Hari itu hujan turun deras membasahi seluruh kota Bandung yang mulai gelap. Di persimpangan jalan, dua orang gadis remaja sedang berdebat tanpa menghiraukan sekujur tubuh mereka yang basah kuyup. Dua orang gadis remaja itu bernama Alyn dan Sonia.
“Kalau kau memang mencintaiku, kau pasti bisa meninggalkan semuanya,” ucap Sonia dengan air mata yang telah bersatu dengan air hujan. Alyn tak dapat berkata apa-apa. Ia hanya dapat menatap Sonia dengan perasaan bersalah. Tangannya pun bergerak menggenggam tangan Sonia. Tapi Sonia menepisnya. “Aku ingin bertanya padamu. Sebenarnya apa arti diriku bagimu?” tanya Sonia, mencoba tetap tegar menatap Alyn. “Kau...” sulit bagi Alyn untuk menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang mengandung keraguan padanya. Padahal hingga detik ini tak ada keraguan sedikitpun bagi Alyn tentang cintanya pada Sonia. Tetapi pertanyaan itu membuatnya sadar bahwa tidak semua yang dia rasakan adalah benar.
“Lihat, kau tidak bisa menjawabnya kan’? Aku sudah menduga kau memang tidak sungguh-sungguh mencintaiku. Kalau begitu kita sudahi saja hubungan kita sampai di sini.” Sonia beranjak pergi. Tetapi Alyn segera menahannya dan memeluknya erat.
“Maafkan aku, Sonia. Aku mencintaimu. Kau segalanya bagiku. Aku akan menuruti permintaanmu. Jadi, kumohon tetaplah bersamaku.” Alyn masih memeluk Sonia. Air matanya menetes deras. Ia tak pernah bisa membayangkan hidupnya tanpa Sonia. Sementara Sonia mulai tersenyum sambil membalas pelukan Alyn erat.
***
Alyn menuruti permintaan Sonia untuk meninggalkan tempat tinggal, orang tua, dan dua orang kakaknya untuk hidup bersama Sonia di ibu kota. Di sana, Alyn dan Sonia tinggal di sebuah apartemen yang dibeli Sonia dari hasil kerjanya selama menjadi model di Bandung.
Alyn dan Sonia berkuliah di sebuah perguruan tinggi swasta jurusan ekonomi. Di samping kuliah, mereka pun mempunyai pekerjaan sampingan. Sonia bekerja sebagai model majalah remaja. Selain itu, ia juga karyawati magang di sebuah perusahaan layanan tour & travel pada akhir pekan. Sementara Alyn bekerja sebagai fotografer di sebuah studio foto.
Saat libur atau tak ada kerjaan, Alyn dan Sonia sering jalan-jalan di Mall untuk shopping atau nonton film. Saat berbelanja, mereka suka membeli barang-barang yang sama walau berbeda warna. Ukuran tubuh mereka memang tak jauh berbeda. Hanya saja Alyn lebih kurus dari Sonia yang mempunyai ukuran tubuh yang proporsional. Oleh karena itu, mereka suka membeli baju yang sama untuk dipakai.
Seperti hari ini, Alyn dan Sonia mengelilingi Matahari Departemen Store untuk membeli baju, tas, dan sepatu. Sonia lebih selektif dalam memilih, sementara Alyn hanya menyetujui pilihan Sonia yang dianggapnya cocok. “Liat deh Lyn, ini lucu banget yah?” Sonia menunjuk dress pendek berwarna peach dan sepasang high heels dengan warna senada. Alyn mengangguk setuju. Sonia pun segera memasukkan dress dan high heels itu ke dalam tas belanjaannya. Tak lupa ia memilihkan untuk Alyn juga dengan warna yang berbeda yaitu abu-abu, kesukaan Alyn. Setelah mengambil beberapa lembar pakaian, empat tas, dan empat pasang sepatu, Sonia menuju kasir untuk membayar. Alyn mengikut dari belakang. “Sonia, aku ke belakang dulu ya.” Ucap Alyn. “Oh, iya. Kutunggu di parkiran ya.” Jawab Sonia. Alyn mengangguk lalu berjalan menuju toilet.
Sepuluh menit kemudian, Alyn keluar dari toilet. Lalu berjalan menuju tempat parkir.
“Alyn!” suara seseorang memanggilnya. Alyn berbalik dan mendapati seorang pemuda di hadapannya. “Kamu Alyn kan?” tanya pemuda itu. Alyn tak bergeming, ia tetap menatap pemuda itu seksama. Wajah yang sangat dikenalinya. Pamuda itu bernama Rio, teman masa kecilnya dulu, sekaligus cinta pertamanya.
“Sejak kapan kamu di Jakarta?” tanya Rio setelah memastikan orang yang diajaknya bicara itu adalah Alyn. “Baru beberapa bulan.” Jawab Alyn dengan nada yang ia usahakan serileks mungkin. Kening Rio mengerut, “Kamu sudah di Jakarta beberapa bulan tapi belum pernah hubungi gue? Kenapa Lyn?” tanya Rio. Alyn menatap cowok yang sama sekali tidak berubah itu. “Aku hanya tak mau mengganggumu. Oh ya, bagaimana kabar i..istrimu?” tanya Alyn. “Istri? Istri apaan? Nikah aja belum. Hehe.” Rio tertawa renyah. Giliran kening Alyn yang mengerut, “Bukannya bulan Januari lalu kamu menikah? Undangannya masih ada di rumahku.”
“Ya, memang. Tapi gak jadi. Mempelai wanitanya kabur. Hahah.” Rio tertawa lagi. Tetapi Alyn bisa merasakan kejanggalan dari tawa Rio. Ada seberkas kesedihan di sana. “Maaf, Rio. Aku gak bermaksud,” Alyn menunduk. Rio tersenyum, “Tidak apa-apa. Gue baik-baik aja kok. Oya, kapan-kapan kita jalan yuk. Berapa nomormu sekarang? Habis yang lama selalu gue hubungin tapi gak pernah aktif. “ tanya Rio. Alyn tersadar, ya, dia memang sudah mengganti nomor hp-nya sejak bulan Januari lalu. Alyn pun merogoh hp-nya dari tas selempang yang dipakainya lalu menghubungi nomor Rio. Handphone Rio berdering menunjukkan dua belas nomor tak dikenal.
***
Sonia mengemudikan mobil Honda Jazz merahnya menelusuri jalan Sudirman. Lagu James Morrison mengalun pelan dari mp3 playernya.
“Kenapa, Lyn?” tanya Sonia melihat Alyn yang diam sejak tadi. Alyn menoleh sebentar, menggeleng pelan, dan tersenyum, “Bentar malam kamu mau makan apa, Sonia?”
“Spagetti aja,” seru Sonia. Alyn kembali tertegun. Dulu dia juga sering memasak spagetti untuk Rio. “Gimana kalau lasagna?” usul Alyn. Sonia terdiam sejenak. Baru kali ini ia merasa Alyn tidak menurutinya. Tapi ia hanya mengangguk. Mungkin Alyn sedang tidak mood membuat spagetti, pikirnya.
***
Alyn mencoba tidur, tapi ia tak bisa memejamkan matanya. Pikirannya masih berputar tanpa bisa ia kendalikan. Di sampingnya, Sonia sudah tertidur pulas. Alyn mengubah posisi tidurnya, menyamping, menghadap Sonia. Alyn pun memandangi wajah gadis yang seperti malaikat itu. Pikirannya menerawang jauh.
11 bulan yang lalu...
Alyn tertegun memandangi sebuah undangan dengan nama Andrio Lenan tercetak di dalamnya. Tak pernah ia membayangkan seseorang yang sudah ia kenal sejak kecil itu akan melangkah ke pelaminan bersama seseorang yang bukan dirinya. Semua harapan yang telah ia bangun selama belasan tahun itu sirna seketika. Sejak dulu Alyn percaya bahwa Rio adalah orang yang telah ditakdirkan bersamanya, ditakdirkan untuk menjadi miliknya. Ia pun mulai memupuk cinta yang telah bersemi di hatinya hanya untuk Rio. Namun, undangan yang diterimanya pada sore hari itu menghancurkan semuanya. Menghancurkan semua harapan dan cintanya tanpa sempat ia ungkapkan. Ia merasa ingin mati detik itu juga.
Hari demi hari yang Alyn lalui bagai menghitung detik demi detik menuju neraka. Penderitaan yang begitu menyiksa dirasakannya karena tak bisa melepaskan Rio begitu saja. Ia masih sering mengkhayalkan Rio kembali ke sisinya. Hal itu membuatnya tenggelam dalam dunianya sendiri bersama obat-obatan yang menjadi penawar sakit hatinya.
Tak lama Sonia muncul dalam kehidupan Alyn. Seperti malaikat, Sonia membantu Alyn melewati masa-masa kelam dalam hidupnya. Sonialah yang mendampingi Alyn dalam rehabilitasi dari obat-obatan itu. Hal itu membuat Alyn sangat bergantung pada Sonia.
(Flashback end)
Alyn menatap wajah Sonia sambil membelai rambut Sonia lembut. “Trima kasih, Sonia,” ucap Alyn pelan dengan senyum yang mengembang.
***
Awalnya Alyn tidak menyangka kalau gadis yang saat ini duduk di depannya adalah Alyn. Memang penampilan Alyn sangat berbeda dari yang ia temui sebelumnya. Alyn mengenakan kaos oblong dengan jaket kulit dan celana jeans ketat yang membentuk tubuhnya. Sepatu boot berwarna hitam pun melengkapi penampilan Alyn yang bernuansa gotik itu. Berbagai aksesoris antik dan make-up gelap kian mendukung penampilannya malam itu. Rio sempat tercengang melihatnya.
“Kau pasti heran melihat dandananku, kan?” tanya Alyn. Rio menggeleng cepat, “Tidak kok. Gue hanya kagum melihat perubahan penampilanmu. Oya, filmnya baru dimulai sejam lagi. Gimana kalau kita makan dulu? Kamu mau pesan apa?”
Alyn menggeleng pelan, tatapannya tertuju pada Rio. “Aku menemuimu bukan untuk nonton atau makan bersamamu,” Ia menghela nafas berat, “Kau tahu, Rio. Waktu sudah berlalu cukup lama, dan selama itu, banyak hal yang telah terjadi...” Alyn menatap Rio. Rio hanya terdiam mendengarkan Alyn, menunggu hingga gadis itu selesai bicara.
“Saat ini aku sudah bersama seseorang. Menemuimu seperti ini, walaupun hanya sekadar nonton dan makan, membuatku merasa bersalah padanya. Aku harap kau mengerti maksudku.” Ucap Alyn sambil beranjak pergi. Rio mengerti maksudnya, tapi entah mengapa tangannya bergerak menahan Alyn untuk tidak pergi. Alyn terkejut melihat Rio yang menarik tangannya tiba-tiba, “Benarkah itu yang kau inginkan? Benarkah hal itu yang dikatakan hatimu?” tanya Rio sambil menatap Alyn dalam. Alyn tak dapat menjawab, mulutnya terkunci rapat.
“Maafin gue, Alyn. Gue terlalu bodoh untuk tidak menyadarinya sejak awal. Gue sayang sama kamu, Lyn. Selama ini, gue coba berbagai cara untuk menghubungi kamu, tapi tidak berhasil. Gue tidak tahu kamu tinggal di mana atau nomor hpmu berapa. Gue Cuma mau kamu tahu kalau gue sayang sama kamu, Lyn. Gue cinta sama kamu.”
Alyn tercengang mendengar pengakuan Rio. Seketika hatinya terasa seperti tersambar petir. Air mata Alyn jatuh tak tertahankan. “Sudah terlambat Rio. Aku bukan Alyn yang dulu lagi. Perasaanku...perasaanku sudah berubah, Rio. Maafkan aku...” Alyn berbalik melangkah pergi. Tapi Rio menahannya. Rio menarik tubuh Alyn dalam dekapannya.
“Gue tahu kamu masih mencintai gue, Lyn,” ucap Rio tegas lalu mendekatkan wajahnya pada Alyn, bibirnya pun mencium bibir Alyn lembut. Alyn memberontak. Ia mencoba mendorong tubuh Rio menjauh namun sia-sia. Rio semakin memperdalam ciumannya. Alyn berusaha melepaskan diri. Namun perasaannya membuatnya mengalah. Ia pun menerima ciuman Rio yang semakin dalam mengulum bibirnya...
***
Sonia tertegun mengamati benda bundar yang terpajang di dinding. Jarum di dalamnya serasa bergerak sangat lambat bagi Sonia.
“Alyn, kamu di mana?” Sonia mulai gelisah. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam tapi Alyn tak juga pulang. Tidak biasanya Alyn seperti ini. Biasanya Alyn yang lebih dulu pulang dan menunggu Sonia. Tapi kali ini berbeda, saat Sonia pulang, ia tak melihat Alyn di rumah. Hal itu membuatnya cemas. Apalagi di luar hujar turun sangat deras.
Kriek, pintu apartemen Sonia terbuka. Segera Sonia berlari ke arah pintu. Seketika perasaan Sonia menjadi lega karena mengetahui orang itu adalah Alyn.
“Astaga, Lyn. Kamu dari mana aja? Kenapa hp kamu gak aktif? Aku khawatir banget sama kamu tau...” Sonia sedikit mengomel namun ia segera mengambil handuk untuk menyeka tubuh Alyn yang basah karena hujan.
“Bentar ya, aku panasin air dulu. Terus kamu mandi, gih” ucap Sonia. Alyn menuruti perkataan Sonia tanpa berkata sepatah katapun. Tak lama kemudian, Alyn keluar dari kamar dengan rambut setengah basah. Alyn menghampiri Sonia yang sedang membuat cokelat panas di dapur. Alyn pun melingkarkan tangannya di pundak Sonia dan memeluknya erat. Sonia sedikit terkejut mengetahui Alyn tiba-tiba memeluknya dari belakang. Namun ia hanya tersenyum.
“Maafkan aku, Sonia,” suara Alyn bergetar. Sonia yang menyadari hal itu menghentikan pekerjaannya dan berbalik menatap Alyn. Mata Alyn mulai basah. Sonia tahu ada yang tidak beres dengan kekasihnya itu. Sonia pun mengajak Alyn duduk di sofa sambil menyuguhkan secangkir cokelat panas.
“Minum, Lyn,” ujar Sonia. Alyn mengangguk, lalu mengangkat cangkir di hadapannya dan menyeruputnya pelan. Setelah Alyn merasa hangat, barulah Sonia berbicara. “Ada apa, Lyn?” tanya Sonia. Alyn tidak menjawab, hanya air matanya yang terus mengalir. Sonia pun mendekatkan duduknya dengan Alyn, lalu menggenggam tangan Alyn erat. “Cerita aja, Lyn. Aku siap mendengarnya,” Sonia tersenyum. Alyn menatap Sonia sebentar lalu menunduk, “Maaf. Maafkan aku, Sonia.”
“Kenapa kamu minta maaf? Kamu tidak salah apa-apa, Lyn,” ucap Sonia. “Sonia, aku..aku..ketemu Rio,” ucap Alyn terbata-bata. Sonia melepaskan genggamannya. Ia tahu nama itu. Alyn pernah cerita padanya. Namun, saat ini nama itu kembali muncul setelah sekian lama membuat perasaannya tidak karuan. Sonia pikir Alyn sudah melupakannya. Ternyata tidak. Nama itu kembali muncul dengan situasi yag berbeda. Situasi yang sangat ditakuti Sonia.
“Lalu?” Sonia mencoba bertanya dengan nada setenang mungkin. Ia menatap Alyn dalam, menunggu jawaban dari kekasihnya itu. “Aku...aku tidak mengerti, Sonia. Aku tidak tahu kenapa perasaanku...perasaanku...”
“Hentikan!” Sonia berdiri, “Aku tidak mau mendengarnya!” Sonia menghela nafas berat, “Kau pasti lelah, istirahatlah. Aku akan tidur di kamar depan,” ujar Sonia lalu berjalan cepat menuju kamar di dekat pintu masuk. Alyn terdiam, air matanya menetes semakin deras.
***
Pagi-pagi sekali Sonia sudah bangun. Setelah mandi, berpakaian, dan berdandan yang rapi, ia segera menyiapkan sarapan. Ia memasak semua makanan kesukaan Alyn mulai dari ayam goreng, sambal balado, dan sup ayam.
“Makan, Lyn,” kata Sonia begitu melihat Alyn keluar dari kamar. Alyn menggeleng pelan, “Nanti saja, Sonia. Aku ada kuliah pagi, takut telat.” Ucap Alyn sambil berjalan menuju pintu. Sonia berlari menghadang Alyn lalu mengunci pintu.
“Tidak boleh. Kau tidak boleh pergi. Aku tidak akan membiarkanmu pergi.” Ucap Sonia dengan nada yang berbeda dari biasanya. Alyn menatap Sonia heran, “Tapi Sonia, aku harus kuliah...”
“Tidak boleh. Kau tidak boleh pergi. Kalau kau melangkah melewati pintu ini... aku tahu kau tidak akan kembali. Kau tidak boleh pergi. Aku tidak akan membiarkanmu pergi...” Air mata Sonia mengalir deras. Alyn tertegun, ia tahu bagaimana perasaan Sonia saat ini.
“Aku mengerti, Sonia. Aku tidak akan pergi,” ucap Alyn sambil mengusap air mata Sonia dengan jari-jarinya. Sonia tersenyum mendengarnya.
“Makanlah, aku sudah memasak makanan kesukaanmu,” ucap Sonia. Alyn mengangguk lalu mengikuti Sonia ke meja makan. Di sana, Alyn pun makan dengan lahap sambil sesekali bercerita pada Sonia. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
***
Sudah seminggu berlalu, namun Rio tak juga bertemu Alyn. Padahal ia sudah mencari Alyn di kampus maupun di studio. Tapi tak ada hasil. Handphone Alyn pun tak aktif. Rio takut Alyn menghilang lagi. Ia tak ingin kehilangan Alyn lagi. Tempat terakhir yang menjadi tujuannya adalah alamat yang diberikan rekan Alyn di studio foto, apartemen Brown Hills no. 341.
Alyn dan Sonia duduk manis di depan televisi menonton drama korea To The Beautiful You sambil menikmati popcorn dan soda.
“Hahaha... Go Jae Hee memang manis. Pantas saja Eun Kyul jatuh cinta padanya walaupun mereka sama-sama pria.” Komentar Alyn. Sonia langsung melirik Alyn sinis, “Apa kau juga suka sama Goo Jae Hee?” tanya Sonia.
Mata Alyn membulat menyadari ucapannya, “Tentu saja tidak. Ah, sodanya habis, aku ke dapur dulu ya.” Kata Alyn seraya menghindari Sonia. Sonia merasa lucu sendiri, tak pernah ia berpikir akan menanyakan hal itu pada Alyn. Tak lama kemudian, bel apartemen mereka berbunyi. Sonia segera menuju pintu untuk melihat siapa yang datang.
Pintu apartemen itu terbuka. Seorang gadis cantik mengenakan tank top dan celana jins pendek muncul dari balik pintu.
“Siapa ya?” tanya gadis berambut pirang kecokelatan itu datar.
“Alyn, ada?” tanya Rio.
“Ada sih, tapi lo siapa?” tanya Sonia mulai jengkel dengan cowok di depannya itu.
“Siapa, Sonia?” tanya Alyn sambil menghampiri Sonia. Langkahnya terhenti setelah mengetahui siapa yang datang itu. “Rio...”
Sonia menoleh, memperhatikan cowok itu dengan seksama. “Rio?”
“Kenapa kamu ke sini, Rio?” tanya Alyn.
“Kenapa lagi kalau bukan cari kamu, Lyn. Kenapa sih kamu tiba-tiba ngilang lagi? Gue cariin kamu terus tau..” ujar Rio. Alyn terdiam, ia melirik Sonia. Sonia terlihat tidak senang setelah mengetahui orang itu adalah Rio.
“Kita bicara di tempat lain saja.” Ucap Rio sambil menarik tangan Alyn. Tetapi Sonia menahannya.
“Emang lo siapa? Tiba-tiba muncul terus bawa Alyn gitu aja?” tanya Sonia emosi. Rio heran melihat sikap gadis itu.
Alyn melepaskan tangannya dari genggaman Rio. “Kamu tunggu di bawah saja. Sebentar aku akan turun menemuimu. Aku perlu bicara dengan dia dulu.” Ucap Alyn. Rio mengangguk mengerti lalu meninggalkan tempat itu.
“Jadi kamu berencana ikut dia? Ya udah, pergi saja sana! Kenapa kau masih di sini?!” Sonia tak dapat menahan amarahnya.
“Dengarin aku dulu, Sonia. Aku tidak akan pergi. Aku sudah janji padamu, aku tidak akan pergi. Aku hanya akan menjelaskan semua padanya. Tolong kamu mengerti.” Ucap Alyn lalu berjalan menuju lift. Sonia hanya bisa memandangi punggung Alyn yang bergerak menjauh, “Aku memang pernah membayangkan hal ini terjadi, Alyn. Tapi tak ku sangka rasanya akan sesakit ini...” air mata Sonia menetes deras tanpa bisa ia kendalikan.
***
“Aku sudah memikirkannya, Rio. Aku rasa sejak awal tidak seharusnya kita bertemu. Tidak seharusnya kita bersama lagi.” Ujar Alyn saat ia dan Rio duduk di taman dekat apartemen. Rio menatap Alyn tidak mengerti, “Apa maksudmu, Lyn?”
“Kau tahu gadis yang membuka pintu apartemen tadi, namanya Sonia. Dialah kekasihku saat ini.” ucap Alyn. Rio tidak percaya akan apa yang didengarnya, “Kau pasti bercanda.”
“Tidak. Aku serius. Kau harus tahu, sejak menerima undangan pernikahanmu, hidupku hancur, Rio. Aku terjerumus dalam dunia gelap, obat-obatan, dan Sonialah yang membantuku lepas dari semua itu. Saat ini, dialah orang yang paling berharga dalam hidupku.” Jelas Alyn. Rio tidak dapat berkata apa-apa. Ia tidak tahu betapa keputusannya untuk menikah saat itu telah mengubah hidup Alyn. Perasaan bersalah yang amat besar menghujam batinnya.
“Aku harap kau mengerti, Rio. Walaupun aku mencintaimu, tapi Sonia adalah orang yang paling berharga bagiku. Temukanlah kebahagiaanmu sendiri. Aku akan selalu mendoakanmu.” Alyn melangkah pergi meninggalkan Rio yang masih terdiam membisu.
***
Alyn berjalan memasuki pintu apartemen namun ia terkejut melihat beberapa kopernya sudah berjajar di dekat pintu.
“Pergilah, Alyn. Aku tidak akan menahanmu lagi.” Kata Sonia dengan mata sembab.
Alyn tidak percaya mendengarnya, ‘Kenapa Sonia? Kupikir kau tidak akan mengusirku seperti ini. aku tidak ada hubungan lagi dengannya, Sonia. Aku sudah menjelaskan padanya kalau kamulah orang yang paling berharga bagiku.” Ujar Alyn. Air mata Sonia meleleh lagi, “Aku hanya tidak mau menghalangi kebahagiaanmu, Lyn. Aku tahu kau mencintainya. Aku tidak mau melihatmu menderita jika tetap bersamaku...”
Alyn melangkah mendekati Sonia. “Aku tidak yakin apa aku bisa bahagia bersamanya. Bagaimana denganmu, Sonia? Apa kau yakin bisa bahagia tanpa aku?”
Sonia menggeleng pelan. Alyn melingkarkan lengannya memeluk Sonia erat. “Aku ingin bersamamu, Sonia. Walaupun aku tidak bisa memastikan perasaan ini bisa bertahan selamanya, aku ingin bersamamu. Jadi, bisakah kita bertahan menjalani hubungan ini?” tanya Alyn. Sonia mengangguk pelan. Alyn pun memeluk Sonia lebih erat untuk meluapkan segala perasaan yang sedang berkecamuk di hatinya.
“Kalau kau memang mencintaiku, kau pasti bisa meninggalkan semuanya,” ucap Sonia dengan air mata yang telah bersatu dengan air hujan. Alyn tak dapat berkata apa-apa. Ia hanya dapat menatap Sonia dengan perasaan bersalah. Tangannya pun bergerak menggenggam tangan Sonia. Tapi Sonia menepisnya. “Aku ingin bertanya padamu. Sebenarnya apa arti diriku bagimu?” tanya Sonia, mencoba tetap tegar menatap Alyn. “Kau...” sulit bagi Alyn untuk menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang mengandung keraguan padanya. Padahal hingga detik ini tak ada keraguan sedikitpun bagi Alyn tentang cintanya pada Sonia. Tetapi pertanyaan itu membuatnya sadar bahwa tidak semua yang dia rasakan adalah benar.
“Lihat, kau tidak bisa menjawabnya kan’? Aku sudah menduga kau memang tidak sungguh-sungguh mencintaiku. Kalau begitu kita sudahi saja hubungan kita sampai di sini.” Sonia beranjak pergi. Tetapi Alyn segera menahannya dan memeluknya erat.
“Maafkan aku, Sonia. Aku mencintaimu. Kau segalanya bagiku. Aku akan menuruti permintaanmu. Jadi, kumohon tetaplah bersamaku.” Alyn masih memeluk Sonia. Air matanya menetes deras. Ia tak pernah bisa membayangkan hidupnya tanpa Sonia. Sementara Sonia mulai tersenyum sambil membalas pelukan Alyn erat.
***
Alyn menuruti permintaan Sonia untuk meninggalkan tempat tinggal, orang tua, dan dua orang kakaknya untuk hidup bersama Sonia di ibu kota. Di sana, Alyn dan Sonia tinggal di sebuah apartemen yang dibeli Sonia dari hasil kerjanya selama menjadi model di Bandung.
Alyn dan Sonia berkuliah di sebuah perguruan tinggi swasta jurusan ekonomi. Di samping kuliah, mereka pun mempunyai pekerjaan sampingan. Sonia bekerja sebagai model majalah remaja. Selain itu, ia juga karyawati magang di sebuah perusahaan layanan tour & travel pada akhir pekan. Sementara Alyn bekerja sebagai fotografer di sebuah studio foto.
Saat libur atau tak ada kerjaan, Alyn dan Sonia sering jalan-jalan di Mall untuk shopping atau nonton film. Saat berbelanja, mereka suka membeli barang-barang yang sama walau berbeda warna. Ukuran tubuh mereka memang tak jauh berbeda. Hanya saja Alyn lebih kurus dari Sonia yang mempunyai ukuran tubuh yang proporsional. Oleh karena itu, mereka suka membeli baju yang sama untuk dipakai.
Seperti hari ini, Alyn dan Sonia mengelilingi Matahari Departemen Store untuk membeli baju, tas, dan sepatu. Sonia lebih selektif dalam memilih, sementara Alyn hanya menyetujui pilihan Sonia yang dianggapnya cocok. “Liat deh Lyn, ini lucu banget yah?” Sonia menunjuk dress pendek berwarna peach dan sepasang high heels dengan warna senada. Alyn mengangguk setuju. Sonia pun segera memasukkan dress dan high heels itu ke dalam tas belanjaannya. Tak lupa ia memilihkan untuk Alyn juga dengan warna yang berbeda yaitu abu-abu, kesukaan Alyn. Setelah mengambil beberapa lembar pakaian, empat tas, dan empat pasang sepatu, Sonia menuju kasir untuk membayar. Alyn mengikut dari belakang. “Sonia, aku ke belakang dulu ya.” Ucap Alyn. “Oh, iya. Kutunggu di parkiran ya.” Jawab Sonia. Alyn mengangguk lalu berjalan menuju toilet.
Sepuluh menit kemudian, Alyn keluar dari toilet. Lalu berjalan menuju tempat parkir.
“Alyn!” suara seseorang memanggilnya. Alyn berbalik dan mendapati seorang pemuda di hadapannya. “Kamu Alyn kan?” tanya pemuda itu. Alyn tak bergeming, ia tetap menatap pemuda itu seksama. Wajah yang sangat dikenalinya. Pamuda itu bernama Rio, teman masa kecilnya dulu, sekaligus cinta pertamanya.
“Sejak kapan kamu di Jakarta?” tanya Rio setelah memastikan orang yang diajaknya bicara itu adalah Alyn. “Baru beberapa bulan.” Jawab Alyn dengan nada yang ia usahakan serileks mungkin. Kening Rio mengerut, “Kamu sudah di Jakarta beberapa bulan tapi belum pernah hubungi gue? Kenapa Lyn?” tanya Rio. Alyn menatap cowok yang sama sekali tidak berubah itu. “Aku hanya tak mau mengganggumu. Oh ya, bagaimana kabar i..istrimu?” tanya Alyn. “Istri? Istri apaan? Nikah aja belum. Hehe.” Rio tertawa renyah. Giliran kening Alyn yang mengerut, “Bukannya bulan Januari lalu kamu menikah? Undangannya masih ada di rumahku.”
“Ya, memang. Tapi gak jadi. Mempelai wanitanya kabur. Hahah.” Rio tertawa lagi. Tetapi Alyn bisa merasakan kejanggalan dari tawa Rio. Ada seberkas kesedihan di sana. “Maaf, Rio. Aku gak bermaksud,” Alyn menunduk. Rio tersenyum, “Tidak apa-apa. Gue baik-baik aja kok. Oya, kapan-kapan kita jalan yuk. Berapa nomormu sekarang? Habis yang lama selalu gue hubungin tapi gak pernah aktif. “ tanya Rio. Alyn tersadar, ya, dia memang sudah mengganti nomor hp-nya sejak bulan Januari lalu. Alyn pun merogoh hp-nya dari tas selempang yang dipakainya lalu menghubungi nomor Rio. Handphone Rio berdering menunjukkan dua belas nomor tak dikenal.
***
Sonia mengemudikan mobil Honda Jazz merahnya menelusuri jalan Sudirman. Lagu James Morrison mengalun pelan dari mp3 playernya.
“Kenapa, Lyn?” tanya Sonia melihat Alyn yang diam sejak tadi. Alyn menoleh sebentar, menggeleng pelan, dan tersenyum, “Bentar malam kamu mau makan apa, Sonia?”
“Spagetti aja,” seru Sonia. Alyn kembali tertegun. Dulu dia juga sering memasak spagetti untuk Rio. “Gimana kalau lasagna?” usul Alyn. Sonia terdiam sejenak. Baru kali ini ia merasa Alyn tidak menurutinya. Tapi ia hanya mengangguk. Mungkin Alyn sedang tidak mood membuat spagetti, pikirnya.
***
Alyn mencoba tidur, tapi ia tak bisa memejamkan matanya. Pikirannya masih berputar tanpa bisa ia kendalikan. Di sampingnya, Sonia sudah tertidur pulas. Alyn mengubah posisi tidurnya, menyamping, menghadap Sonia. Alyn pun memandangi wajah gadis yang seperti malaikat itu. Pikirannya menerawang jauh.
11 bulan yang lalu...
Alyn tertegun memandangi sebuah undangan dengan nama Andrio Lenan tercetak di dalamnya. Tak pernah ia membayangkan seseorang yang sudah ia kenal sejak kecil itu akan melangkah ke pelaminan bersama seseorang yang bukan dirinya. Semua harapan yang telah ia bangun selama belasan tahun itu sirna seketika. Sejak dulu Alyn percaya bahwa Rio adalah orang yang telah ditakdirkan bersamanya, ditakdirkan untuk menjadi miliknya. Ia pun mulai memupuk cinta yang telah bersemi di hatinya hanya untuk Rio. Namun, undangan yang diterimanya pada sore hari itu menghancurkan semuanya. Menghancurkan semua harapan dan cintanya tanpa sempat ia ungkapkan. Ia merasa ingin mati detik itu juga.
Hari demi hari yang Alyn lalui bagai menghitung detik demi detik menuju neraka. Penderitaan yang begitu menyiksa dirasakannya karena tak bisa melepaskan Rio begitu saja. Ia masih sering mengkhayalkan Rio kembali ke sisinya. Hal itu membuatnya tenggelam dalam dunianya sendiri bersama obat-obatan yang menjadi penawar sakit hatinya.
Tak lama Sonia muncul dalam kehidupan Alyn. Seperti malaikat, Sonia membantu Alyn melewati masa-masa kelam dalam hidupnya. Sonialah yang mendampingi Alyn dalam rehabilitasi dari obat-obatan itu. Hal itu membuat Alyn sangat bergantung pada Sonia.
(Flashback end)
Alyn menatap wajah Sonia sambil membelai rambut Sonia lembut. “Trima kasih, Sonia,” ucap Alyn pelan dengan senyum yang mengembang.
***
Awalnya Alyn tidak menyangka kalau gadis yang saat ini duduk di depannya adalah Alyn. Memang penampilan Alyn sangat berbeda dari yang ia temui sebelumnya. Alyn mengenakan kaos oblong dengan jaket kulit dan celana jeans ketat yang membentuk tubuhnya. Sepatu boot berwarna hitam pun melengkapi penampilan Alyn yang bernuansa gotik itu. Berbagai aksesoris antik dan make-up gelap kian mendukung penampilannya malam itu. Rio sempat tercengang melihatnya.
“Kau pasti heran melihat dandananku, kan?” tanya Alyn. Rio menggeleng cepat, “Tidak kok. Gue hanya kagum melihat perubahan penampilanmu. Oya, filmnya baru dimulai sejam lagi. Gimana kalau kita makan dulu? Kamu mau pesan apa?”
Alyn menggeleng pelan, tatapannya tertuju pada Rio. “Aku menemuimu bukan untuk nonton atau makan bersamamu,” Ia menghela nafas berat, “Kau tahu, Rio. Waktu sudah berlalu cukup lama, dan selama itu, banyak hal yang telah terjadi...” Alyn menatap Rio. Rio hanya terdiam mendengarkan Alyn, menunggu hingga gadis itu selesai bicara.
“Saat ini aku sudah bersama seseorang. Menemuimu seperti ini, walaupun hanya sekadar nonton dan makan, membuatku merasa bersalah padanya. Aku harap kau mengerti maksudku.” Ucap Alyn sambil beranjak pergi. Rio mengerti maksudnya, tapi entah mengapa tangannya bergerak menahan Alyn untuk tidak pergi. Alyn terkejut melihat Rio yang menarik tangannya tiba-tiba, “Benarkah itu yang kau inginkan? Benarkah hal itu yang dikatakan hatimu?” tanya Rio sambil menatap Alyn dalam. Alyn tak dapat menjawab, mulutnya terkunci rapat.
“Maafin gue, Alyn. Gue terlalu bodoh untuk tidak menyadarinya sejak awal. Gue sayang sama kamu, Lyn. Selama ini, gue coba berbagai cara untuk menghubungi kamu, tapi tidak berhasil. Gue tidak tahu kamu tinggal di mana atau nomor hpmu berapa. Gue Cuma mau kamu tahu kalau gue sayang sama kamu, Lyn. Gue cinta sama kamu.”
Alyn tercengang mendengar pengakuan Rio. Seketika hatinya terasa seperti tersambar petir. Air mata Alyn jatuh tak tertahankan. “Sudah terlambat Rio. Aku bukan Alyn yang dulu lagi. Perasaanku...perasaanku sudah berubah, Rio. Maafkan aku...” Alyn berbalik melangkah pergi. Tapi Rio menahannya. Rio menarik tubuh Alyn dalam dekapannya.
“Gue tahu kamu masih mencintai gue, Lyn,” ucap Rio tegas lalu mendekatkan wajahnya pada Alyn, bibirnya pun mencium bibir Alyn lembut. Alyn memberontak. Ia mencoba mendorong tubuh Rio menjauh namun sia-sia. Rio semakin memperdalam ciumannya. Alyn berusaha melepaskan diri. Namun perasaannya membuatnya mengalah. Ia pun menerima ciuman Rio yang semakin dalam mengulum bibirnya...
***
Sonia tertegun mengamati benda bundar yang terpajang di dinding. Jarum di dalamnya serasa bergerak sangat lambat bagi Sonia.
“Alyn, kamu di mana?” Sonia mulai gelisah. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam tapi Alyn tak juga pulang. Tidak biasanya Alyn seperti ini. Biasanya Alyn yang lebih dulu pulang dan menunggu Sonia. Tapi kali ini berbeda, saat Sonia pulang, ia tak melihat Alyn di rumah. Hal itu membuatnya cemas. Apalagi di luar hujar turun sangat deras.
Kriek, pintu apartemen Sonia terbuka. Segera Sonia berlari ke arah pintu. Seketika perasaan Sonia menjadi lega karena mengetahui orang itu adalah Alyn.
“Astaga, Lyn. Kamu dari mana aja? Kenapa hp kamu gak aktif? Aku khawatir banget sama kamu tau...” Sonia sedikit mengomel namun ia segera mengambil handuk untuk menyeka tubuh Alyn yang basah karena hujan.
“Bentar ya, aku panasin air dulu. Terus kamu mandi, gih” ucap Sonia. Alyn menuruti perkataan Sonia tanpa berkata sepatah katapun. Tak lama kemudian, Alyn keluar dari kamar dengan rambut setengah basah. Alyn menghampiri Sonia yang sedang membuat cokelat panas di dapur. Alyn pun melingkarkan tangannya di pundak Sonia dan memeluknya erat. Sonia sedikit terkejut mengetahui Alyn tiba-tiba memeluknya dari belakang. Namun ia hanya tersenyum.
“Maafkan aku, Sonia,” suara Alyn bergetar. Sonia yang menyadari hal itu menghentikan pekerjaannya dan berbalik menatap Alyn. Mata Alyn mulai basah. Sonia tahu ada yang tidak beres dengan kekasihnya itu. Sonia pun mengajak Alyn duduk di sofa sambil menyuguhkan secangkir cokelat panas.
“Minum, Lyn,” ujar Sonia. Alyn mengangguk, lalu mengangkat cangkir di hadapannya dan menyeruputnya pelan. Setelah Alyn merasa hangat, barulah Sonia berbicara. “Ada apa, Lyn?” tanya Sonia. Alyn tidak menjawab, hanya air matanya yang terus mengalir. Sonia pun mendekatkan duduknya dengan Alyn, lalu menggenggam tangan Alyn erat. “Cerita aja, Lyn. Aku siap mendengarnya,” Sonia tersenyum. Alyn menatap Sonia sebentar lalu menunduk, “Maaf. Maafkan aku, Sonia.”
“Kenapa kamu minta maaf? Kamu tidak salah apa-apa, Lyn,” ucap Sonia. “Sonia, aku..aku..ketemu Rio,” ucap Alyn terbata-bata. Sonia melepaskan genggamannya. Ia tahu nama itu. Alyn pernah cerita padanya. Namun, saat ini nama itu kembali muncul setelah sekian lama membuat perasaannya tidak karuan. Sonia pikir Alyn sudah melupakannya. Ternyata tidak. Nama itu kembali muncul dengan situasi yag berbeda. Situasi yang sangat ditakuti Sonia.
“Lalu?” Sonia mencoba bertanya dengan nada setenang mungkin. Ia menatap Alyn dalam, menunggu jawaban dari kekasihnya itu. “Aku...aku tidak mengerti, Sonia. Aku tidak tahu kenapa perasaanku...perasaanku...”
“Hentikan!” Sonia berdiri, “Aku tidak mau mendengarnya!” Sonia menghela nafas berat, “Kau pasti lelah, istirahatlah. Aku akan tidur di kamar depan,” ujar Sonia lalu berjalan cepat menuju kamar di dekat pintu masuk. Alyn terdiam, air matanya menetes semakin deras.
***
Pagi-pagi sekali Sonia sudah bangun. Setelah mandi, berpakaian, dan berdandan yang rapi, ia segera menyiapkan sarapan. Ia memasak semua makanan kesukaan Alyn mulai dari ayam goreng, sambal balado, dan sup ayam.
“Makan, Lyn,” kata Sonia begitu melihat Alyn keluar dari kamar. Alyn menggeleng pelan, “Nanti saja, Sonia. Aku ada kuliah pagi, takut telat.” Ucap Alyn sambil berjalan menuju pintu. Sonia berlari menghadang Alyn lalu mengunci pintu.
“Tidak boleh. Kau tidak boleh pergi. Aku tidak akan membiarkanmu pergi.” Ucap Sonia dengan nada yang berbeda dari biasanya. Alyn menatap Sonia heran, “Tapi Sonia, aku harus kuliah...”
“Tidak boleh. Kau tidak boleh pergi. Kalau kau melangkah melewati pintu ini... aku tahu kau tidak akan kembali. Kau tidak boleh pergi. Aku tidak akan membiarkanmu pergi...” Air mata Sonia mengalir deras. Alyn tertegun, ia tahu bagaimana perasaan Sonia saat ini.
“Aku mengerti, Sonia. Aku tidak akan pergi,” ucap Alyn sambil mengusap air mata Sonia dengan jari-jarinya. Sonia tersenyum mendengarnya.
“Makanlah, aku sudah memasak makanan kesukaanmu,” ucap Sonia. Alyn mengangguk lalu mengikuti Sonia ke meja makan. Di sana, Alyn pun makan dengan lahap sambil sesekali bercerita pada Sonia. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
***
Sudah seminggu berlalu, namun Rio tak juga bertemu Alyn. Padahal ia sudah mencari Alyn di kampus maupun di studio. Tapi tak ada hasil. Handphone Alyn pun tak aktif. Rio takut Alyn menghilang lagi. Ia tak ingin kehilangan Alyn lagi. Tempat terakhir yang menjadi tujuannya adalah alamat yang diberikan rekan Alyn di studio foto, apartemen Brown Hills no. 341.
Alyn dan Sonia duduk manis di depan televisi menonton drama korea To The Beautiful You sambil menikmati popcorn dan soda.
“Hahaha... Go Jae Hee memang manis. Pantas saja Eun Kyul jatuh cinta padanya walaupun mereka sama-sama pria.” Komentar Alyn. Sonia langsung melirik Alyn sinis, “Apa kau juga suka sama Goo Jae Hee?” tanya Sonia.
Mata Alyn membulat menyadari ucapannya, “Tentu saja tidak. Ah, sodanya habis, aku ke dapur dulu ya.” Kata Alyn seraya menghindari Sonia. Sonia merasa lucu sendiri, tak pernah ia berpikir akan menanyakan hal itu pada Alyn. Tak lama kemudian, bel apartemen mereka berbunyi. Sonia segera menuju pintu untuk melihat siapa yang datang.
Pintu apartemen itu terbuka. Seorang gadis cantik mengenakan tank top dan celana jins pendek muncul dari balik pintu.
“Siapa ya?” tanya gadis berambut pirang kecokelatan itu datar.
“Alyn, ada?” tanya Rio.
“Ada sih, tapi lo siapa?” tanya Sonia mulai jengkel dengan cowok di depannya itu.
“Siapa, Sonia?” tanya Alyn sambil menghampiri Sonia. Langkahnya terhenti setelah mengetahui siapa yang datang itu. “Rio...”
Sonia menoleh, memperhatikan cowok itu dengan seksama. “Rio?”
“Kenapa kamu ke sini, Rio?” tanya Alyn.
“Kenapa lagi kalau bukan cari kamu, Lyn. Kenapa sih kamu tiba-tiba ngilang lagi? Gue cariin kamu terus tau..” ujar Rio. Alyn terdiam, ia melirik Sonia. Sonia terlihat tidak senang setelah mengetahui orang itu adalah Rio.
“Kita bicara di tempat lain saja.” Ucap Rio sambil menarik tangan Alyn. Tetapi Sonia menahannya.
“Emang lo siapa? Tiba-tiba muncul terus bawa Alyn gitu aja?” tanya Sonia emosi. Rio heran melihat sikap gadis itu.
Alyn melepaskan tangannya dari genggaman Rio. “Kamu tunggu di bawah saja. Sebentar aku akan turun menemuimu. Aku perlu bicara dengan dia dulu.” Ucap Alyn. Rio mengangguk mengerti lalu meninggalkan tempat itu.
“Jadi kamu berencana ikut dia? Ya udah, pergi saja sana! Kenapa kau masih di sini?!” Sonia tak dapat menahan amarahnya.
“Dengarin aku dulu, Sonia. Aku tidak akan pergi. Aku sudah janji padamu, aku tidak akan pergi. Aku hanya akan menjelaskan semua padanya. Tolong kamu mengerti.” Ucap Alyn lalu berjalan menuju lift. Sonia hanya bisa memandangi punggung Alyn yang bergerak menjauh, “Aku memang pernah membayangkan hal ini terjadi, Alyn. Tapi tak ku sangka rasanya akan sesakit ini...” air mata Sonia menetes deras tanpa bisa ia kendalikan.
***
“Aku sudah memikirkannya, Rio. Aku rasa sejak awal tidak seharusnya kita bertemu. Tidak seharusnya kita bersama lagi.” Ujar Alyn saat ia dan Rio duduk di taman dekat apartemen. Rio menatap Alyn tidak mengerti, “Apa maksudmu, Lyn?”
“Kau tahu gadis yang membuka pintu apartemen tadi, namanya Sonia. Dialah kekasihku saat ini.” ucap Alyn. Rio tidak percaya akan apa yang didengarnya, “Kau pasti bercanda.”
“Tidak. Aku serius. Kau harus tahu, sejak menerima undangan pernikahanmu, hidupku hancur, Rio. Aku terjerumus dalam dunia gelap, obat-obatan, dan Sonialah yang membantuku lepas dari semua itu. Saat ini, dialah orang yang paling berharga dalam hidupku.” Jelas Alyn. Rio tidak dapat berkata apa-apa. Ia tidak tahu betapa keputusannya untuk menikah saat itu telah mengubah hidup Alyn. Perasaan bersalah yang amat besar menghujam batinnya.
“Aku harap kau mengerti, Rio. Walaupun aku mencintaimu, tapi Sonia adalah orang yang paling berharga bagiku. Temukanlah kebahagiaanmu sendiri. Aku akan selalu mendoakanmu.” Alyn melangkah pergi meninggalkan Rio yang masih terdiam membisu.
***
Alyn berjalan memasuki pintu apartemen namun ia terkejut melihat beberapa kopernya sudah berjajar di dekat pintu.
“Pergilah, Alyn. Aku tidak akan menahanmu lagi.” Kata Sonia dengan mata sembab.
Alyn tidak percaya mendengarnya, ‘Kenapa Sonia? Kupikir kau tidak akan mengusirku seperti ini. aku tidak ada hubungan lagi dengannya, Sonia. Aku sudah menjelaskan padanya kalau kamulah orang yang paling berharga bagiku.” Ujar Alyn. Air mata Sonia meleleh lagi, “Aku hanya tidak mau menghalangi kebahagiaanmu, Lyn. Aku tahu kau mencintainya. Aku tidak mau melihatmu menderita jika tetap bersamaku...”
Alyn melangkah mendekati Sonia. “Aku tidak yakin apa aku bisa bahagia bersamanya. Bagaimana denganmu, Sonia? Apa kau yakin bisa bahagia tanpa aku?”
Sonia menggeleng pelan. Alyn melingkarkan lengannya memeluk Sonia erat. “Aku ingin bersamamu, Sonia. Walaupun aku tidak bisa memastikan perasaan ini bisa bertahan selamanya, aku ingin bersamamu. Jadi, bisakah kita bertahan menjalani hubungan ini?” tanya Alyn. Sonia mengangguk pelan. Alyn pun memeluk Sonia lebih erat untuk meluapkan segala perasaan yang sedang berkecamuk di hatinya.
TAMAT
Thanks for reading :-)
No comments:
Post a Comment