Walaupun Boram dikenal sebagai gadis pendiam yang kutu buku, dia pun tak dapat memungkiri bahwa Luhan memang mempesona. Tak banyak pemuda yang seperti Luhan. Walaupun banyak gadis yang mengejar Luhan, Luhan bukan playboy. Dan setahu Boram, ia satu-satunya gadis yang ditembak Luhan setelah tiga tahun mereka duduk di bangku SMA.
Sekarang, Luhan dan Boram sudah resmi jadian. Memikirkannya saja sudah membuat Sehun galau tingkat dewa. Bagaimana ia bisa merelakan orang yang disukainya dimiliki orang lain? Padahal ia sudah memendam perasaannya cukup lama. Jauh sebelum Luhan mengenal Boram.
***
Sehun masih sibuk mengerjakan tugas sekolahnya di perpustakaan saat Luhan menghampirinya dengan wajah ceria.
“Ya! Kenapa teleponmu tidak aktif?” tanya Luhan seraya duduk di samping Sehun. Seluruh siswa yang berada di perpustakaan itu pun turut memandang Luhan. Ya, suara Luhan memang berhasil membuat mereka serempak melotot dengan makna ‘tolong diam’. Luhan yang menyadari hal itu hanya tersenyum minta maaf.
“Sehun, kenapa dari kemarin nomormu tidak bisa dihubungi?” tanya Luhan lagi. Kali ini dengan suara membisik. Sehun hanya memandang Luhan sebentar, lalu kembali fokus mengerjakan tugasnya.
“Padahal aku mau mengenalkanmu pada Boram. Kau tahu kan’ kami sudah jadian.” Luhan masih berbisik pelan namun itu tidak dapat menutupi nada kegembiraan dari cara bicaranya. Sehun tetap tidak menanggapi Luhan. Ia masih sibuk mengerjakan tugas sekolahnya.
Luhan heran melihat tingkah Sehun yang tidak memperdulikannya itu. Kalau Sehun seperti ini, itu tandanya ia sedang marah. Luhan tahu itu. Tapi apa salah Luhan? Setahu Luhan, tidak ada masalah antara dia dan Sehun.
Setelah berpikir sejenak, Luhan kemudian sadar akan apa yang terjadi. Ia lalu menyentikkan jarinya spontan. “Oh...aku tahu. Apa kau marah karena aku lupa hari ini ulang tahunmu?” tanya Luhan lagi. Ya, hari ini memang hari ulang tahun Sehun. Dan sudah biasa kalau Luhan melupakannya. Tentu, itu bukan masalah bagi Sehun.
“Mian, Sehun. Aku benar-benar lupa. Hmm... sebagai gantinya kau boleh meminta hadiah apa saja. Aku pasti akan memberikannya!” ujar Luhan. Sehun segera menghentikan kegiatannya, kalimat Luhan barusan terdengar sangat menarik.
“Serius?” tanya Sehun tak percaya.
Luhan mengangguk pasti. “Ya, serius. Kau mau apa? Bilang saja.” lanjut Luhan enteng. Ya, Luhan memang berasal dari keluarga kaya raya. Ayahnya seorang pengusaha sukses di Korea. Sehingga, ia bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan.
“Apa saja?” tanya Sehun lagi.
“Iya. Apa saja.”
Sehun tersenyum. Senyum pertama yang dilihat Luhan setelah dua puluh menit ia berada di sana.
“Aku mau Boram.”
“A..A..Apa?”
“Boram. Kau bisa memberinya untukku?”
“Hah?” Luhan masih tidak percaya pendengarannya. Sehun meminta Boram? Boram? Tidak mungkin!
“Kau pasti bercanda. Hahaha” Luhan tertawa walaupun hal itu terasa janggal untuk dirinya sendiri.
Sehun hanya menatap Luhan serius. Baginya itu bukan candaan. Luhan pun berhenti tertawa.
“Kau serius?” tanya Luhan.
Sehun mengangguk pasti.
“Tapi, Hun, Boram itu pacarku.”
“Aku tahu.”
“Tidak mungkin aku memberikan dia padamu. Kami bahkan belum lewat 24 jam pacaran.”
“Aku tahu.”
“Kalau kau tahu, kenapa kau masih menginginkannya?”
Sehun menghela nafas berat. “Karena aku tahu kau tidak mungkin memberi dia padaku.”
Luhan masih tidak percaya akan apa yang didengarnya itu.
“Tapi, kenapa harus Boram?” tanya Luhan lagi.
“Entahlah.” Sehun mengangkat bahu. “Aku hanya menginginkannya.”
Luhan tak tahu harus berbuat apa. Sungguh, ia akan mengabulkan apapun permintaan Sehun asalkan itu bukan Boram. Tapi kalau itu Boram, ia tidak mungkin mengabulkannya.
“Bagaimana?” tanya Sehun.
“Tidak bisa, Hun. Yang lain saja. Apapun asalkan bukan Boram.” pinta Luhan.
Sehun menggeleng keras. “Aku mau Boram. Kalau kau tidak bisa memberikannya, ya sudah. Aku tidak akan meminta apapun lagi padamu.” Sehun beranjak meninggalkan tempat duduknya. Sementara Luhan hanya terdiam tanpa tahu harus berbuat apa.
***
Luhan hanya memainkan sendok ice cream di hadapannya. Ice cream strawberry-vanilla yang ditambah buah-buahan kesukaannya itu sama sekali tidak menarik perhatiannya. Bahkan gadis manis dengan rambut hitam sebahu yang duduk di hadapannya itu pun heran melihat reaksi Luhan di saat kencan pertama mereka.
“Ada apa?” tanya gadis bernama Boram itu. Luhan yang sedari tadi melamun pun tersadar.
“Tidak ada apa-apa. Maaf.” Luhan merasa bersalah mengabaikan gadis yang dicintainya itu.
Suasana kembali hening. Boram tahu ada yang tidak beres dengan sikap Luhan itu. Setahu dia, Luhan lumayan aktif berbicara. Bahkan, Luhan yang selalu menyapanya duluan. Luhan yang selalu mengajaknya bicara saat ia tak mempunyai seorang temanpun yang mengajaknya bicara. Ya. Karena kepribadiannya yang tertutup, Boram tak memiliki banyak orang yang bisa ia sebut ‘teman’. Teman-teman sekelasnya hanya menganggapnya sebagai ketua kelas yang kutu buku. Sehingga saat Luhan mengajaknya bicara, itu terasa seperti ada matahari yang menerangi kegelapan hatinya. Itulah yang membuatnya jatuh hati pada Luhan. Luhan seperti sosok malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk mewarnai hidupnya. Sejak ia berteman dengan Luhan, siswa yang lain pun mulai berteman dengannya.
Namun, Boram tidak mengerti akan sikap Luhan saat ini. Boram bahkan belum melihat Luhan tersenyum seperti yang selalu ia tunjukkan saat bertemu Boram.
“Apa kau menyesal pacaran denganku?” tanya Boram tiba-tiba. Luhan terkejut mendengarnya.
“Tentu tidak. Kenapa kau berpikir seperti itu?”
Boram terdiam. Pertanyaan yang ia ajukan pada Luhan memang terdengar aneh. Tapi hal itu terlintas begitu saja di kepalanya.
“Tidak apa-apa.” jawab Boram.
Suasana kembali hening. Luhan kemudian mulai memakan ice cream yang sudah mulai mencair untuk mengurangi suasana canggung yang terjadi.
“Oh ya, Boram. Kau kenal Sehun, tidak?” tanya Luhan.
“Sehun? Temanmu kan’?”
Luhan mengangguk. Lalu kembali diam.
“Ada apa dengan Sehun?” tanya Boram balik.
Luhan merasa berat menjawabnya.
“Hari ini dia ulang tahun.”
“Oya? Kau sudah memberinya hadiah?”
“Belum.”
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu harus memberi apa.” Luhan menghembuskan nafas berat.
“Apa ada hadiah yang dia inginkan?”
Glek! Luhan menelan ludah. Iya, ada. Hadiah itu kamu! Batin Luhan berteriak. Namun, mulutnya terkunci rapat.
“Sebaiknya kau memberikan hadiah yang benar-benar dia inginkan. Hadiah itu pasti akan menjadi lebih bermakna.”
Luhan hanya mengangguk pelan mendengar pendapat Boram.
“Kita bisa pergi membelinya sama-sama.” ajak Boram yang dibalas anggukan Luhan.
***
Sehun duduk di kursi meja belajarnya namun pikirannya terbang kemana-mana. Apa yang dilakukan Luhan dan Boram saat ini? Entahlah. Sehun hanya sempat melihat mereka di kedai ice cream yang ia lewati saat pulang sekolah tadi.
Sehun memandangi jam dinding kamarnya, sudah pukul 10 malam. Ia lalu berdiri di dekat jendela kamarnya, melihat keluar jendela, lampu kamar Luhan belum dinyalakan. Ia pun tahu Luhan belum pulang.
Sehun dan Luhan memang bertetangga. Mereka pun sudah menjadi sahabat sejak Luhan pindah ke sebelah rumahnya saat berumur 8 tahun. Karena kedua orang tua Sehun tinggal di luar negeri, Sehun hanya ditemani pembantu. Sedangkan orang tua Luhan yang selalu sibuk, membuat Luhan selalu datang ke rumah Sehun untuk bermain. Begitulah mereka bersahabat hingga mereka beranjak remaja.
Bel rumah Sehun berbunyi. Sehun pun turun ke bawah untuk membuka pintu. Lalu mendapati Luhan berdiri di depan rumahnya.
“Tumben tekan bel.” ujar Sehun lalu berjalan masuk diikuti Luhan dari belakang.
“Aku ingin bicara, tentang Boram.”
Sehun menghentikan langkahnya lalu berbalik melihat Luhan.
“Aku akan memberi dia padamu.”
Sehun menatap Luhan tidak percaya.
“Aku sudah putus dengannya.” lanjut Luhan.
Sehun hanya terdiam mendengarkan Luhan. Ia bisa melihat ekspresi sedih Luhan yang tetap tampak walaupun Luhan berusaha keras menutupinya.
“Terima kasih.” ucap Sehun kemudian.
Luhan pun berbalik meninggalkan rumah Sehun.
Sehun tersenyum. Ia merasa lega dan bahagia. Tetapi sedih di saat yang sama. Sungguh, ia tidak ingin membuat Luhan sedih. Hanya saja, itu satu-satunya cara untuk mendapatkan cintanya kembali.
“Maaf, Luhan...”
***
Boram tak dapat mengabaikan tatapan siswa-siswa yang mengekorinya sejak ia menginjak pintu gerbang sekolah pagi ini. Kabar tentang putusnya hubungan antara dia dan Luhan pasti sudah menyebar seantero sekolah. Itulah sebabnya banyak siswa perempuan yang bersorak gembira karena Luhan sudah ‘available’ lagi. Apalagi mereka putus setelah tak genap sehari berpacaran.
Di koridor saat Boram berjalan menuju ruang kelasnya, ia berpapasan dengan Sehun. Sehun berpura-pura tidak melihat Boram dan terus berjalan menuju kelasnya. Tapi Boram berbalik menahan lengan Sehun.
“Bisa kita bicara?” pinta Boram lalu berjalan menuju taman belakang sekolah. Sehun mengikutinya dari belakang.
Mereka sudah sampai di taman belakang. Memang tempat itu sangat sepi sehingga suara yang terdengar hanya suara angin yang bertiup.
“Ada apa?” tanya Sehun membuka suara.
“Ini pertama kalinya kita bicara, kan?” tanya Boram.
Sehun mengangguk.
“Lalu kenapa kau menyukai orang yang bahkan belum pernah bicara padamu?”
Sehun menyunggingkan senyumnya.
“Apa Luhan yang mengatakannya?”
Boram terdiam. Ia masih menatap Sehun dengan mata yang berkaca-kaca.
“Sepertinya Luhan sudah salah paham. Aku tidak pernah mengatakan kalau aku menyukaimu.”
“Apa?”
“Aku hanya bilang kalau aku menginginkanmu.”
“Apa maksudmu?”
Sehun melangkah maju lalu mendorong Boram hingga terpojok di tembok sekolah.
“Sebenarnya aku hanya menginginkan sesuatu yang paling berharga dari Luhan dan itu adalah kau.”
Sehun lalu mulai menyentuh wajah Boram dengan tangan kanannya. Tapi Boram segera menepis tangannya.
“Aku tidak tahu apa yang dilihat Luhan darimu.” Sehun memandang tubuh Boram mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Menurutku, kau biasa-biasa saja. Tapi apa yang membuat Luhan begitu menyukaimu?”
Boram hanya terdiam sambil berusaha melepaskan diri dari Sehun. Tapi Sehun justru mengunci kedua tangannya di dinding.
“Lepaskan aku!” Boram memberontak. Sehun tidak tinggal diam, ia lalu melepaskan bogem mentah ke pipi mulus Boram hingga Boram mengeluarkan darah dari mulutnya.
“Itu karena kau sudah berani menggoda Luhan.”
Boram menatap Sehun tak percaya. Sehun lalu meninjunya untuk kedua kali hingga Boram terduduk lemas di tanah.
“Itu karena kau sudah membuat Luhan menyukaimu.” ucap Sehun. Walaupun Boram hanya mendengarnya samar-samar sebelum kedua matanya tertutup.
Sehun tersenyum puas.
***
Luhan duduk di bangkunya sambil memandangi tempat duduk Boram yang masih kosong.
“Dimana Ketua kelas kalian?” tanya pak guru.
“Tidak tahu, Pak. Bolos, mungkin.” ujar salah seorang teman kelasnya.
Mereka pun berbisik-bisik kecil. Padahal tadi mereka melihat Boram di sekolah. Tapi kenapa ia tidak masuk untuk belajar. Pasti karena dia sedang patah hati. Begitulah mereka mulai bergunjing.
“Sudah-sudah. Sekarang kita mulai saja pelajaran hari ini.” kata Pak guru.
“Iya, Pak!” sahut mereka serempak.
Sementara Luhan masih terdiam di bangkunya dengan perasaan bersalah yang amat besar.
***
“Hei, Luhan!” panggil Sehun. Luhan berbalik.
“Kau sudah mau pulang?” tanya Sehun. Luhan mengangguk.
“Kita pulang bareng aja.” ujar Sehun.
“Baiklah.”
Sebuah mobil sedang hitam pun berhenti di depan pintu gerbang sekolah. Luhan dan Sehun pun menaiki mobil itu.
Selama perjalanan, suasana hening. Hanya alunan suara Taeyang yang melantunkan lagu “Eyes, Nose, Lips” mengalun lembut dari mp3 player. Sedangkan Luhan hanya bersandar di tempat duduknya sambil menatap kosong keluar jendela.
“Kau kenapa?” tanya Sehun.
“Tidak apa-apa.” Luhan menghembuskan nafas panjang.
“Wajahmu pucat.” tegur Sehun. Lalu memegang kening Luhan. “Kau demam.”
“Aku baik-baik saja.” kata Luhan lagi.
“Apa kau sudah makan?” tanya Sehun. Luhan tidak menjawab. Kedua matanya perlahan tertutup rapat.
***
Luhan masih tertidur pulas di tempat tidur sementara Sehun datang membawa nampan berisi semangkuk bubur, air putih, dan obat. Lalu meletakkannya di meja samping tempat tidur Luhan. Kemudian Sehun mengambil handuk kecil dari kening Luhan dan kembali membasahinya dengan air hangat.
“Apanya yang baik-baik saja? Jelas-jelas kau sedang sakit.” ujar Sehun sambil meletakkan handuk itu lagi di kening Luhan. Tubuh Luhan yang tertutupi selimut tebal pun mulai mengeluarkan keringat. Tak lama kemudian, Luhan mulai menggerakkan kepalanya seperti sedang bermimpi. Lalu mengigau dalam tidurnya.
“Boram...Boram...” ucap Luhan pelan dengan mata yang masih terpejam. Sehun yang mendengarnya sontak terkejut.
“Boram, Boram. Kenapa harus Boram?” tanya Sehun cemburu walaupun ia tahu Luhan tidak akan menjawabnya.
“Boram..” Luhan masih memanggil nama Boram.
Sehun semakin tidak dapat menahan amarahnya.
“Berhentilah memanggil namanya!”
“Bo...” Tiba-tiba Sehun menutup bibir Luhan dengan bibirnya. Menciumnya penuh nafsu hingga bibir Luhan yang tadinya pucat berubah menjadi merah kembali.
Sehun menahan beban tubuhnya dengan kedua tangannya sambil terus mencium Luhan. Sesekali ciumannya terlepas karena Luhan tiba-tiba menggerakkan kepalanya. Tapi Sehun tak berhenti menciumnya. Ia melampiaskan seluruh perasaan yang telah ia pendam selama ini. Ya, dia memang menyukai Luhan. Jauh, sebelum Luhan mengenal Boram. Ia tak tahu pasti kapan tepatnya ia mulai jatuh hati pada pria sempurna itu. Yang ia tahu, ia tidak bisa menghindari perasaan itu. Walaupun perasaan itu adalah hal paling salah yang pernah ia rasakan.
Tiba-tiba Luhan membuka kedua matanya, sontak mendorong tubuh Sehun kasar. Sehun pun tak kalah terkejutnya.
“A..Apa yang kau lakukan?” Luhan langsung terduduk sambil mengusap bibirnya kasar.
“Aku...” Sehun kehilangan kata-kata.
Luhan tidak dapat mempercayai akan apa yang telah dilakukan Sehun padanya. Ia menatap Sehun dengan tatapan aneh sekaligus jijik. Sehun yang ditatap seperti itu mulai gelap mata. Ia lalu mendorong tubuh Luhan hingga terbaring di tempat tidur dan menindihnya.
“Ya! Sehun!! Apa yang kau lakukan!!” Luhan berteriak. Namun, hal itu tidak menghentikan Sehun yang mengikat kedua tangan Luhan dengan rantai yang entah darimana ia dapatkan.
“Yak!! Lapaskan aku, Sehun!!” Luhan masih berontak. Akan tetapi, tenaganya masih lemah untuk melawan Sehun. Sehun pun mengikat kedua kaki Luhan hingga Luhan tak dapat bergerak lagi.
“Lepaskan aku, Sehun!! KAU SUDAH GILA!” Luhan berteriak.
“Ya, kau benar. Aku sudah gila. Aku gila karenamu. Kau tahu?” Sehun lalu kembali mencium Luhan sambil memegangi kepala Luhan dengan kedua tangannya agar Luhan tak dapat menghindari ciumannya. Sehun mencium bibir Luhan yang menutup rapat dengan penuh nafsu. Lalu berusaha membuka mulut Luhan dengan menggigit bibir Luhan ganas.
“Akh!” Luhan meringis kesakitan. Hal itu dimanfaatkan Sehun untuk memasukkan lidahnya kedalam mulut Luhan dan memperdalam ciumannya.
Selang beberapa menit kemudian Sehun melepaskan ciumannya untuk memberi ruang pada Luhan yang mulai kehabisan nafas.
“Berhenti, Sehun! Kumohon!! Hentikan!” pinta Luhan. Tapi Sehun tidak memperdulikannya. Ia lalu beralih ke leher Luhan yang putih itu dan menciumnya lagi diselingi dengan gigitan-gigitan kecil yang meninggalkan jejak kemerahan di leher Luhan. Luhan yang tidak dapat berbuat apa-apa mulai terisak. Ia bukan tipe orang yang gampang mengeluarkan air mata. Tapi aksi Sehun membuatnya menangis karena marah.
Sehun menghentikan kegiatannya. Lalu menatap Luhan dan menghapus air mata Luhan dengan jari-jarinya.
“Jangan menangis, Luhan.” ucap Sehun. Luhan hanya menatap Sehun dengan penuh amarah.
“KAU GILA! Lepaskan aku! Dasar orang gila!!” Luhan tidak memperdulikan status Sehun sebagai sahabatnya. Baginya, kini Sehun hanya orang gila. Sehun tersenyum senang mendengarnya.
“Aku memang sudah gila, Luhan. Kau tahu berapa lama aku sudah memendam perasaan ini? Bahkan saat kau mulai jatuh cinta pada gadis kampungan itu, aku harus berusaha tenang walaupun hatiku marah. Itu semakin membuatku menginginkanmu.” Sehun tersenyum sumringah sambil membuka kancing baju Luhan satu persatu.
“Oya, aku sudah memberi pelajaran pada gadis kampungan itu. Kau tidak akan pernah melihatnya lagi.” Ujar Sehun. Luhan tersontak kaget.
“Apa yang kau lakukan pada Boram?!!”
“Itu... rahasia.” Bisik Sehun tepat ditelinga Luhan lalu mencium bibir Luhan lagi. Luhan hanya menangis meratapi nasibnya.
“Kau adalah milikku, Luhan. Ingat itu baik-baik.” ujar Sehun.
***
Matahari bersinar masuk ke sela-sela ventilasi kamar Sehun sanggup membangunkan Sehun dari tidur lelapnya. Di sampingnya, Luhan masih berbaring membelakanginya. Sehun pun melingkarkan tangannya di pinggang Luhan.
“Good morning, chagi.” ucapnya. Luhan hanya terdiam, pura-pura tertidur. Sehun pun bangun dan melihat Luhan yang masih tertidur. Sehun melihat pergelangan tangan dan kaki Luhan yang sudah merah dan mulai berbekas. Ia kasihan juga melihatnya. Ia pun mulai membuka rantai yang mengikat tangan dan kaki Luhan. Lalu meninggalkan Luhan menuju kamar mandi.
Luhan terbangun dan segera beranjak dari tempat tidur. Ia pun berlari pulang ke rumahnya kemudian mengunci semua pintu dan jendela rumahnya. Dalam kamar mandi, Luhan membersihkan seluruh tubuhnya dengan sabun dan pancuran air yang mengalir. Tapi seberapa keraspun ia berusaha membersihkan dirinya, dia tetap merasa manusia paling kotor di dunia. Ia pun kembali menangis seraya berusaha menghapus memori kelam semalam.
***
Dengan langkah gontai, Luhan keluar dari kamar mandi setelah memakai kaos putih dan celana jeans pendek berwarna biru tua. Ia pun terkejut setengah mati melihat Sehun sudah duduk di tempat tidurnya dengan memakai seragam sekolah rapi.
“Ba, bagaimana kau bisa masuk?” Luhan tidak dapat menyembunyikan perasaan terkejutnya. Sehun tersenyum. “Tidak ada yang tidak bisa kulakukan. Kau tahu itu.”
“Cepat keluar dari rumahku!! Atau, aku akan memanggil polisi!!” ancam Luhan. Sehun pun berdiri lalu melangkah mendekati Luhan. Luhan melangkah mundur menuju pintu lalu mencoba membukanya. Tapi tidak bisa, pintunya terkunci.
“Kau cari ini?”
Luhan berbalik dan mendapati Sehun sudah berada tepat di depannya sambil memamerkan sebuah kunci di tangannya. Sehun pun memasukkan kunci itu ke dalam saku celananya. Lalu meletakkan kedua tangannya di atas bahu Luhan.
“Kau tidak akan bisa lari dariku. Apa kau lupa? Kau adalah MILIKKU.” bisik Sehun.
Tubuh Luhan kembali bergetar hebat. Sosok Sehun sudah menjadi sangat menakutkan baginya. Jujur, ia trauma berat. Sehingga melihat Sehun saja sudah membuatnya kehilangan tenaga karena ketakutan.
Sehun bisa melihat jelas tatapan takut dari mata Luhan. Itu adalah pertama kalinya Luhan menatapnya seperti itu. Dalam hati ia pun tak menginginkan Luhan takut padanya. Karena demi apapun, ia hanya menginginkan Luhan dan mencintai pria itu sama seperti ia mencintai hidupnya.
Sehun lalu menyentuh pipi Luhan yang terlihat pucat karena takut. Luhan hanya berdiri membeku. Sehun pun mencium kening Luhan lembut dengan penuh kasih sayang.
“Jangan takut padaku, Hannie. Aku tidak akan menyakitimu.” kata Sehun seraya memeluk Luhan. Luhan hanya terdiam tanpa membalas pelukan Sehun.
“Ayo kita pergi ke sekolah.”
***
Luhan harus pergi ke sekolah. Atau Sehun akan melakukan hal ‘itu’ lagi. Mereka pun sama-sama berangkat ke sekolah.
Di sekolah, berita tentang Boram yang masuk ke rumah sakit sudah menyebar luas. Kabarnya, Boram terluka parah setelah dibully habis-habisan. Mereka menganggap pelakunya pasti para fans Luhan yang berniat membalas dendam. Sehingga kepala sekolah pun turun tangan akan menindak tegas pelaku pembully-an itu.
Luhan tahu Sehun pelakunya. Tapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Karena Sehun terus berada di sampingnya dan mengamati setiap gerak-geriknya. Bahkan ke kamar mandi sekalipun.
Satu waktu, Sehun dipanggil ke ruang guru. Sehingga Luhan memanfaatkan hal itu untuk menghindar dari Sehun. Luhan menaiki lift menuju lantai paling atas gedung sekolah. Sesampainya di sana, Luhan pun berdiri di sisi tembok yang cukup pendek itu sambil melihat ke bawah. Ia tidak memikirkan apa-apa lagi. Ia ingin mengakhiri hidupnya. Karena baginya, semua tak bermakna lagi. Bahkan, ia membenci dirinya sendiri. Ia tidak akan bisa menghapus kenangan buruk itu seumur hidupnya. Ia pun tidak akan bisa lari dari Sehun. Daripada hidup seperti itu seumur hidupnya, lebih baik ia mengakhiri hidupnya sekarang juga.
Luhan menghembuskan nafas berat sambil memejamkan mata. Ia pun merentangkan kedua tangannya dan bersiap untuk terjun bebas. Tetapi tiba-tiba seseorang menariknya ke belakang hingga ia terjatuh di lantai.
Luhan membuka matanya dan melihat Sehun tepat di hadapannya. Sehun masih berusaha mengatur nafasnya yang tidak beraturan karena berlari menaiki tangga tadi.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Sehun. Luhan tidak menjawab. Bahkan ia tidak mau menatap Sehun. Sehun pun menyentuh dagu Luhan untuk membuat Luhan menatapnya. Tapi Luhan menepis tangannya kasar.
“Jangan sentuh aku. Kau menjijikkan.” ucap Luhan. Sehun hanya menatapnya dalam diam. Luhan pun berdiri kemudian mencoba menaiki tembok itu lagi. Tapi Sehun segera mencegahnya. Ia menarik tangan Luhan menjauh dari tepi tembok. Lalu menyandarkan Luhan ke tembok dengan kasar.
“Kau tidak boleh mati!” ucap Sehun.
“Jangan melarangku! Kau pikir aku masih bisa hidup setelah apa yang kau lakukan?” Kali ini Luhan berani menatap Sehun. Ada seberkas rasa benci bercampur kemarahan dari tatapannya itu.
Sehun tidak dapat berkata apa-apa. Ia tahu betapa Luhan sangat membencinya saat ini. Ia pun tak ingin membuat Luhan terluka seperti ini. Ia hanya sangat mencintai pria itu dengan seluruh hidupnya. Ia ingin pria itu menjadi miliknya. Hanya miliknya.
Pintu itu terbuka dan muncullah seorang penjaga sekolah.
“Hei, kalian cepat pulang. Bapak mau mengunci pintu ini.” ujar penjaga sekolah.
“Baik, Pak.” ujar Sehun.
***
Sehun mengikuti Luhan masuk ke dalam rumah. Ya, karena Sehun-lah yang memegang kunci rumahnya. Jadi, Sehun bebas melakukan apa saja di rumah Luhan. Luhan sendiri tidak dapat berbuat apa-apa selain membiarkan Sehun. Sebab Sehun bisa melakukan apa saja. Ia tidak mungkin melaporkan Sehun karena itu akan merusak nama baik ayahnya. Luhan hanya bisa menunggu saat yang tepat untuk lenyap dari bumi ini.
Sehun memasak di dapur sementara Luhan menunggunya di ruang makan. Tentu itu bukan keinginan Luhan. Ia melakukannya dengan terpaksa.
Tak lama kemudian, Sehun menyajikan dua piring spagetti di meja.
“Makanlah.” kata Sehun. Luhan menurutinya karena Sehun berjanji tidak akan menyentuh Luhan lagi jika Luhan menuruti perintahnya. Sehun tersenyum memandang Luhan. Sedangkan Luhan hanya fokus menghabiskan makanannya agar ia dapat segera beranjak dari tempat itu.
***
Malam mulai larut. Tapi Luhan tak juga bisa memejamkan matanya. Ia takut bagaimana jika Sehun tiba-tiba muncul dan menyerangnya lagi?
Luhan menutupi tubuhnya rapat-rapat dengan selimut tebalnya dan mulai mencoba memejamkan mata. Dalam pikirannya ia menghitung domba-domba mulai dari satu dan seterusnya hingga ia tertidur lelap.
***
Sehun hanya menatap wajah Luhan yang sedang tidur itu sambil tersenyum. Wajah Luhan memang terlihat seperti malaikat. Sejujurnya, Sehun pun merasa bersalah telah menodai malaikat itu. Tetapi perasaan cintanya seakan membenarkan segalanya.
Apalagi bibir Luhan yang berwarna merah ranum itu begitu menggodanya. Ia pun mendekatkan wajahnya dan mencium Luhan. Ciuman yang begitu lembut agar Luhan tak terbangun dari tidurnya.
***
Hari ini hari Minggu. Sehun terbangun lebih lambat dari biasanya. Ia baru bangun saat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Ia pun berjalan menuju kamar Luhan. Tetapi ia tidak melihat Luhan di kamarnya.
Dengan perasaan cemas, Sehun mencari Luhan di seluruh kamar rumah itu. Tapi ia tak juga bisa menemukannya. Sampai ia tiba di dapur dan mendapati Luhan sudah terbaring lemas di lantai. Darah sudah mengalir deras dari pergelangan tangannya sementara di sampingnya tergeletak sebuah pisau dapur.
“Luhan!!” Sehun berlari menghampiri Luhan dan mencoba menyadarkannya. Ia pun segera menelpon ambulance.
***
Sehun merasa bersyukur Luhan masih bisa diselamatkan walaupun ia sudah kehilangan banyak darah. Sambil menggenggam tangan Luhan, Sehun duduk di sisi tempat tidur Luhan, sambil menunggu orang yang disayanginya itu sadar.
Tak lama kemudian, Luhan sadar. Dari baunya, ia tahu kalau dia sedang berada di rumah sakit. Luhan menghela nafas berat. Lagi-lagi niatnya mengakhiri hidup gagal.
Luhan pun mencabut selang infus yang tertancap di pergelangan tangannya dengan paksa. Lalu beranjak dari tempat tidur. Seorang perawat yang sedang berjaga berusaha menghentikannya. Tapi Luhan tidak memperdulikannya. Setelah mendengar terjadi keributan, Sehun yang sedang mengurus administrasi rumah sakit segera berlari menuju ruang UGD.
Luhan melemparkan apapun benda yang dilihatnya agar dokter dan perawat menjauh darinya. Tapi penjaga keamanan segera datang menahan tubuhnya.
“Lepaskan! Lepaskan aku!! Biarkan aku pergi!!!” Luhan berteriak histeris.
“Luhan!” Sehun terkejut melihat aksi Luhan yang histeris itu. Seorang dokter pun segera menyuntikkan obat penenang ke tubuh Luhan. Tak sampai dua menit kemudian, tubuh Luhan melemah dan segera dibaringkan lagi di tempat tidur.
“Trima kasih, dok.” ucap Sehun. Dokter dan para perawat hanya mengangguk lalu meninggalkan mereka.
Sehun pun mendekati Luhan yang sudah tertidur pulas. Dengan lembut, ia membelai rambut Luhan yang sedikit berantakan itu.
“Kau tidak boleh seperti ini, Luhan.” ucapnya.
***
“Bagaimana perasaanmu? Sudah merasa baikan?” tanya seorang wanita paruh baya pada Boram.
Boram hanya mengangguk pelan. “Eomma, kita sudah bisa pulang kan’?”
“Iya. Tapi, kita tunggu hasil laboratorium dulu. Semoga saja tidak ada hal buruk dengan kepalamu.” Ibu Boram pun mengelus pipi anaknya itu dengan lembut. “Aigoo, anakku siapa yang tega melakukan hal ini padamu? Apa kau benar-benar tidak ingat?” tanya ibunya.
Boram mengalihkan pandangannya keluar jendela.
“Aku tidak ingat, Eomma.” kata Boram berbohong. Walaupun ia tahu pasti kalau Sehun-lah pelakunya. Tapi saat ini ia belum bisa mengatakannya. Karena hal itu akan membahayakan Luhan. Ia tidak ingin Luhan berada dalam bahaya.
***
Perlahan Luhan membuka matanya. Ia pun melihat langit-langit kamar yang berwarna biru tua yang dihiasi lukisan bintang terang. Ia tak tahu tempat itu. Ia pun mencoba duduk. Ruangan itu tidak terlalu besar. Tetapi cukup untuk diisi sebuah tempat tidur, lemari pakaian, dan sebuah meja dan sofa, serta rak kaset dan proyektor. Luhan mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya menyadari bahwa tempat itu dipenuhi foto-foto dirinya yang dipajang di dinding. Foto-foto mulai dari ia kecil sampai sekarang. Ada beberapa foto yang diambil secara terang-terangan dan ada pula yang sepertinya diambil dengan sembunyi-sembunyi. Luhan ingin melihat foto itu lebih dekat tapi tangan dan kakinya terantai di tempat tidur.
“Oh, kau sudah sadar. Makanlah, aku membuatkan makanan kesukaanmu.” Sehun muncul dari balik pintu sambil membawa nampan.
“Kau pasti penasaran, tempat apa ini?” Sehun bisa membaca raut wajah Luhan.
“Ini tempat rahasiaku. Tempat aku menyimpan semua hal tentangmu. Setiap malam aku akan berada di tempat ini untuk sekadar mengagumimu. Kau tahu?”
Luhan hanya terdiam. Sehun pun mendekatinya lalu membelai rambutnya lembut.
“Maaf, aku terpaksa harus mengurungmu di tempat ini. Karena kau tidak mau mendengarkanku.”
“Oh ya, ini makanlah. Biar kusuapi.” Sehun pun mulai menyendok nasi dan kari buatannya lalu mengarahkannya ke mulut Luhan. “Aaaaa...”
Luhan tetap menutup mulutnya rapat. Sehun menghela nafas, “Kau ini keras kepala juga rupanya. Terpaksa..” Sehun mulai membuka kancing baju Luhan satu-persatu.
“Jangan! Baiklah, aku akan makan!” Luhan tahu apa yang akan dilakukan Sehun pun tak bisa berbuat apa-apa selain menurutinya. Ia pun memakan kari yang disuapkan Sehun itu.
“Anak pintar...” Sehun tersenyum puas.
***
Boram mulai masuk ke sekolah. Ia memang sudah sehat seperti sediakala. Ia pun kembali belajar seperti biasa. Namun, ketidakhadiran Luhan membuatnya tak bisa fokus pada pelajaran. Apa Luhan baik-baik saja? Boram mulai khawatir. Apalagi saat ia tahu Luhan sudah satu minggu tidak ke sekolah.
Boram ditugasi oleh wali kelas mereka untuk pergi menjenguk Luhan karena sudah seminggu ini tidak ada kabar darinya. Boram yang menyanggupi hal itu pun pergi ke rumah Luhan seorang diri. Namun, berapa kalipun Boram menekan bel rumah Luhan, tetap tak ada jawaban. Luhan tidak ada di rumahnya.
Dari jendela kamarnya, Sehun bisa melihat Boram yang berdiri di depan pintu rumah Luhan. Ia berharap Boram segera pergi dari tempat itu. Tapi tidak, Boram justru mengambil ponsel dari sakunya dan menelpon seseorang.
Boram mulai mengitari rumah Luhan. Ia bisa merasakan ada seseorang yang memperhatikan gerak-geriknya. Tapi begitu ia melihat ke arah jendela, tak ada seorang pun di sana.
***
Sehun berkali-kali mondar-mandir di kamarnya. Ia khawatir mungkin Boram akan tahu kalau ia menyekap Luhan di ruang bawah tanah rumahnya. Tak lama kemudian, bel rumah Sehun berbunyi. Sehun segera berlari ke arah pintu. Dari kamera pengawas ia bisa mengetahui kalau yang datang itu adalah Boram dengan beberapa polisi di belakangnya.
“Aish...shit!” Sehun berusaha mencari cara untuk menutupi keburukannya. Ia pun segera berlari ke kamar kemudian membuka pintu rahasia menuju tempat Luhan disekap.
Luhan terkejut melihat Sehun yang tiba-tiba datang dengan wajah cemas.
“Kau, tunggu di sini. Jangan lakukan apapun. Mengerti!” Sehun pun menutup mulut Luhan dengan lakban dan mengencangkan ikatan tangan dan kaki Luhan.
“Aku akan segera kembali.” Sehun mencium kening Luhan sebelum meninggalkan tempat itu.
“Sehun-ssi. Buka pintunya!” seru seorang polisi sambil terus menekan bel rumah Sehun. Sehun pun membuka pintunya. “Ya. Ada apa ya, pak?” tanya Sehun.
“Boleh kami masuk?”
“Iya, silakan.”
Tiga orang polisi itu pun memasuki rumah Sehun diikuti Boram dari belakang. Mereka pun duduk di ruang tamu.
“Ada apa, Pak?” tanya Sehun lagi.
“Begini, Sehun-ssi. Kami menerima laporan dari nona ini kalau temannya sudah hilang selama seminggu. Namanya Luhan. Apa kau tahu? Katanya kau sahabat Luhan, bukan?”
Sehun menatap tajam Boram sebentar sebelum mengangkat kedua bahunya.
“Saya tidak tahu, Pak. Saya memang sahabat Luhan. Tapi, sudah satu minggu ini saya tidak bertemu dengannya.”
“Itu tidak benar, Pak. Saya sempat melihat dia dan Luhan di rumah sakit lima hari yang lalu.” Boram angkat bicara.
“Apa itu benar, Sehun-ssi?”
Sehun mulai berkeringat dingin. Dalam hati ia mengutuk Boram habis-habisan. ‘Dasar gadis kampungan! Lihat saja pembalasanku nanti!’
“Oh, entahlah, Pak. Saya juga tidak ingat.”
Melihat kelakuan Sehun yang mulai mencurigakan, polisi itu mulai mengambil inisiatif sendiri.
“Kami harus menggeledah rumah Anda, Sehun-ssi” Polisi itu pun memerintahkan kedua anak buahnya untuk menggeledah rumah Sehun.
Sehun hanya bisa melihatnya tanpa berbuat apa-apa. Para polisi itu mulai memeriksa kamar utama, dapur, ruang keluarga, dan kamar mandi. Tapi tidak menghasilkan apa-apa. Mereka pun mulai naik ke lantai dua dimana ada tiga kamar yang salah satunya adalah kamar Sehun. Sehun semakin gugup dan mengeluarkan keringat dingin. Apalagi saat mereka sudah sampai di kamarnya.
“Tidak ada apa-apa di sini, Pak.” Ucap salah satu bawahannya setelah menggeledah kamar Sehun. Sehun menghela nafas lega. Tapi itu tidak menghalangi niat Boram.
“Coba cari lagi, Pak. Mungkin ada ruang tersembunyi.”ujar Boram. Sehun tersedak kaget. Tiba-tiba terdengar suara gelas pecah dari dalam salah satu rak buku.
“Apa itu?” para polisi bergegas berlari ke arah rak buku. Benar saja, setelah menyingkirkan buku-buku itu, mereka menemukan sebuah tombol yang setelah ditekan, membuka sebuah pintu dari balik rak buku itu.
Mereka pun mulai memasuki ruangan itu. Tapi Sehun segera mendahului mereka sambil membawa pistol yang ia rebut dari salah satu polisi tadi.
“Jangan mendekat!” seru Sehun sambil menarik Luhan sebagai sandera.
“Luhan...” Boram tak dapat menyembunyikan perasaan sedihnya.
Salah satu polisi tersebut segera menelpon bala bantuan.
“Tenang, Sehun-ssi.” Ujar seorang polisi sambil perlahan mendekati Sehun dan Luhan.
“Sudah kubilang, jangan mendekat!! Aku tidak akan menyerahkan Luhan pada kalian!! Dia milikku!!! Milikku!!! Mengerti!!” teriak Sehun.
“Baiklah, kami tidak akan mendekat.”
Sehun masih mengarahkan pistol itu ke kepala Luhan. Luhan tidak dapat berbuat apa-apa.
“Maafkan aku, Luhan. Kalau aku tidak bisa memilikimu, maka tidak ada seorang pun yang bisa.” Bisik Sehun sambil menarik pelatuk pistolnya.
“TIDAK!!!” Boram berlari menabrak Sehun dan Luhan sehingga mereka bertiga terjatuh di lantai. Pistol di tangan Sehun pun terlepas. Polisi segera menangkap Sehun dan memborgol kedua tangannya.
“Lepaskan aku!” Sehun memberontak. Tapi para polisi segera menariknya keluar dari tempat itu.
Boram pun segera bangun dan membuka lakban serta ikatan di tangan dan kaki Luhan.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Boram. Luhan mengangguk pelan lalu tersenyum.
“Terima kasih, Boram.” ucapnya.
Boram tersenyum lalu memeluk Luhan erat. Luhan membalas pelukan Boram hangat.
***
Sehun hanya terdiam menanggapi pertanyaan psikiater di hadapannya.
“Sehun-ssi, aku akan bertanya sekali lagi. Bagaimana kau bisa menyukai Luhan?”
Sehun tersenyum.
“Hah.. Bagaimana? Hmm... Bagaimana aku bisa tidak menyukainya? Dia tampan, baik, dan pintar. Dia sempurna.”
“Dia adalah pahlawanku. Waktu duduk di bangku SMP, aku sering di bully karena tubuhku yang lebih kecil dari mereka. Luhan selalu datang menolongku. Bahkan dia juga yang selalu mengobati lukaku.”
“Dia adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk melengkapi hidupku. Dia milikku, dok! Dimana dia sekarang? Apa dia bersama Boram? Dasar gadis kampungan! Aku akan membunuhnya!!!”
Sehun mulai memberontak lagi. Para penjaga segera menahan tubuhnya kemudian menyuntikkan obat penenang di tubuhnya.
***
Satu tahun kemudian...
Luhan baru pulang kuliah dari kampusnya di Columbia University saat Boram menyambutnya dengan sebuah cake cokelat.
“Selamat ulang tahun, Luhan!” seru Boram. Luhan tersenyum.
“Tiup lilinnya...”
Luhan segera meniup lilin kue ulang tahunnya.
“Tidak make a wish dulu?” tanya Boram heran karena Luhan hanya meniup lilin tanpa berdoa terlebih dahulu.
“Untuk apa? Aku sudah bersyukur akan apa yang ada sekarang. Terima kasih, Boram.” ucapnya.
Boram tersenyum. Tapi ia bisa melihat wajah Luhan yang pucat.
“Kau baik-baik saja?”
Luhan mengangguk pelan. Boram memeriksa kening Luhan. Panas. Luhan sedang demam.
“Kau demam. Sebaiknya kau beristirahat. Aku akan membuatkan bubur.”
Luhan mengangguk menuruti perintah Boram.
Beberapa menit kemudian, Boram selesai membuat bubur. Ia pun mengantarkannya ke kamar Luhan.
Luhan sudah tertidur di ranjangnya. Boram pun mengompres panas Luhan dengan meletakkan sebuah handuk kecil di kening Luhan.
“Jangan! Jangan Sehun!! Kumohon lepaskan aku!” Luhan mengigau dalam tidurnya. Boram tahu ia sedang bermimpi buruk.
“Luhan, bangun.” Boram berusaha membangunkan Luhan. Luhan pun terbangun.
“Kau tidak apa-apa?”
Luhan masih mengatur nafasnya yang tidak beraturan.
“Kau bermimpi buruk, Luhan.”
Luhan hanya terdiam tetapi masih jelas nampak perasaan ketakutan dari wajahnya.
“Aku tidak apa-apa, Boram. Pulanglah.”
Boram tahu Luhan sedang berusaha menjauhkan dirinya lagi. Selalu seperti ini. Luhan selalu berusaha membuat Boram menjauh darinya. Boram tahu itu.
“Jangan menutupinya, Luhan. Aku tahu kau sedang terluka.” ucap Boram.
Suasana kembali hening.
“Kau bisa mendapatkan seseorang yang lebih baik dariku, Boram.” Luhan menunduk.
“Tidak, Luhan. Aku hanya mencintaimu. Biarkan aku menghapus kenangan buruk itu.”
Boram mengarahkan wajah Luhan untuk memandangnya lalu menciumnya lembut.
Luhan membalas ciuman Boram. Mulai dari ciuman yang lembut hingga ciuman panas yang membuat lidah mereka saling bertaut.
Luhan pun mulai mendorong tubuh Boram lalu menindihnya tanpa melepaskan ciuman mereka.
Setelah beberapa menit berciuman, Luhan melepaskan ciumannya.
Mereka saling bertatapan penuh makna.
“Kau yakin?”
Boram mengangguk pasti. Mereka pun berciuman lagi sambil melepaskan pakaian mereka masing-masing.
Kenangan indah malam itu telah menghapus kenangan buruk di benak Luhan.
***
No comments:
Post a Comment