Friday 16 August 2013

My Mistake 2 Part 2

Arlin bersiap berangkat ke kampus. Bukan sebagai mahasiswa, tapi sebagai dosen. Ya, Arlin memang seorang dosen yang merangkap sebagai mahasiswa di saat bersamaan. Arlin seorang dosen akuntansi yang sedang berusaha meraih gelar doktornya. Hari ini ia bertugas untuk menggantikan seorang dosennya yang sedang cuti karena berobat ke luar negeri. Arlin diberi tanggung jawab penuh untuk mengajar mahasiswa baru. 

Waktu tepat menunjukkan pukul 08.00 saat Arlin melangkahkan kakinya memasuki kelas. Tanpa canggung, Arlin berdiri di depan tiga puluh mahasiswa yang baru ditemuinya. Setelah memperkenalkan diri, ia pun mulai mengecek kehadiran mahasiswanya. 

Ada sekitar tiga puluh mahasiswa yang ia sebut namanya satu per satu. Mahasiswa bergiliran menyahut saat nama mereka disebut. Ada yang menjawab, “Hadir, bu.” Ada pula yang menjawab “Hadir, kak.” karena beranggapan umur dosen yang sedang memanggil namanya itu tak berbeda jauh darinya. Arlin memang terlihat muda walau usianya sudah menginjak tiga puluh tahun ini. Nama terakhir membuat Arlin terhenti sejenak. Raditya Anggara. Tampaknya nama itu tak asing baginya. Akhirnya, Arlin mengabsen nama terakhir itu. Seorang mahasiswa yang duduk paling belakang menyahut, “Hadir!” seru mahasiswa yang kepalanya diperban itu. 

*** 

Radit mengisap rokoknya kemudian menghembuskan asap racun tanpa merasa berdosa. Seorang pemuda berkacamata menepuknya dari belakang. “Woi! Kenapa kepala lo? Kok diperban gitu?” tanya pemuda bernama Bian itu. “Kemarin gak sengaja nabrak mobil,” ujar Radit sambil tetap menikmati kegiatannya merokok. Alis Bian mengkerut, “Nabrak atau ditabrak? Jelasin yang bener,” tanya Bian tak mengerti. “Nabrak! Gue nabrak mobil, masak gitu aja gak ngerti sih,” ketus Radit lalu berjalan meninggalkan Bian yang masih berusaha mencerna kalimatnya. 

Radit melangkah memasuki ruang dosen. Di depan sebuah meja bertuliskan papan nama Arlina Kamelia, M.E. ia duduk. Arlin yang sedang asyik membaca terkejut melihat Radit yang tiba-tiba muncul di hadapannya. “Aku lapar. Makan yuk!” ajak Radit tanpa tedeng aling-aling. Arlin keheranan melihat tingkah mahasiswanya itu. “Apa yang kau katakan?” tanya Arlin tak percaya. “ Aku belum makan dari kemarin. Kepalaku nyut-nyutan terus. Sekarang baru mendingan. Ayo kita pergi makan.” ujar Radit. Arlin mencoba menahan emosinya, “Apa kau sadar sedang berbicara pada siapa? Atau mungkin benturan di kepalamu sudah membuatmu tidak waras?”. Radit tersenyum mendengar ucapan Arlin. “Kau benar. Karena benturan itu aku jadi tidak waras. Kau harus bertanggung jawab.” Arlin menghela nafas panjang, “Jadi sekarang apa maumu?” tanya Arlin berusaha sabar. “Makan. Mudah kan’? Aku tunggu di gerbang belakang kampus.” ujar Radit lalu beranjak pergi. Arlin mendengus kesal. Entah apa yang harus ia lakukan pada pemuda tak tahu diri itu. 

Arlin menancap gas mobilnya meninggalkan kampus. Tanpa menemui Radit. Arlin merasa inilah yang harus ia lakukan daripada harus menuruti keinginan mahasiswanya yang tidak waras itu. 

Hari Senin berikutnya, Arlin kembali mengajar di kelas yang sama. Dengan mahasiswa yang sama. Dan ada Radit pula. Tanpa rasa canggung, Arlin mengajar. Walaupun sepasang mata terus menatapnya. Arlin pura-pura tidak menyadarinya. Tapi ia tahu sepasang mata yang terus menatapnya itu adalah Radit tanpa perban di kepalanya. Hanya saja Radit tampak lebih kurus dari minggu lalu. 

“Kenapa kau tidak datang?” tanya Radit saat mencegat Arlin memasuki mobilnya. “Radit, sebaiknya kau menghentikan tingkahmu ini. Aku ini dosenmu. Kau seharusnya lebih hormat padaku. Apa kau tidak sadar? Aku bisa melaporkan tingkah lakumu ini pada Ketua Jurusan. Kau pun tahu kan’ akibatnya jika itu kulakukan!” ujar Arlin tak bisa menahan kesabarannya lagi. “Laporkan saja.” balas Radit. “Lalu apa setelah kau melaporkanku, kau bisa memenuhi keinginanku? Kau tahu, aku belum makan dari minggu lalu. Dan sekarang perutku amat sangat lapar.” sambung Radit. Arlin tidak percaya akan apa yang didengarnya. Benarkah pemuda itu tidak sudah seminggu tidak makan? Memang pemuda itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Tapi apa benar dia sudah satu minggu tidak makan? Apa dia orang senekat itu? Akhirnya, Arlin menyetujui permintaan Radit. 

Di hadapan Arlin sudah tersaji berbagai macam hidangan. Mulai dari ayam bakar, kepiting pedas manis, udang goreng tepung, sambal balado, sayur kangkung tumis, dan rendang. Semua pesanan Radit. “Baiklah, sekarang saatnya makan. Selamat makan!” seru Radit girang. Lalu memakan makanannya dengan lahap. Sepertinya benar dia sudah tidak makan satu minggu, pikir Arlin. Radit tersedak karena makan terlalu cepat. “Pelan-pelan saja,” kata Arlin sambil menyodorkan minuman ke arah Radit. Radit heran melihat Arlin yang tidak makan. “Kenapa kau tidak makan?” tanya Radit. “Aku tidak lapar.” jawab Arlin. Radit mengangguk mengerti lalu melanjutkan makannya. 

Setelah selesai makan, Arlin dan Raditpun melangkah keluar restoran. Langit mulai gelap pertanda akan hujan. Arlin harus pulang ke rumah secepatnya, sebelum hujan turun. “Sekarang kita sudah impas, bukan? Jadi mulai sekarang anggap aku sebagai dosenmu.” kata Arlin. Radit tersenyum tapi tak mengatakan apa-apa. 

Hujan turun, sangat deras. Arlin yang baru akan menyeberang jalan menghentikan langkahnya. Tubuhnya tiba-tiba terpaku. Menggigil. Kaku. Tak dapat digerakkan. Hujan membasahi sekujur tubuhnya. Tapi Arlin tidak dapat berbuat apa-apa. Radit melihat kejadian itu lalu menarik tangan Arlin untuk berteduh di depan sebuah toko. “Ada apa denganmu?” tanya Radit cemas. Arlin hanya dapat menatap Radit tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Namun Radit bisa mengetahui kalau saat ini Arlin sangat ketakutan. Rasa takut yang tak bisa ia pahami sebabnya. Arlin tak kuat menopang tubuhnya. Ia jatuh pingsan. 

Radit menyeka wajah Arlin dengan handuk yang sudah ia basahi air hangat. Radit memandangi wajah itu. Masih tampak bekas kesedihan di sana. Kesedihan yang timbul akibat luka yang amat dalam. Radit ingin tahu penyebabnya. 

Tak lama kemudian Arlin sadar. Ia mendapati dirinya terbaring di sebuah kamar yang sangat asing baginya. Kamar bernuansa biru langit yang tak terlalu luas. Hanya ada sebuah tempat tidur kecil, lemari, dan meja bundar. Di samping lemari tampak buku-buku yang dibiarkan bertumpuk hingga membentuk menara yang cukup tinggi. Arlin mengerjapkan mata, ia tidak sedang bermimpi. Ia memang sedang berada di kamar yang sangat asing. Ia pun beranjak dari tempat tidur dan menyadari bahwa ia memakai pakaian yang bukan miliknya. Sebuah kaos lengan panjang yang kebesaran dan celana jeans pendek. Arlin terkejut melihat keadaan dirinya. Pikirannya mencoba mengingat kembali apa yang telah terjadi. Radit. 

“Oh, kau sudah bangun,” kata Radit saat muncul dari balik pintu. Ia membawa segelas cokelat panas yang ia letakkan di meja bundar. “A..Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa berada di sini?” tanya Arlin. “Kau lupa? Kau pingsan di depanku. Karena aku tidak tahu rumahmu, jadi aku membawamu ke kos-ku” ujar Radit dengan ekspresi datar. “Apa? Ke kosmu? Apa kau sudah gila?! Lalu bagaimana dengan pakaianku? Jangan bilang kalau kau yang menggantinya!” Arlin mulai histeris. Ia tidak berani membayangkan apa yang terjadi. “Pakaianmu basah. Jadi, aku meminta ibu kos-ku untuk menggantikan pakaianmu. Aku tidak akan segila itu untuk menyentuh tubuh dosenku. Mengerti? Jadi apa sekarang kau bisa tenang dan duduk sebentar?” tanya Radit sambil menunjuk tempat di dekatnya di meja bundar. Arlin melihatnya ragu. “Lagipula di luar masih hujan,”sambung Radit. Perkataan Radit itu sukses membuat Arlin duduk. 

“Minumlah. Kau pasti haus,” kata Radit sambil menyodorkan segelas cokelat panas yang dibawanya tadi. Arlin tidak menghiraukannya. Ia cemas memikirkan dirinya yang harus terjebak di kamar mahasiswanya sendiri tanpa bisa berbuat apa-apa. “Kenapa? Apa kau tak percaya padaku? Apa aku terlihat seperti laki-laki bajingan? Kalau aku ingin melakukan hal yang tidak-tidak, aku pasti sudah melakukannya sejak tadi, waktu kau tidak sadarkan diri,” jelas Radit mencoba membuat Arlin percaya padanya. Arlin berpikir sejenak, ia memang sulit untuk mempercayai laki-laki setelah apa yang telah dialaminya. Tapi melihat wajah Radit, pikirannya berubah. Entah mengapa ia merasa mempercayai wajah itu. Tangannya kemudian bergerak memegang gelas itu dan meminumnya. 

“Apa karena hujan? Kau takut pada hujan?” tanya Radit meski ia sudah tahu jawabannya dari apa yang dilihatnya tadi. Arlin tidak langsung menjawab. Matanya menerawang jauh. Radit menghidupkan radio yang berada di dekatnya. Terdengar suara penyiar wanita yang bercuap-cuap kemudian memutar sebuah lagu. Seasons in the sun – Westlife mengalun mengisi ruangan. Suara rintik hujan samar berganti suara merdu Shane, Nicky, Mark, dan Bryan. 

“Benar, aku takut pada hujan. Hujan membuatku teringat masa lalu yang menyakitkan.” kata Arlin pelan. Radit terdiam, ia membiarkan Arlin melanjutkan ceritanya. “Entah apa aku harus menceritakan hal ini padamu. Kau mungkin tidak akan mengerti. Kau masih terlalu muda untuk mengerti,”. Arlin menghela nafas panjang. “Aku pernah menikah saat masih jadi mahasiswa strata satu semester tiga. Pernikahan karena dijodohkan. Dan menerima pernikahan itu adalah satu-satunya kesalahan terbesar yang pernah kulakukan dalam hidupku,” ungkap Arlin. Matanya mulai berkaca-kaca. Radit hanya menatap Arlin tanpa ekspresi terkejut sama sekali. Radit memang sudah tahu. Teman-temannya pernah bercerita tentang hal itu. 

“Aku telah salah memilih. Sosok yang menikahiku tidak seperti bayanganku sebelumnya. Dia kasar dan...selalu memukulku hanya karena aku berbicara pada teman priaku. Bukan hanya perlakuannya saja yang menyakitkan, tapi...juga perkataannya. Suatu hari, dia memukulku tanpa alasan, dengan stick golf miliknya. Lalu mengusirku saat hujan di luar sangat deras. Seluruh tubuhku terluka dan...rasanya semakin perih saat terbasuh air hujan...” 

“Sejak saat itu, aku sangat takut pada hujan. Aku tidak tahu alasannya... Hanya saja jika terkena sedikit saja air hujan, aku tak dapat mengendalikan tubuhku. Aku tak tahu bagaimana mengendalikannya...” air mata Arlin mengalir bak sungai mengingat peristiwa sepuluh tahun silam. Radit hanya dapat memberikan sapu tangan miliknya untuk menghapus air mata Arlin. 

“Sekarang kau tahu bagaimana hidupku yang sebenarnya. Inilah aku. Hanya seorang janda yang dipenuhi luka trauma. Aku menceritakan hal ini agar kau tahu yang sebenarnya. Aku tidak seperti yang kau pikirkan. Jangan menyia-nyiakan masa mudamu hanya karena orang sepertiku. Aku adalah dosenmu. Selamanya akan tetap seperti itu,” kata Arlin setelah dapat mengontrol dirinya kembali. 

“Memangnya kenapa? Apa menjadi janda itu sebuah dosa? Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu. Aku menyukaimu, Arlin. Bisakah kau membiarkan aku mengobati lukamu? Aku berjanji tidak akan pernah menyakitimu,” kata Radit. Arlin tersenyum tipis mendengarnya. Tangannya bergerak membelai rambut Radit lembut. “Kau bahkan lebih muda dari adik bungsuku. Setiap melihatmu aku merasa seperti melihat adikku sendiri. Kau sangat manis. Tapi apa yang bisa kau lakukan? Kau hanya anak muda yang baru mengenal dunia. Seperti diriku sepuluh tahun lalu. Kau belum tahu apa-apa. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan karena suatu saat kau pasti akan menyesalinya. Hujan sudah berhenti, aku harus pulang,” kata Arlin sambil beranjak menuju pintu. “Apa karena kau dosenku? Jadi aku tidak bisa bersamamu?” tanya Radit. Arlin tersenyum lalu pergi tanpa menghiraukan pertanyaan pemuda itu.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...