Warning: This is boy x boy love story, yaoi, mature, nc.
Don't like, don't read. That's simple.
I just own the story. The cast belong to God and themselves.
I'm hunhan hard shiper.
Happy reading...
Luhan terbangun saat menyadari sinar matahari menyilaukan dengan sangat menyebalkan memaksanya membuka mata. Mata rusanya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya pupilnya melebar memperhatikan sekitar. Luhan tahu ruangan itu, tempat pertama saat ia membuka mata sekaligus tempat terakhir saat ia ingin menutup mata.
Luhan bangun untuk bangkit dan menyadari pakaiannya sudah tidak lengkap lagi. Luhan memperhatikan tubuhnya sendiri dan keningnya berkerut melihat bekas merah keunguan yang menghiasi hampir setiap jengkal tubuhnya. Apalagi bagian tubuh bawahnya terasa terbelah, sakit, dan ngilu di saat yang sama.
‘Apa yang terjadi?’
Luhan memutar otak dan mengingat kembali kejadian kemarin. Ia pergi ke pesta Kris, minum beberapa gelas setelah kalah taruhan dengan Kai, dan... Sehun. Ia ingat Sehun mengantarnya pulang, menidurkannya di ranjang, dan membuatkannya minuman. Lalu...
“Sehun... Sehunna... Panasshh...”
“Sehunna... Kau dingin...”
“Sehunna... Jebal...”
“Jebal Sehunna... Aku.. ingin.. kau..”
Gila. Luhan mengingat semuanya dengan jelas dan meruntuki betapa jalang dirinya tadi malam. Luhan mengusap wajahnya kasar sambil menghela nafas panjang. Entah apa yang dipikirkannya saat itu. Tentu saja ia tidak sepenuhnya sadar. Dalam dirinya, ia yakin tentang orientasi seksualnya yang masih aman-aman saja. Tapi mengapa ia begitu mendambakan sentuhan Sehun? Dan lagi, mengapa Sehun meladeninya? Padahal Sehun seharusnya cukup tahu membedakan antara keinginan sadar dan tidak.
Luhan menghembuskan nafas panjang –lagi- sebelum mengambil handuk dan melangkah pelan ke kamar mandi dengan sesekali meringis perih.
Sehun meletakkan piring terakhir berisi telur gulung di atas meja saat Luhan keluar kamar dengan baju kaos, celana pendek, dan rambut setengah basah. Kedua mata mereka bertemu dan terpaku untuk beberapa saat sebelum Sehun tersenyum menyapa, “Ayo sarapan.” ucapnya.
Luhan terdiam cukup lama tanpa beranjak dari posisinya. Ia masih memandang Sehun yang sedang menata alat makan.
“Kau pasti masih pusing. Aku sudah membuat sup untukmu. Makanlah.” Ajak Sehun lagi menyadari kalau Luhan tak sedikitpun bergerak dari tempatnya.
“Kenapa kau masih di sini?” suara serak Luhan menghampiri pendengaran Sehun. Sehun mengalihkan pandangannya dari alat makan yang sedang ditatanya ke arah Luhan. Luhan menatapnya dingin. Tatapan pertama yang Sehun lihat darinya.
“Aku bukan pria yang tidak akan bertanggung jawab pada apa yang telah kulakukan. Kau tahu aku
“Pulanglah.” Luhan memotong ucapan Sehun tanpa memandangnya. Sehun menghela nafas berat sebelum melepas celemek yang dipakainya dan berjalan menjauh dari meja makan. Langkahnya mendekat ke arah Luhan dan berhenti tepat di depan pemuda yang lebih pendek darinya itu.
“Luhan, maafkan aku. Aku tahu aku sudah melakukan kesalahan. Tapi asal kau tahu,
“Ya, aku tahu. Kau melakukannya karena aku menggodamu lebih dulu. Aku tidak menyalahkanmu.” Luhan menatap Sehun dingin.
“Tidak, Lu. Kau memang menggodaku. Tapi aku melakukannya karena aku mencintaimu.” Sehun balik menatap Luhan dalam. Kedua mata Luhan melebar mendengar pengakuan Sehun itu.
“Aku mencintaimu, Lu. Aku tidak tahu bagaimana cara menunjukkannya karena jujur aku sangat amatir untuk hal seperti ini. Tapi aku benar-benar mencintaimu dan aku tidak pernah menyesali apapun yang sudah terjadi selama ini.”
Luhan terdiam mendengarkan. Entah harus bereaksi apa. Ia terkejut mengetahui ternyata Sehun adalah gay. Pasalnya selama ini Sehun yang dikenalnya masih normal dan berpacaran dengan wanita. Sulli salah satunya. Tapi kenapa bisa orientasi sahabatnya itu berbelok? Yang lebih parah, ia menyukai Luhan.
Seharusnya Luhan merasa jijik. Walaupun gay sudah bukan hal yang tabu di Korea, tetap saja hal itu akan menjadi perbincangan di masyarakat. Namun, Luhan tidak merasa jijik pada Sehun. Mungkin karena Sehun sudah menunjukkan beberapa keanehan seperti menciumnya atau bercinta dengannya. Entahlah. Yang jelas, perasaan Luhan menjadi hangat mendengar pengakuan Sehun itu.
Luhan menatap Sehun dalam. Mata Sehun yang seperti elang ikut menatapnya. Luhan baru menyadari bahwa tatapan itu menimbulkan gelagat aneh di jantungnya. ‘Ada apa denganku? Mungkin aku harus memeriksakan diri ke dokter besok.’
“Aku tidak mencintaimu dan aku menyesali semua yang sudah terjadi.” Luhan menunduk, mencoba menetralkan degup jantungnya saat ini. Ia tak mau Sehun mengetahui hal ini. Bahwa jantungnya berdebar dua kali lebih cepat hanya karena tatapan tajam Sehun.
Sehun membawa tangannya memegang dagu Luhan lembut dan mengarahkan Luhan untuk menatapnya. “Kenapa aku merasa kau sedang berbohong Lu?”
Mata Luhan bergerak gelisah, tangannya segera menepis tangan Sehun. Namun, Sehun kembali memegang kedua tangannya dan mendorongnya hingga terpojok di tembok. Mengunci setiap pergerakan Luhan dan menghimpitnya hingga tak ada jarak pada tubuh mereka.
“Lepas, Sehun.” Luhan masih berusaha sabar dan meminta Sehun dengan baik-baik. Sehun tidak mendengarkan. Wajah Sehun mendekat ke wajah Luhan sehingga Luhan bisa merasakan hembusan nafas yang hangat menyapa kulit wajahnya.
“Tidakkah kau sedang mengkhianati hatimu, Lu?”
Luhan semakin berdegup cepat. Situasi ini membuat dadanya sesak. Ia meruntuki tubuhnya yang begitu mudah terpaku di hadapan Sehun. Jauh, ia berharap dirinya masih seperti yang dulu. Seseorang yang hanya menganggap Sehun sebagai sahabat.
“Aku tidak mencintaimu, Sehun. Aku ini masih normal. Ssang namja. Ingat?” Luhan memberanikan diri menatap Sehun tajam dan segera ia sesali sedetik kemudian karena tatapan Sehun terlalu kuat memenjarakannya.
“Benarkah?” Sehun menatap Luhan tidak yakin.
“Itu benar, Sehun. Aku minta maaf. Tapi aku tidak mencintaimu. Kau sahabatku, Sehunna. Biarlah seperti itu.” Luhan menunduk dalam, menghindari tatapan kecewa Sehun.
Sehun menghela nafas berat. Ia sangat berharap Luhan akan membalas perasaannya. Namun, ia juga tidak ingin memaksakan perasaannya itu. Jika Luhan benar-benar tidak mencintainya, maka kejadian semalam hanya sebuah kesalahan fatal yang menjijikan bagi Luhan.
“Baiklah. Aku pergi.” Sehun meninggalkan Luhan dengan langkah gontai menuju pintu. Luhan hanya menatapnya dalam diam. Entah mengapa hatinya pun terasa sakit.
‘Bukankah ini yang kau inginkan, Luhan?’ tanyanya pada diri sendiri.
***
Kai dan Kris sedang minum di sebuah bar di gangnam. Beberapa wanita sewaan duduk di samping mereka sambil bermanja-manja. Dentuman suara musik terdengar keras dan memekakkan telinga. Namun, tak satupun dari mereka terganggu walau harus berbicara dengan sedikit teriak.
Luhan datang ke bar itu, menyebar tatapan tajam ke seluruh penjuru. Setelah menemukan orang yang dicarinya, Luhan segera berjalan cepat menuju meja yang terletak di pojok, tempat dua orang pria dan empat wanita berkumpul.
Kedua pria yang dihampiri itu sedikit terkejut dengan kedatangan Luhan. Belum sempat mereka menyapa salah satu sahabatnya itu, Luhan sudah menarik kerah salah satu pria yang berkulit tan dan meninju wajahnya keras.
“Luhan!” Kris terperanjat melihat Luhan memukul Kai tepat di depan matanya.
Luhan terus menghujamkan pukulan pada Kai. Kris segera menahan tubuh Luhan setelah melancarkan beberapa pukulan.
Kai menghapus darah segar yang mengalir dari sudut bibirnya kasar sambil menatap Luhan, “Apa masalahmu?”
Luhan masih mengatur nafas dan berusaha memukul Kai lagi namun Kris masih cukup kuat menahan tubuhnya.
“Masalahku? Harusnya kau tanyakan sendiri pada dirimu! Apa yang kau campurkan ke dalam minumanku tadi malam BRENGSEK!!!”
Kris membulatkan kedua matanya terkejut. “Apa maksudmu, Luhan? Apa yang Kai lakukan?”
Kai hanya tersenyum mendengarnya, “Jadi, itu berhasil?” tanyanya tanpa dosa.
“BRENGSEK KAU!!!” Luhan memberontak berusaha lepas dari cengkeraman Kris. Namun, sia-sia. Kris menyuruh Kai untuk meninggalkan tempat itu. Wanita-wanita yang duduk di sana pun sudah pergi tanpa mereka sadari.
“Kau tidak perlu menyalahkanku, Luhan. Aku hanya ingin menyatukan kalian berdua.”
“Bodoh! Aku ini masih normal!” Luhan masih menatap Kai dengan mata yang menyala-nyala.
“Normal? Jangan bercanda, Luhan. Tanyakan pada dirimu sendiri. Tidakkah kau menikmatinya juga?” Kai tersenyum meremehkan, membuat amarah Luhan semakin memuncak.
“Cepat pergi, Kai!” seru Kris, ia merasa tidak dapat menahan tubuh Luhan lebih lama lagi.
Kai berbalik meninggalkan mereka, menuruti perintah Kris. Bukan karena takut, tapi karena ia tidak mau mencari masalah.
Kris melepaskan Luhan setelah Kai meninggalkan bar.
“Kenapa tadi kau menahanku? Aish... Aku benar-benar ingin membunuhnya!” Luhan merapikan bajunya yang kusut sambil duduk di sofa.
“Sabar, Luhan. Sebenarnya ada masalah apa kau dengan Kai?” Kris menuangkan minuman di gelas dan memberikannya pada Luhan. Luhan menerimanya dan meminumnya cepat.
“Kai menjebakku. Semalam, dia mencampurkan obat ke dalam minumanku sehingga aku menjadi orang yang haus belaian.”
“Semalam? Pesta ulang tahunku?”
Luhan mengangguk.
“Tapi, bukankah Sehun mengantarmu pulang?”
Luhan mengangguk kedua kali, lalu menghela nafas panjang.
“Kalau minuman itu membuatmu bergairah, berarti kau dan Sehun...” Kris menutup mulutnya sendiri. Matanya membulat tak percaya. Luhan hanya terdiam tanpa kata. Kris pun menyimpulkan kalau apa yang sedang ia pikirkan itu benar.
***
“Ya, Kai, siapa yang berani membully-mu, huh?” tanya Sehun setelah duduk di dalam kelasnya. Kai yang sedari tadi hanya tidur dan mendengarkan musik dari earphonenya pun menoleh ke asal suara. Lalu memutar bola matanya malas. Tak berniat menjawab pertanyaan Sehun.
“Serius, Kai. Aku bisa membantumu membalas dendam. Katakan siapa yang membuat wajahmu babak belur begitu?” tanya Sehun lagi.
Kai yang mendengarnya menyunggingkan senyum tidak percaya. “Kalau aku bilang orang itu adalah Luhan, apa kau masih ingin membalaskan dendamku?”
Mata Sehun membulat mendengarnya. “Luhan?”
“Ya, Luhan. Pujaan hatimu itu. Aish... Aku heran, aku yang membantu, tapi aku yang sial. Kau dapat enaknya saja.” Kai masih tidak terima dipukul Luhan karena menurutnya yang harus dipukul Luhan itu adalah Sehun, bukan Kai.
“Apa maksudmu? Kenapa Luhan memukulmu? Membantu apa?” Sehun masih belum memahami ucapan Kai.
Kai mendengus kesal, “Kau bercinta dengan Luhan semalam?”
Sehun terkejut mendengarnya. Kai tahu dari mana?
“Tentu saja aku tahu. Luhan melakukannya bukan kerena dia mabuk. Walaupun dia memang sedikit mabuk, tapi satu-satunya yang membuatnya melakukan hal itu karena dia di bawah pengaruh obat perangsang yang kuberikan. Bayangkan saja, semabuk apapun seseorang, kalau dia normal seperti Luhan, dia pasti akan lebih memilih mencari wanita untuk pelampiasan. Tapi karena obat itu, dia memilihmu.”
Sehun tertegun mendengar penjelasan Kai. Jadi, semalam, Luhan benar-benar tidak sadar melakukan hal itu? Sehun merasa sedih karena itu tandanya Luhan memang benar-benar tidak memiliki perasaan apapun padanya.
“Mian.” Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Sehun setelah terdiam cukup lama. Sebenarnya, ia pun tak mengerti mengapa dirinya meminta maaf. Mungkin karena ia merasa seharusnya Luhan memukulnya, bukan Kai.
“Kau tidak perlu meminta maaf padaku. Yang seharusnya minta maaf adalah Luhan. Aku akan menagih permintaan maaf darinya saat kalian sudah jadian.” Ujar Kai enteng sembari tersenyum.
“Itu tidak akan terjadi, Kai. Luhan sudah mengatakan dengan jelas kalau dia tidak mencintaiku.” Kedua mata Sehun berubah sendu memikirkan ucapan Luhan tempo hari.
“Sabarlah, kawan. Kau akan mendapatkannya nanti. Lihat saja.”
Kening Sehun mengerut heran mendengar kalimat optimis dari sahabatnya itu. “Kenapa kau sangat yakin?”
“Karena aku tahu cara agar Luhan menyadari perasaannya padamu.” Kai tersenyum lebar.
***
Luhan menunggu dengan sabar saat seorang pria paruh baya yang digiring dua orang polisi muncul. Pria itu duduk di hadapan Luhan sambil tersenyum ramah menatap pemuda itu. Sebuah kaca menghalangi mereka. Namun, tak melunturkan pria tua, ayah Luhan itu dari kegembiraannya karena sang anak mengunjunginya untuk kali pertama sejak ia di tahan.
Luhan mengangkat gagang telepon ragu sambil melihat ayahnya yang sudah mengangkat gagang telepon lebih dahulu. Dengan perlahan, Luhan mendekatkan gagang telepon itu ke telinganya.
“Bagaimana kabarmu, nak?” tanya ayah Luhan masih dengan senyum di wajahnya.
“Tak pernah lebih buruk dari ini.” suara Luhan terdengar pelan, menatap sendu di kedua mata ayahnya.
“Maafkan ayah, nak. Ayah tahu ini sulit untukmu. Ayah tidak bisa melakukan apa-apa. Ayah menyesal. Maafkan ayah.”
“Minta maaf tidak akan berguna, Ayah tahu, tidak seharusnya ayah melakukan itu sejak awal.” Luhan mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.
“Ayah tahu, nak. Tapi ayah akan menebus semua kesalahan ayah saat keluar nanti. Kita akan kembali menjadi keluarga yang bahagia, nak. Bersabarlah.”
“Itu tidak akan terjadi, ayah. Kita tidak akan pernah kembali seperti dulu lagi. Ibu... akan mengajukan gugatan cerai pada ayah dan menikah dengan Kyuhyun. Semua sudah terlambat.”
Mata yang dihias sedikit keriput di sekelilingnya itu seketika membulat tidak percaya mendengar penuturan sang anak. Kyuhyun? Seingatnya, Kyuhyun adalah rekan bisnis sekaligus sahabat yang paling dipercayainya. Bagaimana bisa?
“Kurasa itu hukuman atas apa yang telah ayah lakukan. Jadi, sebaiknya ayah tidak perlu berharap terlalu banyak. Biarkanlah aku dan ibu menempuh hidup kami masing-masing. Ayah pun harus begitu. Saat keluar nanti, jalanilah hidup ayah dengan baik. Aku pergi.”
Luhan meletakkan gagang teleponnya dan segera berbalik tanpa ingin menoleh lagi. Ia membiarkan air matanya tumpah dalam langkah demi langkah yang membawa kakinya menjauh dari kantor kepolisian. Meninggalkan sang ayah yang sangat ia hormati dan sayangi dalam kesakitan akan kenyataan yang baru saja pria tua itu ketahui.
Mungkin ini adalah balasan karena ayahnya itu telah menyalahgunakan jabatan dan uang rakyat.
***
Hari ini Luhan kurang bersemangat bekerja. Namun, tuntutan pekerjaan membuatnya tak bisa menghindar sedikitpun. Setelah mengganti pakaian, Luhan segera melayani tamu bar dengan senyum palsu yang terukir di bibirnya. Meracik beragam minuman dengan ahli dan memberikannya pada si pemesan.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Pengunjung yang datang telah ramai. Luhan semakin sibuk dengan pekerjaannya. Di antara kesibukannya, Luhan menangkap sosok Sehun diantara keramaian. Sehun sedang menari bersama seorang wanita. Wanita itu mengenakan gaun merah yang minim, menampilkan dua bongkahan dadanya yang lumayan besar. Wanita itu melingkarkan tangannya di bahu Sehun kemudian berjinjit dan mencium Sehun. Sehun tidak menolak melainkan menerima dengan senang hati.
Luhan terperanjat kaget melihat pemandangan itu. Hati kecilnya sedikit tidak terima saat mengetahui ternyata secepat itu Sehun melupakannya dan kembali ke jalan yang lurus.
“Mana minumanku?” suara pelangggan membuyarkan lamunan Luhan. Sambil menggumankan permintaan maaf, Luhan kembali meracik minuman. Sesekali matanya mencuri pandang ke tempat Sehun berada. Oh, lihatlah. Sehun bahkan sudah meletakkan tangannya di bokong wanita itu dan meremasnya. Membuat konsentrasi Luhan buyar dalam seketika dan menjatuhkan minuman di tangannya.
“Yak! Apa yang kau lakukan?! Dasar tidak becus! Cepat panggilkan managermu!” Emosi pria itu sudah meledak karena terlalu lama menunggu. Luhan membungkukkan badannya meminta maaf. Tak lama kemudian, sang manager datang untuk menyelesaikan masalah. Ia menyuruh Luhan beristirahat dan memanggil salah satu pekerja lain untuk menggantikannya.
Luhan telah duduk di ruang ganti menghadap lokernya. Ia menghela nafas panjang. Pikirannya terus tertuju pada Sehun. Kenapa ia merasa tidak senang melihat Sehun bersama wanita itu? Bukankah Luhan seharusnya bahagia karena Sehun telah melupakannya? Itu artinya Luhan bisa kembali menjadi sahabat Sehun seperti dulu lagi? Tapi kenapa Luhan merasa tidak rela? Kenapa hatinya terasanya sakit melihat kejadian itu? Ini perasaan yang sama saat ibunya memuji teman sekolahnya yang mendapat nilai yang lebih tinggi dari Luhan zaman sekolah dulu. Perasaan cemburu. Mungkinkah?
Tapi bukankah cemburu itu artinya cinta? Luhan mencintai Sehun? Tidak mungkin. Itu salah. Itu pasti salah.
“Huffhh...” Luhan kembali menghela nafas panjang sebelum melangkahkan kakinya meninggalkan ruang ganti. Ia berjalan keluar bar saat manik matanya tak sengaja mendapati Sehun yang sedang bercumbu di pinggir jalan. Ingat, di pinggir jalan. Walaupun malam sudah larut dan orang yang berlalu lalang bisa dihitung jari, tapi tidak malukah Sehun melakukan hal itu di tempat umum? Apa ia begitu terangsang oleh wanita itu sampai tidak sempat mencari tempat? Ugh! Luhan melihatnya jengkel.
Sehun yang menyadari keberadaan Luhan menghentikan kegiatannya.
“Hai, Lu.” Sapanya riang dengan tangan kanan yang masih memeluk posesif wanita tanpa nama itu. “Kau sudah pulang?”
“Ya.” Luhan menjawab singkat dan segera berlalu meninggalkan kedua orang itu. Ia terlalu malas untuk berlama-lama bersama mereka. Sementara Sehun hanya tersenyum menatap pundak Luhan yang kian mengecil.
“Ini bayaranmu.” Sehun menyerahkan beberapa lembar uang pada wanita itu. Wanita itu hanya tersenyum lalu berterima kasih. Sesungguhnya ia merasa beruntung bisa mencium pemuda tampan di depannya walaupun ia tahu kalau pemuda itu gay.
***
Luhan menyandarkan kepalanya yang terasa berat pada meja. Buku yang dipinjamnya ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Beruntung, suasana perpustakaan memang sangat mendukung untuk beristirahat sejenak.
Tak lama kemudian, bel berbunyi menandakan perpustakaan akan ditutup dan pengunjung harus segera meninggalkan tempat itu. Luhan yang terlelap tak terganggu dengan bunyi itu. Apalagi ia berada di meja paling belakang, sehingga tidak ada yang menyadari kalau ia masih berada di dalam perpustakaan saat pintu perpustakaan itu dikunci dari luar.
Luhan terbangun saat menyadari hari mulai gelap. Setelah sadar sepenuhnya, Luhan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru dan menyadari kalau ia masih berada di perpustakaan, sendirian, dan kegelapan. Luhan segera mencari ponselnya. Lalu menyalakannya sehingga terdapat sedikit cahaya.
Luhan mencari nomor di kontaknya, ia menelpon Kris, satu-satunya orang yang ia pikir bisa membantunya karena hanya Kris yang saat ini tidak punya masalah dengannya. Sayang, nomor Kris sedang tidak aktif dan berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi. Luhan menghela nafas kecewa. Kemudian nomor kontaknya menunjukkan normor Kai yang tepat berada di bawah nomor Kris. Namun, Luhan tidak ingin menelponnya. Kai pasti tidak akan membantunya. Wajar jika kau tidak ingin membantu orang yang sudah membuatmu babak belur, bukan?
Luhan mencari lagi kontak di ponselnya yang menunjukkan kondisi sekarat dengan sisa satu garis baterai. Sepertinya hanya cukup untuk menelpon satu orang saja. Luhan harus menemukan satu orang yang bisa membantunya. Seseorang yang bisa datang dengan cepat karena Luhan takut gelap dan kelaparan. Seseorang yang bisa rela menghentikan apapun kegiatannya saat ini untuk menyelamatkan Luhan. Dan jari Luhan berhenti di nama Sehun. Sehun, mungkinkah?
***
TBC
Luhan bangun untuk bangkit dan menyadari pakaiannya sudah tidak lengkap lagi. Luhan memperhatikan tubuhnya sendiri dan keningnya berkerut melihat bekas merah keunguan yang menghiasi hampir setiap jengkal tubuhnya. Apalagi bagian tubuh bawahnya terasa terbelah, sakit, dan ngilu di saat yang sama.
‘Apa yang terjadi?’
Luhan memutar otak dan mengingat kembali kejadian kemarin. Ia pergi ke pesta Kris, minum beberapa gelas setelah kalah taruhan dengan Kai, dan... Sehun. Ia ingat Sehun mengantarnya pulang, menidurkannya di ranjang, dan membuatkannya minuman. Lalu...
“Sehun... Sehunna... Panasshh...”
“Sehunna... Kau dingin...”
“Sehunna... Jebal...”
“Jebal Sehunna... Aku.. ingin.. kau..”
Gila. Luhan mengingat semuanya dengan jelas dan meruntuki betapa jalang dirinya tadi malam. Luhan mengusap wajahnya kasar sambil menghela nafas panjang. Entah apa yang dipikirkannya saat itu. Tentu saja ia tidak sepenuhnya sadar. Dalam dirinya, ia yakin tentang orientasi seksualnya yang masih aman-aman saja. Tapi mengapa ia begitu mendambakan sentuhan Sehun? Dan lagi, mengapa Sehun meladeninya? Padahal Sehun seharusnya cukup tahu membedakan antara keinginan sadar dan tidak.
Luhan menghembuskan nafas panjang –lagi- sebelum mengambil handuk dan melangkah pelan ke kamar mandi dengan sesekali meringis perih.
Sehun meletakkan piring terakhir berisi telur gulung di atas meja saat Luhan keluar kamar dengan baju kaos, celana pendek, dan rambut setengah basah. Kedua mata mereka bertemu dan terpaku untuk beberapa saat sebelum Sehun tersenyum menyapa, “Ayo sarapan.” ucapnya.
Luhan terdiam cukup lama tanpa beranjak dari posisinya. Ia masih memandang Sehun yang sedang menata alat makan.
“Kau pasti masih pusing. Aku sudah membuat sup untukmu. Makanlah.” Ajak Sehun lagi menyadari kalau Luhan tak sedikitpun bergerak dari tempatnya.
“Kenapa kau masih di sini?” suara serak Luhan menghampiri pendengaran Sehun. Sehun mengalihkan pandangannya dari alat makan yang sedang ditatanya ke arah Luhan. Luhan menatapnya dingin. Tatapan pertama yang Sehun lihat darinya.
“Aku bukan pria yang tidak akan bertanggung jawab pada apa yang telah kulakukan. Kau tahu aku
“Pulanglah.” Luhan memotong ucapan Sehun tanpa memandangnya. Sehun menghela nafas berat sebelum melepas celemek yang dipakainya dan berjalan menjauh dari meja makan. Langkahnya mendekat ke arah Luhan dan berhenti tepat di depan pemuda yang lebih pendek darinya itu.
“Luhan, maafkan aku. Aku tahu aku sudah melakukan kesalahan. Tapi asal kau tahu,
“Ya, aku tahu. Kau melakukannya karena aku menggodamu lebih dulu. Aku tidak menyalahkanmu.” Luhan menatap Sehun dingin.
“Tidak, Lu. Kau memang menggodaku. Tapi aku melakukannya karena aku mencintaimu.” Sehun balik menatap Luhan dalam. Kedua mata Luhan melebar mendengar pengakuan Sehun itu.
“Aku mencintaimu, Lu. Aku tidak tahu bagaimana cara menunjukkannya karena jujur aku sangat amatir untuk hal seperti ini. Tapi aku benar-benar mencintaimu dan aku tidak pernah menyesali apapun yang sudah terjadi selama ini.”
Luhan terdiam mendengarkan. Entah harus bereaksi apa. Ia terkejut mengetahui ternyata Sehun adalah gay. Pasalnya selama ini Sehun yang dikenalnya masih normal dan berpacaran dengan wanita. Sulli salah satunya. Tapi kenapa bisa orientasi sahabatnya itu berbelok? Yang lebih parah, ia menyukai Luhan.
Seharusnya Luhan merasa jijik. Walaupun gay sudah bukan hal yang tabu di Korea, tetap saja hal itu akan menjadi perbincangan di masyarakat. Namun, Luhan tidak merasa jijik pada Sehun. Mungkin karena Sehun sudah menunjukkan beberapa keanehan seperti menciumnya atau bercinta dengannya. Entahlah. Yang jelas, perasaan Luhan menjadi hangat mendengar pengakuan Sehun itu.
Luhan menatap Sehun dalam. Mata Sehun yang seperti elang ikut menatapnya. Luhan baru menyadari bahwa tatapan itu menimbulkan gelagat aneh di jantungnya. ‘Ada apa denganku? Mungkin aku harus memeriksakan diri ke dokter besok.’
“Aku tidak mencintaimu dan aku menyesali semua yang sudah terjadi.” Luhan menunduk, mencoba menetralkan degup jantungnya saat ini. Ia tak mau Sehun mengetahui hal ini. Bahwa jantungnya berdebar dua kali lebih cepat hanya karena tatapan tajam Sehun.
Sehun membawa tangannya memegang dagu Luhan lembut dan mengarahkan Luhan untuk menatapnya. “Kenapa aku merasa kau sedang berbohong Lu?”
Mata Luhan bergerak gelisah, tangannya segera menepis tangan Sehun. Namun, Sehun kembali memegang kedua tangannya dan mendorongnya hingga terpojok di tembok. Mengunci setiap pergerakan Luhan dan menghimpitnya hingga tak ada jarak pada tubuh mereka.
“Lepas, Sehun.” Luhan masih berusaha sabar dan meminta Sehun dengan baik-baik. Sehun tidak mendengarkan. Wajah Sehun mendekat ke wajah Luhan sehingga Luhan bisa merasakan hembusan nafas yang hangat menyapa kulit wajahnya.
“Tidakkah kau sedang mengkhianati hatimu, Lu?”
Luhan semakin berdegup cepat. Situasi ini membuat dadanya sesak. Ia meruntuki tubuhnya yang begitu mudah terpaku di hadapan Sehun. Jauh, ia berharap dirinya masih seperti yang dulu. Seseorang yang hanya menganggap Sehun sebagai sahabat.
“Aku tidak mencintaimu, Sehun. Aku ini masih normal. Ssang namja. Ingat?” Luhan memberanikan diri menatap Sehun tajam dan segera ia sesali sedetik kemudian karena tatapan Sehun terlalu kuat memenjarakannya.
“Benarkah?” Sehun menatap Luhan tidak yakin.
“Itu benar, Sehun. Aku minta maaf. Tapi aku tidak mencintaimu. Kau sahabatku, Sehunna. Biarlah seperti itu.” Luhan menunduk dalam, menghindari tatapan kecewa Sehun.
Sehun menghela nafas berat. Ia sangat berharap Luhan akan membalas perasaannya. Namun, ia juga tidak ingin memaksakan perasaannya itu. Jika Luhan benar-benar tidak mencintainya, maka kejadian semalam hanya sebuah kesalahan fatal yang menjijikan bagi Luhan.
“Baiklah. Aku pergi.” Sehun meninggalkan Luhan dengan langkah gontai menuju pintu. Luhan hanya menatapnya dalam diam. Entah mengapa hatinya pun terasa sakit.
‘Bukankah ini yang kau inginkan, Luhan?’ tanyanya pada diri sendiri.
***
Kai dan Kris sedang minum di sebuah bar di gangnam. Beberapa wanita sewaan duduk di samping mereka sambil bermanja-manja. Dentuman suara musik terdengar keras dan memekakkan telinga. Namun, tak satupun dari mereka terganggu walau harus berbicara dengan sedikit teriak.
Luhan datang ke bar itu, menyebar tatapan tajam ke seluruh penjuru. Setelah menemukan orang yang dicarinya, Luhan segera berjalan cepat menuju meja yang terletak di pojok, tempat dua orang pria dan empat wanita berkumpul.
Kedua pria yang dihampiri itu sedikit terkejut dengan kedatangan Luhan. Belum sempat mereka menyapa salah satu sahabatnya itu, Luhan sudah menarik kerah salah satu pria yang berkulit tan dan meninju wajahnya keras.
“Luhan!” Kris terperanjat melihat Luhan memukul Kai tepat di depan matanya.
Luhan terus menghujamkan pukulan pada Kai. Kris segera menahan tubuh Luhan setelah melancarkan beberapa pukulan.
Kai menghapus darah segar yang mengalir dari sudut bibirnya kasar sambil menatap Luhan, “Apa masalahmu?”
Luhan masih mengatur nafas dan berusaha memukul Kai lagi namun Kris masih cukup kuat menahan tubuhnya.
“Masalahku? Harusnya kau tanyakan sendiri pada dirimu! Apa yang kau campurkan ke dalam minumanku tadi malam BRENGSEK!!!”
Kris membulatkan kedua matanya terkejut. “Apa maksudmu, Luhan? Apa yang Kai lakukan?”
Kai hanya tersenyum mendengarnya, “Jadi, itu berhasil?” tanyanya tanpa dosa.
“BRENGSEK KAU!!!” Luhan memberontak berusaha lepas dari cengkeraman Kris. Namun, sia-sia. Kris menyuruh Kai untuk meninggalkan tempat itu. Wanita-wanita yang duduk di sana pun sudah pergi tanpa mereka sadari.
“Kau tidak perlu menyalahkanku, Luhan. Aku hanya ingin menyatukan kalian berdua.”
“Bodoh! Aku ini masih normal!” Luhan masih menatap Kai dengan mata yang menyala-nyala.
“Normal? Jangan bercanda, Luhan. Tanyakan pada dirimu sendiri. Tidakkah kau menikmatinya juga?” Kai tersenyum meremehkan, membuat amarah Luhan semakin memuncak.
“Cepat pergi, Kai!” seru Kris, ia merasa tidak dapat menahan tubuh Luhan lebih lama lagi.
Kai berbalik meninggalkan mereka, menuruti perintah Kris. Bukan karena takut, tapi karena ia tidak mau mencari masalah.
Kris melepaskan Luhan setelah Kai meninggalkan bar.
“Kenapa tadi kau menahanku? Aish... Aku benar-benar ingin membunuhnya!” Luhan merapikan bajunya yang kusut sambil duduk di sofa.
“Sabar, Luhan. Sebenarnya ada masalah apa kau dengan Kai?” Kris menuangkan minuman di gelas dan memberikannya pada Luhan. Luhan menerimanya dan meminumnya cepat.
“Kai menjebakku. Semalam, dia mencampurkan obat ke dalam minumanku sehingga aku menjadi orang yang haus belaian.”
“Semalam? Pesta ulang tahunku?”
Luhan mengangguk.
“Tapi, bukankah Sehun mengantarmu pulang?”
Luhan mengangguk kedua kali, lalu menghela nafas panjang.
“Kalau minuman itu membuatmu bergairah, berarti kau dan Sehun...” Kris menutup mulutnya sendiri. Matanya membulat tak percaya. Luhan hanya terdiam tanpa kata. Kris pun menyimpulkan kalau apa yang sedang ia pikirkan itu benar.
***
“Ya, Kai, siapa yang berani membully-mu, huh?” tanya Sehun setelah duduk di dalam kelasnya. Kai yang sedari tadi hanya tidur dan mendengarkan musik dari earphonenya pun menoleh ke asal suara. Lalu memutar bola matanya malas. Tak berniat menjawab pertanyaan Sehun.
“Serius, Kai. Aku bisa membantumu membalas dendam. Katakan siapa yang membuat wajahmu babak belur begitu?” tanya Sehun lagi.
Kai yang mendengarnya menyunggingkan senyum tidak percaya. “Kalau aku bilang orang itu adalah Luhan, apa kau masih ingin membalaskan dendamku?”
Mata Sehun membulat mendengarnya. “Luhan?”
“Ya, Luhan. Pujaan hatimu itu. Aish... Aku heran, aku yang membantu, tapi aku yang sial. Kau dapat enaknya saja.” Kai masih tidak terima dipukul Luhan karena menurutnya yang harus dipukul Luhan itu adalah Sehun, bukan Kai.
“Apa maksudmu? Kenapa Luhan memukulmu? Membantu apa?” Sehun masih belum memahami ucapan Kai.
Kai mendengus kesal, “Kau bercinta dengan Luhan semalam?”
Sehun terkejut mendengarnya. Kai tahu dari mana?
“Tentu saja aku tahu. Luhan melakukannya bukan kerena dia mabuk. Walaupun dia memang sedikit mabuk, tapi satu-satunya yang membuatnya melakukan hal itu karena dia di bawah pengaruh obat perangsang yang kuberikan. Bayangkan saja, semabuk apapun seseorang, kalau dia normal seperti Luhan, dia pasti akan lebih memilih mencari wanita untuk pelampiasan. Tapi karena obat itu, dia memilihmu.”
Sehun tertegun mendengar penjelasan Kai. Jadi, semalam, Luhan benar-benar tidak sadar melakukan hal itu? Sehun merasa sedih karena itu tandanya Luhan memang benar-benar tidak memiliki perasaan apapun padanya.
“Mian.” Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Sehun setelah terdiam cukup lama. Sebenarnya, ia pun tak mengerti mengapa dirinya meminta maaf. Mungkin karena ia merasa seharusnya Luhan memukulnya, bukan Kai.
“Kau tidak perlu meminta maaf padaku. Yang seharusnya minta maaf adalah Luhan. Aku akan menagih permintaan maaf darinya saat kalian sudah jadian.” Ujar Kai enteng sembari tersenyum.
“Itu tidak akan terjadi, Kai. Luhan sudah mengatakan dengan jelas kalau dia tidak mencintaiku.” Kedua mata Sehun berubah sendu memikirkan ucapan Luhan tempo hari.
“Sabarlah, kawan. Kau akan mendapatkannya nanti. Lihat saja.”
Kening Sehun mengerut heran mendengar kalimat optimis dari sahabatnya itu. “Kenapa kau sangat yakin?”
“Karena aku tahu cara agar Luhan menyadari perasaannya padamu.” Kai tersenyum lebar.
***
Luhan menunggu dengan sabar saat seorang pria paruh baya yang digiring dua orang polisi muncul. Pria itu duduk di hadapan Luhan sambil tersenyum ramah menatap pemuda itu. Sebuah kaca menghalangi mereka. Namun, tak melunturkan pria tua, ayah Luhan itu dari kegembiraannya karena sang anak mengunjunginya untuk kali pertama sejak ia di tahan.
Luhan mengangkat gagang telepon ragu sambil melihat ayahnya yang sudah mengangkat gagang telepon lebih dahulu. Dengan perlahan, Luhan mendekatkan gagang telepon itu ke telinganya.
“Bagaimana kabarmu, nak?” tanya ayah Luhan masih dengan senyum di wajahnya.
“Tak pernah lebih buruk dari ini.” suara Luhan terdengar pelan, menatap sendu di kedua mata ayahnya.
“Maafkan ayah, nak. Ayah tahu ini sulit untukmu. Ayah tidak bisa melakukan apa-apa. Ayah menyesal. Maafkan ayah.”
“Minta maaf tidak akan berguna, Ayah tahu, tidak seharusnya ayah melakukan itu sejak awal.” Luhan mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.
“Ayah tahu, nak. Tapi ayah akan menebus semua kesalahan ayah saat keluar nanti. Kita akan kembali menjadi keluarga yang bahagia, nak. Bersabarlah.”
“Itu tidak akan terjadi, ayah. Kita tidak akan pernah kembali seperti dulu lagi. Ibu... akan mengajukan gugatan cerai pada ayah dan menikah dengan Kyuhyun. Semua sudah terlambat.”
Mata yang dihias sedikit keriput di sekelilingnya itu seketika membulat tidak percaya mendengar penuturan sang anak. Kyuhyun? Seingatnya, Kyuhyun adalah rekan bisnis sekaligus sahabat yang paling dipercayainya. Bagaimana bisa?
“Kurasa itu hukuman atas apa yang telah ayah lakukan. Jadi, sebaiknya ayah tidak perlu berharap terlalu banyak. Biarkanlah aku dan ibu menempuh hidup kami masing-masing. Ayah pun harus begitu. Saat keluar nanti, jalanilah hidup ayah dengan baik. Aku pergi.”
Luhan meletakkan gagang teleponnya dan segera berbalik tanpa ingin menoleh lagi. Ia membiarkan air matanya tumpah dalam langkah demi langkah yang membawa kakinya menjauh dari kantor kepolisian. Meninggalkan sang ayah yang sangat ia hormati dan sayangi dalam kesakitan akan kenyataan yang baru saja pria tua itu ketahui.
Mungkin ini adalah balasan karena ayahnya itu telah menyalahgunakan jabatan dan uang rakyat.
***
Hari ini Luhan kurang bersemangat bekerja. Namun, tuntutan pekerjaan membuatnya tak bisa menghindar sedikitpun. Setelah mengganti pakaian, Luhan segera melayani tamu bar dengan senyum palsu yang terukir di bibirnya. Meracik beragam minuman dengan ahli dan memberikannya pada si pemesan.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Pengunjung yang datang telah ramai. Luhan semakin sibuk dengan pekerjaannya. Di antara kesibukannya, Luhan menangkap sosok Sehun diantara keramaian. Sehun sedang menari bersama seorang wanita. Wanita itu mengenakan gaun merah yang minim, menampilkan dua bongkahan dadanya yang lumayan besar. Wanita itu melingkarkan tangannya di bahu Sehun kemudian berjinjit dan mencium Sehun. Sehun tidak menolak melainkan menerima dengan senang hati.
Luhan terperanjat kaget melihat pemandangan itu. Hati kecilnya sedikit tidak terima saat mengetahui ternyata secepat itu Sehun melupakannya dan kembali ke jalan yang lurus.
“Mana minumanku?” suara pelangggan membuyarkan lamunan Luhan. Sambil menggumankan permintaan maaf, Luhan kembali meracik minuman. Sesekali matanya mencuri pandang ke tempat Sehun berada. Oh, lihatlah. Sehun bahkan sudah meletakkan tangannya di bokong wanita itu dan meremasnya. Membuat konsentrasi Luhan buyar dalam seketika dan menjatuhkan minuman di tangannya.
“Yak! Apa yang kau lakukan?! Dasar tidak becus! Cepat panggilkan managermu!” Emosi pria itu sudah meledak karena terlalu lama menunggu. Luhan membungkukkan badannya meminta maaf. Tak lama kemudian, sang manager datang untuk menyelesaikan masalah. Ia menyuruh Luhan beristirahat dan memanggil salah satu pekerja lain untuk menggantikannya.
Luhan telah duduk di ruang ganti menghadap lokernya. Ia menghela nafas panjang. Pikirannya terus tertuju pada Sehun. Kenapa ia merasa tidak senang melihat Sehun bersama wanita itu? Bukankah Luhan seharusnya bahagia karena Sehun telah melupakannya? Itu artinya Luhan bisa kembali menjadi sahabat Sehun seperti dulu lagi? Tapi kenapa Luhan merasa tidak rela? Kenapa hatinya terasanya sakit melihat kejadian itu? Ini perasaan yang sama saat ibunya memuji teman sekolahnya yang mendapat nilai yang lebih tinggi dari Luhan zaman sekolah dulu. Perasaan cemburu. Mungkinkah?
Tapi bukankah cemburu itu artinya cinta? Luhan mencintai Sehun? Tidak mungkin. Itu salah. Itu pasti salah.
“Huffhh...” Luhan kembali menghela nafas panjang sebelum melangkahkan kakinya meninggalkan ruang ganti. Ia berjalan keluar bar saat manik matanya tak sengaja mendapati Sehun yang sedang bercumbu di pinggir jalan. Ingat, di pinggir jalan. Walaupun malam sudah larut dan orang yang berlalu lalang bisa dihitung jari, tapi tidak malukah Sehun melakukan hal itu di tempat umum? Apa ia begitu terangsang oleh wanita itu sampai tidak sempat mencari tempat? Ugh! Luhan melihatnya jengkel.
Sehun yang menyadari keberadaan Luhan menghentikan kegiatannya.
“Hai, Lu.” Sapanya riang dengan tangan kanan yang masih memeluk posesif wanita tanpa nama itu. “Kau sudah pulang?”
“Ya.” Luhan menjawab singkat dan segera berlalu meninggalkan kedua orang itu. Ia terlalu malas untuk berlama-lama bersama mereka. Sementara Sehun hanya tersenyum menatap pundak Luhan yang kian mengecil.
“Ini bayaranmu.” Sehun menyerahkan beberapa lembar uang pada wanita itu. Wanita itu hanya tersenyum lalu berterima kasih. Sesungguhnya ia merasa beruntung bisa mencium pemuda tampan di depannya walaupun ia tahu kalau pemuda itu gay.
***
Luhan menyandarkan kepalanya yang terasa berat pada meja. Buku yang dipinjamnya ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Beruntung, suasana perpustakaan memang sangat mendukung untuk beristirahat sejenak.
Tak lama kemudian, bel berbunyi menandakan perpustakaan akan ditutup dan pengunjung harus segera meninggalkan tempat itu. Luhan yang terlelap tak terganggu dengan bunyi itu. Apalagi ia berada di meja paling belakang, sehingga tidak ada yang menyadari kalau ia masih berada di dalam perpustakaan saat pintu perpustakaan itu dikunci dari luar.
Luhan terbangun saat menyadari hari mulai gelap. Setelah sadar sepenuhnya, Luhan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru dan menyadari kalau ia masih berada di perpustakaan, sendirian, dan kegelapan. Luhan segera mencari ponselnya. Lalu menyalakannya sehingga terdapat sedikit cahaya.
Luhan mencari nomor di kontaknya, ia menelpon Kris, satu-satunya orang yang ia pikir bisa membantunya karena hanya Kris yang saat ini tidak punya masalah dengannya. Sayang, nomor Kris sedang tidak aktif dan berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi. Luhan menghela nafas kecewa. Kemudian nomor kontaknya menunjukkan normor Kai yang tepat berada di bawah nomor Kris. Namun, Luhan tidak ingin menelponnya. Kai pasti tidak akan membantunya. Wajar jika kau tidak ingin membantu orang yang sudah membuatmu babak belur, bukan?
Luhan mencari lagi kontak di ponselnya yang menunjukkan kondisi sekarat dengan sisa satu garis baterai. Sepertinya hanya cukup untuk menelpon satu orang saja. Luhan harus menemukan satu orang yang bisa membantunya. Seseorang yang bisa datang dengan cepat karena Luhan takut gelap dan kelaparan. Seseorang yang bisa rela menghentikan apapun kegiatannya saat ini untuk menyelamatkan Luhan. Dan jari Luhan berhenti di nama Sehun. Sehun, mungkinkah?
***
TBC
1 comment:
aku juga mau kali jadi cewe yg barusan dibayar sehun(?) itung2 sambil menyelam minum air xD
Luhan kereeeeen!!! manly banget pas nonjokin kai ampe babak belur, ampe idungnya kai mendelep(?)tuh gara2 di tonjokin luhan *udah dari dulu kali* wkwk
si sehun caranya basi banget sih, pake ciuman di depan luhan lagi-_- bukan cuman luhan yg cemburu, aku jugaaa T.T
lanjut lagi :3
Post a Comment