Wednesday 14 August 2013

My Mistake 2 Part 1


Aku telah berbuat kesalahan. Kesalahan dalam menentukan pilihan. Namun, aku tak dapat memutar waktu dan mengubah pilihan itu. Aku telah salah. Dan kini aku harus menanggung kesalahanku itu....
“Hei, Arlin! Apa kabar?” seseorang menepuk pundak Arlin pelan. Arlin berbalik dan tersenyum mengetahui siapa yang menyapanya. “Riska?” tanya Arlin meyakinkan. Ia memang mengenal wajah itu, tapi tidak dengan penampilan seperti ini. “Ya, of course. Memangnya kau tidak mengenaliku?” tanya Riska. Arlin menggeleng pelan. “Aku tahu, hanya saja kau sedikit berubah”, kata Arlin seraya memperhatikan penampilan Riska dengan lebih seksama. Penampilan Riska memang tampak lebih mencolok dari dahulu. Rambut cokelat pirang yang sedikit bergelombang, mata yang dihias kontak lens biru laut, serta gaya pakaian yang sedikit terbuka, membuat Arlin sempat ragu kalau orang itu adalah temannya. “Tapi tetap aku tetap cantik kan?” kata Riska. Arlin mengangguk pelan, “Ya, kau cantik.” Riska tertawa kecil lalu mengajak Arlin untuk mengobrol di kafe terdekat.
“Sedang sibuk apa sekarang?” tanya Riska setelah mereka duduk di kursi kafe dekat jendela. Seorang pelayan datang mencatat pesanan mereka. Dua cangkir cappucino dan dua potong chesee cake. “Aku masih sibuk mengejar gelar doktor, sekarang sedang menyusun. Doakan ya semoga semuanya berjalan lancar.”, jawab Arlin. Riska memandang temannya itu kagum. “Kau hebat! Masih mau belajar. Aku sendiri masih beruntung bisa meraih gelar sarjanaku. Itupun berkat bantuanmu.” kata Riska. Arlin tersenyum, “Kau sendiri sedang sibuk apa sekarang?” tanya Arlin balik. Pesanan mereka datang. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka  melanjutkan pembicaraan. “Sibuk jadi ibu rumah tangga. Aku kan’ sudah punya dua anak sekarang”, kata Riska. “Oh iya, maaf aku tidak datang ke acara pernikahanmu dulu. Waktu itu aku sedang berada di Jerman” ucap Arlin. “It’s okey. Aku tahu kau sibuk. Bagaimana kabar suamimu?” Deg! Pertanyaan Riska seakan menusuk jantung Arlin. Pertanyaan yang paling ia hindari. Pertanyaan paling tidak ia suka. Tetapi orang-orang terus saja menanyakan pertanyaan yang sama saat bertemu dengannya. Karena pertanyaan sederhana itu cukup kuat untuk mengorek kembali lukanya.
Arlin meyeruput cappucinonya. “Aku sudah berpisah” ucapnya kemudian. Riska terkejut mendengarnya. “Maaf, aku tidak tahu. Kenapa bisa?” tanya Riska lagi. Ia tidak menyangka Arlin akan berpisah secepat itu. Padahal ia menikah lebih dulu daripada Arlin. Arlin menyeruput cappucinonya lagi. Pahit. Itulah yang dirasakannya saat ini. Arlin tidak bisa mengatakan alasannya. Bukan, ia bukan tidak bisa tapi ia tidak mau. Memberikan alasan perpisahan itu sama saja dengan memaksanya kembali ke masa itu. Kembali merasakan kesakitan itu dan kepedihan yang menyelimutinya.
“Tidak ada kecocokan. Lagipula kejadiannya sudah lama. Aku tidak ingin mengungkitnya lagi”, ucap Arlin sambil tersenyum kecut. Riska mengangguk mengerti. Arlin memandang jam tangannya, sudah menunjukkan pukul 21.36. “Sudah malam. Kapan-kapan kita bisa bertemu lagi. Aku harus pulang.” kata Arlin. “Tentu. Berapa nomormu sekarang?”, tanya Riska. Arlin membuka tes kecilnya lalu memberikan selembar kartu namanya pada Riska. “Kau bisa menghubungiku kapan saja. Sampai jumpa.” kata Arlin sambil berlalu. “Iya, bye-bye.” Riska melambaikan tangannya ke arah Arlin yang telah berada di belakang kemudi mobil dan melaju pergi.
“Hebat!” Arlin masih mengingat pujian Riska. “Hebat? Kurasa kau salah. Justru kaulah yang hebat. Hidupmu sempurna, Riska. Kau bertemu seorang pria yang baik dan memiliki anak. Kau hebat!” guman Arlin. Matanya mulai kabur oleh butir-butir air yang menetes satu per satu ke pipinya. Ia tak tahu mengapa ia menangis. Ia hanya iri. Ia iri pada Riska.
Tiba-tiba seseorang melintas di depannya. Arlin mengijak rem refleks. Tetapi ia terlambat. Badan mobilnya telah menabrak seseorang. Arlin gemetar. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Jalanan memang sedang sepi. Tak ada seorangpun yang melihat kejadian itu. Lalu bagaimana keadaan orang yang ia tabrak itu? Arlin ingin keluar dari mobilnya dan melihat orang itu. Tapi ia takut menghadapi segala kemungkinan. Bagaimana kalau orang itu terluka parah? Atau bagaimana kalau orang itu sudah mati? Arlin semakin ketakutan. Ia tetap duduk mematung di balik kemudi mobilnya.
Seseorang bangkit. Arlin dapat melihatnya. Seorang pria yang sebagian wajahnya tertutup darah yang masih menetes. Pria itu mencoba melihat ke dalam mobil meski matanya disilaukan oleh cahaya lampu mobil yang telah menabraknya. Arlin semakin ketakutan. Pria itu menghampiri Arlin. Lalu mengetuk kaca mobil Arlin pelan. Arlin tak berani memandang wajah pria itu. Namun, Arlin menurunkan sedikit kaca mobilnya. Dipandangnya pria itu dengan sangat ketakutan. “Ma...”.
“Maaf.” kata pria itu mendahului Arlin. Arlin setengah terkejut mendengarnya. Atau mungkin ia yang salah mendengar? “Aku yang salah. Tidak melihat mobilmu melintas dan menyebrang begitu saja. Maaf”,  kata pria itu pelan lalu beranjak pergi. Arlin terpaku dalam kebingungan. Tapi ia segera keluar dari mobilnya dan menahan pria itu. “Kita ke rumah sakit”, ucapnya kemudian.
Pria itu keluar dari unit gawat darurat dengan perban di kepalanya. Lukanya sudah dibersihkan. Sehingga Arlin baru bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ternyata pria itu masih sangat muda. Mungkin beda sepuluh tahun dari Arlin. “Kau masih di sini?” tanya pemuda itu. Arlin heran melihat sikap pemuda itu. Sudah jelas Arlin lebih tua darinya, tapi nada bicaranya sangat tidak sopan. Arlin menahan nalurinya sebagai pengajar untuk menceramahi anak muda itu. Ia sadar ini bukan saat yang tepat.
“Bagaimana keadaanmu? Apa kau bisa pulang sendiri? Atau bagaimana kalau aku mengantarmu pulang, dik?” tanya Arlin dengan sedikit menekankan pada kata Dik agar pemuda itu tahu ia lebih tua darinya. “Dik? Namaku bukan Dik, tapi Raditya. Kau bisa memanggilku Radit,” kata pemuda bernama Radit itu. Arlin sedikit kesal juga dibuatnya. “Sepertinya kau baik-baik saja. Kau pasti bisa pulang sendiri. Soal kecelakaan tadi, itu juga salahku. Aku minta maaf,” kata Arlin lalu beranjak pergi. Radit hanya diam saja. Namun ia tak dapat menahan bibirnya untuk tidak tersenyum.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...