Luhan mengenakan mantel merah tuanya dan berjalan keluar kelas. Cuaca saat ini memang sangat dingin. Jalan masih basah oleh air hujan. Lampu-lampu jalanan sudah mulai dinyalakan walau mentari belum sepenuhnya tenggelam. Luhan mempercepat langkahnya. Ia ingin tiba di asrama sebelum Rei, roommate-nya, pulang. Bukannya ia membenci Rei. Hanya saja ada perasaan aneh yang ia rasakan sejak seminggu yang lalu. Perasaan aneh yang muncul karena kejadian sore itu.
Flashback...
“Boring nih.” Sehun bersandar di kaki sofa sambil menghela nafas panjang. Kai yang melihatnya lalu mengusulkan untuk bermain kartu yang langsung disetujui oleh Sehun, Kris, Chanyeol, Luhan, dan Rei yang duduk mengelilingi sebuah meja bundar. Chanyeol pun segera menyingkirkan piring dan gelas minuman yang sudah kosong dari meja. Sementara Kris mulai mengocok kartu yang diberikan Kai.
“Taruhan?” usul Chanyeol.
“Oke!” seru Kris setuju.
“Tapi, kirimanku belum datang. Aku sama sekali tidak punya uang.” Keluh Sehun.
Mereka pun saling memandang sejenak.
“Tidak harus pakai uang kan’?” Luhan mulai angkat bicara.
“Iya. Tantangan juga boleh.” Timpal Rei.
“Oke! Jadi, pemenang-nya boleh perintah yang kalah. Yang kalah harus menuruti perintah pemenang, apapun itu. Bagaimana?”
“Oke!” Sehun dan Kai serempak menyahut.
“Oke, siapa takut!” seru Kris.
“Baiklah.” Ujar Rei.
Mereka pun mengarahkan pandangannya pada Luhan yang belum memberi jawaban.
“Bagaimana, Lu?” tanya Chanyeol.
“Hmm... Baiklah.” Ujar Luhan kemudian.
Kris pun mulai membagi kartu pada teman-temannya itu. Dimulai dari Sehun yang duduk di sebelah kirinya, lalu Kai, Luhan, Chanyeol, Rei, dan terakhir dirinya. Mereka mulai bermain kartu dalam suasana yang serius.
Jarum jam dinding di kamar Kris dan Chanyeol pun sudah menunjukkan pukul 3 sore beranjak 45 menit dari mereka bermain kartu tadi. Hasilnya, Chanyeol keluar sebagai pemenang setelah mengalahkan Rei di babak terakhir.
“Aha! Aku tahu aku akan menang!” seru Chanyeol senang.
“Jadi, apa yang harus kami lakukan?” tanya Sehun pasrah.
“Hmm.. Aku mau Kris membeli kudapan.”
Kris langsung mengiyakan dan beranjak keluar kamar. Sementara empat pemuda yang lain masih menunggu perintah Chanyeol.
“Sehun dan Kai merapikan kamar dan mencuci pakaianku!”
“Mwo? Kau kira kami pembantu?” Kai tidak terima.
“Eit! Tidak boleh menolak!” Chanyeol mengingatkan.
“Sudah lakukan saja. Itu tidak terlalu buruk.” Ujar Luhan.
“Baiklah!” seru Sehun dan Kai.
Tersisa Luhan dan Rei yang masih menunggu perintah Chanyeol.
“Untuk Luhan dan Rei... Hmm... Bagaimana kalau kalian berciuman?”
“Mwo? Kau gila!” Luhan tidak terima.
“Apa maksudmu?” Rei masih tidak mengerti.
Kai dan Sehun hanya tertawa mendengarnya.
“Kalian berciuman. Selama satu menit. Okey?”
Luhan dan Rei hanya saling berpandangan dalam diam.
“Yak! Itu tidak terlalu buruk. Daripada perintah yang diberikan pada kami.” Kai menambahkan.
“Benar. Satu menit dan selesai! Itu mudah! No feeling!” ujar Sehun.
“Okey! Siapa takut! Ayo Lu.” Rei pun mendekatkan tubuhnya pada Luhan dan langsung menciumnya.
Chanyeol, Kai, dan Sehun hanya terbelalak kaget dengan tawa yang tertahan. Begitu pula Luhan yang belum sempat mengatakan apa-apa.
Chanyeol pun mulai menghitung mundur dari angka 60. Bibir Rei masih menempel di bibir Luhan yang setengah terbuka karena kaget.
“Ciuman ya! Bukan poppo!” seru Chanyeol.
Mendengar hal itu, Rei mulai menggerakkan bibirnya dan mulai menghisap bibir bawah Luhan dan melumatnya lembut. Setelah itu, ia beralih ke bibir atas Luhan dan kembali melumatnya lembut sambil memiringkan kepalanya.
Chanyeol, Kai, dan Sehun yang tadi hanya tertawa seketika menjadi beku sambil menelan ludah.
“Astaga...” Sehun masih tak percaya dengan pemandangan di hadapannya. Suasana yang mulai memanas pun memenuhi ruangan. Sementara Luhan masih terpaku dengan apa yang terjadi.
“10...9...”
Rei memperdalam ciumannya.
“8...7...6...”
Luhan mulai kehabisan nafas dan berusaha melepaskan diri.
“5...4...3...”
Rei tak juga melepaskan Luhan hingga hitungan ke satu.
“Wah! That’s...” Kai tidak dapat berkata-kata.
“Kenapa aku merasa panas ya?” Sehun pun beranjak dari duduknya dan berdiri di dekat jendela.
“Okay. Kalian boleh kembali ke kamar kalian.” Ujar Chanyeol yang langsung disetujui oleh Rei dan Luhan yang tampak kikuk.
Luhan dan Rei pun segera kembali ke kamar mereka tanpa berkata apa-apa lagi.
Flashback end.
Itulah yang terjadi sehingga Luhan merasa harus menghindar dari Rei. Sejujurnya, ia tidak tahu mengapa perasaannya mulai terasa aneh setiap bertemu Rei. Walaupun Rei bertindak seperti biasa setelah kejadian itu. Seperti tidak terjadi apa-apa. Hanya saja Luhan tak bisa seperti itu.
“Ya! Lihat siapa ini!” enam orang pemuda mencegat Luhan di jalan.
“Masih ingat kami?” tanya salah seorang pemuda itu. Luhan terbelalak terkejut.
“Kalian...”
“Akhirnya, kita bertemu di sini.”
***
Rei pulang dari latihan bandnya berjalan melewati gang kecil yang biasa dilaluinya. Jalan itu tampak lebih ramai dari biasanya. Tampak beberapa pemuda sedang berkelahi dengan tangan kosong. Rei pun berbalik hendak menghindari perkelahian itu sampai ia mengenali seorang pemuda yang sedang dipukuli itu.
“Luhan!” Rei segera menghampiri Luhan dan memukul pemuda-pemuda lain yang berusaha memukul mereka. Rei memang jago berkelahi sehingga lima orang yang memukuli Luhan tadi dapat ia kalahkan dengan mudah. Kelima pemuda itu pun segera meninggalkan tempat itu dengan wajah babak belur.
“Ya! Luhan! Gwenchana?” Rei berusaha menyadarkan Luhan yang tampak sangat lemah. Luhan segera menyingkirkan tangan Rei dari tubuhnya dan berusaha berdiri.
“Sini. Biar kubantu.” Rei pun berusaha memapah Luhan. Tapi Luhan menolaknya dan berdiri sendiri. Rei heran melihat perilaku Luhan itu.
“Kenapa kau ikut campur? Ini bukan urusanmu.” Ucap Luhan sambil menatap Rei tajam.
Rei tidak berkata apa-apa. Luhan pun kembali berjalan menuju asrama. Rei hanya mengikutinya dari belakang.
Kriek. Luhan membuka pintu kamarnya. Sebuah kamar bercat biru tua yang cukup luas dan memiliki dua buah tempat tidur yang terletak berseberangan. Sama seperti kamar-kamar lainnya di asrama, kamar itu pun dilengkapi dua buah lemari dan meja belajar. Buku-buku tersusun rapi di rak yang terletak di samping lemari pakaian. Ada pula meja kecil yang berada di samping tempat tidur yang merupakan tempat meletakkan lampu tidur dan buku yang belum selesai mereka baca.
Luhan duduk di tempat tidurnya sambil menahan sakit akibat luka di tubuhnya. Sementara Rei segera mengambil kotak P3K di atas lemari. Lalu mengeluarkan alkohol dan kapas untuk membersihkan luka Luhan.
Luhan menjauhkan wajahnya saat Rei akan membersihkan luka di wajahnya. Tapi Rei tidak menyerah begitu saja. Ia tetap melanjutkan niatnya mengobati luka Luhan. Luhan hanya bisa menahan pedih saat alkohol itu mengenai luka di wajah dan tangannya.
“Kenapa mereka memukulmu?” tanya Rei.
“Sudahlah. Itu bukan urusanmu.” Luhan pun berbaring di tempat tidurnya sambil memejamkan mata.
Rei hanya bisa menghela nafas melihatnya.
“Setidaknya ganti dulu seragammu.” Ucap Rei. Luhan tak mendengarnya lagi. Ia sudah tertidur pulas.
“Cepat sekali ia tidur.” Guman Rei. Ia pun mengambil pakaian dari lemari Luhan dan kembali menghampiri Luhan yang sudah terlelap. Rei pun terkejut karena seragam Luhan sudah basah oleh keringat. Ia pun menyentuh kening Luhan, panas. Luhan demam.
***
Luhan mencoba bangkit dari posisi tidur walaupun tenaganya masih lemah. Ia pun terkejut saat sebuah handuk kecil tiba-tiba terjatuh dari keningnya. Di sampingnya, Rei tertidur dalam posisi duduk dan tangan kanannya sebagai bantal. Luhan pun tahu Rei sudah terjaga semalaman hanya untuk mengompres demamnya. Luhan mencoba berdiri tanpa membangunkan Rei lalu beranjak ke kamar mandi.
Tak lama kemudian, Rei terbangun. Matanya membulat seketika saat mengetahui Luhan tidak ada di tempatnya.
“Kau sudah bangun. Cepat mandi. Kita bisa terlambat masuk kelas.” Kata Luhan saat keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Rei.
“Sudah lebih baik.”
“Syukurlah.” Rei pun mengambil handuknya dan berjalan ke kamar mandi.
“Trima kasih.” Ucap Luhan tanpa memandang Rei. Rei hanya tersenyum tipis mendengarnya.
***
Luhan, Rei, Kai, dan Sehun sedang makan siang di kantin sekolah saat Chanyeol menghampiri mereka dengan wajah ceria.
“Hei, apa kalian nonton pertandingan tadi malam?” tanya Chanyeol. Kai dan Sehun mengangguk serempak.
“Pertandingan apa?” tanya Luhan tidak mengerti.
“Bola. Barcelona lawan Real Madrid.” Jawab Kai.
“Tapi sayang sekali Barcelona kalah. Kau pasti sangat kecewa kan’ Rei?” tanya Sehun.
Rei hanya mengangguk pelan. Sebenarnya ia tak sempat menonton bola karena merawat Luhan semalam. Walaupun Barcelona adalah klub bola idolanya. Luhan mengetahui hal itu. Ia merasa bersalah.
***
Rei baru saja pulang saat Luhan sudah bersiap keluar dengan mantel hitamnya.
“Kau mau kemana?” tanya Rei heran. Padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Luhan pun bukan orang yang biasa keluar malam.
“Aku hanya mau mencari angin segar.” Jawab Luhan tanpa memandang Rei.
“Malam-malam begini?”
Luhan tidak menjawab, ia tetap berjalan keluar asrama. Rei tidak berkata apa-apa lagi.
Esoknya, Rei terbangun dari tidurnya, ia tak menemukan Luhan di tempatnya. Tampaknya Luhan sudah pergi ke sekolah. Ia bisa mengetahui hal itu dari mantel hitam yang dikenakan Luhan semalam sudah tergantung di balik pintu dan tas ransel dan seragam Luhan sudah tidak ada di tempatnya.
“Cepat sekali dia.” Pikir Rei. Ia pun beranjak ke kamar mandi.
***
Luhan melihat jam tangannya, sudah menunjukkan pukul 12 malam. Ia pun meninggalkan komputer yang menemaninya tiga jam terakhir dan beranjak keluar dari tempat internet. Angin malam yang lumayan dingin itu menerpa wajah Luhan yang tanpa cela. Ia berjalan pulang ke asrama. Jam segini biasanya Rei sudah tertidur pulas. Ini baik. Ia memang tidak mau bertemu Rei.
Kriek. Luhan membuka pintu dengan sangat pelan karena tidak mau membangunkan Rei yang tertidur di tempat tidurnya dengan lampu tidur yang menyala. Ia pun melepaskan mantelnya dan beranjak mandi dan berganti pakaian.
Lima belas menit kemudian, Luhan keluar dari kamar mandi dengan mengenakan piyama kotak-kotak dan sebuah handuk di bahunya. Ia pun mengeringkan rambutnya yang masih setengah basah sambil duduk di tempat tidurnya.
“Kau baru pulang?” suara Rei mengejutkan Luhan. Rei bangun dan duduk di tempat tidurnya.
Luhan hanya mengangguk pelan sambil terus mengeringkan rambutnya.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Rei.
Luhan hanya melihatnya heran dengan tatapan ‘memangnya aku tampak ada apa-apa?’
“Kau seperti sedang menghindariku.” Kata Rei terus terang.
Luhan menelan ludah kasar.
“Itu perasaanmu saja.” Jawab Luhan berbohong. Padahal ia memang sedang menghindari Rei. Ia bahkan tidak bisa menatap Rei. Karena jantungnya pasti akan berdebar lebih cepat dari biasanya. Dan menurutnya, hal itu aneh.
“Benarkah?” Rei berdiri dan berjalan menghampiri Luhan. Luhan terkejut melihatnya. Apalagi Rei kemudian berlutut di hadapannya sambil menatapnya dalam diam.
Luhan segera berdiri dari tempat tidurnya dan menjauh.
“Lihat. Kau memang menghindariku.” Kata Rei lalu kembali berdiri dan berjalan menghampiri Luhan yang berdiri di depan lemari. Luhan semakin tidak dapat menyembunyikan perasaannya yang tak karuan. Apalagi Rei perlahan semakin mendekat dan jantungnya seperti mau keluar dari tempatnya.
“Berhenti, Rei!” kata Luhan setengah teriak karena kaget.
“Memangnya kenapa?” Rei heran melihat tingkah Luhan itu. Ia pun tidak mengindahkan ucapan Luhan dan tetap berjalan mendekati Luhan. Hingga tersisisa dua langkah lagi sebelum ia berada tepat di depan Luhan.
“Berhenti, Rei... kumohon.” Entah mengapa air mata Luhan jatuh seketika. Rei terkejut melihatnya.
“Lu... Ada apa denganmu?”
Luhan hanya menunduk sambil menghapus air matanya yang tak kunjung henti.
“Luhan...”
Luhan segera berlari menuju pintu. Ia ingin meninggalkan tempat itu sekarang juga. Ia hanya ingin bersembunyi dari Rei. Baginya ini sangat memalukan. Namun, Rei segera mendahuluinya dan menutup pintu.
“Jangan lari, Lu. Katakan saja padaku sebenarnya ada apa?” tanya Rei lagi sambil menatap Luhan.
Luhan memberanikan diri menatap Rei dengan sepasang mata yang masih berkaca-kaca. Ia menghela nafas berat.
“Ini salahmu.” Suara Luhan terdengar serak. Rei mengerutkan keningnya tidak mengerti.
“Salahku?”
“Iya, salahmu. Seharusnya kau tidak menciumku waktu itu. Seandainya itu tidak terjadi, semua akan baik-baik saja. Perasaanku akan baik-baik saja.”
Luhan menunduk. Ia pun melanjutkan kalimatnya.
“Tapi sekarang berbeda. Aku tidak bisa menganggapmu seperti dulu lagi. Setiap melihatmu, rasanya jantungku berdebar lebih cepat. Aku sudah berusaha tidak menghiraukannya. Tapi tidak bisa. Aku... menyukaimu...”
Mata Rei membulat karena terkejut. Ia tidak menyangka Luhan menyukainya. Padahal awalnya ia hanya bermain-main. Saat mencium Luhan pun, ia tidak terlalu serius memikirkannya. Namun, begitu merasakan bibir Luhan yang semerah buah ceri itu, jujur ia pun terpikat. Rasanya manis seperti madu dan ia belum pernah merasakan hal itu dari bibir gadis-gadis lain yang pernah diciumnya. Luhan adalah orang pertama yang membuatnya menikmati kegiatan yang selalu menjadi menjijikan dalam benaknya. Bahkan, ia ingin melakukan itu lagi dan lagi. Seperti kecanduan.
Rei tersenyum sambil mengangkat dagu Luhan untuk menatapnya.
“Mianhe. Itu memang salahku. Karena itu, aku akan bertanggung jawab, atas perasaanmu.”
Rei pun mendaratkan bibirnya di bibir Luhan, menyapu bibir ceri itu dengan lidahnya dan melumatnya lembut. Luhan tak dapat berbuat apa-apa selain terpaku di tempatnya. Kedua matanya terpejam perlahan. Entah mengapa ia menikmatinya. Bahkan, saat lidah Rei mulai bermain dengan lidahnya, semua terasa normal. Tidak ada yang salah dengan hal ini. Walaupun mereka sama-sama laki-laki. Itu tak masalah.
***
No comments:
Post a Comment