“Melamun lagi?” Radit duduk di sampingku lalu memberikan segelas ice cream.
“Terima kasih.” Ucapku tanpa mengalihkan pandanganku dari dua anak kecil yang sedang bermain pasir di taman. Mereka tampak bahagia. Ingin sekali rasanya kembali menjadi anak kecil yang tak perlu memikirkan apa-apa selain melakukan apa yang disukai.
Aku menoleh melihat Radit. Ia sedang memakan ice cream dengan tenang. Aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan.
“Ada apa? Apa ada yang aneh di wajahku?” tanyanya saat menyadari aku menatapnya.
Aku menggeleng pelan.
“Tidak. Kau tampan seperti biasanya.”
Ia tersenyum mendengarnya.
“Ini kali pertama kau memujiku, tahu?”
“Aku tahu. Kau pemuda yang tampan, cerdas, dan baik hati. Seharusnya kau bisa menemukan gadis yang lebih baik dariku, Dit.”
Aku menunduk diam. Radit memegang daguku untuk kembali menatapnya.
“Bagiku tidak ada gadis yang lebih baik darimu.”
Ia menatapku dalam, membuat jantungku berdebar cepat tanpa bisa kuredam.
“Benarkah? Kau tidak jijik padaku?” aku menoleh menatap Radit. Radit kembali menatapku terkejut.
“Kenapa harus jijik? Kau tidak melakukan kesalahan apapun.”
“Tapi tetap saja, aku..”
“Sssttt.... Jangan memikirkan hal itu lagi. Oke?”
Aku terdiam sejenak lalu mengangguk pelan.
“Ayo kita ke bioskop, filmnya dimulai setengah jam lagi.” Radit menggandeng tanganku meninggalkan taman.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi aku sungguh bersyukur memilikinya saat ini. Memiliki seorang malaikat di sisiku.
Aku sangat bahagia. Saking bahagianya, aku takut akan kehilangannya. Aku takut jika suatu saat ia akan pergi meninggalkanku.
Terima kasih, Radit. Aku tidak tahu apa jadinya hidupku tanpamu....
(skip time)
Hujan deras mengguyur kota Bandung saat aku dan Radit keluar dari bioskop. Orang-orang masih berteduh di depan bioskop sambil menunggu hujan reda. Ada pula yang nekat menerobos hujan meski harus basah kuyup. Aku melihat Radit. Tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu.
Radit merogoh handphone dari sakunya lalu menelpon. Tampaknya ia sedang memesan taksi untuk menjemputku. Tak lama kemudian, sebuah taksi datang. Radit segera memberikan tanda pada taksi untuk menepi. Lalu membukakan pintu taksi.
“Naiklah.” Ucapnya.
Aku baru akan menaiki taksi itu saat seorang wanita paruh baya mencegahku.
“Maaf, nak. Saya sedang terburu-buru.” Ucapnya lalu masuk ke dalam taksi dan melaju pergi.
Radit tercengang tak percaya. Aku hanya tertawa kecil melihat ekspresi terkejutnya yang lucu.
“Oh iya, Dit. Bukankah rumahmu di dekat sini? Kita bisa pergi ke rumahmu dulu.”
“Baiklah.”
Radit pun melepaskan jaketnya dan memakainya sebagai pelindung hujan. Kami pun meninggalkan bioskop dengan berlari kecil dan jaket Radit sebagai payung.
Tak lama kemudian, kami pun sampai di tempat Radit. Radit membuka pintu kamarnya lalu masuk ke dalam. Aku mengikutinya dari belakang.
“Duduklah.”
Aku duduk di dekat meja bundar sambil menyeka pakaian dan rambutku yang sedikit basah.
“Ini.” Radit memberiku sebuah handuk kecil. Aku memakainya untuk mengeringkan rambutku.
“Aku masak air dulu. Tunggu di sini.” Radit beranjak ke belakang.
Aku masih mengeringkan rambutku sambil melihat sekeliling kamar itu. Tidak ada yang berubah. Masih seperti saat pertama kali aku memasuki kamar itu. Hanya saja aku baru memperhatikan sebuah foto yang terpajang di atas meja belajar Radit. Foto keluarga tampaknya. Ada sepasang orang tua yang duduk di bangku panjang sambil saling merangkul mesra. Sementara dua orang anak laki-laki berdiri di belakang mereka. Aku dapat mengenali salah satu dari dua anak laki-laki itu adalah Radit. Ia masih berumur sekitar sepuluh tahun dalam foto itu. Di sebelahnya tampak anak laki-laki yang lebih tinggi darinya. Mungkin itu kakaknya.
Ah, benar. Selama ini hanya aku yang selalu bercerita tentang kehidupanku pada Radit. Sedangkan dia tak pernah sedikitpun bercerita tentang keluarganya. Aku pun tak tahu apa-apa tentang kehidupannya. Aku merasa sangat egois.
“Minumlah dulu agar tubuhmu hangat.” Radit menghampiriku sambil membawa dua gelas teh yang masih panas. Aku mengangguk lalu kembali duduk di dekat meja bundar. Ia pun duduk di sampingku.
“Kau punya kakak laki-laki, ya?” tanyaku. Ia melihatku terkejut.
“Kau tahu darimana?”
“Foto itu.”
Radit menoleh melihat foto yang kutunjuk.
“Oh... Iya, dia kakakku.”
“Dimana dia sekarang?”
“Dia... tinggal bersama orang tuaku.”
“Oya? Apa dia sudah kuliah?”
“Tidak.” Radit menunduk. “Dia memiliki cacat setelah kecelakaan lima tahun lalu. Dia tidak bisa berjalan, kakinya lumpuh.”
“Maaf.” Aku tidak tahu mengapa kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
“Tidak apa-apa. Walaupun dia lumpuh, aku tetap bangga padanya karena dia masih tetap bertahan menjalani hidupnya dengan bekerja serabutan.”
Radit tersenyum. Entah mengapa aku merasa tidak enak padanya. Aku sadar tidak hanya aku yang mempunyai masalah berat dalam hidup. Tidak seharusnya aku mengeluh dan berniat mengakhiri hidupku karena masih banyak orang yang mempunyai masalah yang lebih berat dariku. Bodoh.
(skip time)
Malam mulai larut, hujan belum juga reda. Aku melihat jam tanganku, sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Tunggu sebentar, aku akan memanggil taksi.” Radit beranjak berdiri dan melangkah keluar kamar.
Tiba-tiba lampu mati sehingga pandanganku menjadi gelap seketika. Tidak, tubuhku mulai mengeluarkan keringat dingin. Nafasku menjadi sesak. Sekujur tubuhku gemetar ketakutan.
“Radit...” aku memanggilnya dengan suara yang sangat kecil. Ia mungkin tidak akan mendengarnya. Apalagi dia sedang di luar. Bagaimana sekarang? Aku takut kegelapan. Aku phobia gelap.
Aku berusaha berdiri sambil meraba-raba benda-benda di sekitarku. Tanpa sengaja, aku menyenggol air minum hingga air itu tumpah membasahi lantai. Aku pun terduduk di pinggir tempat tidur. Radit, cepatlah datang...
No comments:
Post a Comment