Monday, 26 January 2015

[Fanfiction Hunhan] Sehun's Birthday


Hari ini ulang tahun Sehun. Tepat di angka 20 tahun. Seperti hari-hari ulang tahun sebelumnya, acara ulang tahun Sehun berlangsung meriah di ballroom hotel bintang lima dengan cake yang tingginya menyamai tinggi tubuhnya. Hanya dua ratus orang yang diundang ke pesta itu. Orang-orang yang pastinya memiliki kelas yang sama dengan Sehun. Mereka datang dengan mengenakan setelan jas putih untuk pria dan gaun putih untuk wanita. Intinya, semua serba putih. Hanya Sehun yang bisa mengenakan setelan jas hitam kesukaannya. Karena ini hari ulang tahunnya, semua orang menuruti keinginannya.
Sehun yang dibesarkan seorang diri oleh ayahnya yang merupakan golongan konglomerat di Korea memang istimewa. Sejak kecil, semua yang ia inginkan dapat dipenuhi oleh ayah yang sangat menyayanginya itu. Sampai-sampai ia tak pernah merindukan ibunya yang tak pernah ia temui sejak sebelas tahun yang lalu. Ia pun tak pernah merasa kesepian karena ia memiliki banyak teman. Namun, hanya ada dua teman yang ia anggap seperti saudaranya sendiri, yaitu Kris dan Chanyeol.

Kris dan Chanyeol tahu satu hal yang tak bisa Sehun ceritakan kepada orang lain, bahkan pada ayahnya sendiri. Oleh karena itu, sebagai sahabat, di hari istimewa ini, mereka memberikan kado yang paling Sehun inginkan. Satu-satunya kado yang Sehun idam-idamkan sejak dua tahun yang lalu. Sebuah kado yang tidak mungkin dapat dibeli oleh ayahnya karena tak ternilai dengan uang.

Setelah pesta usai, Kris dan Chanyeol pun mengantar Sehun menuju sebuah apartemen dengan mobil sport hadiah dari ayah Sehun.

“Hadiah apa? Kenapa mataku harus ditutup segala?” tanya Sehun penasaran. Sebuah kain hitam menutup kedua mata cokelatnya.

“Biar surprise!” jawab Chanyeol sambil terkekeh pelan.

“Pokoknya hadiah ini adalah hadiah yang paling kau inginkan. Aku yakin kau pasti menyukainya!” tambah Kris excited.

Hadiah yang paling ia inginkan. Ya, ia tahu itu. Tapi, itu tidak mungkin. Tidak mungkin.

Rasa penasaran Sehun pun membuncah seiring sampainya mereka di apartemen itu.

“Siap?” tanya Chanyeol sambil menuntun Sehun berjalan masuk ke dalam apartemen. Sehun hanya mengangguk pelan dan membiarkan Chanyeol menuntunnya.

“Okey. Kita sudah sampai.” Ujar Chanyeol.

Kris yang berada di belakang mereka pun sigap membuka penutup mata Sehun.

Sehun mengerjapkan matanya berkali-kali agar ia dapat melihat sosok yang tengah tertidur itu dengan jelas.

“Lu...Han?” Sehun tidak percaya. Ia tercengang.

“Bagaimana bisa?” tanya Sehun.

Kris dan Chanyeol tersenyum lebar.

“Kau tahu tidak ada yang tidak bisa kami lakukan.” Ujar Chanyeol bangga.

“Tap, tapi... bagaimana jika orang lain tahu?” Sehun mulai khawatir.

“Sudahlah, kau tidak perlu memikirkannya. Kami pergi dulu. Ayo Chanie.” Kris pun menarik lengan Chanyeol.

“Selamat menikmati hadiahmu, Sehunna!” seru Chanyeol sebelum menghilang dari balik pintu.

Sehun masih terpaku. Separuh dirinya masih tidak mempercayai kalau pria yang ia idamkan itu benar-benar ada di depan matanya. Namun, ia tidak memungkiri bahwa ia sangat bahagia.

Dengan langkah pelan tapi pasti, Sehun mulai mendekati tempat tidur dimana Luhan tertidur pulas. Ia pun tersenyum menyadari betapa damainya wajah yang sedang tertidur itu. Sehun memang belum pernah melihat malaikat, namun ia yakin wajahnya pasti tak jauh beda dengan wajah Luhan saat ini.

Sehun duduk di tepi tempat tidur sambil membelai rambut berwarna kecokelatan Luhan lembut. Jantungnya pun berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya. Debaran yang awalnya terasa janggal dan aneh. Namun, kini baginya itu normal.

Sehun masih mengingat empat tahun yang tahun lalu saat ia masih duduk di bangku SMA, seorang siswa baru pindahan dari China bernama Luhan memang sudah menarik perhatiannya. Ia tak pernah melihat senyum yang begitu manis seperti senyum Luhan. Ia bahkan tak tahu mengapa kedua mata pria itu terlihat begitu indah. Itu aneh.

Berawal dari perasaan aneh itulah Sehun mulai mengenal Luhan. Luhan dibesarkan dalam keluarga sederhana di China. Ia adalah siswa pertukaran pelajar China-Korea yang tergolong cerdas. Ia bahkan berhasil menggeser Kyungsoo menjadi peringkat pertama di sekolah. Tak hanya itu, Luhan pun pandai dalam olahraga. Ia seringkali menang dalam pertandingan basket maupun sepakbola. Karena hal itu, dalam sekejap ia menjadi siswa populer di sekolah.

Luhan sangat ramah. Ia berteman dengan siapa saja, termasuk Sehun yang terkenal dingin dan cuek. Memang Sehun tak pernah mau berteman dengan seseorang yang tidak berada di strata yang sama dengannya. Namun entah mengapa, Luhan dapat menghilangkan hal itu. Sehun menerima Luhan dengan sangat baik.

Luhan pria yang normal. Ia pernah menyatakan cinta pada seorang gadis di sekolah. Saat itulah Sehun merasa ada yang aneh dengan dirinya. Ia merasa cemburu. Tapi cinta Luhan hanya bertepuk sebelah tangan. Gadis itu menyukai Sehun.

Sehun masih ingat bagaimana Luhan yang baru ditolak cintanya itu bermain basket di lapangan sendirian meski hujan turun deras membasahi sekujur tubuhnya. Sehun pun menghampiri Luhan sambil memakai payung berwarna merah yang cukup besar.

“Berhentilah bermain, nanti kau sakit.” Ujar Sehun.

Luhan hanya meliriknya sebentar lalu kembali fokus memasukkan bola ke dalam keranjang.

“Kau tak perlu seperti ini. Masih banyak gadis lain.” Lanjut Sehun.

Luhan pun menghentikan permainannya dan berjalan menghampiri Sehun yang berdiri di pinggir lapangan. Ia menatap Sehun tajam.

“Kau kira itu mudah? Itu sulit, Sehun. Kau tidak akan mengerti karena kau selalu mendapatkan semua yang kau inginkan.”

Mata Sehun membulat terkejut. Ia tak pernah menyangka Luhan akan mengatakan hal itu. Luhan tersadar bahwa ia sudah melampiaskan kemarahannya pada Sehun.

“Mianhe.” Ucap Luhan sebelum beranjak pergi.

Sehun tahu Luhan tidak bermaksud menyindirnya. Itu memang kenyataannya. Ia selalu mendapatkan apapun ia inginkan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah ia dapatkan. Itu adalah Luhan. Luhan tak tahu itu.

Sehun tak tahu pasti kapan perasaan itu mulai berubah menjadi cinta. Yang ia tahu, ia selalu ingin bertemu Luhan. Sehari saja tak melihat wajah Luhan, sudah membuatnya tersiksa karena rindu. Pernah satu hari, Luhan tidak masuk ke sekolah karena sakit. Sehun pun nekat ke rumah Luhan hanya untuk melihatnya. Dari alamat yang diberikan Kris itulah Sehun menemukan tempat tinggal Luhan. Luhan tinggal di sebuah rumah kayu yang tak cukup luas jika dibandingkan kamar mandi Sehun. Di rumah itu hanya ada beberapa perabot seperti meja dan lemari kecil. Buku-buku dibiarkan menumpuk di pinggir. Luhan bahkan harus menyingkirkan kasurnya hanya agar Sehun dapat duduk.

“Ada apa?” tanya Luhan. Tentu ia heran melihat kedatangan Sehun menurutnya pasti baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat terpencil seperti rumah Luhan.

“Kau tidak apa-apa? Ku dengar kau sedang sakit.” Kata Sehun cemas.

“Oh, iya. Tadi pagi aku memang demam dan sakit kepala. Tapi sekarang sudah tidak apa-apa. Tunggu sebentar ya.” Luhan pun beranjak ke dapur kecilnya untuk membuatkan teh.

“Kau tidak perlu repot-repot, Lu.” Sehun jadi tidak enak.

“Tidak kok. Ini cuma teh.”

Luhan masih membuat teh saat Sehun mengamati dapur terkecil yang pernah dilihatnya itu dengan seksama. Tumpukan bungkus mie instan memenuhi keranjang di sudut dapur. Sehun pun tahu kalau pola hidup Luhan tidak sehat.

Setelah satu jam berada di sana, Sehun pamit pulang.

“Besok kau ke sekolah, kan?” tanya Sehun.

“Iya.”

“Baiklah. Sampai jumpa besok!” Sehun melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam mobil.

Luhan balik melambaikan tangannya ke arah Sehun sambil tersenyum tipis. Sehun menelan ludah pahit.

Sehun menoleh melihat asisten yang duduk di sampingnya.

“Ahjussi, bisa bantu aku?”

Pria baya yang duduk di sebelahnya itu pun berbalik melihatnya.

“Iya, tuan muda. Apa yang Anda perlukan?”

“Sebuah apartemen.”

Entah apa yang Sehun pikirkan saat itu. Ia hanya merasa tidak tega melihat malaikat itu terkurung di tempat sekecil itu. Ia ingin melakukan semua hal yang bisa ia lakukan hanya agar Luhan dapat hidup dengan nyaman.

Sehun pun masih ingat bagaimana wajah Luhan tiga hari kemudian saat Luhan bercerita bahwa ia mendapatkan hadiah sebuah apartemen dari undian yang diikutinya. Tentu saja Sehun sudah tahu hal itu. Ia pun tersenyum melihat ekspresi senang Luhan.

“Ya. Aku sudah tahu. Sudah berapa kali kau menceritakannya. Sekarang apa kau bisa membantuku menghabiskan ini?” Sehun menyodorkan kotak bekalnya pada Luhan yang duduk di sebelahnya. Luhan menelan ludah melihat bulgogi dari daging sapi korea itu.

“Tentu saja!” seru Luhan sambil melahap makanan di hadapannya.

Sekali lagi, Sehun tersenyum bahagia.

Sehun menyadari bahwa perasaannya semakin bertumbuh dari hari ke hari. Hingga tanpa ia sadari dua tahun pun berlalu dalam sekejap mata. Ia hanya bisa menatap Luhan yang sedang memberikan pidato sebagai lulusan terbaik. Ia tahu mungkin setelah hari ini ia akan jarang bertemu dengan pujaan hatinya itu karena mereka akan kuliah di tempat yang berbeda.

Sehun sedang membereskan barang-barang di lokernya saat ia menerima sebuah pesan dari Chanyeol.

“Sehunna, mianhe. Jeongmal mianhe.”

Sehun mengerutkan keningnya tidak mengerti alasan Chanyeol mengiriminya pesan seperti itu. Apa mungkin Chanyeol salah kirim?

“Ya. Sehun.”

Sehun berbalik dan mendapati Luhan sudah berdiri di hadapannya.

“Selamat, kau menjadi lulusan terbaik!” seru Sehun sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat. Namun Luhan hanya terdiam tanpa menyambut uluran tangan Sehun. Sehun pun menyadari ada yang tidak beres dengan ini.

“Apa benar yang dikatakan Chanyeol? Kau yang membeli apartemen itu?”

Sehun terpaku. Lidahnya kelu seketika. Ia pun mengerti maksud pesan Chanyeol tadi.

“Kau juga yang selalu mengirimkanku makanan?”

Sehun menelan ludah pahit.

“Semua baju, buku, tas, dan sepatu yang ku pikir kudapatkan dari undian itu juga darimu?”

Sehun tak dapat berkata apa-apa. Suaranya tiba-tiba menghilang.

“Wae, Sehun?”

“Wae?”

“Aku tahu aku miskin. Tapi aku bukan pengemis. Kau tidak perlu mengasihaniku.”

Luhan pun beranjak meninggalkan Sehun. Namun, suara Sehun menghentikan langkahnya.

“Bukan itu, Luhan. Aku tahu kau bukan pengemis. Aku pun tidak memberikannya karena aku mengasihanimu.”

“Lalu? Kenapa?”

Sehun yang menunduk sejak tadi pun mengangkat kepalanya menatap Luhan. Luhan menunggu jawaban Sehun.

“Karena...”

Sehun menghela nafas berat.

“Karena... aku, menyukaimu.”

Luhan tak dapat menyembunyikan perasaan terkejutnya.

“Kau bercanda kan’ Sehun? Itu sama sekali tidak lucu.”

“Aku serius, Luhan. Aku tahu ini salah. Tapi aku tidak bisa menghentikan perasaaan yang kumiliki. Aku menyukaimu. Karena itu, aku ingin kau hidup dengan baik. Mianhe.” Ucap Sehun sambil menatap Luhan dalam.

Luhan tak dapat berkata apa-apa lagi. Namun, ia melangkah menjauh meninggalkan Sehun sendiri.

Sehun masih ingat tatapan Luhan saat itu. Ia masih ingat dengan jelas. Luhan menatapnya aneh seakan-akan baru melihat alien dari planet lain.

Sejak saat itu, Luhan menghilang. Ia tak pernah muncul lagi di hadapan Sehun. Semua barang pemberian Sehun pun ia tinggalkan di apartemen milik Sehun. Ia memutuskan semua kontak dan menghilang.

Selama dua tahun Sehun mencari-cari jejak Luhan. Entah sudah berapa detektif yang ia kerahkan untuk menemukan Luhan. Tapi ia tak pernah berhasil.

Sehun harus memendam sendiri perasaan rindunya yang membuatnya nyaris gila. Ia hanya bisa mengunjungi apartemen yang pernah ditinggali Luhan. Ia bahkan seringkali berhalusinasi Luhan ada di tempat itu dan tersenyum padanya seperti tidak terjadi apa-apa. Ia benar-benar akan menjadi gila jika tidak bertemu Luhan lebih lama lagi.

Hari ulang tahunnya hari ini merupakan hari yang paling membahagiakan bagi Sehun. Ia dapat melihat malaikat itu lagi. Ia pun bisa menyentuhnya dan menikmati setiap debaran yang timbul dalam dadanya. Ia sungguh bahagia.

Luhan tak berubah sedikitpun. Ia masih seperti dulu. Alisnya, matanya, hidung, dan bibirnya, Sehun menyentuhnya satu per satu. Sama sekali tidak ada yang berubah.

Sehun mulai mendekatkan wajahnya kemudian mencium kening Luhan pelan. Ia pun mencium kedua kelopak mata Luhan yang masih tertutup rapat kemudian turun mengecup hidung mancung Luhan.

Sehun mengubah posisi duduknya. Ia bergerak naik ke tempat tidur dan menindih tubuh Luhan. Kedua tangannya berada di samping kepala Luhan untuk menahan beban tubuhnya. Ia sudah tidak dapat menahan diri. Ia pun mulai mencium bibir Luhan. Sebuah ciuman yang lembut membuatnya menyadari betapa manis dan menggiurkannya bibir merah muda itu. Luhan tersadar dan matanya membulat menatap Sehun terkejut.

“Se...Se..hun.”

Sehun tersenyum, “Iya, ini aku. Kau tahu, aku sangat merindukanmu.”

“Kenapa kau... dimana aku? Kenapa aku bisa ada di sini?” Luhan berusaha bangkit namun tidak bisa. Sekujur tubuhnya tak bisa ia gerakkan. Sekeras apapun ia berusaha.

“Sehun, apa yang kau lakukan padaku?” Luhan mengerjapkan matanya berkali-kali tak percaya.

Sehun tersenyum lagi, “Aku hanya ingin memilikimu.”

Sehun mulai mencium bibir Luhan, mengulumnya lembut dengan sangat hati-hati. Luhan tersentak dan berusaha sekeras tenaga untuk menggerakkan tubuhnya. Beruntung ia berhasil menggerakkan sedikit kepalanya hingga ciuman mereka terlepas dengan terpaksa.

Sehun merasa terganggu, ia pun segera mendaratkan ciumannya kembali tepat di bibir Luhan. Kali ini dengan sedikit terburu-buru dan kasar. Sehun mulai melumat bibir Luhan dalam hingga tanpa ia sadari ujung bibir Luhan mengeluarkan sedikit darah.

“Akh...” Luhan meringis perih. Mata Sehun yang terpejam sejak tadi pun terbuka karena terkejut.

“Mian.” Sehun kaget melihat darah di ujung bibir Luhan itu. Ia pun menyekanya dengan ujung ibu jarinya.

“Lepaskan aku, Sehun. Kumohon. Kau tahu ini salah. Kau tidak boleh melakukannya.” Suara Luhan merendah menyadari ketidakberdayaannya. Ia hanya bisa berharap Sehun akan kembali ke akal sehatnya dan mendengarkannya. Sekali ini saja.

Sehun terdiam cukup lama. Namun matanya tak lepas menatap Luhan dalam.

“Apa kau begitu membenciku?”

....

“Apa aku terlihat sangat menjijikan untukmu?”

....

“Maaf, Sehun. Maaf, aku hanya tidak bisa membalas perasaanmu.”

Luhan berkata dengan sangat hati-hati. Ia tidak ingin melukai perasaan Sehun. Karena bagaimanapun ia masih menganggap Sehun sebagai seorang teman.

Binar mata Sehun berubah drastis menjadi kelabu.

“Baiklah.” Sehun beranjak bangkit dari posisinya, dan kembali duduk di tepi tempat tidur.

“Aku akan melepaskanmu.” Sehun tak menatap Luhan.

“Mianhe...”

“Kau tahu, bertemu denganmu pun adalah hadiah terbaik yang pernah kuterima. Terima kasih... dan... maaf sudah merepotkanmu dengan perasaanku.” Sehun beranjak meninggalkan apartemen itu. Luhan hanya bisa memandang pundak Sehun yang menjauh dan akhirnya menghilang dari balik pintu.

“Mianhe, Sehunna...”

---

---

---

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...