Thursday 13 September 2012

Cerpen : Judul Skripsi



Judul Skripsi
“Arrghh... pusing!” teriak Rio sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri tanda frustasi. Aku hanya menggeleng-geleng kepala melihatnya. “Ada apa, Yo?” tanyaku. Rio kemudian duduk di lantai sambil menyandarkan kepalanya ke tembok. Aura keceriaan sudah tak tampak lagi di wajahnya. Yang ada hanya kesukaran,  kegalauan, kegundahan, kecemasan, ketakutan, dan kebimbangan. Semua bercampur aduk hingga membuatnya terlihat seperti orang yang sedang berada di ambang kematian. Aku yang sedari tadi sibuk mengerjakan sesuatu dengan sebuah benda ajaib bernama laptop pun memutuskan untuk sejenak mengalihkan konsentrasiku untuk memfokuskan diri mendengarkan masalah sahabatku itu.
“Skripsiku, Fad. Mungkin sampai kapanpun aku tidak akan bisa membuatnya. Bahkan untuk mencari judul saja sudah membuatku hampir gila...” ucapnya dengan nada putus asa. Aku mengerti sekarang. Ternyata dia masih belum menemukan judul untuk skripsinya. Padahal seingatku dia sudah mencari judul sejak tiga minggu yang lalu.
“Jangan putus asa begitu, Yo. Coba kau berjelajah di perpustakaan kota, mungkin kau bisa menemukan inspirasi di sana.” ucapku mencoba menyemangatinya. Ya, paling tidak inilah yang bisa kulakukan. Karena jurusan kami berbeda, aku tidak bisa membantu apa-apa jika berhubungan dengan masalah pendidikannya. Aku yang sehari-harinya berkutat dengan angka-angka sangat berbeda dengannya yang berkutat dengan kata-kata.
“Ya, akan ku coba ke sana.” ucapnya masih dengan ekspresi yang sama. “Btw, apa yang sedang kau kerjakan?” tanya Rio sambil memerhatikan layar laptop yang masih dalam keadaan on. “Biasa, menyiapkan bahan untuk presentasi.” ucapku. Rio menghela nafas, “Kau memang hebat, Fad. Bagiku matematika adalah persoalan yang sulit, tapi kau bisa mngerjakannya dengan mudah. Sedangkan aku yang hanya mempelajari bahasa Indonesia sudah kesulitan hanya untuk menemukan satu judul saja. Bayangkan, Fad. Bukan bahasa Inggris, Jerman, China, atau Jepang, tapi bahasaku sendiri, bahasa Indonesia! Aku baru sadar betapa bodohnya diriku.”
“Jangan bicara seperti itu, Yo. Bagiku bahasa Indonesia sama sulitnya dengan matematika. Bahkan lebih sulit karena bahasa tidak hanya memerlukan kecerdasan pengetahuan, tetapi juga kecerdasan beretorika. Kau juga sudah  melalui semuanya sampai tinggal selangkah lagi, yaitu skripsi. Kau harus berjuang agar semua usahamu sampai saat ini tidak sia-sia. Aku yakin kau bisa melakukannya!” seruku bersemangat.
“Thanks, Bro.” Rio tersenyum tipis. Aku menepuk pundaknya untuk setidaknya menyalurkan semangatku agar dia lebih bersemangat. Hasilnya mujarab, Rio segera mengambil ranselnya dan berpamitan. Katanya dia akan ke perpustakaan kota. Aku harap dia bisa menemukan inspirasi untuk judul skripsinya di sana.
***
“Fadli! Fadli!” aku menoleh melihat orang yang memanggilku tadi. Ternyata dia Vania, teman satu kampusku. “Ada apa?” tanyaku saat Vania berdiri di dekatku setelah berlari kecil dari seberang jalan. “Bagaimana tugasmu? Sudah selesai?” ia bertanya. Aku mengangguk, “Sudah, sejak tiga hari yang lalu. Kalau kau?”
Vania menggeleng pelan, “Belum. Aku kesulitan mencari bahan. Hmm...maukah kau membantuku?” tanyanya lagi dengan tatapan penuh harap. Membuatku tidak tega untuk menolaknya. “Baiklah, aku akan membantumu. Kau sudah ke perpustakaan kota?”
Vania menggeleng lagi, “Belum. Memangnya di sana banyak bahan tentang tugas ini?” tampaknya dia ragu. Aku mengangguk pasti. “Baiklah, ayo temani aku ke sana!” serunya bersemangat. Aku pun mengiyakannya.
Perpustakaan kota yang terletak di jalan Jendral Sudirman ramai dikunjungi pelajar dan mahasiswa. Kalau perkiraanku benar, harusnya Rio masih berada di sini. Ini hanya berselang 40 menit sejak tadi dia berpamitan.
“Buku-buku matematika ada di rak paling belakang.” ucapku saat memerhatikan Vania yang sibuk celingak-celinguk. Kami pun berjalan menuju rak itu. Aku sesekali memerhatikan orang-orang yang berdiri di depan rak-rak buku yang kami lewati. Tapi aku tak juga menemukan sosok Rio. “Apa anak itu sudah pulang, ya?”gumanku. “Hah?Apa?” tanya Vania. Rupanya ia mendengar ucapanku. “Aku mencari Rio, beberapa menit yang lalu dia bilang mau ke sini tapi aku tidak melihatnya.” kataku. “Oh, teman satu kosmu itu? Sepertinya tadi aku melihatnya di jalan Andalas yang kulewati sebelum menemuimu.” Vania berpikir, “Sepertinya dia masuk ke rumah Anto. Kau tahu kan? Si Ahli pembuat skripsi aspal itu.”
“Apa?” Aku hampir tidak percaya mendengar kata-kata Vania. Benarkah Rio menemui Anto? Untuk apa dia menemui Anto? Jangan-jangan dia ingin memakai skripsi hasil jiplakan dari Anto? Sebenarnya apa yang ada di pikiran anak itu?
“Vania, aku harus pergi sekarang. Kau bisa kan’ mencari bahan sendiri?”
“Iya. Trima kasih sudah menemaniku.” Ucap Vania. Aku hanya tersenyum lalu bergegas pergi. Aku harus mencegah Rio.
***
Ternyata benar apa kata Vania. Rio memang berada di rumah Anto.
“Rio!” panggilku setengah teriak. Rio yang baru saja keluar dari rumah Anto terkejut melihatku. “Fa..Fadli?” ucapnya terbata-bata membuatku semakin yakin dia telah melakukan kesalahan.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya. “Kau sendiri? Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak bermaksud membuat skripsi jiplakan kan’?” tanyaku to the point. “Te..tentu, tentu saja tidak!” ucapnya mengelak. Namun sangat jelas kalau dia sedang berbohong. Rio, yang pandai beretorika itu mengucapkan kalimat sederhana dengan terbata-bata.
“Kau ini memang tidak bisa berbohong. Aku tahu kau pasti sudah memesan sebuah skripsi jiplakan pada Anto. Iya, kan?”
Rio menunduk. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Fad. Otakku buntu. Kau tahu kan’ selama ini aku hanya menjalani proses perkuliahan seperti air yang mengalir. Aku tidak pernah bersungguh-sungguh dalam belajar. Akibatnya, sekarang, aku tidak tahu apa-apa. Tapi aku tidak bisa berhenti di tengah jalan karena aku tahu orang tuaku sangat menginginkan aku menjadi sarjana dan membuat mereka bangga. Aku terpaksa, Fadli.”
Rio, tampaknya dia sudah benar-benar putus asa sampai-sampai iblis berhasil membisikkan ide gila di pikirannya. Sepertinya aku harus menyeretnya kembali ke jalan yang benar!
“Percuma, Yo. Percuma mendapatkan gelar dengan cara yang curang, karna pada akhirnya kebenaranlah yang akan bertahan. Mungkin dengan skripsi jiplakan itu kau bisa meraih gelar sarjana. Tapi tidak ada yang menjamin kalau dua, empat, lima atau sepuluh tahun ke depan semua itu tidak akan ketahuan.  Jadi coba kau bayangkan bagaimana perasaan orang tuamu saat tahu anaknya lulus karena berlaku curang. Apalagi kau itu calon guru, Yo. Bagaimana kalau murid-muridmu kelak melakukan kecurangan? Kau sudah membahayakan masa depan bangsa Indonesia.”
Aku berjalan menghampiri Rio, “Belum terlambat, Yo. Mulai sekarang kau bisa mempelajari bidang studimu sebaik-baiknya sambil mencari judul yang tepat untuk skripsimu.”
“Kau benar, Fad. Tapi aku masih tidak yakin bisa melakukannya.”
“Kau pasti bisa. Bukankah kau baru memasuki tahun kelima? Kau masih mempunyai waktu dua tahun untuk mulai belajar sebaik-baiknya sebelum membuat skripsi. Lagipula lebih baik menjadi sarjana yang berkualitas daripada lulus hanya karena dikejar gengsi. Kau pasti bisa, Yo. Dimana ada niat baik, di situ ada jalan yang lurus.” ucapku sambil menepuk-nepuk pundak Rio. Rio mengangguk mengerti. Aku lega dia akhirnya menerima nasehatku.
***
Dua tahun kemudian...
“Arrghh...pusing!” teriak Rio sambil mengacak-acak rambutnya sendiri tanda frustasi. Aku hanya menggeleng-geleng kepala melihatnya. “Ada apa lagi, Yo?” tanyaku. Rio duduk di lantai sambil menyandarkan kepalanya ke tembok. “Besok, acara ramah tamah, Fad. Tapi aku gak punya kemeja!” ucapnya dengan nada mirip bintang iklan kartu selular. “Kau ini, masak kemeja pun tidak punya?” Aku beranjak dari dudukku kemudian mengambil bungkusan plastik yang tersimpan di lemari. “Ini” ucapku sambil menyerahkan bungkusan itu pada Rio. “Apa ini?” tanyanya sembari membuka isi bungkusan itu. “Hadiah dariku karena kau sudah lulus dengan IPK tertinggi!” seruku. Rio tersenyum senang, “Thaks, ya. Bro!” lalu memelukku erat. “Hei, lepaskan!” teriakku jijik.
“Apa yang kalian lakukan?” tanya Kak Ilham yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. “Ini tidak seperti yang kakak bayangkan! Sungguh!” ucapku segera menjelaskan. Kak Ilham hanya mengangguk mengerti. “Iya, iya. Silakan dilanjutkan!”
“Apanya?!” tanyaku emosi. Sementara Rio hanya tertawa geli.
***




Don't copas without permission, ok!

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...