Tanpa Luhan, Sehun akan menjadi lemah dan mati.
Deretan buku-buku pelajaran masih setia menemani Luhan yang saat itu sedang mengerjakan tugasnya di perpustakaan. Sebagai siswa yang sedang bertugas, Luhan harus menyusun kembali buku-buku yang baru di kembalikan oleh peminjamnya ke tempatnya semula. Sudah satu jam ia melakukan hal yang sama. Tugasnya akan berakhir lima menit lagi. Luhan mengembalikan buku terakhir di rak paling belakang.
Sebuah buku menarik perhatian Luhan. Buku bersampul hitam dengan tinta putih bertuliskan The Secret of Vampire menggodanya untuk membaca buku tersebut. Luhan pun mengambil buku itu dan duduk di lantai sambil bersandar di rak.
Luhan membaca buku itu tanpa memperdulikan langit di luar perpustakaan yang sudah mulai gelap.
...
...
...
Sehun sedang membaca buku di meja belajarnya saat Luhan pulang.
“Kau dari mana?” tanyanya pada pemuda yang lebih pendek darinya itu.
“Perpustakaan.” Jawab Luhan singkat lalu beranjak masuk ke dalam kamar mandi.
Sehun tahu ada yang disembunyikan Luhan. Wajah Luhan memang sangat mudah ditebak. Sehun pun meninggalkan bukunya di meja dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi.
Luhan baru saja menyalakan shower dan membasahi sekujur tubuhnya saat ia menyadari ada sepasang mata yang menatapnya di depan pintu.
“Ya! Sehun! Kau mengagetkanku saja! Bagaimana kau bisa masuk? Padahal aku sudah mengunci pintunya.”
Luhan kesal. Untung saja ia tidak sedang dalam keadaan seratus persen naked. Masih ada celana boxer yang menutupi area pribadinya.
Sehun tidak menjawab, ia berjalan menghampiri Luhan.
Luhan menatapnya heran. “Apa?”
Sehun mendorong pelan tubuh Luhan hingga tersandar di dinding kamar mandi. Air shower yang masih menyala ikut membasahi tubuh Sehun.
Luhan gugup. Sepertinya ia tahu apa yang akan Sehun lakukan.
“Ya! Apa kau sudah selapar itu sampai-sampai tidak mau menungguku selesai mandi dulu?”
Luhan menatapnya jengkel.
“Apa yang kau pikirkan?”
“Eoh?” Luhan tidak mengerti maksud pertanyaan Sehun itu.
“Apa yang sedang kau pikirkan? Aku tahu kau sedang menyembunyikan sesuatu dariku.” Sehun menatap Luhan tajam.
Luhan mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Tidak ada.”
“Bohong.”
Sehun mencengkram kedua bahu Luhan dengan sangat kuat.
“Lepaskan, Sehun. Sakit!” Luhan berontak. Tetapi Sehun tak juga melepaskannya. Justru kuku jari Sehun semakin tajam ikut mencengkram kuat hingga meninggalkan luka di bahu Luhan.
Luhan meringis perih saat luka-luka itu terkena air.
“Kenapa kau melakukan ini? Apa salahku?” Luhan menatap Sehun tajam. Ada perasaan benci yang terlihat jelas dari kedua mata Luhan.
Sehun menyadari kesalahannya. Ia pun mendekatkan wajahnya untuk menyembuhkan Luhan. Tetapi tanpa ia sangka, Luhan menghindar.
Luhan mendorong tubuh Sehun menjauh.
“Kau bertanya apa yang sedang kupikirkan, bukan? Baiklah aku akan mengatakannya. Aku sedang berpikir, kenapa aku yang menjadi makananmu? Kenapa harus aku? Itu yang kupikirkan.”
Luhan masih menatap Sehun tajam.
“Mungkin bagimu aku hanya penghilang rasa lapar semata. Tetapi bagiku, tanpa kusadari, setiap kali kau menyembuhkanku, perasaanku berubah menjadi rasa yang sulit kumengerti. Aku...”
Luhan menunduk dalam. Ia tidak dapat menahan air matanya yang jatuh satu persatu.
“Aku... menyukaimu.”
Detik berikutnya, tanpa Luhan duga, Sehun menciumnya. Ciuman yang lembut yang terasa manis.
Air mata Luhan masih menetes.
Sehun memperdalam ciumannya, menghisap, melumat, dan menikmati setiap inci bibir mungil Luhan yang membelenggunya dalam kehangatan yang tak pernah bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
“Maafkan aku.” Suara Sehun berbisik tepat di telinga Luhan sebelum sebuah pelukan erat menyudahi tangis Luhan.
...
...
...
Luhan dapat merasakan seseorang mengikutinya sejak ia meninggalkan sekolah. Ia pun berjalan lebih cepat. Namun, seseorang menghentikan langkahnya saat ia melewati gang kecil yang biasa ia lewati. Orang itu menariknya hingga tersudut di tembok.
“Siapa kau?! Apa yang kau lakukan?!” Luhan menatap orang itu tajam. Tetapi ia tidak bisa melepaskan diri karena orang itu mengangkat kuat kerah seragamnya sehingga membuat kedua kakinya meninggalkan pijakannya.
“Ya! Lepaskan aku!!”
Orang itu tersenyum sinis menatap Luhan.
“Apa kau tidak penasaran mengapa Sehun hanya meminum darahmu?”
Perkataan orang itu membuat kedua mata Luhan membulat terkejut. Bagaimana orang itu bisa mengetahui satu hal yang hanya diketahui oleh dirinya dan Sehun?
“Siapa kau? Apa hubunganmu dengan Sehun?”
Luhan menatap tajam kedua iris mata berwarna kebiruan itu.
“Aku Kai. Aku adalah musuh Oh Sehun.”
Luhan terkejut mendengarnya. Kalau anggapannya benar, berarti orang itu adalah seorang vampire sama seperti Sehun.
Kai menyunggingkan senyumnya.
“Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan Sehun jika ia kehilanganmu.”
Detik selanjutnya, mata Luhan terpejam erat. Luhan tak dapat merasakan tubuhnya lagi.
...
...
...
Sehun tahu ada yang tidak beres saat Luhan tak juga pulang malam itu. Perasaan cemas dan gelisah membuatnya segera meninggalkan asrama dan mencari Luhan. Walaupun di luar sedang turun badai salju, hal itu tak mengurungkan niat Sehun untuk mencari keberadaan Luhan di tempat-tempat yang mungkin dikunjungi pemuda manis itu.
Pencarian Sehun tak berbuah manis hingga matahari kembali menampakkan sinarnya. Cahaya matahari yang sangat terik siang itu semakin melemahkan Sehun.
Dimana Luhan? Sehun membutuhkannya.
“Ya, Sehun. Kau baik-baik saja? Kau tampak pucat.” Tegur Kyungsoo saat Sehun menemuinya di perpustakaan.
“Kau tahu dimana Luhan?” tanya Sehun.
Kyungsoo mengangkat kedua bahunya, “Aku tidak tahu. Ada apa dengan Luhan?”
“Dia menghilang.”
“Apa? Kenapa dia bisa menghilang? Kau tidak tahu dia kemana? Kau kan’ teman sekamarnya. Apa kau benar-benar tidak tahu dimana dia?”
Pertanyaan Kyungsoo menyadarkan Sehun. Benar juga. Luhan adalah teman sekamarnya. Seharusnya ia lebih tahu keberadaan Luhan berada dibandingkan Kyungsoo. Seharusnya ia lebih tahu dibandingkan orang lain. Hubungan mereka bahkan tak sekedar teman sekamar.
Sehun menyesali keegoisannya yang hanya mencari Luhan saat ia membutuhkannya. Padahal Luhan sudah memberikan segalanya pada Sehun, termasuk perasaaannya. Perasaan tulus yang belum sempat ia balas.
Saat ini Sehun sangat ingin mengatakan bahwa ia juga menyukai Luhan.
Luhan tak sekedar santapan yang menghilangkan rasa laparnya. Baginya, Luhan adalah segalanya. Luhan adalah hidupnya. Seharusnya ia bisa mengungkapkan hal itu sejak dulu saat Luhan mengatakan bahwa ia menyukai Sehun.
Sehun menyesal.
...
...
...
Sehun kembali pulang ke asrama. Ia masih belum menemukan Luhan di sana. Semua masih tampak sama. Kosong. Tak ada yang dapat ia lakukan. Sampai ia menemukan sepucuk surat di meja belajarnya.
Oh Sehun. Bagaimana kabarmu? Aku yakin kau sedang tidak baik-baik saja.
Oya, Kau tak perlu mencari Luhan. Dia baik-baik saja bersamaku.
Kai
Sehun meremas kertas di genggamannya itu kasar. Ternyata Kai adalah dalang dibalik menghilangnya Luhan. Ia pun segera berlari meninggalkan asrama menuju tempat Kai berada.
Sebuah kastil dengan tiang-tiang tinggi berdiri kokoh di tengah hutan. Sehun masih mengingat dengan jelas, kastil itu masih sama seperti saat pertama ia menginjakkan kaki di tempat itu.
“Ohoho.. Lihat siapa yang datang.” Kai menyambutnya saat Sehun berjalan memasuki kastil itu.
Sehun segera menghampiri Kai dan menarik kerah baju Kai kasar.
“Kau! Apa yang kau lakukan pada Luhan?!”
Kai tersenyum.
“Aku menyelamatkannya.”
Perlahan Sehun melepaskan tangannya dari Kai. Iris matanya berubah biru.
“Aku yakin kau masih ingat akan apa yang kau lakukan pada Suho.” Kai merapikan bajunya yang sempat kusut lalu berjalan mengelilingi Sehun yang terpaku di tempatnya.
“Suho sama seperti Luhan. Kau hanya membutuhkan darah suci mereka untuk kekuatanmu. Ingat?”
Sehun terdiam. Tangannya mengepal kuat.
“Aku tidak ingin Luhan berakhir tragis seperti Suho. Seseorang yang hanya kau habiskan darahnya lalu meninggalkannya membusuk di hutan. Sampai kapan kau akan mengorbankan orang lain demi kehidupanmu semata, Oh Sehun?”
“Diam kau!!!” Sehun meninju wajah Kai dengan sangat keras sehingga membuatnya tersungkur di lantai.
Sehun segera melancarkan pukulannya ke tubuh Kai dengan membabi buta.
“Hentikan, Oh Sehun!”
Sehun mengalihkan pandangannya ke arah suara itu.
Luhan.
Sehun sangat bahagia melihat sosok itu lagi. Tetapi berbeda dengan Luhan.
Luhan menatapnya tajam dengan penuh kebencian.
“Lepaskan dia, Sehun. Tinggalkan tempat ini.”
Sehun berdiri perlahan sambil menatap Luhan dalam.
“Luhan..”
Luhan membantu Kai berdiri lalu kembali menatap Sehun.
“Tinggalkan tempat ini.”
Sehun tidak percaya akan apa yang didengarnya itu.
“Luhan... Kau jangan percaya pada apa yang dia katakan.”
“Kenapa? Paling tidak dia tidak pernah menutupi tentang Suho.”
Mata Sehun membulat terkejut.
“Aku hanya korbanmu berikutnya kan’?”
Sehun menggeleng keras. “Itu tidak benar, Luhan. Kau..”
“Kalau begitu tinggalkan aku sendiri. Aku ingin lihat apakah kau benar-benar bisa hidup tanpaku.”
Sehun terdiam. Tentu saja itu tidak akan terjadi. Tanpa Luhan, ia akan mati. Ia membutuhkan Luhan untuk bisa tetap hidup.
“Baiklah.” Sehun berpaling pulang meninggalkan tempat itu dengan tubuh yang mulai melemah.
...
...
...
Suasana hati Luhan sedang tidak baik hari ini. Walaupun ia tidak bertemu Sehun selama tiga hari terakhir, namun entah mengapa pikirannya selalu tertuju pada sosok itu.
Apakah Sehun baik-baik saja? Luhan berusaha tidak memperdulikannya. Tetapi hatinya memaksa Luhan untuk pergi menemui Sehun.
Di tengah perjalanan menemui Sehun, Luhan bertemu dengan seorang wanita tua dengan rambut yang sudah memutih.
“Kau pasti Luhan.” Ujar wanita tua itu.
Luhan melihatnya heran. “Anda siapa?”
Wanita tua itu tersenyum. “Aku saudara Sehun, namaku Jiyeon.”
Luhan terkejut mendengar perkataan wanita tua itu.
“Aku tahu kau pasti terkejut. Sehun adalah kakakku. Awalnya kami hanyalah manusia biasa. Tetapi seseorang mengubah Sehun menjadi vampire. Orang yang mengubahnya itu adalah Kai. Sehun harus hidup dengan mengandalkan darah suci dari seseorang yang Kai berikan, itu Suho. Tetapi Suho mengakhiri hidupnya sendiri karena ia sebenarnya menyukai Kai.”
Wanita tua itu menghela nafas panjang.
“Apa yang terjadi pada Suho bukanlah kesalahan Sehun. Sehun tidak menghisap darah Suho setetespun. Ia menunggu seseorang yang memang ditakdirkan untuknya. Orang itu adalah kau, Luhan. Sehun membutuhkanmu untuk bisa bertahan hidup.”
“Bagaimana denganmu, Luhan? Apakah kau benar-benar tidak membutuhkan Sehun? Apakah kau akan baik-baik saja tanpanya?”
“Pikirkanlah itu baik-baik. Aku tahu kau akan membuat keputusan yang bijak.”
Wanita tua itu pun pergi meninggalkan Luhan sendiri.
...
...
...
Apakah kau benar-benar tidak membutuhkan Sehun? Apakah kau akan baik-baik saja tanpanya?
Luhan tertegun.
Tidak. Luhan tidak akan baik-baik saja tanpa Sehun. Ia membutuhkan Sehun dalam hidupnya. Karena hanya bersama Sehun, ia merasakan bahagia.
Luhan berlari cepat menuju asrama. Ia berlari seperti tidak akan ada hari esok jika ia terlambat sedikit saja.
Luhan membuka pintu kamarnya.
Sehun bersandar di dinding dengan mata yang sayu.
Luhan segera menghampiri Sehun. Tubuh Sehun sedingin es. Bibirnya pucat dan wajahnya tertunduk lesu.
“Sehunna... Maafkan aku. Maafkan aku.” Luhan tidak dapat menahan air matanya yang terjun bebas.
Mata Sehun sedikit melebar, “Kau...kembali.” Sehun tersenyum.
“Maafkan aku, Sehun.” Entah sudah berapa kali Luhan mengucapkan kalimat yang sama. Sehun menarik Luhan ke dalam pelukannya dan memeluknya erat.
“Kau tidak salah, Luhan. Aku memang tidak bisa hidup tanpamu. Tapi, bukan itu alasanku ingin tetap bersamamu. Aku menyukaimu. Aku menyayangimu lebih dari nyawaku, Luhan. Maafkan aku.”
Air mata Luhan tak berhenti mengalir.
Luhan meraih cutter dari meja di dekatnya lalu menyayat pergelangan tangannya sendiri.
Darah segar mengucur dari pergelangan tangan Luhan. Luhan memberikan darahnya pada Sehun. Sehun meneguknya pelan. Perlahan tubuh Sehun kembali seperti sedia kala.
“Gumawo, Luhannie.”
Sehun mencium bibir Luhan dengan mata yang terpejam, mengalirkan cairan hangat yang menyembuhkan luka sayat di pergelangan tangan Luhan dengan cepat.
...
...
...
Seperti putri tidur yang membutuhkan seorang pangeran untuk membangunkannya, Sehun membutuhkan seorang Luhan untuk menghidupkannya.
No comments:
Post a Comment