Sinar matahari yang masuk melalui jendela kamarku memaksaku untuk membuka mata. Pandanganku masih rabun namun aku bisa mengenali sosok yang sedang menatapku itu. Dia ibuku. Tangan kanannya masih memegang tirai jendela lalu dibukanya jendela itu lebih lebar.
“Bangun. Ini sudah pukul 7. Kau bisa terlambat ke sekolah..” ucapnya memperingatkan. Aku pun beranjak menuju kamar mandi tanpa sekalipun berbalik ke arahnya. Aku merasa lebih baik pergi daripada harus mendengarkan celotehnya lagi.
“Ini bekalmu,” ibu meletakkan kotak makanan di meja saat aku baru akan berangkat ke sekolah. Tapi sekali lagi aku tidak memperdulikannya. Aku melangkahkan kakiku keluar rumah tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Ingat, jangan pulang larut malam!” teriaknya dari dalam rumah. Aku hanya bisa menyunggingkan senyum. Lihat siapa yang berbicara! Dia seharusnya mengucapkan hal itu pada dirinya sendiri!
(skip time)
Bel sekolah sudah berbunyi setengah jam yang lalu. Namun aku masih bisa memasuki kelas karena jabatan gubernur yang disandang ayahku. Saat memasuki kelas pun guru yang sedang mengajar itu tak berani memarahiku. Ia malah tersenyum dan memintaku segera duduk. Tetapi aku bisa merasakan beberapa pasang mata yang melihatku tidak suka. Aku tak peduli. Urusan mereka kalau mereka iri padaku. Walaupun sebenarnya aku yang iri pada kehidupan mereka.
(skip time)
Jam istirahat. Aku baru saja akan melanjutkan tidur siangku saat seorang siswa datang menghampiriku. Dia Arni, temanku.
“Dina, apa benar lo mengundurin diri jadi ketua OSIS? Kenapa sih lo ambil keputusan itu? Lo kan’ sudah susah payah menduduki jabatan itu? Coba deh lo ingat lagi perjuangan kita waktu pemilihan dulu. Sayang kan’ kalo semua itu sia-sia?” protesnya panjang lebar. Aku hanya melihatnya sambil menopang dagu.
“Kenapa sih Na? Kasih tau dong alasannya?” tanyanya lagi.
“Aku lagi malas aja,” ujarku merebahkan kepalaku ke meja lalu menutup mata. Aku masih bisa mendengarkan Arlin menghembuskan nafas berat.
“Lo berubah banget Na. Lo lebih sering gak masuk kelas. Kalo masuk pun pasti telat. Lo juga udah gak peduli kalo nilai-nilai pelajaran lo turun. Yang lebih parah, lo juga gak peduli kalo Radit, saingan terberat lo itu ngalahin lo jadi juara umum di sekolah. Sebenarnya lo kenapa sih Na’? Kalo lo ada masalah lo bisa kan’ cerita ke gue?” celoteh Arni lagi. Tetapi aku tidak memperdulikannya dan masih menutup rapat mataku. Setelah beberapa menit, aku bisa merasakan Arni beranjak dari tempatnya. Mungkin dia menganggap aku sudah tertidur pulas.
(skip time)
Setelah pelajaran seni, semua anak sudah pulang. Namun, aku masih berada di ruang aula. Perlahan aku mendekati piano yang terletak di pojok panggung aula. Lalu duduk dengan meletakkan jari-jariku di atas tuts-tuts piano. Aku mulai menekan nada-nada rendah lalu mulai memainkan lagu Yiruma dengan irama lembut sambil sesekali memejamkan mata menghayati lagu yang sedang kumainkan itu.
“Permainan pianomu masih sama,” aku membuka mata mencari sumber suara itu. Benar dugaanku, itu suara Radit.
“Mungkin gue harus bilang hanya permainan pianomu yang masih sama,” lanjutnya sambil berjalan menghampiriku. Aku tahu maksudnya. Dia juga beranggapan aku banyak berubah.
“Kenapa kau di sini?” tanyaku.
Radit tersenyum, “Ini masih lingkungan sekolah, tuan putri. Wajar kalo gue di sini,”
Sial. Dia memanggilku tuan putri lagi. Sebutan yang paling tidak kusukai dan aku harus selalu mendengarnya dari dia.
“Oh ya, tadi gue sudah dilantik jadi ketua OSIS,” ujarnya memberitahu. Memang aku peduli?
“Bagus kan’? Bukannya itu yang kau incar dari dulu?” sindirku sinis.
Radit tersenyum mengiyakan, “Tapi rasanya tidak begitu menyenangkan, tuan putri. Itu karna gue dapatinnya dengan cara yang terlalu mudah,”
“Yang paling penting kan’ kau sudah mendapatkannya. Selamat ya,” ujarku lalu berjalan meninggalkan aula setelah mengambil tasku sebelumnya. Aku bisa merasakan Radit mengikutiku dari belakang.
“Kenapa lo tiba-tiba berubah? Harusnya lo kan’ gak senang kalo gue jadi menjabat ketua OSIS. Apalagi kalo gue jadi juara umum di sekolah.” Radit berjalan di sampingku.
“Aku sudah tidak peduli hal-hal seperti itu. Harusnya kau senang karena saingan terberatmu sudah mengalah, bukan?”
Radit terdiam. Namun, kami tetap berjalan hingga ke depan gerbang sekolah. Aku pun menghentikan sebuah mobil taksi biru tua.
“Aku duluan ya! Sekali lagi selamat atas pelantikan ketua OSISmu. Bye,” aku memasuki mobil taksi dan menutup pintu. Radit masih melihatku tanpa berkata apa-apa. Tapi aku bisa melihat kedua tangannya mengepal kuat sebelum mobil taksi melaju cepat.
(skip time)
Aku masih mendengarkan musik dari earphone saat ibu duduk di sampingku sambil membawa berlembar-lembar kertas.
“Wali kelasmu bilang nilai-nilaimu turun drastis. Kenapa bisa seperti itu, nak?” tanyanya yang masih bisa kudengar di tengah-tengah alunan musik di gendang telingaku. Aku tak memperdulikannya. Bodo amat. Lebih baik aku memperhatikan akun twitterku.
“Dina! Ibu bertanya padamu! Kenapa nilai-nilaimu bisa turun drastis?” amarahnya mulai melonjak naik. Ia melepaskan earphone dari telingaku dengan kasar. Aku beralih menatapnya tajam.
“Harusnya ibu menanyakan hal itu pada diri ibu sendiri! Apa yang sudah ibu lakukan?!” aku mulai terpancing emosi.
Wanita paruh baya itu melihatku dengan tatapan terkejut yang berusaha disembunyikan.
“Apa maksudmu? Memangnya apa yang sudah ibu lakukan?”
Aku semakin geram mendengarnya.
“Apa aku harus mengucapkannya dari mulutku sendiri? Tidak bu! Aku terlalu jijik untuk mengucapkannya!!” aku beranjak dari tempat dudukku lalu berlari keluar rumah. Aku bisa merasakan ibu mengejarku dari belakang sambil bertanya aku mau pergi ke mana. Aku pun tak tahu. Yang penting saat ini aku tidak mau berada di rumah itu.
(To be continued...)
No comments:
Post a Comment