Luhan ingin menyembuhkan dirinya sendiri.
Luhan baru pulang tepat pukul 10 malam. Ia memasuki kamarnya dengan berusaha keras untuk tidak membangunkan Sehun yang sudah terlelap.
Seperti biasa, Luhan habis di-bully lagi.
Kali ini oleh orang tak dikenal yang menghadangnya di jalan.
Lukanya lebih parah dari sebelumnya. Luka lebam di seluruh tubuh dan patah di lengan kanan.
Luhan tahu ia seharusnya ke dokter, tapi untuk apa jika Sehun bisa menyembuhkannya dalam semalam?
Dengan hati-hati, Luhan mendekati Sehun yang tertidur di tempat tidurnya.
Luhan pun duduk di tepi tempat tidur dan mendekatkan wajahnya ke Sehun.
Bibirnya pun menyentuh bibir Sehun dengan sangat lembut.
Tiba-tiba Sehun membuka matanya, membuat Luhan kaget dan segera menjauh. Tetapi Sehun menariknya dan membuatnya tertidur di tempat tidur lalu menindihnya.
Tidak sepenuhnya menindih, Sehun menahan beban tubuhnya dengan kedua tangannya.
“Apa yang kau lakukan? Mencoba menyembuhkan diri sendiri tanpa seizinku?”
Sehun menatap Luhan tajam membuat nyali Luhan menciut.
“Aku.. .” Luhan tak bisa berkata-kata.
“Aku apa? Benar kan’ yang kukatakan?”
Luhan mengerjapkan matanya berkali-kali. Apa wajahnya begitu mudah ditebak?
“Ya, kau benar.” Luhan menyerah.
Sehun tersenyum lalu mulai meraba tubuh Luhan mulai dari dada hingga perut.
“Ya! Sakit Sehun!! Apa yang kau lakukan? Cepat sembuhkan aku.” Luhan meringis kesakitan saat tangan Sehun mengunci kedua pergelangan tangannya.
“Ada tulangku yang patah di situ, tahu!” Luhan masih menahan rasa sakitnya.
Tetapi Sehun tak juga menyembuhkannya. Entah mengapa melihat Luhan tersiksa seperti itu menjadi hiburan tersendiri baginya.
“Sehun…” Luhan tak tahan lagi, rasa sakitnya sudah sampai di ubun-ubun. Kedua matanya terpejam dengan bibir yang mengerucut.
Lucu. Sehun tersenyum.
“Cepat, Sehunna…” Bulir-bulir air mata mulai keluar dari kedua pelupuk mata Luhan.
Tak tega juga ia melihatnya.
Tanpa menunggu lagi, Sehun pun mendaratkan ciumannya ke bibir Luhan.
Mencium, melesap, dan melumat bibir mungil Luhan dengan lembut.
Tentu itu bukan bagian dari penyembuhan yang dimaksud Luhan. Sehun hanya menikmati bibir yang semanis buah apel itu lalu melepaskannya.
Luhan mulai kesal. Lukanya belum sembuh.
“Sudahlah kalau kau tidak mau menyembuhkanku. Aku akan pergi ke dokter.”
Luhan mendorong tubuh Sehun lalu berusaha bangkit. Namun, Sehun kembali mengunci pergerakannya.
“Maaf, maaf. Kau sama sekali tidak bisa diajak bercanda. Baiklah, akan kulakukan sekarang.”
Sehun pun kembali mencium bibir Luhan, menghisap, dan melumatnya seperti marshmallow. Luhan baru akan memberontak lagi tetapi ia mengurungkan niatnya saat lidah Sehun perlahan mulai masuk ke dalam mulutnya, mengalirkan cairan hangat yang terasa manis ke dalam tubuhnya.
Luka Luhan berangsur-angsur sembuh.
Butuh waktu yang lama untuk proses penyembuhan itu karena luka yang lebih parah dari yang biasanya. Tetapi bukan itu yang membuat pertautan bibir keduanya tak juga terlepas. Melainkan karena Sehun tak juga melepaskan Luhan walaupun seluruh luka Luhan sudah menghilang.
Karena mencium Luhan sudah menjadi candu bagi Sehun.
Sungguh Luhan akan mati kehabisan nafas jika ia tak pandai mencuri oksigen di sela-sela ciuman mereka.
Sehun melepaskan ciuman mereka dan menyeka saliva yang masih tertinggal di bibir Luhan dengan ibu jarinya.
“Gumawo.”
Luhan pun mencoba bangun namun Sehun tak membiarkannya bangun begitu saja.
“Apa?” tanya Luhan bingung.
“Kau tahu kan’ tidak ada yang gratis di dunia ini.”
Sehun membuka kancing kemeja Luhan satu persatu membuat Luhan tersadar akan apa yang akan Sehun lakukan.
Sehun akan meminum darahnya.
Tetapi tidak, Sehun tidak menggigit lehernya secepat itu.
Sehun mencium, menjilat, dan melesap leher Luhan seperti permen membuat tubuh Luhan memanas dalam sekejap.
“Ya. Sehun…” Luhan bisa merasakan ciuman Sehun perlahan melemaskan seluruh sendi tubuhnya.
“Akh…” Taring tajam Sehun merobek kulit leher Luhan dalam hitungan detik darah segar mengalir masuk ke dalam tubuh Sehun.
Tanpa banyak kata, Sehun menikmati makan malamnya itu.
“Gumawo.”
Sehun tersenyum lalu memeluk Luhan erat.
Malam ini, Luhan tertidur lelap di samping Sehun.
…
…
…
Seperti biasa, Luhan habis di-bully lagi.
Kali ini oleh orang tak dikenal yang menghadangnya di jalan.
Lukanya lebih parah dari sebelumnya. Luka lebam di seluruh tubuh dan patah di lengan kanan.
Luhan tahu ia seharusnya ke dokter, tapi untuk apa jika Sehun bisa menyembuhkannya dalam semalam?
Dengan hati-hati, Luhan mendekati Sehun yang tertidur di tempat tidurnya.
Luhan pun duduk di tepi tempat tidur dan mendekatkan wajahnya ke Sehun.
Bibirnya pun menyentuh bibir Sehun dengan sangat lembut.
Tiba-tiba Sehun membuka matanya, membuat Luhan kaget dan segera menjauh. Tetapi Sehun menariknya dan membuatnya tertidur di tempat tidur lalu menindihnya.
Tidak sepenuhnya menindih, Sehun menahan beban tubuhnya dengan kedua tangannya.
“Apa yang kau lakukan? Mencoba menyembuhkan diri sendiri tanpa seizinku?”
Sehun menatap Luhan tajam membuat nyali Luhan menciut.
“Aku.. .” Luhan tak bisa berkata-kata.
“Aku apa? Benar kan’ yang kukatakan?”
Luhan mengerjapkan matanya berkali-kali. Apa wajahnya begitu mudah ditebak?
“Ya, kau benar.” Luhan menyerah.
Sehun tersenyum lalu mulai meraba tubuh Luhan mulai dari dada hingga perut.
“Ya! Sakit Sehun!! Apa yang kau lakukan? Cepat sembuhkan aku.” Luhan meringis kesakitan saat tangan Sehun mengunci kedua pergelangan tangannya.
“Ada tulangku yang patah di situ, tahu!” Luhan masih menahan rasa sakitnya.
Tetapi Sehun tak juga menyembuhkannya. Entah mengapa melihat Luhan tersiksa seperti itu menjadi hiburan tersendiri baginya.
“Sehun…” Luhan tak tahan lagi, rasa sakitnya sudah sampai di ubun-ubun. Kedua matanya terpejam dengan bibir yang mengerucut.
Lucu. Sehun tersenyum.
“Cepat, Sehunna…” Bulir-bulir air mata mulai keluar dari kedua pelupuk mata Luhan.
Tak tega juga ia melihatnya.
Tanpa menunggu lagi, Sehun pun mendaratkan ciumannya ke bibir Luhan.
Mencium, melesap, dan melumat bibir mungil Luhan dengan lembut.
Tentu itu bukan bagian dari penyembuhan yang dimaksud Luhan. Sehun hanya menikmati bibir yang semanis buah apel itu lalu melepaskannya.
Luhan mulai kesal. Lukanya belum sembuh.
“Sudahlah kalau kau tidak mau menyembuhkanku. Aku akan pergi ke dokter.”
Luhan mendorong tubuh Sehun lalu berusaha bangkit. Namun, Sehun kembali mengunci pergerakannya.
“Maaf, maaf. Kau sama sekali tidak bisa diajak bercanda. Baiklah, akan kulakukan sekarang.”
Sehun pun kembali mencium bibir Luhan, menghisap, dan melumatnya seperti marshmallow. Luhan baru akan memberontak lagi tetapi ia mengurungkan niatnya saat lidah Sehun perlahan mulai masuk ke dalam mulutnya, mengalirkan cairan hangat yang terasa manis ke dalam tubuhnya.
Luka Luhan berangsur-angsur sembuh.
Butuh waktu yang lama untuk proses penyembuhan itu karena luka yang lebih parah dari yang biasanya. Tetapi bukan itu yang membuat pertautan bibir keduanya tak juga terlepas. Melainkan karena Sehun tak juga melepaskan Luhan walaupun seluruh luka Luhan sudah menghilang.
Karena mencium Luhan sudah menjadi candu bagi Sehun.
Sungguh Luhan akan mati kehabisan nafas jika ia tak pandai mencuri oksigen di sela-sela ciuman mereka.
Sehun melepaskan ciuman mereka dan menyeka saliva yang masih tertinggal di bibir Luhan dengan ibu jarinya.
“Gumawo.”
Luhan pun mencoba bangun namun Sehun tak membiarkannya bangun begitu saja.
“Apa?” tanya Luhan bingung.
“Kau tahu kan’ tidak ada yang gratis di dunia ini.”
Sehun membuka kancing kemeja Luhan satu persatu membuat Luhan tersadar akan apa yang akan Sehun lakukan.
Sehun akan meminum darahnya.
Tetapi tidak, Sehun tidak menggigit lehernya secepat itu.
Sehun mencium, menjilat, dan melesap leher Luhan seperti permen membuat tubuh Luhan memanas dalam sekejap.
“Ya. Sehun…” Luhan bisa merasakan ciuman Sehun perlahan melemaskan seluruh sendi tubuhnya.
“Akh…” Taring tajam Sehun merobek kulit leher Luhan dalam hitungan detik darah segar mengalir masuk ke dalam tubuh Sehun.
Tanpa banyak kata, Sehun menikmati makan malamnya itu.
“Gumawo.”
Sehun tersenyum lalu memeluk Luhan erat.
Malam ini, Luhan tertidur lelap di samping Sehun.
…
…
…
No comments:
Post a Comment