Monday 26 January 2015

[Fanfiction] Be My Friend

Summary:

Spent one day with me, and everything will be fine.



Paran High School, Busan, 8 a.m.

“Cepat bersihkan gudang ini, setelah itu kalian boleh masuk kelas.” Seorang pria tua meninggalkan dua orang siswa di gudang belakang sekolah. Satu laki-laki dan satu perempuan. Siswa laki-laki itu bernama Luhan. Rambutnya hitam pendek, kulit putih, dan tubuh yang lumayan tinggi. Ia adalah siswa teladan dan ini adalah hari pertama ia terlambat. Harusnya penjaga sekolah itu memberinya sedikit keringanan. Tetapi, apa daya, penjaga sekolah itu hanya seorang pria tua yang tidak tahu reputasi Luhan.

Siswa perempuan yang bersamanya bernama Seulgi. Rambutnya cokelat panjang, kulit putih, dan tubuh langsing bak model. Berbeda dengan Luhan, ia adalah siswa yang sudah sering dihukum karena terlambat. Baginya hukuman seperti rutinitas yang harus ia jalani setiap hari.

Itu kali pertama Luhan dan Seulgi bertemu.

Seulgi mulai mengambil buku-buku tua yang berserakan di lantai, membersihkannya, lalu meletakkannya kembali di rak buku. Sedangkan Luhan mengatur dos-dos di atas rak dengan naik di sebuah kursi.

Tak ada percakapan diantara mereka. Hanya sibuk dengan urusan masing-masing. Sampai Seulgi mulai buka suara.

“Tumben kau terlambat.”

Luhan menoleh ke bawah. Benar, gadis itu yang berbicara padanya. Padahal ia tahu gadis itu dikenal tertutup dan tak pernah berbicara pada orang lain.

“Well, ya. Ini karena aku harus mengantarkan makanan ke rumah kakekku dulu.” Luhan menjawab. “Kau sendiri, kenapa terlambat?”

“Aku harus menunggu tamu ibuku pergi dulu.”

Seulgi masih merapikan buku-buku di rak tanpa sedikitpun melihat Luhan.

Tamu? Kalau gosip itu memang benar, tamu yang dimaksud oleh gadis itu adalah pria-pria hidung belang, bukan?

Luhan tahu gosip yang beredar di sekolahnya. Seulgi adalah anak seorang pelacur. Itu yang membuat Seulgi sering menjadi objek bullying. Tak jarang pula, Seulgi harus menerima pelecehan dari siswa lain yang menganggapnya pelacur, sama seperti ibunya. Bahkan, 80% siswa sekolahnya yakin, Seulgi sudah tidak perawan.

Luhan terdiam tak menanggapi. Ia hanya ingin menyelesaikan hukumannya secepat mungkin agar ia bisa segera meninggalkan tempat itu. Berada satu ruangan dengan gadis itu membuatnya tak nyaman. Ia tak ingin terlibat dengan gadis itu.

Segera setelah pekerjaannya selesai, Luhan meninggalkan tempat itu. Hal yang sama dilakukan Seulgi.

Sayang, tiga orang siswa laki-laki menghadang Seulgi. Bahkan, sebelum ia sempat keluar dari pintu gudang.

Mereka menarik dan mendorong Seulgi kembali masuk ke dalam gudang. Seulgi terjatuh di lantai, memudahkan salah seorang siswa itu untuk mendudukinya dan mengunci pergerakannya.

“Lepaskan!!!” Seulgi berteriak histeris.

Ketiga siswa itu tidak menghiraukannya. Mereka justru menyeringai sambil melepaskan kancing seragam Seulgi satu persatu.

“Lepaskan aku!!!” Seulgi memberontak. Sebuah tinju yang cukup keras mengenai pipi mulusnya.

“Yak! Jangan pura-pura jual mahal! Kami tahu kau sudah sering melakukannya. Kau tenang saja, kami akan membayarmu nanti.”

Seulgi mulai terisak saat tangan-tangan jahil itu mulai mengerayangi tubuhnya.

Tiba-tiba seseorang mendobrak masuk dan memukuli ketiga orang itu.

“Ke…Ketua..” salah seorang siswa itu mengenali orang yang baru saja memukulnya.

“Cepat tinggalkan tempat ini, atau aku akan melaporkan kalian ke dewan sekolah.”

Ketiga orang itu pun beranjak meninggalkan tempat itu.

Seulgi bangkit dan mencoba melihat dengan jelas orang yang menolongnya itu di sela-sela menghentikan isak tangisnya.

Orang itu adalah orang yang sama yang dilihatnya sepuluh menit yang lalu.

Orang itu adalah Luhan.

“Terima kasih.”

Luhan tak menanggapinya. Ia mengeluarkan jaketnya dari dalam tas, memberikan jaket itu pada Seulgi, kemudian beranjak keluar.

Seulgi menerimanya. Seragamnya memang sudah berantakan. Tiga kancingnya terlepas, dan baju sebelah bahu kirinya sobek.

“Cepatlah. Jam kedua akan segera dimulai.” Teriak Luhan dari luar.

“Baik!” Seulgi berlari keluar setelah mengenakan jaket pemberian Luhan. Seulgi tersenyum, dengan pipi kanan yang sedikit lebam.

Apa pipinya tidak sakit tersenyum seperti itu?

Entahlah. Luhan segera berbalik dan kembali berjalan menuju kelas. Seulgi mengikutinya dari belakang.

---

---

---

Beberapa pucuk surat dan kotak-kotak cokelat berjatuhan setelah Luhan membuka lokernya. Valentine? Bukan. Masih tersisa sebulan lagi. Namun, adalah hal yang biasa jika Luhan menerima begitu banyak surat dan cokelat meski itu bukan hari spesial. Apalagi semenjak kunci lokernya rusak, orang-orang bebas memasukkan beragam hadiah ke dalam lokernya. Ia bahkan menemukan sebuah boneka beruang. Hell, dirinya itu sudah SMA. Bukan anak kecil lagi.

“Wah, kau bisa gemuk jika memakan semua cokelat itu. Berikan saja padaku,” seorang siswa laki-laki imut menghampirinya. Namanya Baekhyun.

“Ambil saja sesukamu.” Ucap Luhan seraya mengganti sepatu sekolahnya dengan sepatu olahraga. “Cepat ganti sepatumu. Pelatih sudah memanggil kita ke lapangan,” sambungnya sambil menepuk pundak Baekhyun lalu berlari menuju lapangan. Baekhyun segera mengganti sepatunya setelah memasukkan beberapa cokelat ke dalam lokernya.

Riuh sorakan gadis-gadis di pinggir lapangan sudah merupakan hal yang wajib ada saat Luhan memasuki lapangan. Walaupun hari itu hanya latihan rutin dan matahari siang masih bersinar dengan teriknya, mereka tak kenal lelah meneriakkan nama Luhan. Jikalau mereka adalah robot, mungkin sudah jutaan baterai yang mereka habiskan tiap minggunya.

Seulgi terhenti. Tangannya masih memegang keranjang sampah yang penuh. Tong sampah sudah di depan matanya. Namun, matanya beralih melihat ke arah lapangan. Luhan sedang bermain sepak bola. Ia sudah sering melihatnya. Tapi, baru kali ini ia memerhatikannya. Ternyata Luhan sangat keren. Walaupun tubuhnya basah oleh keringat dan rambutnya sedikit berantakan, demi dewa di langit, ia terlihat sangat keren. Tanpa sadar, Seulgi menghabiskan sepuluh menit waktunya hanya untuk pemandangan itu.

---

---

---

Luhan beranjak pulang bersama dua orang temannya, Suho dan Baekhyun.

“Aku malas ke sekolah besok. Tugas praktikumku belum selesai.” Ujar Suho. Mulutnya melengkung ke bawah.

“Aku juga.” Tambah Baekhyun. Mereka pun serempak menoleh melihat Luhan.

“Apa?”

Baekhyun dan Suho tersenyum.

“Boleh kami menyalin milikmu?”

“Tidak. Mau jadi apa kalian kalau selalu menyontek tugas orang lain?”

“Ayolah, Lu. Kau tidak kasihan pada kami?” Suho melingkarkan lengan kanannya di pundak Luhan. Sementara Baekhyun melingkarkan lengan kirinya di pundak Luhan. Luhan yang terjepit di tengah segera berusaha melepaskan diri.

“Baiklah. Tapi ini yang terakhir ya!”

“Oke, Kapten!” Baekhyun dan Suho tertawa penuh kemenangan.

Langkah mereka terhenti tepat di luar pintu gerbang sekolah. Gerombolan siswi yang memakai seragam sama menarik perhatian mereka. Siswi-siswi itu seperti mengepung seseorang.

“Sepertinya itu si anak pelacur.” Ujar Suho.

“Iya, kau benar.” Timpal Baekhyun.

Luhan terdiam.

“Lebih baik jika kita tidak ikut campur dengan urusan gadis itu.” Perkataan Baekhyun seakan membaca pikiran Luhan.

“Iya. Lagipula dia memang bukan gadis baik-baik. Aku pernah melihatnya masuk ke hotel bersama seorang pria tua.”

Luhan masih memandangi gerombolan itu, tapi teliganya dapat mendengar jelas perkataan Suho barusan. Tidak mungkin seorang gadis dengan senyum sepolos itu melakukan hal itu. Ia tidak percaya.

---

---

---

Luhan berjalan kembali ke sekolah. Masih dengan seragam sekolahnya. Padahal ia tadi sudah berada tepat di depan pintu rumahnya. Hanya saja perasaan tak juga tenang. Hati kecilnya memaksanya untuk kembali ke sekolah.

Seulgi membersihkan sisa tepung dan telur yang menempel di wajahnya dengan air keran di dekat lapangan. Ia juga berusaha merapikan rambutnya yang kusut karena dijambak tadi. Dengan air mata tak berhenti mengalir, ia membersihkan sisa telur yang menempel di jaket yang ia kenakan.

“Bagaimana ini? Bagaimana kalau nodanya tidak hilang?” gumannya sambil terus menggosok jaket yang ia kenakan.

“Tidak apa-apa.”

Seulgi menengadah melihat orang yang berdiri di hadapannya itu.

“Lu..han..” Ia tidak percaya.

“Daripada kau mengurusi jaket itu, lebih baik kau segera pulang. Sudah mulai gelap.”

“Tapi… Ini milikmu.”

“Tidak apa-apa. Sungguh.” Luhan tersenyum untuk memperlihatkan bahwa memang dirinya tidak akan mempermasalahkan jaket itu.

Seulgi menunduk sambil menghapus sisa-sisa air matanya.

Ia pun berjalan mengikuti Luhan dari belakang.

Banyak pertanyaan yang timbul di benak Seulgi saat ini.

Kenapa Luhan kembali?

Padahal ia melihat saat Luhan pulang bersama dua temannya tadi.

Apakah Luhan khawatir padanya?

Tidak. Untuk apa Luhan khawatir padanya? Ia bahkan bukan teman Luhan.

Walaupun ia sudah mengetahui sosok Ketua OSIS itu sejak lama. Namun, baru hari ini ia bertemu dengan Luhan. Mungkin Luhan pun sama. Luhan pasti sudah banyak mendengar gosip tentangnya.

Lalu, untuk apa Luhan menolongnya?

Luhan berhenti, lalu berbalik melihat Seulgi.

“Apa kau lapar?”

“Haa?”

“Aku sudah lapar. Ayo kita makan dulu.” Luhan memasuki sebuah kedai ramen. Seulgi yang terdiam sejak tadi akhirnya mengikuti Luhan setelah Luhan memangggilnya dengan lambaian tangan.

Dua mangkuk ramen, dua mangkuk nasi, serta beberapa potong daging yang terpanggang di atas pemanggang kecil disajikan oleh seorang wanita tua.

“Kamsahamnida.” Ucap Luhan kepada bibi itu. Lalu mulai melahap makanan di depannya.

“Makanlah. Aku yang traktir.” Kata Luhan di sela-sela mengunyah.

Seulgi mengangguk lalu mulai menyantap makanan di hadapannya.

---

---

---

Seulgi berbaring di tempat tidurnya setelah mandi dan mengenakan piyama merah mudanya. Matanya terpaku menatap langit-langit kamar sambil mendengarkan lantunan musik klasik dari earphonenya.

“Besok, jangan terlambat ke sekolah.”

Masih terngiang jelas ucapan Luhan saat mengantarnya pulang tadi.

Ia tak tahu mengapa Luhan mengatakan hal itu. Tetapi ia tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya. Paling tidak, saat ini ada seseorang yang perhatian padanya.

Suara ribut di luar mengganggu ketenangan Seulgi. Dapat ia pastikan, itu adalah ibunya yang baru pulang. Seperti biasa, ibunya sedang bersama seorang pria. Seulgi dapat mendengar percakapan mereka sebelum suara pintu tertutup rapat berbunyi.

Dinding kamarnya yang tak cukup tebal membuat Seulgi dapat mendengar suara-suara erangan dan desahan dari kamar sebelah. Seulgi meningkatkan volume suara musiknya dan mencoba tertidur.

---

---

---

Hari ini, Seulgi berangkat ke sekolah lebih pagi, sebelum ibu dan pria yang bersama ibunya bangun. Alhasil, teman-teman sekolahnya heran melihat nya di saat pintu gerbang belum tertutup rapat.

“Ada angin apa dia datang sepagi ini?”

Seulgi dapat mendengar ocehan-ocehan tentang dirinya. Tetapi ia tidak perduli dan tetap berjalan menuju kelas.

Selain tas ransel di punggungnya, Seulgi juga membawa tas jinjing di tangannya. Sebelum sampai ke kelasnya yang berada di ujung koridor lantai dua, ia menyempatkan diri mampir ke kelas Luhan. Kelas unggulan yang berada di dekat lift.

Kedatangan Seulgi membuat perhatian siswa-siswa di kelas unggulan itu tertuju padanya.

“Kenapa dia datang ke sini?”

Mereka berbisik satu sama lain. Tentang alasan siswi terkucilkan itu berani menginjakkan kaki di daerah kekuasaan mereka.

“Hei. Kau salah kelas ya?” seorang gadis berambut panjang pirang kecoketan menghampirinya bersama dua orang gadis lain di belakangnya.

“Aku yakin kau masih belum sadar. Apa pukulan kami kemarin membuatmu gegar otak?” seorang gadis berambut pendek ikut menanyainya.

Seulgi sudah menduga hal ini. Memang tidak akan mudah menginjakkan kaki di kandang singa.

“Aku ingin bertemu Luhan.”

“Luhan? Memangnya kau mengenalnya?”

Belum sempat Seulgi menjawabnya, Luhan, Baekhyun, dan Suho tiba. Luhan terkejut melihat Seulgi di depan pintu kelasnya.

“Luhan, si anak pelacur ingin bertemu denganmu.” Ujar gadis berambut pendek pada Luhan.

“O?” Baekhyun dan Suho juga terkejut.

“Apa kalian saling mengenal?” tanya Baekhyun. Pertanyaan yang ditujukan pada Luhan.

Luhan terdiam, membuat senyum yang sempat merekah di bibir Seulgi menghilang dalam sekejap.

“Tidak. Aku tidak mengenalnya.”

---

---

---

Luhan membuka lokernya dan menemukan sebuah kotak putih. Perlahan Luhan mengambilnya dan membuka kotak tersebut. Sebuah jaket hitam yang sangat dikenalnya bersama sepucuk surat.

Terima kasih atas semua yang kau lakukan dan maaf sudah merepotkanmu.

Luhan menggenggam surat itu. Perasaannya berubah menjadi tidak enak. Atau lebih tepatnya, bersalah. Ia menyesal sudah berpura-pura tidak mengenal Seulgi.

---

---

---

“Kau tahu, perbedaan antara kau dan Luhan, itu seperti bumi dan langit. Jangan pernah berharap kau bisa mendapatkannya!” seorang gadis berambut cokelat itu pergi bersama lima orang lainnya.

Seulgi terduduk di pojok dengan wajah lebam dan rambut yang berantakan. Sekujur tubuhnya masih terasa sakit akibat hantaman kayu yang dipukulkan kepadanya.

Dengan sisa tenaga yang masih tersisa ia mencoba berdiri, melangkah pelan menuju pintu keluar. Namun, pandangannya mulai kabur. Ia pun jatuh pingsan.

---

---

---

Pertama kali membuka mata, Seulgi dapat melihat sosok Luhan duduk di sampingnya. Ruangan serba putih dan bau obat yang tajam membuat Seulgi tahu dimana ia berada saat ini.

“Bagaimana keadaanmu? Apa tubuhmu masih sakit?” tanya Luhan.

“Aku merasa lebih baik. Apa kau yang membawaku ke sini?”

Luhan mengangguk.

“Soal tadi, aku minta maaf.”

“Tidak apa-apa, aku mengerti. Memang sulit mengakui kau mengenal orang sepertiku.”

“Bukan. Aku,”

“Sungguh, tidak apa-apa.” Seulgi tersenyum. “Aku ingin pulang saja.”

“Tapi dokter bilang kau tidak boleh pulang dulu.”

“Aku sudah terbiasa dengan luka-luka seperti ini. Nanti juga sembuh sendiri. Oh ya, terima kasih untuk semuanya. Aku berhutang banyak padamu.”

Seulgi mencabut selang infusnya dan melangkah pergi. Luhan mengikutinya.

---

---

---

“Apa kau yakin kau tidak apa-apa?”

“Iya.”



Luhan masih mengikuti Seulgi berjalan pulang untuk berjaga-jaga jika gadis itu kembali pingsan di jalan.

Seulgi menghentikan langkahnya, membuat langkah Luhan yang berjalan di belakangnya ikut berhenti.

“Aku bisa pulang sendiri. Kau pulang duluan saja.” Ucap Seulgi sambil berbalik melihat Luhan.

“Bagaimana bisa aku pulang duluan? Bagaimana kalau kau tiba-tiba pingsan lagi? Biarkan aku memastikan kau pulang dengan selamat. Setelah itu, aku akan pulang.”

“Untuk apa?”

“Eoh?”

“Untuk apa kau harus memastikan aku pulang dengan selamat atau tidak? Kita bahkan tidak saling mengenal.”

Luhan terdiam sejenak. Seulgi kembali berjalan tanpa menghiraukan Luhan.

“Namamu Seulgi.”

Seulgi berhenti.

“Hanya itu yang kutahu. Tapi, kita bisa lebih mengenal lagi. Aku ingin jadi temanmu.”

Seulgi berbalik, kedua matanya bertemu dengan sepasang mata indah Luhan yang sedang menatapnya dalam.

“Apa kau mau jadi temanku?” suara Luhan terdengar jelas di telinga Seulgi.

Seulgi terdiam. Tetapi ketulusan yang terlihat jelas di binar mata Luhan membuatnya mengangguk pelan.

---

---

---

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...