Friday 22 February 2013

Cerpen: Normal



Dia seorang temanku. Namanya Veli. Dia cantik, modis, pintar, dan pandai bergaul. Dia juga seorang putri keluarga konglomerat yang setiap saat diantar jemput mobil Mercy. Dia selalu menjadi pusat perhatian karena kecantikan yang dimilikinya. Setiap pria yang melihatnya akan berhenti sejenak hanya untuk mengagumi dirinya. Tak ada yang bisa menolak pesonanya.
Namun tidak dengan Rio. Entah apa yang dipikirkan cowok itu hingga bisa menolak pernyataan cinta Veli setahun yang lalu. Setahun yang lalu, Veli dengan percaya diri mengungkapkan perasaan sukanya pada Rio di hadapan mahasiswa yang sedang nongkrong di parkiran. Tapi Rio menolaknya. Dengan ramah memang. Namun terdengar seperti petir di telinga Veli. Veli tidak bisa menerimanya.
Selama satu tahun Veli membuntuti Rio. Ia melangkah kemanapun cowok itu pergi. Entah ke kelas, restoran, kafe, perpustakaan, toko, pom bensin, sampai pulang ke rumahnya. Ia pun selalu menyelipkan surat cintanya di tas Rio tanpa diketahui oleh si empunya. Ia selalu mengintai Rio dan membantai cewek manapun yang berusaha mendekati Rio. Rio sendiri tahu diri telah dibuntuti. Tapi Rio tak berbuat apa-apa. Rio membiarkan Veli dengan rutinitasnya itu. Mungkin Rio senang juga jadi incaran. Tapi kasihan Veli. Ia tidak seperti dulu lagi.
Veli jarang makan, apalagi ke salon seperti rutinitasnya dulu. Ia pun sudah tak peduli akan model-model pakaian yang sedang hits. Nilai-nilainya anjlok. Wajahnya selalu terlihat pucat dan lelah. Ia tak memikirkan apapun selain Rio. Hanya Rio yang ada di otaknya.
Aku prihatin juga melihatnya. Aku tak habis pikir alasan seorang Veli menyia-nyiakan hidupnya hanya untuk seseorang yang bahkan tak melihatnya. Apa sih yang hebat dari cowok itu? Memang wajahnya tampan. Hanya itu. Padahal banyak cowok yang jauh lebih tampan yang naksir Veli. Tapi Veli tak bergeming. Matanya hanya melihat Rio seorang. Hingga saat ini, saat Veli terbaring sakit dengan infus di tangannya. Ia tetap bersikeras untuk melihat Rio. Akibatnya, perawat di rumah sakit harus bekerja ekstra untuk menjaganya.
“Ambil ini, Ta, lo harus ambil gambar Rio. Gue mau lihat dia. Lo tahu kan’ gue gak akan bisa tahan kalo enggak liat dia sehari aja. Gue mohon, Ta. Plis bantu gue. Gue bakal kasih apa aja yang lo mau. Gue bisa bayar lo berapapun yang lo mau. Plis bantu gue,” Veli menatapku dengan mata yang berkaca-kaca sambil menyerahkan sebuah kamera profesional. Aku terdiam melihatnya. Berat rasanya menyanggupi permintaan Veli itu. Aku sudah berulang kali menyarankannya untuk menyerah. Sudah tak terhitung lagi. Jadi aku tahu apapun yang kukatakan tidak akan diterima oleh Veli. “Plis...Ta...” kata Veli lagi. Aku pun mengangguk menyanggupinya.
Hari ini hari pertama aku menggantikan rutinitas Veli membuntuti Rio. Rio sedang bekerja di kafe. Dia karyawan di sana. Aku pun berpikir untuk memotretnya dari seberang jalan. Tapi wajahnya tak terlihat jelas. Tertutup oleh pelanggan. Apa yang harus kulakukan? Bagaimana Veli bisa melakukannya? Apa mungkin dia berpura-pura menjadi pelanggan di sana? Ya, mungkin saja. Mungkin sebaiknya aku masuk ke kafe itu dan memotret Rio dengan jelas.
Jepret!
Satu foto berhasil kupotret. Tak lama kemudian seorang pelayan menghampiriku sambil membawa secangkir cappucino pesananku. “Oh, rupanya Anda juga penggemar Rio ya?” tanyanya dengan tawa yang ditahan. Aku menggeleng cepat. Aku penggemar orang yang tidak berperasaan itu? Tidak mungkin!
“Trima kasih,” ucapku singkat. Pelayan itu pun pergi. Aku melihat Rio lagi. Dia sedang melayani seorang pria gemuk yang ingin membayar. Tak lama kemudian dia berbisik dengan seorang temannya. Jepret! Foto kedua. Aku tak tahu berapa banyak foto yang harus kuambil untuk menghibur Veli. Tapi aku pernah melihat ‘koleksi’ foto milik Veli. Ia menyediakan sebuah kamar khusus untuk memajang foto Rio. Kamar yang dipenuhi wajah Rio. Aku pernah bertanya berapa kali ia memotret Rio dalam sehari. Tapi ia pun tak tahu. Ia hanya bilang kalau tangannya tak pernah berhenti memotret Rio sampai jari-jarinya merah. Kalau mengingat hal itu, aku sendiri bingung kenapa aku menyanggupi untuk melakukan hal itu. Apalagi kalau orang itu Rio. Aku membencinya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” aku terkejut. Entah bagaimana Rio sudah duduk di depanku dan...bicara padaku? Segera aku memotret Rio. Jepret! Jepret! Jepret! Aku sudah tertangkap basah. Aku tak mengerti kenapa Veli bisa melakukan hal ini sampai satu tahun. Aku tak peduli dengan mata orang-orang yang menatapku saat aku melangkah meninggalkan kafe itu. Yang paling penting ‘tugas’ku sudah selesai. Meski harus menanggung malu seperti ini.
“Sinta!” seseorang menahan lenganku. Aku menoleh. Dia Rio? “Apa kau bisa pergi begitu saja setelah memotret orang seenaknya?” tanyanya tak terima. Aku melihatnya heran. “Bukankah selama ini kau sudah sering menjadi objek foto? Kukira kau tidak peduli. Kau tidak peduli pada orang yang ingin memotretmu. Kau membiarkan mereka begitu saja. Jadi kenapa saat ini kau keberatan?!” tanyaku emosi. “Semua itu berbeda,” jawabnya. Aku semakin tidak mengerti. “Apa bedanya? Kau sendiri senang kan’ menjadi incaran?! Dasar orang yang tidak berperasaan! Kau membuat temanku sakit karenamu, bodoh!”
“Tentu berbeda. Karena yang memotret adalah orang yang berbeda. Karena kamu,” katanya mengejutkanku. “Dasar orang gila!” aku mencoba pergi. Tapi Rio masih mencengkram lenganku erat. “Gue suka sama kamu, Sinta. Sejak dulu. Jadi tidak mungkin gue terima Veli kalau di hati gue cuma ada kamu, Ta.”
“Tidak!” aku berusaha lepas dari Rio dan berlari sekuat tenaga. Aku bisa merasakan seseorang mengejarku di belakang. Tapi aku tidak bisa berhenti. Aku tidak bisa menerima ini. Rio menyukaiku? Tidak! Itu tidak mungkin. Kalau itu benar, berarti akulah yang telah membuat Veli menderita. Akulah orang yang tidak berperasaan itu. Tidak! Ini tidak mungkin terjadi! Tak pernah terlintas di benakku untuk menyakiti Veli. Menyakiti gadis yang kucintai selama ini. Tidak!
Brukkkkkkk!
“Sinta!!!”
Pandanganku mulai gelap. Aku tak bisa bergerak. Orang-orang mulai mengemuniku. “Sinta!” Rio mengangkat tubuhku. Tapi aku tidak bisa menahan mataku untuk tidak tertutup. Veli... Maafkan aku.
****
Aku tak mengerti akan apa yang telah terjadi. Sinta. Dia meninggal. Kenapa bisa? Apa karena aku? Aku yang menyuruhnya untuk memotret Rio. Kalau saja aku tidak menyuruhnya, mungkin Sinta masih ada di sini. Menemaniku. Maafkan aku, Sinta...
“Veli, apa ini milikmu?” Rio memperlihatkan sebuah kamera hitam. Aku mengangguk pelan. “Tidak ada foto. Klisenya kosong. Mungkin Sinta menyimpannya,” kata Rio berlalu pergi. Aku termenung. Kosong? Aku memberi Sinta kemera ini lengkap dengan klise. “Bi, aku apa boleh ke kamar Sinta,” tanyaku pada bibi penjaga rumah. Bibi mengangguk. Aku pun menaiki tangga menuju kamar Sinta. Aku membuka pintunya dan terkejut melihat isi kamar itu. Kamar itu dipenuhi foto-foto. Setelah mendekat, aku yakin itu fotoku. Itu fotoku. Jadi, Sinta....
**** 

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...