Saturday 26 October 2013

Menulis Pantun


1)      Pengertian Pantun
            Pantun berarti misal, umpama, ibarat, atau tamsil Suprapto (2009:2). Pantun merupakan salah satu jenis puisi Melayu lama yang secara luas dikenal di kalangan masyarakat Nusantara. Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan, namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis Hidayati (2010 :1).
            Pantun berasal dari bahasa Minangkabau yaitu patuntun yang berarti "petuntun". Dalam bahasa sunda atau di Jawa Barat, istilah pantun dikenal sebagai paparikan, sedangkan di Jawa Tengah dikenal sebagai parikan, dalam bahasa Toraja disebut londe, dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa, dan masyarakat Maluku menyebutnya panton Hidayati (2010:1-4).
            Pantun memiliki kata-kata yang khas, kekhasan kata-kata dalam pantun ditunjukkan melalui penggunaan kata-katanya, ungkapan pengarang, serta kemerduan bunyinya karena pilihan kata pada bunyi akhir yang teratur. Semua bentuk pantun terdiri atas sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, sedangkan dua baris terakhir merupakan isi yang merupakan tujuan dari pantun tersebut Sari (2012:239).
            Pantun digunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik formal maupun informal. Formal misalnya, dalam pernikahan. Pernikahan yang menggunakan pantun dalam tata cara pernikahan adalah pernikahan adat Betawi, yaitu ketika acara buka palang pintu yang diikuti dengan pencak silat. Informal misalnya dalam perbincangan sehari-hari. Perbincangan yang ditambahkan dengan pantun akan semakin menarik dan tidak membosankan Alexa (2009).
2)   Syarat-syarat Pantun
            Pantun merupakan salah satu bentuk sastra yang paling popular di antara tradisi lisan masyarakat Melayu. Seorang pengkaji Budaya Melayu bernama R.O. Winsted (dalam Waridah, 2009:338), menyatakan bahwa pantun bukanlah sekadar gubahan kata-kata yang mempunyai rima dan irama, tetapi merupakan rangkaian kata yang indah untuk menggambarkan kehangatan seperti cinta, kasih sayang, dan rindu dendam penuturnya.
            Menurut Waridah (2009:338), Pantun memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri ini tidak boleh diubah. Jika diubah, pantun tersebut akan menjadi seloka, gurindam, atau bentuk puisi lama lainnya. Ciri-ciri pantun adalah sebagai berikut.
a)      Tiap bait terdiri atas empat baris (larik),
b)      Tiap baris terdiri atas 8 sampai 12 suku kata,
c)      Rima akhir setiap baris adalah a-b-a-b,
d)     Baris pertama dan kedua merupakan sampiran,
e)      Baris ketiga dan keempat merupakan isi.
            Ciri-ciri pantun juga dikemukakan oleh Suprapto (2009:6), yang terdiri dari enam antara lain:
a)      Tiap satu bait terdiri atas empat baris,
b)      Tiap satu bait berisi kandungan maksud yang lengkap,
c)      Bait berima akhir silang, yaitu a b a b,
d)     Tiap baris terdiri atas 3-5 kata atau 8-12 suku kata,
e)      Baris pertama dan kedua merupakan sampiran pantun,
f)       Baris ketiga dan keempat merupakan isi pantun.
            Pendapat yang sedikit berbeda juga dikemukakakan oleh Hidayati (2010: 5-6), yang menyatakan ciri-ciri pantun sebagai berikut.
a)         Setiap bait terdiri atas empat larik (baris),
b)         Setiap suku kata tiap larik sama atau hampir sama (biasanya terdiri atas 8-12 suku kata),
c)         Berima (bersajak) ab-ab,
d)     Larik pertama dan kedua berupa sampiran,
e)      Larik ketiga dan keempat disebut maksud (isi).
            Adapun syarat-syarat pantun menurut Sari (2012: 239), antara lain:
a)      Satu bait terdiri atas empat baris,
b)      Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi,
c)      Setiap baris terdiri atas 8-12 suku kata,
d)     Rima akhir berpola a-b-a-b.
            Beberapa ahli lainnya juga memberikan batasan dan syarat-syarat pantun yang dirangkum oleh Fenny (2009) antara lain: Zaidan Hendy, yang mengungkapkan bahwa pantun mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a)      Tiap bait terdiri atas empat baris kalimat,
b)      Tiap baris terdiri atas 4-6 kata atau 8-12  suku kata,
c)      Taris pertama dan kedua disebut sampiran dan baris ketiga dan keempat disebut isi, sampiran melukiskan alam dan kehidupan sedangkan isi pantun berkenaan dengan maksud pemantun,
d)     Bersajak silang atau a-b-a-b, artinya bunyi akhir baris pertama sama dengan bunyi akhir baris ketiga dan bunyi akhir baris kedua sama dengan bunyi akhir baris keempat,
e)      Pantun digunakan untuk pergaulan dan berisikan curahan perasaan, buah pikiran, kehendak, kenangan dan sebagainya,
f)       Tiap bait pantun selalu dapat berdiri sendiri, kecuali pada pantun berkait,
g)      Pantun yang baik atau bermutu memiliki hubungan antara sampiran dan isi.
Contoh:
Air dalam bertambah dalam,
hujan di hulu belum lagi teduh,
Hati dendam bertambah dendam,
dendam dahulu belum lagi sembuh.
Hubungan antara sampiran dan isi yang tampak pada pantun di atas ialah sama-sama melukiskan keadaan yang makin menghebat. Pantun yang kurang bermutu menurut Zaidan, yang diciptakan oleh kebanyakan orang, umumnya tidak memiliki hubungan antara sampiran dan isi.
Contoh:
Buah pinang buah belimbing,
ketiga dengan buah mangga.
Sungguh senang beristri sumbing,
biar marah tertawa juga.

Sebait pantun di atas tidak menunjukkan adanya hubungan antara sampiran dan isi, kecuali adanya persamaan bunyi.
Hooykaas, (dalam Fenny: 2009) kemudian mengatakan bahwa pada pantun yang baik, terdapat hubungan makna tersembunyi dalam sampiran, sedangkan pada pantun yang kurang baik, hubungan tersebut semata-mata hanya untuk keperluan persamaan bunyi. Pendapat Hooykaas ini sejalan dengan pendapat Tenas Effendy (dalam Fenny: 2009) yang menyebut pantun yang baik dengan sebutan pantun sempurna atau penuh, dan pantun yang kurang baik dengan sebutan pantun tak penuh atau tak sempurna. Karena sampiran dan isi sama-sama mengandung makna yang dalam (berisi), maka kemudian dikatakan, “sampiran dapat menjadi isi, dan isi dapat menjadi sampiran.”
Selanjutnya Zulfahnur, dkk (dalam Fenny: 2009), mengungkapkan bahwa sebait pantun terikat oleh beberapa syarat antara lain:
a)      bilangan baris tiap bait adalah empat, bersajak AB-AB,
b)      terdiri dari 8-12 suku kata tiap baris, umumnya 10 suku kata,
c)      pantun umumnya mempunyai sajak akhir, tetapi ada juga yang bersajak awal atau bersajak tengah.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pantun adalah bentuk puisi lama yang terdiri atas empat baris yang bersajak bersilih dua-dua (pola ab-ab), dan biasanya tiap baris terdiri atas empat sampai lima perkataan. Dua baris pertama disebut sampiran (pembayang), sedangkan dua baris berikutnya disebut isi pantun. Antara sampiran dan isi terdapat hubungan yang saling berkaitan. Oleh karena itu, tidak boleh membuat sampiran asal jadi hanya untuk menyamakan bunyi baris pertama dengan baris ketiga dan baris kedua dengan baris keempat.
3) Jenis-Jenis Pantun
Pantun yang berkembang dalam tradisi lisan dan tulis di Indonesia memiliki keragaman yang luar biasa. Beberapa ahli membagi jenis pantun menjadi beberapa bagian di antaranya.
Suprapto (2009:14-22) menguraikan jenis pantun berdasarkan pemakainya, berdasarkan  isi, dan berdasarkan bentuknya. Berdasarkan pemakainya pantun dibagi menjadi tiga yaitu: pantun anak-anak, pantun orang muda, dan pantun orang tua. Berdasarkan isinya terbagi menjadi dua belas yaitu:  pantun bersuka cita, pantun berduka cita, pantun jenaka, pantun teka-teki, pantun dagang atau nasib, pantun perkenalan, pantun berkasih-kasihan, pantun perceraian, pantun beriba hati, pantun nasihat, pantun adat, dan pantun agama. Berdasarkan bentuknya terbagi atas lima yaitu: pantun biasa, pantun kilat atau karmina, pantun berkait atau seloka, talibun, dan pantun modern.
Selanjutnya Hidayati (2010: 7-64), membagi jenis pantun berdasarkan bentuk dan isi (tema). Berdasarkan bentuknya, pantun dibagi menjadi tiga yaitu: talibun, pantun kilat atau karmina, dan pantun berkait. Berdasarkan isi atau temanya pantun terdiri atas tiga bagian yaitu:
a)      Pantun anak-anak, terdiri dari:
(1)      pantun bersuka cita, dan
(2)      pantun berduka cita.
b)      Pantun orang muda, terbagi atas dua bagian antara lain:
(1)      pantun muda, yang  mencakup pantun perkenalan, pantun berkasih-kasihan, pantun perceraian, dan pantun beriba hati,
(2)      pantun dagang atau nasib, dan
(3)      pantun teka-teki.
c)      Pantun orang tua antara lain pantun nasihat, pantun adat, dan pantun agama.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Budiono (2010:26-30), yang juga membagi jenis pantun berdasarkan bentuk dan isinya. Berdasarkan bentuknya pantun terbagi atas tiga yaitu: pantun kilat atau karmina, talibun dan seloka (pantun berkait). Berdasarkan isinya pantun dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu: (1) Pantun anak-anak yang terdiri atas: pantun bersuka cita, pantun berduka cita, dan pantun jenaka anak. (2) Pantun orang muda terdiri dari: pantun berkenalan, pantun berkasih-kasihan, pantun perpisahan, pantun beriba hati, pantun dagang atau nasib, dan pantun jenaka anak muda. (3) Pantun orang tua terdiri dari: pantun adat, pantun nasihat, pantun agama, dan pantun budi.
Selain itu Sari (2012: 240-268), membagi jenis pantun berdasarkan jumlah larik atau baris dan berdasarkan isinya. Berdasarkan jumlah larik atau baris, pantun dibedakan menjadi empat yaitu: pantun biasa, pantun kilat (karmina), talibun, dan pantun berkait (seloka). Berdasarkan isinya, pantun terdiri atas tiga jenis yaitu sebagai berikut.
a)      Pantun anak-anak, terdiri atas pantun jenaka dan pantun teka-teki.
b)      Pantun remaja, terdiri atas pantun perkenalan, pantun percintaan, dan pantun perpisahan.
c)      Pantun orang tua, terdiri atas pantun adat, pantun agama, pantun budi, pantun nasihat, pantun kepahlawanan, pantun kias, dan pantun peribahasa.
Dari beberapa pendapat di atas dapat diuraikan jenis-jenis pantun yang dibedakan berdasarkan bentuk (jumlah baris) dan berdasarkan isi (tema). Berikut jenis-jenis pantun:
a) Berdasarkan bentuk/jumlah baris tiap bait, pantun dibedakan menjadi:
(1) Pantun biasa yaitu pantun yang terdiri dari empat baris tiap bait. Pantun biasa  sering juga disebut pantun saja.
Contoh:
                 Kemuning dalam semak
 Jatuh melayang selamanya                                                                     
                 Meski ilmu setinggi tegak
            Tidak sembahyang apa gunanya
(1)   Pantun kilat atau karmina yaitu pantun yang hanya tersusun atas dua baris bersajak a,a. baris pertama merupakan sampiran dan baris kedua merupakan isinya.
           Contoh:
           Dahulu perang sekarang besi
           Dahulu sayang sekarang benci
(2)   Pantun berkait atau pantun rantai atau seloka yaitu pantun yang berisikan pepatah atau perumpamaan yang mengandung senda gurau, sindiran, bahkan ejekan. Seloka tidak cukup ditulis dengan satu bait saja sebab merupakan jalinan atas beberapa bait.
Contoh:
 Seganda gugur di halaman
 Daun melayang masuk kulah
 Dengan adinda minta berkenalan
 Rindunya bukan ulah-ulah
Daun melayang masuk kulah
Batang berangan di tepi paya
Rindunya bukan ulah-ulah
Jangan tuan tidak percaya
(3)   Talibun yaitu sejenis puisi lama seperti pantun karena mempunyai   sampiran dan isi, tetapi lebih dari empat baris (mulai dari 6 baris sampai 20 baris). Berirama abc-abc, abcd-abcd, abcde-abcde, dan seterusnya.
          Contoh:
          Kalau anak pergi ke pulau
  Yu beli, belanak pun beli
  Ikan panjang beli dahulu
  Kalau anak pergi merantau
  Ibu cari, sanak pun cari
  Induk semang cari dahulu                
(4)   Pantun modern adalah pantun yang tidak memiliki sampiran dan atau sebuah bentuk syair yang berirama a b a b, dan tiap baris terdiri atas empat sampai lima kata atau 8-12 suku kata.
  Contoh:
  Jika di kelas suka mengantuk
  Semua pelajaran sulit diterima
  Maka jangan duduk membungkuk
  Agar tidak terpejamlah mata
b) Berdasarkan isi atau temanya, pantun dapat dikelompokkan menjadi  beberapa jenis antara lain:
(1) Pantun anak-anak  adalah pantun yang isinya menggambarkan atau melukiskan kehidupan dunia anak-anak. Biasanya berisi rasa senang maupun sedih. Pantun anak-anak terdiri atas:
(a)  Pantun bersuka cita yaitu pantun yang isinya menggambarkan atau melukiskan kegembiraan hati seorang anak.
   Contoh:
                             Mari kita makan ke kebun
                            Bawa guni isikan padi
                            Mari kita berlawan pantun
                            Bawa menyanyi menyukakan hati               
(b)  Pantun berduka cita yaitu pantun yang isinya menggambarkan atau melukiskan kesedihan hati seorang anak.
                                           Contoh:
       Besar buahnya pisang batu
       Jatuh melayang selaranya
                 Saya ini anak piatu
                 Sanak saudara tidak punya
(c) Pantun jenaka yaitu pantun yang bertujuan untuk menghibur orang yang mendengar, terkadang dijadikan sebagai media untuk saling menyindir dalam suasana yang penuh keakraban, sehingga tidak menimbulkan rasa tersinggung, dan dengan pantun jenaka diharapkan suasana akan menjadi semakin riang.
Contoh:
   Jalan-jalan ke rawa-rawa
 Jika capai duduk di pohon palm
 Geli hati menahan tawa
 Melihat katak memakai helm
(d) Pantun teka-teki yaitu pantun yang memerlukan jawaban yang merupakan satu dari alat untuk menggerakkan cara berpikir secara spontan dalam membina kemahiran berpikir dengan tepat.
Contoh:
Beras ladang sulung tahun
Malam malam memasak nasi
Dalam batang ada daun
Dalam daun ada isi
(2)   Pantun orang muda adalah pantun yang isinya menggambarkan atau melukiskan kehidupan orang yang masih berusia muda. Pantun orang muda terbagi menjadi 5 yaitu:
(a) Pantun perkenalan yaitu pantun yang digunakan oleh muda-mudi untuk saling mengenal dengan lawan jenisnya. Biasanya pantun ini berisi pertanyaan, pujian, dan sanjungan terhadap lawan jenis yang disukainya.
Contoh:
Jalan-jalan ke pantai marina
Sempatkan diri menyantap ikan
Cewek cantik yang duduk di sana
Bolehkah kita berkenalan?         
(b) Pantun berkasih-kasihan yaitu pantun yang menggambarkan atau melukiskan muda-mudi yang sudah saling mencintai mencurahkan isi hati dan perasaan masing-masing. Biasanya berisi pujian, sanjungan, dan juga harapan-harapan indah sepasang orang muda yang sedang jatuh cinta.
Contoh:
Kalau tuan jalan dahulu
Carikan saya bunga kamboja
Kalau tuan mati dahulu
Nantikan saya di pintu surga
(c) Pantun perceraian yaitu pantun yang menggambarkan atau melukiskan tentang perasaan ketidaksukaan seseorang terhadap lawan jenis karena sesuatu sebab, sehingga akhirnya memutuskan untuk berpisah satu sama lain.
Contoh:                
pucuk pauh delima batu
anak sembilang di tapak tangan
biar jauh di negeri satu
hilang di mata di hati jangan
(d) Pantun beriba hati yaitu pantun yang isinya menggambarkan atau    melukiskan bagaimana kesedihan yang dialami oleh seseorang dikarenakan suatu sebab. Bisa karena cintanya tak tergapai atau bertepuk sebelah tangan, atau karena penderitaan hidup yang dialaminya.
                       Contoh:
                      Anak keling berbaju sitin
                      Sudah sitin sekelat pula
                      Hamba hina lagi miskin
                      Sudah miskin melarat pula
(e) Pantun dagang atau nasib yaitu pantun yang menggambarkan atau melukiskan nasib atau keadaan seseorang yang tengah merenungi nasib dirinya. Biasanya didendangkan oleh orang muda yang tinggal di negeri orang dan teringat pada tanah kelahirannya atau karena nasibnya tidak seberuntung orang lain.
Contoh:
     Mati ditembak oleh Belanda
    Pebur terserak tengah padang
Duduk terkenang akan adinda
    Nyawa di tubuh rasa melayang
(3)  Pantun orang tua adalah pantun yang isinya menggambarkan atau melukiskan kehidupan orang yang usianya sudah tua. Pantun orang tua terdiri dari:
(a)  Pantun nasihat yaitu pantun yang berisi nasihat orang tua kepada anak muda. Pantun ini biasanya bersifat mengajar atau memberi nasihat untuk melakukan sesuatu yang baik dan meninggalkan   yang buruk.
Contoh:
Kalau Harimau sedang mengaum
Bunyinya sangat berirama
Kalau ada ulangan umum
Marilah kita belajar bersama
(b) Pantun adat yaitu pantun yang berisi tentang petuah yang memiliki hubungan dengan adat setempat. Biasanya pantun dituturkan oleh orang tua kepada anak muda berupa himbauan agar si anak muda tidak melupakan adat yang ada.
                          Contoh:
                          Kalau dinding tidak berlantai
                          Apa gunanya kayu dipepat
                          Kalau runding tidak selesai
                          Apa gunanya penghulu adat          
(c)  Pantun agama yaitu pantun berisi petuah-petuah keagamaan, yang mengingatkan manusia dengan Keesaan Allah dan balasan di hari kemudian. 
        Contoh:
Banyaklah bulan antara bulan
Tidak semulia bulan puasa
Banyaklah tuan serupa tuan
Tidak semulia Tuhan Yang Esa
(d) Pantun budi adalah pantun yang isinya mengenai budi pekerti, biasanya berupa pemberian atau bantuan kepada orang lain, serta bagaimana nilai budi bagi seseorang.
Contoh:
 Kalau keladi sudah ditanam
     Jangan lagi meminta balas
     Kalau budi sudah ditanam
     Jangan lagi meminta balas
(e)    Pantun kepahlawanan adalah pantun yang isinya berhubungan dengan semangat kepahlawanan.
Contoh:
Redup bintang haripun subuh
Subuh tiba bintang tak nampak
Hidup pantang mencari musuh
Musuh tiba pantang ditolak
(f)    Pantun kias atau ibarat adalah pantun bersifat kiasan, ibarat atau perbandingan. Dengan demikian, pernyataan isinya selalu ditemui dalam bentuk peribahasa tetapi gambaran pernyataannya lebih halus, luas dan mendalam.
Contoh:
                 Disangka nanas di tengah padang
                 Rupanya urat jawi-jawi
                 Disangka panas hingga petang
                 Kiranya hujan tengah hari
(g)  Pantun peribahasa yaitu pantun yang mudah dikenal melalui penyampaian isinya yang menggunakan peribahasa-peribahasa yang begitu jelas bentuk serta susunannya.
Contoh:
 Berakit-rakit kehulu
 Berenang-renang ke tepian
 Bersakit-sakit dahulu
 Bersenang-senang kemudian
Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan pada kemampuan anak dalam menulis jenis pantun orang tua, yang terdiri atas pantun nasihat, dan pantun agama. Kedua pantun ini merupakan pantun yang mengandung pesan-pesan positif atau nasihat yang baik untuk setiap kalangan. Penulis menganggap bahwa jenis pantun orang tua ini, sangat  penting untuk dibelajarkan kepada siswa SMP. Mengingat masa SMP  yang masih labil dan masih berada dalam tahap peralihan menuju masa remaja. Maka perlu adanya pembelajaran menulis pantun yang mengandung pesan positif sebagai bekal untuk mereka dalam menempuh kehidupan, yang nantinya bisa berdampak baik terhadap siswa itu sendiri maupun terhadap orang lain.
4) Cara Menulis Pantun
Menurut Fenny (2009) untuk menulis pantun, hal yang harus diperhatikan ialah membuat topik atau tema terlebih dahulu, sama halnya jika hendak membuat karangan yang lain. Tema dalam penulisan pantun sangat penting, karena dengan tema pantun-pantun yang dibuat oleh siswa akan lebih terarah kepada sesuatu maksud yang diharapkan. Dan juga tidak akan merebak ke mana-mana, yang akhirnya dapat mendatangkan masalah.
Penggunaan tema yang sempit dapat mengekang sedikit kreativitas bagi siswa dalam menulis pantun. Oleh karena itu, guru harus lebih bijaksana dalam memilih tema yang didalamnya dapat mengandung atau mencakup berbagai permasalahan keseharian. Tema yang cocok diberikan dalam proses pembelajaran misalnya saja berkaitan dengan masalah politik, sosial budaya, percintaan, dan kehidupan keluarga. Misalnya, tema tentang sosial budaya dengan mengambil topik soal kebersihan kota atau masalah sampah.
Hal pertama yang harus dilakukan yaitu membuat isinya terlebih dahulu. Untuk membuat isi harus diingat bahwa pantun terdiri atas empat baris. Dua baris pertama sampiran, dan dua baris berikutnya ialah isi. Jadi, soal sampah tersebut dapat disusun dalam dua baris kalimat, yang setiap baris kalimatnya terdiri atas empat perkataan dan berkisar antara 8 sampai 12 suku kata.
Kemungkinan jika dibuatkan kalimat biasa, boleh jadi kalimatnya cukup panjang. Misalnya: Di kota yang semakin ramai dan berkembang ini, ternyata mempunyai masalah lain yang sangat terkait dengan masalah kesehatan warganya, yaitu sampah yang berserakan di mana-mana dan seterusnya”.
Pengertian dari kalimat di atas mungkin bisa lebih panjang, namun hal tersebut dapat diringkas dalam dua baris kalimat isi sebagai berikut.
Jika sampah dibiarkan berserak,
penyakit diundang, masalah datang.
Di sinilah kelebihan pantun, dapat meringkas kalimat yang panjang, tanpa harus kehilangan makna atau arti sebuah kalimat yang ditulis panjang-panjang.
Jika isi pantun sudah didapatkan, langkah selanjutnya ialah membuat sampirannya. Walau kata kedua dari suku akhir baris isi pertama dan kedua diberi tanda tebal. Namun jangan hal itu yang menjadi perhatian, tapi justru yang harus diperhatikan ialah pada suku akhir dari kata keempat baris pertama dan kedua, yaitu rak dan tang, sebab yang hendak dicari ialah sajaknya atau persamaan bunyi.
Sebuah pantun yang baik, suku akhir kata kedua sampiran pertama bersajak dengan suku akhir kata kedua dari isi yang pertama. Apalagi suku akhir kata keempat dari sampiran pertama seharusnya bersajak dengan suku akhir kata keempat isi pertama, karena di sinilah nilai persajakan dalam pantun itu yaitu baris pertama sama dengan baris ketiga dan baris kedua sama dengan baris keempat. Tetapi kalau dibuat sekaligus, takut terlalu sulit menyusunnya. Memang tidak sedikit kata-kata yang bersuku akhir pah, misalnya pelepah, sampah, nipah, tempah, terompah, dan sebagainya. Begitupun suku kata yang akhirannya dang, misalnya udang, sedang, ladang, kandang, bidang, tendang, dan sebagainya. Kalaupun sulit untuk mencari kata yang bersuku akhir pah, masih ada jalan lain yaitu dengan membuang huruf p nya, dan mengambil ah nya saja. Begitupun dengan dang, buang huruf d nya, sehingga yang tertinggal hanya ang nya. Akan tetapi jangan sampai dibuang a nya juga, sehingga hanya tinggal ng nya saja karena hal tersebut dapat menghilangkan sajaknya. Begitupun untuk suku akhir dari kata rak dan tang yang menjadi tujuan.
Kata yang bersuku akhir rak dan tang dalam kosa kata bahasa Indonesia cukup banyak, misalnya untuk kata rak, yaitu kerak, jarak, marak, serak, gerak, merak, arak, dan sebagainya. Sedangkan untuk kata tang, yaitu hutang, pantang, batang, petang, lantang, dan sebagainya. Sekarang baru membuat sampiran pertama dan kedua dengan mencari kalimat yang suku akhir kata keempatnya adalah rak dan tang.
Misalnya:
Cantik sungguh si burung merak,
terbang rendah di waktu petang.

Kemudian antara sampiran dan isi baru disatukan menjadi:
Cantik sungguh si burung merak,
terbang rendah di waktu petang.
Jika sampah dibiarkan berserak,
penyakit diundang, masalah datang.
Jika menginginkan suku akhir kata kedua baris pertama dengan suku akhir kata kedua dari baris ketiga bersajak juga. Begitupun dengan suku akhir kata kedua baris kedua dengan suku akhir kata kedua baris keempat bersajak agar terlihat lebih indah bunyinya, maka sampirannya harus diubah, menjadi:
Daun nipah jangan diarak,
bawa ke ladang di waktu petang.
Jika sampah dibiarkan berserak,
penyakit diundang, masalah datang.
Demikian halnya jika membuat pantun teka-teki. Misalnya membuat teka-teki tentang parut, salah satu alat dapur yang berfungsi untuk memarut kelapa guna diambil santannya. Jika diperhatikan dengan teliti ada keanehan mengenai cara kerja parut, hal inilah yang dapat mengilhami kepada semua orang untuk membuat teka-teki, yaitu mata parut yang sedemikian banyak itu, cukup tajam. Daging kelapa yang sudah disediakan, dirapatkan ke mata parut, lalu digerakkkan dari atas ke bawah sambil ditekan. Dari pergerakan itu semua, seperti layaknya orang menyapu, dapat dilihat, daging kelapa itu tertinggal diantara mata parut. Ada terus. Semakin gerakan menyapu dilakukan, daging kelapa itu semakin banyak dimata-mata parut. Logikanya, orang menyapu tentu lantai akan menjadi bersih, tetapi sebaliknya sangat berbeda dengan bidang bangun parut. Semakin disapu, semakin kotor karena banyaknya daging kelapa yang menyangkut dimata parut. Dari sini dapat dibuatkan inti pantunnya, yaitu Semakin disapu, semakin kotor.
Tugas selanjutnya ialah membuat sampiran. Untuk membuat sampiran, boleh membuat yang sederhana, yaitu hanya untuk mencari persamaan bunyi (bersajak) tanpa mengindahkan makna atau arti atau keterkaitan dengan isi seolah satu kesatuan kalimat yang saling mendukung. Jika ingin membuat sampiran yang sederhana, hal yang dilakukan ialah mencari kosa kata yang bersuku akhir tor atau paling tidak or. Misalnya kantor, setor, dan motor. Jika sudah mendapatkan kosa kata untuk membuat akhiran pantun yang sesuai dengan kata kotor, langkah selanjutnya ialah menentukan letak inti pertanyaannya. Apakah diletakkan dibaris ketiga atau baris keempat. Jika diletakkan pada baris ketiga, kalimat baris keempat dapat dibuat sebagai berikut: apakah itu, cobalah terka. Sehingga hasilnya menjadi:
Semakin disapu, semakin kotor,
Apakah itu, cobalah terka.
Sekarang barulah mencari sampirannya. Suku akhir tor atau or dari kata kotor dapat diambil salah satu saja, misalnya kata kantor, kemudian tinggal mencari suku kata yang berakhir ka dari kata terka, yang merupakan kata terakhir dari baris terakhir. Untuk kata yang bersuku akhir ka, dalam kosa kata bahasa Indonesia cukup banyak, misalnya bingka, ketika, sangka, nangka, dan luka. Misalnya diambil kata bingka. Sekarang kata kantor dan bingka baru dijadikan sampiran, menjadi:
pagi-pagi pergi ke kantor,
singgah ke warung beli bingka.

Kemudian antara sampiran dan isi baru disatukan, hasilnya menjadi:
pagi-pagi pergi ke kantor,
singgah ke warung beli bingka.
Semakin disapu, semakin kotor,
Apakah itu, cobalah terka.
Jadilah pantun teka-teki. Dan jawaban pantun teka-teki itu, tentulah parutan kelapa. Jika inti pertanyaan diletakkan pada baris keempat, kalimat baris ketiga sebagai berikut: Jika pandai kenapa bodoh. Sehingga hasilnya menjadi:
Jika pandai kenapa bodoh,
Semakin disapu, semakin kotor.
Langkah selanjutnya ialah membuat sampirannya agar lengkap menjadi sebait pantun. Suku akhir kata kantor yang bersajak dengan kata kotor dapat digunakan lagi, sekarang tinggal mencari suku akhir doh, yang akan bersajak dengan kata bodoh. Misalnya kata jodoh sehingga jika dibuatkan sampirannya, menjadi:
Ramai-ramai mencari jodoh,
mencari jodoh sampai ke kantor.
Langkah terakhir baru disatukan antara isi dan sampirannya sehingga menjadi:
Ramai-ramai mencari jodoh,
mencari jodoh sampai ke kantor.
Jika pandai kenapa bodoh,
Semakin disapu, semakin kotor.
Dan jawaban dari pantun teka-teki tersebut tentunya ialah parutan kelapa.
Jika diperhatikan sampirannya dari keempat contoh pantun di atas, memang terasa kurang kuat dan terkesan memaksakan kata-kata hanya untuk mencari persamaan bunyi sehingga kalimat sampirannya tidak mempunyai keutuhan arti. Tetapi hal ini tidak dianggap salah, hanya mutunya dianggap kurang.
Namun, jika dilihat dari pantun-pantun pusaka yang ada, bahwa tidak semua pantun pusaka tersebut dikatakan sempurna atau tinggi mutunya, terkadang ada yang setiap barisnya tidak terdiri atas empat perkataan tetapi hanya tiga perkataan atau ada lima perkataan. Selain itu juga, masih banyak pantun-pantun yang betul-betul hanya mengutamakan persamaan bunyi, padahal tidak bersajak. Seperti kata lintah dengan cinta pada pantun berikut ini.
Dari mana datangnya Lintah,
dari sawah turun ke kali
Dari mana datangnya cinta,
dari mata turun ke hati.
Sepintas lalu terdengar sama-sama berakhiran ta, tetapi jika diamati benar barulah terasa bedanya antara bunyi tah dengan ta itu. Yang satu terdengar lebih tebal atau kental dan yang satu terasa ringan (Fenny: 2009).
Demikianlah pantun-pantun yang banyak terlihat, jika dirasakan banyak sekali kekurangannya. Namun, hal itu tidak menjadi masalah justru menjadi canda gurauan, tidak ada niat untuk mengecilkan hati apalagi mencemooh. Sesungguhnya jiwa melayu yang terdapat dalam filosofi pantun tidak suka untuk saling menyakiti apalagi sampai melukai. Begitu indah pantun bagi kehidupan orang Melayu khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya yang telah mendarah daging dalam jiwa dan raga.
5) Manfaat Menulis Pantun
Menurut  Abdul hadi (dalam Qomariyah: 2010), Secara luas menulis pantun dapat dikatakan sebagai sarana “komunikasi” yaitu suatu proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan yang pasti terjadi sewaktu-waktu bila seseorang ingin berkenalan, menyampaikan wejangan, dan berhubungan satu sama lain dengan bahasa yang lebih singkat tanpa kalimat yang terlalu panjang.  
Pantun menjadi sarana yang efektif yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Pantun dapat digunakan sebagai alat komunikasi, untuk menyelipkan nasihat atau wejangan, atau bahkan untuk melakukan kritik sosial, tanpa mencederai perasaan siapa pun. Mengingat pantun tidak terikat oleh batas usia, status sosial, agama dan suku bangsa, maka pantun dapat dihasilkan atau dinikmati semua orang dalam situasi apa pun dan untuk keperluan yang bermacam-macam sesuai kebutuhan. Bahkan banyak lirik lagu yang menyisipkan pantun di dalamnya. Maka dari itu, keterampilan menulis pantun sangat diperlukan agar memudahkan seseorang atau pelajar merangkai kata menjadi pantun yang sesuai dengan syarat-syarat pantun.
Sadikin (dalam Qomariyah: 2010) menyatakan bahwa pantun sebagai alat pemelihara bahasa, pantun juga berperan sebagai penjaga fungsi kata dan kemampuan sebagai alur berpikir. Berdasarkan pernyataan Sadikin tersebut, terampil menulis pantun dapat menolong kita berpikir secara kritis, dapat memperdalam daya tanggap atau persepsi kita.
Tradisi berpantun akan menjadi media bagi seseorang untuk berpikir tentang makna kata sebelum berujar. Orang yang senang dan terbiasa berpantun akan mampu berpikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain.
Demikian pula dalam pembelajaran di sekolah, pantun dapat digunakan sebagai sarana untuk mengasah kepedulian siswa terhadap masalah-masalah sosial yang dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, sebagaimana kita ketahui bersama, banyak sekali masalah-masalah sosial, masalah-masalah bangsa yang membutuhkan pemecahan serius. Untuk itu pemikiran kaum muda tentu sangat diharapkan.
Dalam kegiatan apresiasi sastra di sekolah, khususnya pada materi menulis puisi lama, siswa dapat diajak untuk mengasah kepeduliannya terhadap masalah-masalah bangsa dengan menuliskannya dalam sebuah pantun. Guru dapat memberikan sedikit apersepsi dan membatasi tema yang akan dituangkan dalam pantun agar tidak terlalu luas.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...