Dina sadar posisinya saat ini. Radit hanya menganggapnya sebagai seorang adik. Memang terasa pahit baginya untuk menerima kenyataan ini. Tampaknya Radit bukan tipe pemuda yang bisa berubah dengan mudahnya. Tapi ia tidak mau menyerah. Selama janur kuning belum melengkung, ia akan berusaha untuk mendapatkan Radit. Dengan semangat membara, Dina bertekad untuk mendapatkan Radit. Meski ia tidak yakin sampai kapan semangat itu dapat bertahan.
Radit menatap layar komputernya. Dalam alamat tujuan surelnya sudah tertulis nama Arlin. Namun, ia bingung bagaimana harus memulainya. Akhinya, Radit menekan beberapa huruf pada keyboardnya.
Di belahan bumi yang lain, Arlin menyeruput secangkir cappucino sambil menatap layar komputernya. Tak ada kegiatan berarti yang ia lakukan pada komputernya itu. Hanya memeriksa tugas-tugas mahasiswa yang dikirim lewat emailnya. Namun, sebuah email yang baru masuk sukses membuatnya mencurahkan seluruh perhatiannya pada komputer itu. Sebuah email dari Radit.
Arlin...
Arlin mengerutkan keningnya. Hanya Arlin. Tidak seperti biasanya. Arlin mulai mencerna makna dibalik tulisan namanya sendiri itu. Tampaknya telah terjadi sesuatu pada Radit. Baru saja Arlin ingin membalas email itu, sebuah email baru masuk. Masih dari Radit.
Sepertinya aku merindukanmu, Arlin. Aku baru menyadarinya. Sungguh sulit untuk bertahan di sini tanpa tahu kabarmu.
Apa kau membaca email-ku? Aku juga tak tahu. Kau tak pernah membalas email-ku. Menurutku, aku akan senang jika kau membalas email-ku meski hanya sebuah ungkapan selamat malam.
Aku bertemu seorang teman. Namanya Dina. Dia juniorku di kampus. Dia sangat ceria. Mungkin lebih tepatnya berisik. Tapi anehnya, aku merasa ingin melindunginya. Perlindungan yang sama yang ingin kuberikan padamu. Aku sempat bingung dengan perasaan itu. Tapi sekarang aku yakin, aku hanya ingin melindunginya seperti seorang kakak. Berbeda denganmu. Aku ingin melindungimu sebagai seorang pria. Aku harap kau mengerti hal itu.
Maaf. Aku telah melakukan kesalahan karena kebimbanganku. Tapi sungguh aku masih menyukaimu, Arlin. Dan aku akan menjaga perasaanku sampai saat dimana kita akan bertemu lagi.
Arlin terdiam memaknai kata demi kata surel Radit. Ia pun mengerti alasan Radit tidak mengirim surel beberapa hari terakhir ini. Harusnya ia sudah bisa menduganya. Namun, ia tak menyangka rasanya akan sepahit ini. Ia mulai merasa takut. Ia takut kehilangan Radit. Tanpa ia sadari, air matanya menetes satu per satu.
***
Arlin berlari menuju wastafel kamar mandinya kemudian membasuh hidungnya pelan. Tetesan air berwarna merah menetes dari hidungnya. Ini bukan pertama kalinya, ia sudah mengalami ini selama tiga bulan terakhir. Tapi ia hanya menganggap hal itu hanya mimisan biasa, mungkin karena lelah. Hari ini ia di rumah saja. Tak ada kerja. Tak ada perasaan lelah. Arlin mulai berpikir untuk memeriksakan kesehatannya ke dokter.
Arlin keluar dari ruang periksa dokter penyakit dalam lalu berjalan pelan menuju pintu keluar. Namun belum sampai di ambang pintu, Arlin terduduk lemas. Ia tak kuat memopang kakinya setelah mengetahui kenyataan yang diucapkan dokter barusan. Kanker. Arlin tidak percaya ia menderita penyakit itu. Sebenarnya, ia tak mau percaya. Ia tidak mungkin menderita kanker. Kalau itu benar, bagaimana ia akan menjalani hidupnya sekarang saat ia tahu umurnya sudah tidak lama lagi? Apa yang akan terjadi padanya? Apa yang akan ia lakukan dalam hidupnya yang singkat itu?
Arlin menangis sepuasnya. Ia mencoba menghilangkan segala ketakutannya dengan harapan bahwa segala hal akan berubah setelah air matanya habis. Tetapi selama apapun ia menangis, kenyataan itu tetap menghantuinya. Ia tak mengerti mengapa harus dirinya yang mengalami hal ini. Dari sekian banyak kesulitan yang telah ia alami, mengapa harus ia yang menderita hingga di akhir hidupnya kelak? Mengapa takdir hidupnya sangat menyedihkan? Padahal ia sangat mendambakan akhir yang bahagia dalam kehidupannya yang singkat ini. Arlin tidak tahu harus berbuat apa. Akal sehatnya terlalu lemah untuk mencerna kenyataan pahit ini. Mungkin, ia harus pasrah.
***
Dina berdiri di depan pintu apartemen Radit sambil menjinjing sebuah tas laptop. Setelah mengetuk pintu beberapa kali, pintu pun terbuka. “Selamat sore, kak!” seru Dina. “Sore. Ada apa Din?” tanya Radit sambil mengeringkan rambutnya yang masih setengah basah dengan handuk kecil yang menggantung di pundaknya. Dina sempat terpaku sejenak mengagumi ketampanan pemuda di depannya itu. “ Dina?” Dina pun sadar. “Oh, itu kak, aku perlu bantuan kakak untuk tugas kuliahku. Apa kak Radit sibuk?” Radit menggeleng pelan. “Tidak. Masuklah,” ujar Radit. Dina pun memasuki apartemen Radit dan meletakkan laptopnya di atas meja, di samping laptop biru milik Radit. Dina lalu menjelaskan tugas yang harus ia selesaikan besok itu. Radit pun mengerti. Ia mencari file-file di laptopnya yang mungkin bisa menambah bahan referensi tugas Dina. Handphone Radit berdering. “Tunggu sebentar ya,” ujar Radit lalu berjalan menjauh untuk mengangkat teleponnya.
Dina terdiam sejenak. Matanya terus mengintai layar laptop milik Radit. Pasti ada sesuatu tentang gadis yang dicintai Radit di sana, pikirnya. Tangannya pun bergerak mencari. Jendela email yang belum tertutup membuatnya penasaran. Dengan hati-hati Dina membukanya, puluhan email untuk nama yang sama, Arlin. Dina membaca email tersebut. Ia dapat mengetahui betapa perhatiannya Radit pada perempuan bernama Arlin itu. Dina menggigit bibir bawahnya, cemburu.
Dua jam berlalu. Dina menghela nafas lega saat tugas kuliahnya telah selesai ia kerjakan. Radit memang tidak berada di sana. Tadi ia berpamitan ingin keluar sebentar. Alhasil, Dina memanfaatkan hal itu untuk mengelilingi apartemen Radit sambil memperhatikan benda-benda yang memenuhi apartemen tersebut. Dina pun berjalan menuju dapur. Ia mengambil segelas air minum dan meneguknya untuk menghilangkan dahaga. Namun, tanpa sengaja ia menjatuhkan sebotol air saat ingin menaruh gelasnya kembali. Baju yang dikenakan Dina pun basah. Ia melihat sebuah switer tergantung di depan. Dina pun memakai switer tersebut tanpa pikir panjang. Radit pasti akan meminjamkan switer itu jika ia memintanya, pikir Dina.
Tak lama kemudian bel apartemen Radit berbunyi. Dina segera menuju pintu dan membukanya. Seorang wanita yang mengenakan mantel hijau tua berdiri tepat di depannya. “Benar ini apartemen Raditya Anggara?,” tanya wanita itu. Tampak ia berusaha menutupi rasa terkejutnya dengan bertanya untuk memastikan. “Benar ini apartemen Raditya Anggara. Ada apa?” tanya Dina ramah. Wanita itu tak menjawab. Ia terdiam membisu. Dalam hatinya ia tak ingin percaya pada apa yang dilihatnya kini. Seorang gadis tinggal di apartemen yang sama dengan Radit. Belum lagi, gadis itu kini mengenakan pakaian Radit. Ia sudah bisa membayangkan sedekat apa hubungan keduanya.
“Kak Radit sedang keluar, mungkin sebentar lagi tiba. Anda mau menunggunya di dalam?” tanya Dina setelah tak ada respon dari wanita itu. Wanita itu menggeleng pelan. “Tidak, terima kasih,” ucapnya lalu beranjak pergi.
***
“Tidak, terima kasih,” ucap Arlin pada gadis yang berdiri di depannya itu. Tampak gadis itu melihatnya bingung. “Tunggu,” gadis itu menahan Arlin. “Anda, siapa?” tanyanya. Arlin tidak menjawab. “Anda bisa memberitahukan nama Anda agar nanti kalau kak Radit sudah pulang, aku bisa menyampaikan kalau Anda mencarinya,” jelas gadis itu. Arlin berpikir sejenak. Mungkin lebih baik jika ia tidak menyebutkan namanya. “Tidak perlu. Jangan mengatakan apapun padanya,” kata Arlin lalu melangkah pergi. Arlin memasuki lift pada saat bersamaan Radit baru keluar dari lift yang satunya. “Kak Radit!” panggil Dina. “Ada apa?” tanya Radit. “Tadi... Aa..tidak apa-apa. Hanya saja aku minta maaf karena sudah memakai baju kak Radit tanpa izin. Tadi tanpa sengaja aku menumpahkan air..” ujar Dina. Sebenarnya ia ingin mengatakan kalau ada seorang wanita yang mencarinya tapi ia ingat wanita itu melarangnya untuk mengatakannya. Radit tersenyum, “Kau sangat ceroboh. Sudahlah, tidak apa-apa,” kata Radit. Dina mencoba tersenyum kaku sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
***
Arlin menghembuskan nafas panjang. Ia sendiri tak tahu tujuannya datang ke negeri asing ini. Awalnya ia berharap bisa bertemu Radit, mengatakan terus terang tentang perasaannya sehingga ia bisa tenang menanti ajal menjemputnya. Tetapi ia tak berani mengatakan hal itu karena mungkin saat ini Radit sudah berubah pikiran. Tidak menyukai Arlin lagi. Harusnya ia senang. Bukankah hal itu yang diinginkannya sejak awal? Agar Radit mencari wanita lain dan hidup bahagia dengan wanita tersebut. Tetapi entah mengapa hatinya merasa tidak rela. Ia tidak mau Radit berpaling darinya. Ia ingin Radit tahu perasaannya yang sebenarnya. Walaupun akhirnya ia harus bersikap egois.
“Apakah aku terlalu egois karena menginginkan kebahagiaan?” keluh Arlin sambil menghela nafas berat. Sudah tiga hari ia berada di kamar hotel tanpa sedetik pun berniat untuk keluar. Ia lebih banyak merenung akan tindakan apa yang akan diambilnya kini. Apakah ia harus pulang ke Indonesia tanpa memberitahu Radit? Ia bimbang. Sesungguhnya, saat ini ia sangat ingin bertemu Radit.
Arlin beranjak dari depan cermin lalu mengenakan mantel merah tua yang ada di dekatnya. Ia pun berjalan keluar kamar hotel. Ia telah memutuskan untuk pergi menemui Radit. Ia tidak bisa menahan dirinya sendiri untuk tidak melakukannya. Walaupun ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan nanti.
***
“Iya, aku tahu... tidak seharusnya aku menjadi begitu egois. Tapi aku tak pernah berpikir akan menemui pria yang lebih baik daripada dia. Eh, nanti saja aku telepon lagi ya. Bye!” Dina menutup handphonenya. Ia pun turun dari bus setelah bus itu berhenti di halte depan gedung apartemennya. Dina berjalan memasuki lift. Pada waktu yang hampir bersamaan, Arlin pun memasuki lift. Dina terkejut melihatnya, “Siang,” ucapnya kemudian. “Anda masih ingat saya?” tanya Dina. Arlin tersenyum tipis. Tidak mungkin ia lupa. “Aku minta maaf karena tidak memperkenalkan diri sebelumnya. Namaku Dina, teman kak Radit. Senang bertemu dengan Anda,” Dina mengulurkan tangannya. Arlin terdiam sesaat. Ia memperhatikan gadis itu dengan seksama. Rupanya gadis ini yang pernah Radit ceritakan, batinnya. Arlin tertegun melihat kecantikan gadis itu. Ia yakin tak ada seorangpun pria normal yang bisa menolaknya, termasuk Radit.
“Senang bertemu denganmu,” balas Arlin sambil menyambut jabatan tangan Dina. Dina tersenyum simpul. “Apa Anda ingin bertemu K’Radit?” tanya Dina. “Iya. Dia ada kan?” tanya Arlin kembali. Dina sedikit heran dengan pertanyaan itu. Bagaimana ia bisa tahu Radit ada atau tidak? Mereka kan’ tidak tinggal di apartemen yang sama?
“Aku kurang tahu juga karena baru pulang kuliah. Tapi aku bisa kok mengantar Anda ke tempat K’ Radit,” kata Dina. Arlin mengangguk menyetujui. Mereka pun keluar dari lift dan berjalan menuju apartemen Radit. Sementara Radit yang baru saja ingin pergi terkejut melihat Arlin yang datang bersama Dina. Tubuhnya berdiri terpaku seakan tidak percaya akan pemandangan di hadapannya kini. Benarkah itu Arlin? Benarkah Arlin sekarang berada tepat di hadapannya?
“Arlin...” satu kata yang keluar dari mulut Radit mengejutkan Dina. Dina pun menoleh untuk melihat dengan seksama wanita yang diantarnya itu. Ia baru tahu kalau wanita itu bernama Arlin. Sementara Arlin hanya bisa tersenyum memandang wajah Radit. Radit pun tersenyum lalu berjalan menghampiri Arlin dan memeluknya.
***
No comments:
Post a Comment