Friday 16 August 2013

My Mistake 2 Part 3

Sudah sebulan berlalu sejak peristiwa itu. Pemuda bernama Radit itu telah menghilang dari pandangan Arlin. Tanpa kabar, tanpa sebab. Namun hal itu membuat Arlin tenang. Ia yakin Radit sudah menyerah dan melanjutkan hidupnya di tempat lain. 

Hari ini libur. Arlin mengunjungi kediaman orang tuanya di Bandung. Sesampainya di rumah, ibu Arlin menyambut kedatangan Arlin dengan perasaan bahagia. Karena pekerjaan, Arlin memang jarang pulang ke rumah orang tuanya. Jadi wajar saja ibu Arlin begitu bahagia melihat kedatangan putri sulungnya itu. 

“Istirahatlah, kau pasti lelah,” kata ibunya sambil membereskan piring kotor di meja makan. Arlin membantu ibunya mencuci piring. “Dimana Antony? Aku tidak melihatnya sejak tadi,” tanya Arlin pada ibunya. “Biasa, lagi main futsal. Memang adikmu yang satu itu tidak pernah betah tinggal di rumah,”jawab ibu Arlin. Arlin mengangguk mengerti. Setelah mencuci piring, Arlin menaiki tangga menuju kamarnya. Sepanjang tangga yang dilaluinya, terdapat foto-foto keluarga yang terpajang menghias dinding. Foto pertama, diambil ketika Arlin masih berusia sepuluh tahun bersama dua adiknya, Anita dan Antony yang saat itu berusia lima dan dua tahun. Foto kedua, adalah foto ibunya bersama almarhum ayahnya yang sudah pergi lima tahun yang lalu. Arlin terhenti sejenak pada anak tangga itu untuk memperhatikan wajah ayahnya dalam foto. Ada seberkas kerinduan yang tak dapat ia ungkapkan. Ia memang anak yang paling dekat dengan ayahnya. Foto ketiga, adalah foto keluarga yang diambil saat Arlin beranjak remaja. Dalam foto itu terlukis kebahagiaan keluarganya yang mungkin tak dapat terulang kembali. Foto ketiga, adalah foto yang baru dipajang. Arlin sendiri baru pertama kali melihatnya. Itu adalah foto Anita dengan gaun pengantin putih gading. Bersama seorang pria yang tak lain adalah suami Anita yang telah berpacaran dengan adiknya itu sejak SMA. Arlin ikut bahagia melihat adiknya itu mendapat suami yang baik. Foto terakhir adalah foto Arlin saat wisuda di Jerman. Arlin tak dapat membendung air matanya. 

Selama bertahun-tahun Arlin dihantui perasaan bersalah. Bersalah pada kedua orang tua dan adik-adiknya. Ia merasa bersalah telah mencoreng nama baik keluarga dengan menjadi satu-satunya orang yang mengalami perceraian. Ia merasa telah gagal menjadi contoh yang baik untuk adik-adiknya. Ia merasa menjadi beban hidup keluarganya. Apalagi saat ada acara keluarga besar, Arlin tak tahu dimana ia harus menyembunyikan wajahnya. 

Arlin berbaring di tempat tidurnya sambil menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya agar ia bisa menangis sepuasnya tanpa diketahui oleh siapapun... 

*** 

Hari terakhir di Bandung, Arlin mengajak ibu dan adik bungsunya, Antony ke Trans Studio. Hari itu hari libur, jadi suasana di pusat wahana itu cukup ramai. Setelah membeli tiket, Arlin sekeluarga pun memasuki Trans Studio dan mulai mencoba wahana yang ada satu per satu. 

“Ibu tunggu di sini, aku akan pergi membeli air minum. Anton, jaga ibu ya,” perintah Arlin. “Sip,sista,” seru Anton sambil menaikkan jempolnya. Arlin pun berjalan menuju counter minuman. Saat akan kembali ke tempat ibu dan adiknya menunggu, seseorang menepuk pundak Arlin. Ketika berbalik, Arlin terkejut bukan main. Minuman yang dibawanya jatuh dan tumpah membasahi kakinya. 

“Ternyata benar ini kau!,” seru pria itu. Arlin tidak dapat berkata apa-apa. Hatinya bagai teriris sembilu melihat seseorang yang dulu pernah menyakitinya itu. “Bagaimana kabarmu? Kau tampak makin cantik saja!” ujar pria itu tanpa merasa bersalah sedikitpun. Arlin menahan air matanya yang nyaris menetes. Arlin berusaha pergi tapi pria itu menahan tangannya. “Lepaskan!” teriak Arlin histeris. Ia jijik melihat tangan yang pernah memukulnya itu menyentuhnya lagi. “Jual mahal amat sih! Bagaimanapun aku ini masih mantan suamimu tau!” bentak pria itu. “Lepaskan!” Arlin tak dapat menahan air matanya lagi, ia ketakutan. “Lepaskan dia.” tiba-tiba seseorang datang melepaskan genggaman pria itu dari tangan Arlin. “Eh, lo siapa? Ada hubungan apa lo sama istri gue!” tanya pria itu. “Hubungan apapun, kurasa tidak ada hubungannya denganmu,” kata pemuda itu sambil menarik tangan Arlin menjauh. 

“Kau tidak apa-apa?”, tanya pemuda itu. Tubuh Arlin masih merinding karena takut. Ia berusaha mengendalikan ketakutannya dan menatap pemuda yang telah menolongnya itu. “Radit...” air mata Arlin mengalir deras. Ia tak tahu bagaimana harus berterima kasih pada Radit. “Sekarang sudah tidak apa-apa. Jangan menangis lagi,” kata Radit sambil menepuk-nepuk pundak Arlin pelan untuk menghentikan isak tangisnya. 

“Kakak dari mana saja, dari tadi ibu menanyakan kakak terus,”ujar Anton. “Kakak minta maaf, tadi kakak habis bertemu dengan seseorang, dia Raditya.” kata Arlin. “Radit? Lo Radit kan? Raditya Anggara!” seru Anton sambil memandangi Radit dari atas sampai bawah, “Lo makin keren aja bro,” lanjutnya. “Ya, Anton. Pa kabar nih?” tanya Radit balik. Arlin mengerutkan kening heran, “Kamu kenal Radit?” “Ya iyalah kak, masak kakak lupa sih. Waktu kecil kan’ Radit suka main ke rumah. Ya, Radit maklumi kakak gue yah, pengaruh usia nih,” ujar Anton yang langsung dibalas jitakan dari Arlin “Aw, sakit kak!,” keluh Anton. Radit tersenyum melihat tingkah kakak beradik itu. 

Sesampainya di rumah, ibu dan Arlin menuju dapur untuk mempersiapkan makan malam. Sementara Anton dan Radit mengobrol di ruang tamu. Pikiran Arlin masih tertuju pada Radit. Apa benar kalau dulu dia sering datang ke rumahnya? Arlin benar-benar tidak ingat. 

“Kamu pertama ketemu Radit dimana?”, tanya ibunya penasaran. Arlin bingung harus menjawab apa, ia tak mau jujur mengatakan kalau ia bertemu Radit karena sebuah kecelakaan. Ia takut ibunya akan khawatir. “Dulu Arlin sempat mengajar dia di kampus. Dia salah satu mahasiswa Arlin, bu.” kata Arlin. Ibu Arlin mengangguk mengerti, “Anak-anak memang tumbuh dengan cepat. Padahal ibu masih ingat dulu dia masih kecil sekali, lucu dengan pipinya yang tembem. Ibu tidak menyangka dia akan tumbuh dengan sangat baik, dan tampan, ibu sampai tidak yakin itu dia” lanjut ibu sambil tertawa kecil. Arlin kembali memutar memorinya, anak kecil berpipi tembem, tampaknya ia mulai mengingat anak itu. Tetangga yang dulu sempat tinggal di sebelah rumahnya. Ya, anak gemuk itu...Radit? 

“Sayang dia pindah rumah waktu itu, ibu sudah tidak pernah melihatnya. Hari ini barulah ibu melihatnya lagi,” kata ibu. “Lalu kapan tepatnya Radit pindah, bu?” tanya Arlin. Ibunya mengingat-ingat kembali waktu tepatnya. “Kalau tidak salah waktu dia berumur sebelas tahun, ya ibu ingat karena umurnya hanya berbeda setahun dari Anton. Tepat sehari setelah pernikahanmu dulu,” jelas ibu. Arlin terdiam membisu. Mungkinkah Radit memang sudah mengenalinya?


No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...