Hari telah senja saat aku melihatmu duduk di taman itu. Kau masih sama seperti yang dulu. Matamu masih memberikan kehangatan meski ada sepasang kacamata yang membingkainya. Rambutmu pun masih subur meski telah berubah warna dan kulitmu masih putih bersih meski sudah tak kencang lagi.
Kau melihatku sambil tersenyum. Senyum yang tak pernah berubah sejak dulu. Masih menjadi senyum terindah yang pernah kulihat. Dengan senyum itu, kau menyapaku, menanyakan kabarku. Aku menjawabmu dengan kalimat yang sudah fasih kulontarkan. “Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” aku bertanya. Raut wajahmu mulai berubah. Raut kesedihan yang tak pernah kubayangkan akan terlukis di wajahmu. Kau mulai menerawang jauh.
Aku tahu, Amanda, wanita yang kau nikahi itu meninggalkanmu. Aku sungguh tak menyangka, wanita yang dulu begitu kau puja karena cintanya padamu meninggalkanmu begitu saja. Apalagi demi pria lain. Padahal dia adalah wanita yang paling beruntung karena memilikimu, manusia paling sempurna yang pernah kutemui.
Aku bisa merasakan kesedihanmu dari nada bicaramu. Aku tahu tentang dua anakmu yang telah kau besarkan seorang diri dan bagaimana kerja kerasmu untuk menghidupi mereka. Kau banting tulang siang dan malam hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sampai tanganmu tak sempurna lagi karena kecelakaan kerja. Aku tahu kau sangat menyayangi mereka. Aku pun tahu bagaimana mereka membalas kasih sayangmu dengan meninggalkanmu. Ya, aku tahu. Setelah mereka dewasa dan menjadi orang sukses, mereka tak pernah menemuimu lagi. Mereka bahkan tak pernah mengakui posisimu sebagai ayah mereka dan aku tahu kesedihanmu karena hal itu.
Aku tahu telah banyak perih yang kau rasakan. Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku masih seperti dulu. Aku masih orang yang selalu memperhatikanmu dari jauh. Masih orang yang selalu memujamu hingga saat ini. Saat tak ada seorangpun berada di sampingmu, aku ingin menjadi orang yang selalu berada di sampingmu, menerima semua keluh kesahmu, menjadi pengobat lukamu, dan penghibur kesedihan hatimu. Aku ingin menjadi orang yang bisa menguatkanmu, mengubah air matamu menjadi senyuman, dan melindungimu dengan segenap kekuatan yang kumiliki.
Aku memanggilmu, namamu adalah kata terindah yang pernah terucap dari bibirku. Kau pun menoleh, menatapku hangat. Hatiku gemetar. Setelah setengah abad berlalu, inilah saat yang tepat untuk mengatakannya. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu dengan segenap jiwa dan ragaku. Aku mencintaimu sejak dulu. Sejak kau belum mengenal cinta dan aku masih pura-pura tidak suka. Aku mencintaimu lebih dari apapun dan aku masih bertahan mencintaimu meski kau telah bersama orang lain. Aku mencintaimu. Aku masih mencintaimu hingga usiaku tak muda lagi. Aku mencintaimu hingga tak menerima orang lain menjadi pendamping hidupku. Aku mencintaimu dengan setiap tetes darah yang mengalir dalam tubuhku. Aku mencintaimu dengan kadar yang tak pernah berubah sejak dulu. Aku mencintaimu. Sungguh.
Kau tampak terkejut mendengar kalimat-kalimat yang terlontar dari mulutku. Tetapi kau tersenyum ramah. “Terima kasih sudah mencintaiku,” ucapmu pelan namun jelas. Aku pun tersenyum bahagia. Kau menggenggam tanganku erat. Perasaan yang telah tersimpan puluhan tahun ini pun bermekaran laksana kuncup bunga di taman. Aku berjanji akan selalu berada di sisimu, Q. Selamanya....
Kau melihatku sambil tersenyum. Senyum yang tak pernah berubah sejak dulu. Masih menjadi senyum terindah yang pernah kulihat. Dengan senyum itu, kau menyapaku, menanyakan kabarku. Aku menjawabmu dengan kalimat yang sudah fasih kulontarkan. “Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” aku bertanya. Raut wajahmu mulai berubah. Raut kesedihan yang tak pernah kubayangkan akan terlukis di wajahmu. Kau mulai menerawang jauh.
Aku tahu, Amanda, wanita yang kau nikahi itu meninggalkanmu. Aku sungguh tak menyangka, wanita yang dulu begitu kau puja karena cintanya padamu meninggalkanmu begitu saja. Apalagi demi pria lain. Padahal dia adalah wanita yang paling beruntung karena memilikimu, manusia paling sempurna yang pernah kutemui.
Aku bisa merasakan kesedihanmu dari nada bicaramu. Aku tahu tentang dua anakmu yang telah kau besarkan seorang diri dan bagaimana kerja kerasmu untuk menghidupi mereka. Kau banting tulang siang dan malam hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sampai tanganmu tak sempurna lagi karena kecelakaan kerja. Aku tahu kau sangat menyayangi mereka. Aku pun tahu bagaimana mereka membalas kasih sayangmu dengan meninggalkanmu. Ya, aku tahu. Setelah mereka dewasa dan menjadi orang sukses, mereka tak pernah menemuimu lagi. Mereka bahkan tak pernah mengakui posisimu sebagai ayah mereka dan aku tahu kesedihanmu karena hal itu.
Aku tahu telah banyak perih yang kau rasakan. Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku masih seperti dulu. Aku masih orang yang selalu memperhatikanmu dari jauh. Masih orang yang selalu memujamu hingga saat ini. Saat tak ada seorangpun berada di sampingmu, aku ingin menjadi orang yang selalu berada di sampingmu, menerima semua keluh kesahmu, menjadi pengobat lukamu, dan penghibur kesedihan hatimu. Aku ingin menjadi orang yang bisa menguatkanmu, mengubah air matamu menjadi senyuman, dan melindungimu dengan segenap kekuatan yang kumiliki.
Aku memanggilmu, namamu adalah kata terindah yang pernah terucap dari bibirku. Kau pun menoleh, menatapku hangat. Hatiku gemetar. Setelah setengah abad berlalu, inilah saat yang tepat untuk mengatakannya. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu dengan segenap jiwa dan ragaku. Aku mencintaimu sejak dulu. Sejak kau belum mengenal cinta dan aku masih pura-pura tidak suka. Aku mencintaimu lebih dari apapun dan aku masih bertahan mencintaimu meski kau telah bersama orang lain. Aku mencintaimu. Aku masih mencintaimu hingga usiaku tak muda lagi. Aku mencintaimu hingga tak menerima orang lain menjadi pendamping hidupku. Aku mencintaimu dengan setiap tetes darah yang mengalir dalam tubuhku. Aku mencintaimu dengan kadar yang tak pernah berubah sejak dulu. Aku mencintaimu. Sungguh.
Kau tampak terkejut mendengar kalimat-kalimat yang terlontar dari mulutku. Tetapi kau tersenyum ramah. “Terima kasih sudah mencintaiku,” ucapmu pelan namun jelas. Aku pun tersenyum bahagia. Kau menggenggam tanganku erat. Perasaan yang telah tersimpan puluhan tahun ini pun bermekaran laksana kuncup bunga di taman. Aku berjanji akan selalu berada di sisimu, Q. Selamanya....
No comments:
Post a Comment