Apakah suatu kesalahan jika kau selalu berbuat baik?Apakah suatu kesalahan jika kau selalu mengabulkan apapun yang mereka inginkan?Apakah suatu kesalahan jika kau selalu menjaga perasaan orang lain dengan berkata ‘ya’?Aku tahu aku bodoh.Orang bodoh yang tidak bisa berkata ‘tidak’.-Luhan-
Sehun’s POV
Hari ini
masih tampak sama bagiku. Suasana sekolah yang ramai. Terlalu banyak orang di
tempat itu. Dari sekian banyak orang, aku bisa mengenali seorang pemuda mungil
memakai kaca mata tebal berjalan pelan dengan tumpukan buku di kedua tangannya.
Dia sekelas denganku. Namanya Luhan.
Beberapa
siswa menghampirinya. Berniat membantu? Tentu tidak. Mereka menambah tumpukan
buku yang dibawa Luhan sehingga tinggi tumpukan buku itu telah menghalangi pandangannya.
Samar-samar aku mendengar mereka berkata, “Luhan, kumpulkan buku-ku juga ya.”
Dan aku tidak mendengar penolakan dari pria mungil itu. Bodoh.
Aku tidak
berniat memperdulikannya. Walaupun sekelas, kami tak begitu akrab. Aku hanya
tahu namanya, ia berasal dari Cina, dan ia bisa disebut cerdas karena berhasil
menggeser posisiku menjadi peringkat pertama. Tetapi bukan itu yang membuatku
hampir tak pernah berbicara padanya. Aku hanya tidak merasa perlu untuk
berbicara dengannya. Sesama orang cerdas, tak pernah saling membutuhkan. Aku
tidak mengatakan bahwa aku cerdas, itu kenyataan.
Yang kutahu,
Luhan tak pernah menolak akan permintaan yang disebutkan lawan bicaranya.
Walaupun permintaan itu lebih terlihat seperti perintah. Seringkali dia harus
pergi ke kantin hanya untuk membeli pesanan siswa lain yang sedang malas keluar
kelas. Tak jarang juga dia menuliskan tugas siswa lain yang tidak sempat mereka
kerjakan, atau meminjamkan barang-barang miliknya, seperti buku, alat tulis,
dan baju olahraga.
Pernah suatu
waktu, aku juga melihatnya meminjamkan sepatunya pada Kim Jongin, yang tidak
mengenakan alas kaki. Aku ingat sepatu Jongin disita karena corak yang
berlebihan dan tidak cocok untuk digunakan ke sekolah.
Beberapa
kali aku melihatnya meminjamkan uang kapada siswa lain yang tak pernah
dikembalikan. Karena itu, aku sering melihatnya berjalan kaki ketika pulang
sekolah dari bus yang kutumpangi.
Semua yang
dia lakukan, entah mengapa, sedikit banyak, membuatku muak. Aku tahu dia tidak
sebodoh itu untuk menyadari bahwa apa yang orang lain lakukan padanya hanya
sekadar ‘memanfaatkannya’. Atau mungkin logikanya sudah buta oleh senyum palsu
dan ucapan terima kasih yang tidak tulus yang selalu diberikan orang-orang itu.
Tidakkah dia sadar bahwa mereka hanya mendekatinya di saat mereka butuh? Bodoh.
“Hei, Sehun,
kau ikut bermain futsal besok?”
Aku membuka
mataku saat melihat Jongin duduk di depanku. Aku melirik keadaan kelas, tampak
lengang. Aku sadar ini sudah jam istirahat. Luhan tampak sedang menuliskan
sesuatu di agenda kecilnya sambil berbicara pada sekumpulan siswa yang duduk di
sudut. Dia pasti sedang mencatat pesanan yang harus dibelinya di kantin.
“Sehun, kau
mendengarkanku?”
Aku memutar
bola mataku kembali menatap Jongin.
“Entahlah.
Ada tugas bahasa yang harus kukerjakan. Kau tahu tugas itu harus dikumpul
lusa.” ucapku jujur.
“Tugas
bahasa? Astaga Sehun, bukankah songsaenim sudah memberikan waktu satu minggu
untuk tugas itu dan kau belum mengerjakannya?” Jongin berseru berlebihan. Aku
malas menanggapinya. Ya, benar tugas itu sudah diberikan minggu lalu. Aku pun
bukan malas atau tidak tahu cara mengerjakannya. Aku hanya belum menemukan
kesempatan untuk menyelesaikan tugas itu, tugas kelompok yang harus kukerjakan
bersama Luhan.
“Tapi,
bukankah kau sekelompok dengan Luhan? Kau minta saja dia mengerjakannya
sendiri, jadi kau bisa ikut bermain futsal bersama kami. Lagipula ini kali
pertama kau sekelompok dengannya, manfaatkan dengan baik.”
Ya, ini
memang kali pertama aku sekelompok dengan Luhan. Selama ini setiap tugas
berkelompok, tak pernah sekalipun aku satu kelompok dengannya, karena dua orang
cerdas tidak mungkin berada di satu kelompok yang sama. Idealnya, setiap
kelompok harus memiliki satu anggota andalan yang kemampuannya di atas
rata-rata dan siswa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata masih bisa
dihitung jari. Namun, tampaknya guru pelajaran bahasa memiliki pemikiran lain.
Suatu kenyataan yang harus kusesali.
“Tidak,
Jongin. Aku masih bisa mengerjakannya sendiri tanpa bantuan.”
“Lalu kenapa
kau tidak mengerjakannya?”
“Karena aku
tidak mau dimanfaatkan olehnya. Tugas kelompok harus diselesaikan secara
berkelompok. Itu baru adil.”
Jongin
memutar bola matanya, “Bagiku, itu yang namanya terlalu perhitungan.”
Aku tak
memperdulikannya, lalu kembali mengenakan earphone di telingaku.
Sepertinya,
dengan terpaksa, aku harus berbicara dengannya sepulang sekolah nanti.
***
Bel sekolah
berbunyi nyaring menandakan jam pelajaran terakhir telah selesai. Aku segera
memasukkan buku dan alat tulisku ke dalam tas sambil menyisakan satu buku tugas
yang harus dikumpul di ruang guru. Mataku mencari pria mungil itu. Dia sedang
membereskan barang-barangnya saat beberapa siswa lain mulai menghampirinya.
“Luhan,
kumpulkan buku tugasku juga ya?”
“Aku juga.”
“Aku juga.”
“TIDAK.”
Semua mata
melihat ke arahku. Aku sudah berada di samping pria yang lebih pendek dariku
itu- Luhan- yang ikut melihatku bingung.
“Aku ada
perlu dengannya. Jadi, sebaiknya kalian kumpulkan buku kalian masing-masing.”
Mereka
serempak meninggalkan meja itu walaupun tanda tidak rela masih terlihat jelas
di wajah mereka. Aku tahu mereka tidak mungkin membantahku. Siapa yang mau
berurusan dengan ketua OSIS yang dikenal dingin? Walaupun sifatku sebenarnya
tidak sedingin itu. Salahkan wajahku yang selalu terlihat datar.
Aku kembali
menoleh saat kusadari sepasang mata bening yang dibingkai kaca tebal itu masih
memandangku. Mungkin, dia terkejut karena ini kali pertama aku berbicara di
jarak yang dekat dengannya.
“Tugas
bahasa. Apa besok kau ada waktu untuk mengerjakannya?” tanyaku.
Dia tampak
terkejut, mengalihkan pandangannya ke arah lain sejenak, lalu menatapku lagi.
“Oh, itu...
Sebenarnya.. aku sudah selesai mengerjakannya. Kau tidak perlu memikirkannya.”
Aku tidak
dapat menahan perasaan terkejut dan sedikit diremehkan, saat itu juga.
“Kenapa kau
mengerjakannya sendiri? Kau tahu itu tugas kelompok dan seharusnya dikerjakan
secara berkelompok! Kau pikir aku tidak bisa menyelesaikannya sendiri?!”
Dia tampak
terkejut melihat ekspresiku.
“Jangan
harap aku akan berterima kasih padamu!”
Aku segera
mengeratkan ranselku dan pergi dari tempat itu, sebelum amarahku semakin
memuncak. Sungguh, hal itu membuatku semakin muak padanya. Dia menyamakanku
dengan siswa lain yang mengambil keuntungan darinya. Aku tidak seperti mereka.
Aku tidak mau menyusahkan orang lain jika aku sendiri mampu mengerjakannya.
Menyebalkan.
***
Rapat OSIS
yang membahas perpisahan tingkat 3 nanti telah selesai. Para anggota satu
persatu telah meninggalkan ruangan. Sebagai ketua, aku selalu menjadi yang
paling terakhir meninggalkan ruang OSIS dan mengunci pintu. Aku berjalan keluar
gedung saat kedua mataku menangkap sosok pria mungil itu lagi di ujung koridor.
Dia bersama dua orang laki-laki yang kuketahui bernama Chanyeol dan Kris. Entah
apa yang mereka bicarakan, sampai akhirnya Luhan mengeluarkan uang di sakunya
dan memberikannya pada Chanyeol.
“Aku tidak percaya dia semudah itu percaya
kalau kita tidak punya uang untuk pulang.”
“Sudah
kubilang kan’ dia itu bodoh. Hahaha...”
Aku dapat
mendengar pembicaraan kedua orang itu saat mereka berjalan melewatiku. Pandanganku
beralih melihat sosok itu lagi, dia berjalan ke arahku sambil menunduk. Entah
apa yang membuatnya begitu tertarik melihat lantai, sampai-sampai tidak sadar
aku berada di hadapannya.
Setelah
matanya menangkap sepatuku, ia mengangkat kepalanya.
“Se..Sehun...”
Dia melihatku terkejut. Aku bisa menangkap perasaan takut yang tersirat jelas
di kedua matanya. Apa itu? Memangnya aku hantu?
“Kau,”
“Aku minta
maaf.” Dia memotong ucapanku. “Seharusnya aku membicarakan tugas itu terlebih
dahulu denganmu, tapi tidak kulakukan. Aku... aku hanya berpikir mungkin kau
sibuk dan tidak punya waktu untuk menyelesaikannya. Maaf.”
Dia menunduk
dalam, membuatku tidak mengerti akan apa yang dia bicarakan. Untuk apa dia
minta maaf? Apa salahnya?
“Kau bodoh.”
Dia kembali menatapku.
“Ap.. apa?”
“Kau bodoh.
Apa kau tidak bisa membedakan antara mereka yang benar-benar membutuhkan
bantuan dan mereka yang hanya berpura-pura membutuhkan bantuan?”
Mulutnya
tertutup rapat, matanya membulat seolah-olah tak percaya apa yang kukatakan.
“Dua orang
tadi, mereka hanya berpura-pura tak punya uang. Mereka hanya mempermainkanmu.
Kau tahu sudah berapa kali mereka mengatakan hal yang sama. Aku yakin kau
sebenarnya cukup pintar untuk mengetahui kebohongan mereka.”
Aku menghela
nafas, lalu melanjutkan, “Kau salah jika mengira dirimu dewa. Kau hanya menusia
biasa. Tidak seharusnya kau mengabulkan apapun yang mereka inginkan. Cobalah
untuk menolak, katakan TIDAK jika kau tidak ingin melakukannya. Jangan menurut
seperti orang bodoh.”
Perkataanku
sedikit menekan di kalimat terakhir. Mungkin efek pendapat yang tersimpan
terlalu lama di pikiran.
Dia tampak
bergetar, kedua matanya berkaca-kaca, bibirnya ia gigit sendiri. Apakah itu
kemarahan atau kesedihan, aku tidak bisa membedakannya.
“Apakah suatu kesalahan jika aku selalu
berbuat baik?” Dia menarik nafas dalam, “Apakah suatu kesalahan jika aku selalu
mengabulkan apapun yang mereka inginkan? Apakah suatu kesalahan jika aku selalu
menjaga perasaan orang lain dengan berkata ‘ya’? - Aku tahu aku bodoh. Aku
orang bodoh yang tidak bisa berkata ‘tidak’. Tapi kau... kau tidak punya hak
untuk menghakimiku.”
Luhan
berjalan cepat melewatiku. Aku sempat melihat liquid bening yang sempat menetes
dari sudut matanya dan dia menghapusnya dengan cepat.
Aku segera
mengejarnya, menarik pergelangan tangannya dan memojokkannya di sudut koridor
di bawah tangga. Nafasku masih memburu ketika kedua matanya menatapku penuh tanda tanya.
“Kalau kau
memang tidak bisa berkata ‘tidak’ maka,” aku menarik nafasku, “aku memintamu
menjadi kekasihku.”
Kedua
matanya membulat menatapku tidak percaya, seakan-akan baru mendengar bahasa
alien yang tak ia pahami.
“Kau tidak
bisa berkata ‘tidak’, benar?”
Dia masih
terpaku saat bibirku bersentuhan dengan bibirnya, mencicipi benda lunak merah
muda itu dengan cara melumatnya lembut. Terasa manis, jauh lebih baik dari yang
kupikirkan. Aku tak pernah menyangka bibir pria lain bisa semanis ini. Aku pun
mengerti alasan Jongin menyukai Kyungsoo, mungkin karena bibirnya pun terasa
manis dan nikmat seperti ini, seperti marsmallow.
Dia mulai
memberontak, mendorongku dengan kekuatan yang dia miliki. Sayangnya, dia masih
kalah dariku. Akhirnya, dia beralih menggeleng-gelengkan kepalanya dengan
keras, membuatku harus menekan tengkuknya untuk memperdalam penyatuan kecil
kami. Satu-satunya yang menghentikanku adalah suara kaca pecah yang kusadari
sedetik kemudian bahwa itu adalah kacamatanya.
Dia masih
menghirup oksigen sebanyak-banyaknya saat aku untuk pertama kali melihat kedua
mata itu dengan lebih jelas. Matanya bening, tampak seperti mata seekor rusa
kecil. Menarik. Walaupun ia menatapku
dengan penuh amarah. Matanya masih terlihat begitu indah. Tampaknya, aku telah
jatuh pada kedua mata indah itu.
“Kau, mulai
detik ini adalah kekasihku.” Aku menariknya meninggalkan sekolah. Dia
melepaskan tanganku.
“Kenapa?”
tanyaku.
“Untuk apa
aku ikut denganmu?” tanyanya balik.
“Tentu saja
karena kau kekasihku dan aku tahu kau tidak mempunyai uang untuk pulang dengan
bus. Lagipula, kita harus mencari kacamata yang lebih baik.” Aku kembali
menariknya menuju halte bus. Dia mengikutiku walaupun wajahnya tampak tidak
rela.
Apa dia
melakukannya karena tidak bisa mengatakan ‘tidak’? Mungkin. Itu sedikit
menyebalkan. Dia terlalu baik. Aku muak. Aku membencinya. Tetapi tanpa
kusadari, ada perasaan lain yang lebih besar dari itu. Perasaan ingin
melindunginya dari orang-orang yang hanya memanfaatkannya. Dia terlalu baik
untuk disakiti. Aku tidak rela.
Aku masih
belum bisa mengatakan kalau ini cinta. Masih terlalu awal. Tapi aku tidak akan
menutup kemungkinan itu. Hubungan sesama jenis bukan hal yang tabu bagiku.
Sekarang aku
memiliki sebuah tugas, mengajarkan Luhan untuk berkata ‘tidak’.
No comments:
Post a Comment