Aku berjalan memasuki rumahku menuju kamarku yang terletak di lantai dua. Ibuku yang baru keluar dari kamarnya melihatku terkejut.
“Kau darimana? Kenapa kemarin tidak pulang? Kau tahu ibu mencarimu kemana-mana!” celotehnya. Aku hanya membuang muka lalu memasuki kamarku sambil mengunci pintu.
Ibu mengetuk pintu dari luar. “Dina!” panggilnya dari luar. Aku berusaha tidak mendengarkannya.
“Ibu tidak tahu apa yang terjadi padamu. Tapi apapun itu, kamu bisa menceritakannya pada ibu.” katanya yang semakin membuatku kesal. Aku pun membuka pintu kamarku.
“Baiklah, kalau ibu meminta. Tolong jawab dengan jujur. Apa benar aku anak ayah?”
“Apa maksudmu? Tentu saja kau anak ibu dan ayah!”
“Benarkah? Apa ibu yakin? Apa benar TIDAK ADA PRIA LAIN SELAIN AYAH?!” suaraku mulai meninggi. Ibu terkejut mendengar pertanyaanku itu. Matanya membulat. Tapi tak ada satupun jawaban yang keluar dari mulutnya.
“Tentu saja ibu tidak bisa jawab,” aku kembali menutup pintu kamarku.
(skip time)
Radit menghentikan permainan basketnya saat melihatku memasuki lapangan. Ia pun berlari kecil menghampiriku yang duduk di bangku penonton.
“Ini” aku memberinya sebotol air mineral. Radit meraihnya lalu meminumnya cepat.
“Kau baik-baik saja? Apa ibumu memarahimu karna tidak pulang kemarin?” tanyanya.
“Iya, seperti biasa. Nanti malam, ayahku pulang. Aku tidak tahu bagaimana berhadapan dengannya. Aku takut tidak bisa mengendalikan ucapanku yang akhirnya akan menyakiti ayahku...,”
“Apa kau bisa berpura-pura tidak tahu apa-apa?” tiba-tiba dia bertanya.
Aku menatapnya, lalu menggeleng pelan. “Tidak, kurasa...,”
“Tapi bukankah akan lebih baik kalau ayahmu mendengarnya sendiri dari mulut ibumu? Aku tahu kau terluka. Tapi bagaimanapun masalah yang lebih besar adalah antara ayah dan ibumu,”
Aku menyimak penjelasan Radit dengan seksama. Dia ada benarnya juga. Dibandingkan aku, ayah pasti akan lebih terluka. Ibu jahat. Tega-teganya dia mengkhianati ayah. Padahal seharusnya dia bersyukur mendapatkan laki-laki seperti ayah.
“Bagaimana?” aku kembali menoleh menatap Radit.
“Baiklah. Aku akan pura-pura tidak tahu apa-apa,” ucapku kemudian.
Radit tersenyum menyetujui keputusanku itu.
(skip time)
Bel tanda istirahat telah usai berbunyi nyaring. Aku berjalan memasuki kelas. Semua anak seperti melihat ke arahku. Memang aku sudah terbiasa menjadi pusat perhatian. Tapi ada yang berbeda dari pandangan mereka. Entah bagaimana menjelaskannya. Pandangan mereka membuat perasaanku tidak enak.
Aku pun duduk di tempatku dan tak sedetikpun mata mereka teralihkan dariku. Aku tidak tahu apa yang salah dariku hingga Arni menghampiriku dengan wajah seperti menahan amarah.
“Kemarin lo nginap di tempat Radit?” tanyanya dengan nada yang tertahan. Sekarang aku tahu alasan mereka menatapku seperti itu. Tapi kenapa mereka bisa tahu?
“Jawab Na’! Beneran lo nginap di tempat Radit?!” emosi Arni mulai terlihat. Aku tahu sejak dulu Arni suka banget sama Radit. Pantas saja dia marah. Tapi apa hak dia marah padaku? Memang aku salah apa? Tidak ada apa-apa yang terjadi antara aku dan Radit.
Aku menghembuskan nafas panjang. Arni masih menatapku tajam. Entah bagaimana menjawab pertanyaannya itu.
“Itu...,” aku ragu menjawabnya. Untunglah guru telah berjalan memasuki kelas. Sehingga Arni terpaksa kembali duduk di tempatnya. Tapi perasaan lega itu tak bertahan lama. Guru menyuruhku pergi ke ruang BK.
Di ruang BK, aku melihat Radit. Dia menatapku sebentar lalu kembali menunduk. Di hadapannya, Pak Akmal, guru BK itu duduk sambil memegang bolpoint.
Pak Akmal menyuruhku duduk. Aku pun duduk di tempat kosong di samping Radit.
“Kamu tahu alasanmu dipanggil ke sini?” tanya Pak Akmal. Sebenarnya aku tahu, tapi kepalaku menggeleng pelan.
“Ada kabar yang mengatakan kalau kau menginap di tempat Radit. Apa itu benar?”
Aku menunduk. Tak tahu harus menjawab apa. Aku menoleh melihat Radit sebentar lalu kembali melihat Pak Akmal tanpa berkata apa-apa.
“Bicaralah terus terang, ada orang yang melihatmu masuk ke kamar kos Radit, pukul 11 malam.” Pak Akmal terus mendesakku untuk mengakui itu.
Aku bisa saja mengatakan yang sebenarnya, tidak akan berarti apa-apa untukku. Tapi berbeda dengan Radit. Dia baru menjabat sebagai ketua OSIS, dan dikenal sebagai teladan di sekolah. Kalau hal ini diketahui siswa lain, reputasinya mungkin bisa hancur.
“Aku memang ke tempat Radit untuk mengambil buku yang dia pinjam. Tapi aku tidak menginap di tempatnya. Bapak bisa menelpon ibuku. Semalam aku ada di rumah.” Ucapku berbohong. Radit menoleh menatapku dengan sedikit terkejut.
“Baiklah, Bapak akan menelpon ibumu. Kalian bisa kembali ke kelas.”
Aku dan Radit beranjak dari tempat duduk lalu berjalan menuju kelas.
“Maaf ya, aku hampir saja menyeretmu dalam masalah.” Ucapku pada Radit. Radit menghentikan langkahnya.
“Bagaimana denganmu?”
“Aku tidak apa-apa. Ibuku pasti akan bilang semalam aku ada di rumah. Dia tidak akan merusak reputasi anaknya sendiri.” Jawabku walaupun aku tahu ibuku akan semakin marah mendengar kabar itu.
“Sebenarnya gue gak apa-apa kalau kau mengatakan yang sejujurnya sama pak akmal. Toh, kita juga tidak berbuat apa-apa...”
Aku mengangguk pelan. “Kau benar. Tapi mereka tidak akan percaya. Bagaimana mungkin pria dan wanita yang berada dalam satu ruangan yang sama tidak melakukan apa-apa? Aku saja heran melihatmu bisa tertidur pulas sedangkan aku masih berada di sampingmu.”
“Siapa bilang gue tertidur? Justru tadi malam gue tidak bisa tidur. Mana mungkin bisa tidur di waktu seperti itu,” ucapan Radit membuatku terkejut. Jadi, tadi malam dia hanya pura-pura tidur?
“Gue duluan ya, bye.” Ucap Radit sambil berlalu. Meninggalkanku yang masih terpaku membisu.
(skip time)
Begitu memasuki pintu rumah, ibu sudah menyambutku dengan wajah geram sambil kedua tangannya dilipat di depan. Aku tahu dia pasti akan mempertanyakan hal yang sama.
“Apa benar kau menginap di rumah teman priamu?” tanyanya to the point.
“Iya benar.” Ucapku sambil menatapnya. Entah darimana keberanian itu muncul. Tiba-tiba dia melayangkan tamparan yang mendarat tepat di pipiku.
“Bisa-bisanya kau! Apa kau tidak berpikir hah?! Kau tahu ayahmu pejabat publik! Bagaimana bisa kau melakukan hal itu?! bagaimana kalau orang lain tahu?!”
Cih! Aku hanya tersenyum sinis tanpa merasa gentar sedikitpun.
“Apa yang ibu pikirkan? Apa ibu kira aku melakukan hal yang tidak senonoh? Tidak BU! Jangan samakan aku dengan IBU!”
Ibu terkejut mendengar ucapanku. Tangannya kembali terangkat hendak menamparku lagi.
“Tampar Bu! Tampar saja aku kalau itu membuat ibu merasa lebih baik! Tapi itu tidak akan merubah apa-apa Bu! Aku tahu ibu punya pria lain di luar sana! Aku melihat ibu masuk ke kamar hotel dengan mata kepalaku sendiri! Harusnya ibu bercermin dulu sebelum mengatakan hal itu padaku! Bagaimana bisa ibu melakukan hal itu?! Bagaimana bisa ibu mengkhianati ayah?!!”
Amarahku pecah bersama tangis yang mengalir deras. Ibu tak bisa berkata apa-apa dan hanya menatapku dengan mata yang membulat terkejut. Aku berbalik dan beranjak keluar rumah. Tapi kata-kata ibuku menghentikan langkahku.
“Kau benar. Yang kau lihat memang benar. Tapi apa kau tahu seperti apa ayahmu yang sebenarnya? Dia bukan orang yang sebaik yang kau pikirkan!”
Aku melangkah pergi tanpa menghiraukan ucapan ibu.
No comments:
Post a Comment