Saturday 7 June 2014

Sistematika Hukum Pajak di Indonesia

A. Pengertian hukum pajak

Pengertian hukum pajak banyak dikemukan oleh beberapa ahli. Diantaranya adalah:

· Hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemunggut pajak dan rakatnya sebagai pembayar pajak. (Erly Suandi:2002)

· Hukum pajak adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara , sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukummantar negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (wajib pajak) (Santoso Brotodiharjo:2003).

· Hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dengan rakyat sebagai pembayar pajak. (Bohari:2003,)

· Rochmat Soemitro mengatakan bahwa hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturan yang mengatur antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Dengan kata lain, hukum pajak menerangkan mengenai siapa saja wajib pajak (subjek) dan apa kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah, objek-objek apa saja yang dikenakan pajak, cara penagihan, cara pengajuan keberatan-keberatan, dan sebagainya.

B. Sistematika Hukum Pajak

Hukum pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum pajak materiil dan hukum pajak formal.

1) Hukum Pajak Materiil

Hukum pajak materiil adalah norma-norma yang menjelaskan keadaan, perbuatan, dan peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapa yang harus dikenakan pajak, dan berapa besar pajaknya. Dengan kata lain hukum pajak materiil mengatur tentang timbulnya, besarnya, terhapusnya utang pajak beserta hubungan hukum antara pemerintah dengan Wajib Pajak. Contoh dari hukum pajak materiil adalah peraturan yang memuat tentang kenaikan denda, sanksi atau hukuman, dan cara-cara pembebasan dan pengembalian pajak, serta ketentuan yang memberi hak tagihan utama kepada fiskus. (Siti Resmi:2008)

Apabila dalam undang-undang pajak khusus memuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum formal, maka hal ini harus diatur kembali dalam undang-undang pajak yang bersangkutan. Undang-undang yang memuat hukum pajak material dan formal yaitu;

1) Undang-undang No.12 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No.12 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

2) Undang-undang No.18 Tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No.34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

3) Undang-undang No.21 Tahun1997 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No.20 Tahun 2000 tentang Bea perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Pengaturan hukum pajak material dan formal ini mengalami perubahan semenjak adanya Pembaharuan Perpajakan Nasional (tax reform), dimana sebelumnya pengaturan antara Hukum Pajak Material dan Formal dijadikan satu. Hal itu dapat dilihat dalam Ordonansi Pajak Pendapatan (PPd.) 1944, Ordonansi Pajak Perseroan (PPs.) 1925.

Setelah adanya Pembaharuan Perpajakan Nasional tahun 1983, maka hanya ada satu Hukum Pajak Fornal yang digunakan untuk serangkaian Hukum Pajak Material. Pengaturan dengan cara lama mempunayai kelebihan lebih memungkinkan bagi ketentuan Hukum Pajak Formal untuk menyesuaikan dengan karakteristik dari Hukum Pajak Materialnya, dikarenakan yang dilayani oleh Hukum Pajak Formal Hanya satu. Adapun kelemahannya terutama bagi wajib pajak karena akan mempersulit dalam mempelajari dan memahami ketentuan pajak yang bgitu banyak dan beragam. Sedangkan pengaturan seperti yang ada sekarang ini mempunyai kelebihan yakni lebih sederhana dan memudahkan untuk dipelajari dan dipahami, tetapi kelemahannya sulit untuk menyesuaikan dengan ketentuan Hukum Pajak Material yang banyak dan memiliki karakteristik yang beragam, sehingga ketentuan Hukum Pajak Formal itu bersifat ketentuan umum dimana dalam undang-undang pajak material juga disisipkan ketentuan Hukum Pajak Formal tertentu yang merupakan ketentuan khusus. Misal undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan dan undang-undang tentang Bea Materai.

2) Hukum Pajak Formal

Hukum pajak formal memuat ketentuan-ketentuan yang mendukung ketentuan hukum pajak material, yang diperlukan untuk melaksanakan/ merealisasikan ketentuan hukum material. Hukum pajak formil dimaksudkan untuk memberi perlindungan pada fiskus dan Wajib Pajak, serta memberi jaminan bahwa hukum pajak materiilnya dapat dilaksanakan sesegera mungkin. Hal-hal yang digolongkan dalam ketentuan hukum formal yang diatur Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan antara lain mengatur mengenai:

· Surat pemberitahuan (baik masa maupun tahunan),

· Surat Setoran Pajak,

· Surat ketetapan pajak (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan Surat Ketetapan Pajak Nihil )

· Surat Tagihan,

· Pembukuan dan pemeriksaan,

· Penyidikan,

· Surat Paksa,

· Keberatan dan Banding,

· Sanksi administratif, sanksi pidana, dll.

Hal-hal yang digolongkan dalam ketentuan hukum formal yang diatur dalam Undang-undang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang telah diubah dengan Badan Peradilan Pajak antara lain mengatur mengenai:

· Sengketa Pajak

· Banding dan Gugatan

· Susunan Badan Peradilan Pajak

· Hukum Acara

· Pembuktian

· Pelaksanaan putusan, dll.

Hal-hal yang digolongkan dalam ketentuan hukum formal yang diatur dalam Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa antara lain mengatur mengenai: (Erly Suandy:2002)

· Penagihan pajak

· Juru sita pajak

· Penagihan seketika dan sekaligus

· Surat paksa

· Penyitaan

· Lelang

· Pencegahan dan penyanderaan

· Gugatan,dll

Hukum Pajak Formal meliputi:

1. UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983 stdtd. UU 28 Tahun 2007 selanjutnya disebut UU KUP).

2. UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU Nomor 19 Tahun 1997 stdtd. UU Nomor 19 Tahun 2000 selanjutnya disebut UU PPSP).

3. UU Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002 selanjutnya disebut UU PP).

Dalam Undang-undang pajak yang bersangkutan dapat juga dimuat ketentuan-ketentuan hukum formal, jika ketentuan ini menyimpang dari ketentuan umum hukum pajak formal yang telah diatur. Apabila dalam undang-undang pajak khusus memuat hal-hal yang bertentangan denganhukum pajak formal, maka hal ini harus diatur kembali dalam Undang-undang pajak yang bersangkutan. Undang-undang yang memuat hukum pajak material dan formal yaitu :

a. Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

b. Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)

c. Undang-undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

C. Kedudukan dan hubungan hukum pajak dengan hukum lainnya

Kedudukan Hukum Pajak

Hukum pajak berada dalam tatahukum nasional kita. Hukum pajak merupakan bagian dari hukum administrasi negara yang merupakan segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-lembaga negara serta aparaturnya dalam melaksanakan tugas administrasi negara. istilah-istilah yang digunakan, penafsiran yang digunakan, dan sanksi-sanksi yang digunakan banyak mengambil dari hukum perdata dan hukum pidana.

Sekalipun kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum administrasi negara dalam pengaturan materinya banyak memiliki kesamaan dengan hukum perdata dan hukum pidana.

D. Sistem Hukum Perpajakan di Indonesia

a. Definisi Pajak Berdasarkan Undang-undang Sistem Pajak di Indonesia

Pemungutan pajak yang diberlakukan di Indonesia berlandaskan atas peraturan yang terdapat pada UUD 1945 pasal 23 ayat 2 yang berbunyi, ”Segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang”. Sebab pemungutan pajak dapat dipaksakan dan tidak memberikan imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, maka pemungutan pajak harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari rakyat (melalui DPR). Oleh karena itu, pajak diberlakukan atas seluruh rakyat, apabila pembayaran pajak tersebut tidak sesuai dengan ketentuan pajak yang dibuat oleh pemerintah maka wajib pajak akan dikenakan tambahan beban pembayaran dengan sanksi perpajakan. Sanksi perpajakan dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perpajakan atau melakukan pelanggaran terhadap aturan perpajakan yang berlaku. Berdasarkan keterangan diatas maka pajak yang berlaku di Indonesia yaitu iuran rakyat kepada kas negara yang berlandaskan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik atau kontraprestasi baik langsung maupun tidak langsung sebagai wujud dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk membiayai negara dan pembangunan nasional guna pembiayaan program kerja pemerintah.

b. Sistem Undang-undang Perpajakan Indonesia

1) Sistem ketentuan penetapan pajak di Indonesia

Sistem undang-undang perpajakan yang di terapkan berdasarkan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang berpengaruh terhadap cara pandang dalam perumusan sistem dan yang masih berlaku sampai sekarang, yaitu:

1. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Ketentuan umum dan tata cara perpajakan di Indonesia terdiri dari:

a. Sistem dan mekanisme serta cara pandang terhadap Wajib Pajak

bahwa Wajib Pajak tidak dianggap sebagai ”obyek” tetapi sebagai subyek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan.

b. Ciri dan corak sistem pemungutan pajak

bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk membiayai negara dan pembangunan nasional, tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak itu sendiri, anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyangan nasional untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terhutang

2. Badan Pengadilan Sengketa Pajak

Sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat Badan Pengadilan Sengketa Pajak dimana badan tersebut mengurusi tentang persoalan atau permasalahan terkait pajak apabila Wajib Pajak mengalami keberatan atas pajak, banding atas keputusan dan peninjauan kembali terhadap peraturan pajak yang terkait apabila wajib pajak memang merasa dirugikan atas pajak yang dikenakan padanya tidak sesuai.

3. Penagihan dengan Surat Paksa

Dalam peraturan sistem perundang-undangan tentang penagihan dengan surat paksa akan dilakukan oleh petugas pemungut pajak berkenaan atas Wajib Pajak apabila tidak menaati pembayaran pajak.

2) Objek Pajak dalam Perpajakan Indonesia

1. Pajak Penghasilan

Sistem peraturan perundang-undangan tentang pajak penghasilan diatur tentang semua ketentuan yang berkenaan dengan materi pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi atau perseorangan dan badan-badan, ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengenaan pajak baik berkenan dengan pajak penghasilan maupun berkenaan dengan pajak-pajak lain yang pengenaannnya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

2. Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah

Sistem peraturan perundang-undangan tentang pajak pertambahan nilai dan penjualan barang mewah diatur tentang semua ketentuan yang berkenaan dengan materi pengenaan pajak atas pertambahan nilai barang/jasa dan pajak penjualan atas barang mewah merupakan dua macam pajak yang diatur dalam satu kesatuan sebagai pajak atas konsumsi di dalam negeri (pajak hanya diberlakukan bagi wajib pajak yang mampu untuk mengkonsumsi barang tersebut saja, maka apabila tidak mengkonsumsi maka tidak perlu membayar pajak). Pajak ini diperoleh dari para pengusaha atau perorangan yang menghasilkan dan memperdagangkan barang/jasa yang tergolong besar (mewah) yaitu barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok atau dikonsumsi masyarakat umum yang artinya barang/jasa tersebut hanya dikonsumsi oleh orang-orang berpenghasilan tinggi yang bertujuan untuk menunjukkan status (identitas dirinya).

3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang dipungut/dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan, peraturan tersebut berlaku bagi setiap masyarakat (seluruh warga) yang mempunyai kepemilikan atas tanah dan atau bangunan sebagai bukti akan kepemilikannya.

4. Bea Materai

Sistem peraturan perundang-undangan tentang bea meterai berkenaan atas dokumen atau surat berharga (bernilai materi) yang di dalamnya memuat sejumlah uang atau nominal tertentu sesuai dengan ketentuan.

5. Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Dalam undang-undang perpajakan tentang Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) mengatur atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dikelola oleh pemerintah pusat maupun daerah, sebagai contoh pemungutan pajak atas pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, pajak bahan bakar (BBM) kendaraan bermotor serta pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air.



PEMBAHASAN

A. Sistematika Hukum Pajak

Apabila seseorang ingin mempelajari suatu ilmu, maka orang tersebut, perlu mengetahui apa arti atau definisi dari ilmu yang akan dipelajarinya itu agar mudah memahami apa yang terkandung dalam ilmu itu. Definisi dalam ilmu hukum seperti dalam ilmu sosial lainnya tidak ada yang pasti, tetapi bermacam-macam, sesuai dengan sudut pandang masing-masing yang membuat definisi tersebut. Namun dalam bermacam-macam bunyi definisi itu, intinya akan sama.

Di dalam Hukum Pajak memuat pula unsur-unsur Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Perdata dan lain-lain.

Hukum Pajak merupakan suatu bagian dari Hukum Tata Usaha Negara, yang didalamnya termuat juga anasir-anasir Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata dan lain-lain.

Pembagian Hukum Pajak

Pembagian Hukum Pajak ke dalam Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak Formal penting sekali, seperti halnya Hukum Pidana atau Hukum Perdata. Hukum Pidana terbagi ke dalam Hukum Pidana Material dan Hukum Pidana Formal (Hukum Acara Pidana) dan Hukum Perdata ke dalam Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata. Di dalam Undang-undang Pajak yang lama seperti Ordonansi PPd 1944, Ordonasi PKK 1932 dan Ordonansi PPs 1925, ketentuan Material dan Formal ada di dalam Undang-undang pajak itu sendiri. Dengan adanya pembaharuan perundang-undangan perpajakan sejak awal 1984 Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak Formal terpisah dan diatur dalam Undang-undang tersendiri.

a). Hukum Pajak Material

Hukum Pajak Material, ialah Hukum Pajak yang memuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, sisapa-siapa yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya pajak atau dapat dikatakan pula segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.

Undang-undang pajak yang termasuk dalam Hukum Pajak Material ialah :

a. Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

b. Undang-undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah

c. Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

d. Undang-undang No. 13 Taun 1985 tentang Bea Material.


b). Hukum Pajak Formal

Hukum Pajak Formal ialah Hukum Pajak yang memuat peraturan-peraturan mengenai cara-cara Hukum Pajak Material menjadi kenyataan. Hukum ini memuat cara-cara pendaftaran diri untuk memperoleh NPWP, cara-cara pembukuan, cara-cara pemeriksaan, cara-cara penagihan, hak dan kewajiban Wajib Pajak, cara-cara penyidikan, macammacam sanksi, dan lain-lain.

Undang-undang Pajak yang termasuk Hukum Pajak Formal ialah :

a. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG No. 16 Tahun 2000.

b. UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana teah diubah dengan UNDANG-UNDANG No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat paksa.

B. Sistem Hukum Pajak di Indonesia

Faktor-faktor yang Menunjang Konsep Keadilan dalam Pemungutan Pajak di Indonesia

Sebagaimana telah dipaparkan, bahwa pajak merupakan pendapatan utama dalam sebuah negara. Bahkan di Indonesia pajak merupakan tulang punggung pendapatan negara, ini membuktikan bahwa keberhasilan telah diraih negara Indonesia dalam pemungutan pajak kepada masyarakat. Kunci keberhasilan tersebut tidak terlepas dari sikap tegasnya pemerintah dalam menerapkan pemungutan pajak kepada masyarakat baik menyangkut ketetapan dan tatacara pajak, cara pemungutan, maupun asas pemungutan pajak kepada masyarakat. Berkaitan dengan pemungutan pajak kepada masyarakat, pemerintah menghendaki adanya keadilan dalam penerapannya sehingga seluruh masyarakat tidak ada yang didiskriminasi. Untuk itu, agar tercipta kondisi yang adil tersebut pemerintah Indonesia telah membuat berbagai hukum untuk mendukung kondisi tersebut, yaitu :

1. Asas Keadilan dalam Pemungutan Pajak

Dalam era sekarang, perkembangan sosial ekonomi dan politik berlangsung sangat cepat sehingga perubahan sistem perpajakan yang pernah dilakukan belum mampu menampung berbagai kelemahan-kelemahan dalam Undang-undang perpajakan. Keadaan menjadi lebih parah karena penggelembungan penerimaan pajak, pembayar pajak dan kekuasaan aparat pajak dilaksanakan di tengah-tengah himpitan kesulitan ekonomi dan bisnis yang dihadapi oleh masyarakat dan dunia usaha setelah kenaikan harga BBM. Akal sehat menyimpulkan penerimaan pajak biasanya meningkat sebanding dengan ekonomi yang semakin bergairah, tetapi Indonesia penuh keanehan, penerimaan pajak justru akan digenjot ditengah-tengah ekonomi yang menurun atau melemah, bahkan semakin santer suara Indonesia diancam dengan stagflasi.

Agar penerimaan dari pajak sesuai target dan tidak menimbulkan diskriminasi

pada wajib pajak maka dalam pemungutannya pemerintah menerapkan asas berkeadilan. Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan maka undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. Jadi untuk terciptanya keadilan yang sesuai dengan perundang-undangan yaitu pajak dibebankan secara merata kepada seluruh masyarakat, sehingga seluruh masayarakat akan mendapat kewajiban membayar pajak sesuai kemampuannya.

Kemampuan yang dimaksud dalam perpajakan di Indonesia adalah siapapun wajib pajak yang mampu mengkonsumsi atau memanfaatkan jasa dan fasilitas negara maka wajib pajak harus membayar kompensasi sebanyak ia memanfaatkan fasilitas tersebut (siapa memakai maka harus bayar). Selain adil dalam perundang-undangan, pemerintah juga telah membuat menjamin keadilan dalam pelaksanaannya. Yang dimaksud disini adalah bahwa wajib pajak akan diberikan hak untuk melakukan keberatan penundaan pembayaran pajak serta mengajukan banding apabila petugas pemungut pajak melalukan kesalahan dalam pemungutan. Sehingga wajib pajak akan menerima kembalian uang pajak yang dibayarkan sejumlah sisa pajak yang berlebih.

Adapun upaya lain yang ditempuh pemerintah dalam menjamin keadilan adalah dengan mengeluarkan peraturan yang memberikan keringanan kepada wajib pajak orang pribadi, yaitu keringanan membayar pajak bagi wajib pajak yang penghasilannya sekitar 2 juta rupiah perbulan. Upaya ini diambil berdasarkan pertimbangan perekonomian rakyat Indonesia yang belum stabil. Sehingga dengan adanya peraturan tersebut pemerintah akan menanggung sebagaian pajak masyarakat, hal ini dilakukan agar tidak memberatkan masyarakat sebagai upaya menjamin keadilan di tengah-tengah perekonomian yang kurang baik

2. Wajib Pajak harus mempunyai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)

Bersamaan dengan perkembangan banyaknya dunia bisnis maka hal ini mendorong perekonomian Indonesia. Sebab dengan banyaknya usaha yang maju pesat maka semakin menyumbangkan porsi yang besar bagi pendapatan belanja negara yaitu dengan melakukan pemungutan pajak terhadap para pengusaha yang telah memenuhi sebagai wajib pajak. Seharusnya dalam pemungutan pajak terhadap pengusaha ini berjalan lancar, apabila mereka sadar pajak. Akan tetapi pada kenyataannya tidak sesuai seperti apa yang diharapkan pemerintah, walaupun banyak usaha yang berkembang tetapi negara semakin menanggung banyak kerugian. Sebab, banyak pengusaha yang mengkonsumsi fasilitas umum tapi mereka tidak mau bayar pajak atau tidak jujur dalam pembayarannya. Maka untuk menjaga hal itu agar tidak terjadi maka pemerintah Indonesia membuat aturan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Yaitu, UU No. 28/2007 tentang perubahan ketiga atas UU No.6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) memberikan penegasan penting dalam pelaksanaan perpajakan naisonal, terutama beberapa hal yang selama ini dianggap samar atau grey area.

Di antaranya, mengenai kapan seharusnya mulai mendaftar sebagai wajib pajak (WP), khususnya bagi WP orang pribadi. Saat mulai mendaftar ini sangat penting ditetapkan. Maksudnya, untuk menghilangkan kesan-seperti yang terjadi selama ini, dimana masyarakat menganggap seolah-olah kapan pun setiap saat bisa mendaftar sebagai WP, tanpa ada suatu batasan waktu. Dengan adanya peraturan tentang wajibnya memiliki NPWP maka akan mendorong keadilan pada masyarakat. Sebab dengan adanya NPWP, maka petugas pajak akan memungut pajak sesuai proporsional besar pajak yang seharusnya dibayarkan. Sehingga disini baik negara maupun masyarakat tidak ada yang dirugikan, karena telah mendapatkan sesuai dengan hak-haknya.



Sumber:

Waluyo. 2010. Perpajakan Indonsia. Jakarta: Salemba 4.

Aini, Hamdan. 2001. Perpajakan. Cetakan 4. Jakarta: Bumi Aksara

Jamaluddin. 2011. Pengantar Perpajakan. Cetakan 1. Makassar: Alaudin perss.

Tia Aristutia. Diktat pajak.pdf

Arief surojo. Modul Pengantar Hukum Pajak.pdf
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...