Dina berjalan kembali ke apartemennya dengan setumpuk pertanyaan di benaknya. Walaupun Radit sudah mengenalkan Arlin padanya, Dina masih tak mengerti alasan Radit menyukai wanita itu. Dina bisa melihat kalau Arlin lebih tua dari Radit. Apa Radit tipe cowok yang menyukai wanita yang lebih tua? Tanyanya dalam hati. Sejujurnya, Dina merasa dirinya lebih pantas bersama Radit. Tetapi ia pun tak bisa memaksakan kehendaknya kepada Radit.
***
Arlin dan Radit duduk berhadapan di dalam sebuah kafe. Mereka mengambil tempat duduk di dekat jendela sehingga masih bisa melihat orang yang lalu lalang. Seorang pelayan berambut pirang datang membawa pesanan mereka, dua cangkir cappucinno. “Thank you,” ucap Radit pada pelayan tersebut. Pelayan itu pun pergi. Radit mengalihkan pandangannya pada wanita yang saat ini duduk di hadapannya. Radit masih tidak percaya kalau wanita itu adalah Arlin. Ia tidak percaya Arlin datang untuk menemuinya.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Arlin. Kedua tangannya memegang cangkir cappucinno yang masih panas untuk menghangatkan tubuhnya. Radit tersenyum, “Baik. Bahkan sangat baik setelah bertemu denganmu. Bagaimana denganmu?” tanya Radit balik. Arlin tersenyum simpul, “Aku baik-baik saja. Hmm.. Kau pasti terkejut melihatku di sini...”
“Ya.. sedikit. Tapi ini seperti kejutan yang menggembirakan. Trima kasih sudah datang.” kata Radit. Rasa bahagianya itu tampak jelas dari wajahnya. Arlin kembali tersenyum. “Kau masih tidak berubah. Oh ya, bagaimana kuliahmu?” tanya Arlin. “Kuliahku berjalan lancar. Enam bulan lagi akan wisuda. Setelah itu, aku akan kembali ke Indonesia,” jawab Radit. Enam bulan? Entah mengapa waktu enam bulan itu terasa sangat lama bagi Arlin. Apakah ia masih bisa bertemu dengan Radit nanti? Bagaimana kalau sebelum Radit pulang, ia sudah tidak ada di dunia ini? Memikirkannya saja membuat Arlin takut.
“Arlin?” Radit menyadarkan Arlin dari lamunannya. “Sebenarnya aku bertanya-tanya, kenapa kau datang menemuiku?” tanya Radit sambil meneguk minumannya. “Aku...” Arlin tidak tahu harus menjawab apa. Ia sangat ingin mengungkapkan perasaannya saat ini. Tetapi ia tidak bisa. Ia tidak mau memberikan harapan pada Radit setelah tahu hidupnya tidak lama lagi. Ia tahu Radit akan menderita. Ia tidak mau Radit menderita. Tetapi jika ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Radit, ia ingin mengatakan yang sejujurnya.
“Tidak ada alasan khusus, aku hanya mengunjungi keluargaku yang tinggal di sini. Kebetulan rumahnya di dekat sini. Jadi aku sekalian menemuimu,” kata Arlin. Ya, ia memang mengunjungi paman dan bibinya. Tetapi hal itu tentu bukan tujuan utamanya.
“Ooh..” Radit tampak kecewa. Itu bukan jawaban yang ia harapkan. Ia berharap Arlin memang datang untuk menemuinya. Ia berharap Arlin datang karena merindukannya, seperti ia merindukan Arlin. Tetapi ia tahu Arlin bukan orang yang bisa mengatakan hal seperti itu.
Arlin menghela nafas, sungguh berat rasanya untuk menutupi perasaannya itu. Apalagi ia tahu Radit kecewa mendengar alasan kedatangannya. “Dina, gadis yang sangat cantik. Aku bisa mengerti kenapa perasaanmu pernah bimbang karenanya,” kata Arlin mencoba mengalihkan pembicaraan. Radit terkejut mendengarnya. “Dia memang cantik. Tetapi aku hanya menganggapnya adik,” jelas Radit. “Benarkah? Sayang sekali. Padahal sebenarnya kalian sangat serasi. Aku juga bisa melihat kalau dia tidak menganggapmu sebagai kakak. Dia menyukaimu,” kata Arlin. “Kenapa kau berkata seperti itu?” tanya Radit tidak mengerti. Arlin tersenyum tipis. “Aku minta maaf, Radit. Aku hanya merasa kau pantas mendapatkan yang lebih baik dariku. Lagipula, aku tahu dia gadis yang baik. Kau akan bahagia bersamanya,”
“Hentikan. Kau sudah keterlaluan. Bagaimana kau bisa menjodohkan aku dengannya padahal kau tahu aku hanya menyukaimu? Kalau kau terus membahasnya, lebih baik aku pergi saja,” Radit mengeluarkan dua lembar uang dollar dari dompetnya dan menaruhnya di meja lalu beranjak pergi. Arlin hanya bisa memandangi punggung Radit yang berjalan menjauh sambil menghela nafas panjang.
***
Keesokan harinya, Dina baru akan pergi ke swalayan saat ia bertemu Arlin di depan pintu utama gedung apartemen. “Selamat pagi,” sapa Arlin. Dina pun tersenyum, “Pagi, Anda pasti ingin bertemu kak Radit. Aku tidak tahu dia sudah pergi atau belum karena tidak menemuinya dari kemarin” kata Dina. “Aku bukan datang mencarinya, tapi kamu. Apa kau ada waktu? Mungkin kita bisa mengobrol sebentar,” ajak Arlin. Dina sedikti terkejut tapi ia mengangguk menyetujuinya.
Dina hanya terdiam menunggu Arlin bicara. Seorang pelayan datang membawa pesanan mereka, dua cangkir kopi dan cheesecake. Setelah mengucapkan terima kasih, Arlin pun memulai pembicaraan. Ia menceritakan tentang dirinya dan awal pertemuannya dengan Radit. Ia menceritakan bagaimana Radit menyukainya sejak Radit masih kecil. Ia pun menceritakan kegagalan rumah tangganya dahulu dan bagaimana Radit berusaha keras untuk menyembuhkan lukanya. Ia menceritakan semua hal tentang dirinya dan Radit.
Dina masih tidak mengerti alasan Arlin menceritakan semua itu. Tetapi ia hanya bisa mendengarkan Arlin selesai bicara. “Maaf, aku membuatmu harus mendengarkan ceritaku. Aku tahu kau menyukai Radit,” ucap Arlin kemudian. Dina terkejut, “Aku, tidak..”
“Tidak apa-apa. Aku tidak berhak menghentikan perasaanmu padanya. Apalagi Radit memang pemuda yang sangat baik. Kalian tampak sangat serasi bersama,” ujar Arlin. Dina menggigit bibir bawahnya, “Tapi kak Radit tidak menyukaiku. Dia hanya menyukai Anda,” kata Dina. Arlin tersenyum, “Karena itulah kau harus berusaha membuatnya menyukaimu. Aku yakin suatu saat dia akan menyukaimu,”
Dina tersenyum, “Trima kasih. Tapi, mengapa Anda mengatakan hal itu? Apa Anda tidak menyukai kak Radit?” tanya Dina. Arlin menghela nafas, “Aku menyukainya. Sangat suka. Tapi aku tidak bisa mengatakan hal itu padanya.”
“Kenapa?” tanya Dina heran. “Padahal kalau Anda mengatakannya, dia pasti sangat bahagia. Dan kalian akan hidup bahagia selamanya.” Arlin memandang Dina sambil tersenyum, “Itu hal yang tidak mungkin. Aku menderita kanker dan hidupku tak akan lama lagi. Aku tidak ingin memberinya harapan. Ia akan lebih menderita jika tahu hidupku tak lama lagi,”
Dina terkejut bukan main. Sungguh ia berharap Arlin hanya bercanda. Tetapi ia tahu Arlin sedang tidak bercanda.
“Saat aku pergi nanti, aku harap kau bisa menemaninya. Kuharap kau bisa selalu berada di sisinya dan menyembuhkan lukanya...”
Dina hanya terdiam membisu menatap Arlin.
***
Hari ini Arlin akan kembali ke Indonesia. Tak ada lagi alasan baginya untuk berada di tempat itu. Apalagi setelah bertemu Radit tempo hari, ia tak pernah menemui Radit lagi. Ia yakin Radit sudah tak ingin menemuinya lagi.
Di tempat lain, Radit sedang bersiap-siap untuk pergi kuliah saat bel apartemennya berbunyi. Radit pun membuka pintu apartemennya. “Oh, kamu Na. Ada apa?” tanyanya. Dina merasa berat untuk berbicara. Ia tahu hari ini Arlin pulang ke Indonesia dan mungkin inilah kesempatan terakhir bagi Radit untuk bertemu Arlin. Tetapi hatinya masih berat untuk membiarkan hal itu terjadi karena itu sama saja dengan merelakan Radit bersama Arlin.
“Hei, kok malah melamun? Kau mau ke kampus bareng?” tanya Radit lagi. Dina mengangguk pelan. Mereka pun berjalan menuju lift.
“Kak Radit...” Dina mulai berbicara saat mereka berada di dalam lift. “Hmm?” Radit mendengarkan. Dina menghela nafas panjang.
“Kemarin aku ketemu kak Arlin.” Ucap Dina. Radit terkejut tetapi ia menunggu Dina selesai berbicara.
“Sebenarnya kak Arlin pernah datang sebelum hari itu. Tapi dia tidak sempat ketemu kak Radit. Sepertinya kak Arlin datang hanya untuk bertemu denganmu.”
“Tidak, Na. Dia sudah bilang tujuan kedatangan padaku hari itu untuk mengunjungi keluarganya.”
“Bukan, kak. Kak Arlin berbohong karena dia tidak mau merepotkanmu. Kemarin kak Arlin sendiri yang bilang padaku kalau sebenarnya dia sangat menyukaimu. Tapi dia tidak bisa mengatakannya.” Jelas Dina. Radit terkejut mendengarnya. Sejujurnya ia berharap ucapan Dina itu benar.
“Hari ini kak Arlin balik ke Indonesia. Lebih baik kak Radit cepat menyusul dia ke bandara kalau kak Radit ingin mendengarkan hal ini dari mulutnya sendiri.” Ujar Dina. Radit mengangguk menyetujuinya. “Baiklah. Sekarang aku akan pergi ke bandara. Trima kasih Dina.” Kata Radit sambil tersenyum dan berlalu pergi. Dina mengangguk sambil tersenyum tipis. Ia berusaha keras menahan air matanya saat melihat punggung Radit yang mulai berlari menjauh. Ia berharap sosok itu masih akan kembali lagi nanti.
***
No comments:
Post a Comment