Gadis itu berjalan pelan melalui jalanan yang sudah berwarna putih karena tertutup salju. Rambutnya hitam dan panjang bergelombang ia biarkan terurai, hanya topi rajutan berwarna merah yang menghias kepalanya. Ia mengenakan mantel hitam dan syal merah, namun semua itu masih membuatnya kedinginan. Ia memang masih belum terbiasa dengan suhu di Amerika yang menurutnya terlalu dingin. Ia merasa rindu dengan kampung halamannya, Indonesia.
Gadis itu menunggu di halte bus. Ia merasa harus pulang sekarang. Tak lama kemudian, sebuah bus dua tingkat berhenti tepat di depannya. Ia menaiki bus itu disusul beberapa orang di belakang. Sebelum masuk, penumpang diharuskan menggesek kartu tanda bus berlangganan sebagai ongkos. Gadis itu merogoh tas kecil yang dibawanya. Matanya membulat saat menyadari bahwa ia lupa membawa dompet. Padahal kartu busnya ada di dalam dompetnya. Ia pun jadi panik. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan sementara orang-orang yang menunggu di belakangnya sudah mendesaknya untuk lebih cepat. “Masuk saja,” ujar seorang pemuda yang berdiri persis di belakangnya. Pemuda itu lalu menggesek kartu miliknya untuk dua orang.
Gadis itu melirik pandang pada pemuda yang duduk di sebelahnya itu. Ia sangat ingin mengucapkan terima kasih. Apalagi ia tahu kalau pemuda itu juga berasal dari Indonesia dari kalimat yang diucapkan pemuda itu barusan. Akhirnya, gadis itu memberanikan diri untuk mengajak pemuda itu bicara.
“Terima kasih atas bantuanmu. Aku Dina. Siapa namamu?” tanya gadis bernama Dina itu dengan senyum terbaiknya sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat. Pemuda itu menoleh melihat Dina lalu menjabat tangan Dina, “Radit,” katanya singkat. Dina tersenyum senang, ia merasa bahagia jika bertemu orang Indonesia. Baru seminggu ia di Amerika, dan Radit adalah orang Indonesia pertama yang ditemuinya. Ia merasa sangat bersyukur.
“Apa kamu sudah lama di Amerika?” tanya Dina mencoba mengakrabkan diri. Radit melihat gadis itu sebentar, “ Lumayan, sudah dua tahun,” kata Radit. Sebenarnya ia sedang malas meladeni pertanyaan. Tapi binar mata gadis itu membuatnya berubah pikiran. “Wah, sudah cukup lama. Aku sendiri baru satu minggu di sini dan belum mengenal banyak orang. Memang setelah mengunjungi kampusku, aku bertemu banyak orang. Tapi tidak ada satupun yang berasal dari Indonesia. Jadi mungkin tidak ada yang bisa memahami betul perasaanku. Aku rindu berada di Indonesia,” kata Dina yang terdengar seperti curhatan di telinga Radit. Ia sendiri heran melihat gadis yang langsung curhat pada orang yang baru ditemuinya itu.
“Seminggu sampai sebulan memang terasa sulit, tapi setelah itu kau pasti bisa melaluinya,” kata Radit. “Aku juga berharap begitu. Oya, kamu kuliah di mana?” tanya Dina. “Columbia University,” jawab Radit. Senyum Dina mengembang, “Sama, aku juga kuliah di sana. Jurusan apa?” tanya Dina lagi. “Ekonomi,” jawab Radit lagi. “Wah, aku juga! Benar-benar sebuah kebetulan. Itu berarti kamu adalah seniorku. Iya kan’? Jadi seharusnya aku memanggilmu kakak. Kak Radit. Bagaimana? Kamu tidak keberatan kan?”
“Terserah kau saja,” kata Radit kemudian. Ia mulai pusing mendengar celoteh gadis yang cukup bising itu. “Oke! Aku akan memanggilmu kak Radit. Kak Radit tinggal dimana? Berapa nomor handphone kakak? Apa kakak punya facebook?” tanya Dina. Radit mengerutkan keningnya, ia merasa seperti sedang diinterogasi.
“Oh, maaf. Aku terlalu bersemangat. Kakak bisa menjawabnya satu-satu,” kata Dina saat menyadari kebingungan Radit. “Aku tinggal di flat dekat kampus” jawab Radit. “Flat dekat kampus? Apa gedungnya berwarna hijau tua?” tanya Dina. Radit mengangguk mengiyakan. “Wah, wah, wah. Aku juga tinggal di sana! Kebetulan seperti apa ya namanya? Apa bisa dibilang jodoh? Tampaknya aku akan sering bertemu kakak!” seru Dina senang. Radit bertambah pusing hanya dengan memikirkan bahwa ia akan sering bertemu dengan gadis bising itu.
***
Arlin duduk di sofa ruang tamu rumahnya. Ia menyandarkan kepalanya sejenak untuk mengurangi rasa lelahnya. Sesaat kemudian, komputer di ruang bacanya berbunyi. Sebuah e-mail baru saja masuk. Walaupun lelah, Arlin masih bersemangat menuju ruang baca. Ia tahu itu e-mail yang dikirim Radit untuknya.
Selamat siang Arlin...
Salah, malam. Di sana pasti sudah malam. Bagaimana kegiatanmu hari ini? Kau pasti lelah. Maaf aku selalu mengganggumu. Padahal kau pasti sangat sibuk.
Arlin menggeleng pelan. “ Aku senang membaca e-mail mu.” ucapnya dalam hati.
Hari ini semua urusanku berjalan lancar. Kau tahu kan’ bisnis marketing yang pernah kuceritakan padamu. Bisnis itu sudah berkembang dan mendapat laba yang lumayan. Kalau kau mau sesuatu, katakan saja padaku. Aku pasti akan membelikannya untukmu. Oke ^_^
Arlin tersenyum.
***
Radit mematikan komputernya. Senyumnya masih mengembang sehabis mengirim e-mail ke Arlin. Seperti itulah dia selama dua tahun terakhir. Walaupun Arlin tidak pernah membalas email darinya. Tapi mengabari Arlin tentang keadaannya sudah cukup untuknya.
Bel pintu flatnya berbunyi. Radit beranjak membuka pintu. Dina. Gadis yang tinggal di lantai atas gedung yang sama dengannya. “Siang, kak! Sudah makan belum? Aku habis masak, tapi kebanyakan. Gak enak juga makan sendiri. Kakak temanin aku makan yah, plis...” ujar Dina. Di tangannya sudah ia bawa rantang yang bersusun-susun. Radit merasa kasihan juga kalau menolak tawaran gadis itu. Kebetulan ia juga belum makan. Akhirnya, Radit mempersilakan Dina masuk.
Setelah duduk di meja makan, Dina memperhatikan sekeliling flat Radit. Tidak banyak barang yang dilihatnya. Sebuah lemari pakaian, tempat tidur, dan komputer. Hanya buku-buku yang ada di setiap sudut ruangan yang terlihat paling menonjol memenuhi ruangan.
“Semua kau yang masak?,” tanya Radit tidak percaya saat melihat berbagai menu Indonesia di hadapannya. “Tentu saja kak, memang siapa lagi. Di flat ini kan’ Cuma aku dan kakak yang orang Indonesia diantara dua puluh orang yang ada di gedung ini,” jelas Dina. Radit heran juga melihat gadis itu. Padahal baru dua minggu gadis itu tinggal di sini, tapi ia sudah tahu kalau orang di gedung ini berjumlah dua puluh orang dan hanya mereka yang berasal dari Indonesia. Radit menduga mungkin Dina sudah berkenalan dengan orang-orang yang tinggal di gedung ini.
“Dimakan kak, jangan diliatin doang,” kata Dina. Radit mengangguk lalu menyuap sesendok nasi dan rendang. “Bagaimana,kak?” tanya Dina, walaupun ia tahu masakannya enak. Ia hanya ingin mendengar kata itu dari mulut Radit. Radit selesai mengunyah, “Benar kau yang masak?” tanyanya lagi. Dina jadi cemberut, “Kak Radit gak percaya amat kalo aku bisa masak. Iya, benar semua ini masakanku. Suerrr!!!” seru Dina sambil menunjukkan jarinya yang membentuk huruf V. “Iya,iya percaya,” kata Radit sambil tertawa.
Dina tersenyum. Ia senang melihat Radit tertawa. Selama seminggu mengenal Radit, ia memang belum pernah melihatnya tersenyum, apalagi tertawa. Menurutnya, Radit itu orang yang dingin. Tidak mudah untuk akrab dengan orang seperti itu. Tapi ia senang, dengan melihat Radit tertawa, itu menandakan kalau Radit sudah tidak dingin terhadapnya.
“Kak Radit di Indonesia tinggal di mana?” tanya Dina. “Di Bandung, kalau kau?”
“Di Jakarta. Sama orang tua. Oya, kak Radit anak ke berapa?”
“Ke dua, dari dua bersaudara, kenapa memangnya?” tanya Radit balik.
“Oh, berarti kakak anak bungsu ya, kirain anak sulung, habis kakak keliatan dewasa,” ujar Dina tersenyum.
“Kau sendiri berapa bersaudara?” tanya Radit. Dina meneguk minumannya, “Aku anak tunggal,” jawab Dina. Radit mengangguk mengerti.
“Oya, habis ini kak Radit ada kerjaan tidak?” tanya Dina. Radit menggeleng, “Tidak. Kenapa?”
“Aku harus membeli beberapa perabot. Tapi aku belum mengenal daerah sekitar sini. Kakak mau kan’ menemaniku belanja? Plis...,” pinta Dina dengan matanya yang berbinar. “Hmm..baiklah,” kata Radit kemudian. Entah mengapa ia tidak bisa menolak permintaan gadis itu.
***
Dina menyusun bukunya yang terakhir di rak. Semua sudah beres. Buku-buku sudah tersusun rapi. Dina beralih ke dapur, lalu menyusun alat-alat makan yang baru dibelinya pada tempatnya. Begitu pula bahan-bahan makanan yang masih segar segera ia masukkan dalam kulkas. Selanjutnya, Dina memasang horden berwarna pink, warna kesukaannya, yang berhias renda putih. Dina tersenyum. Kamarnya sudah tertata seperti keinginannya.
Setelah mendekor kamarnya, Dina pergi. Ia menuju flat Radit untuk berterima kasih karena sudah menemaninya berbelanja. Namun, beberapa kali ia menekan bel, tak ada tanda-tanda Radit berada di sana. Ia pun kembali ke flatnya. Sesampainya di sana, Dina menerima telepon dari teman kampusnya yang mengajaknya ke pesta.
“You’re so late,” ujar temannya bernama Shelly itu. “I’m sorry, i have to decording my room,” kata Dina minta maaf. “Okey, no problem. Party just start, lets get in,” kata Shelly sambil menarik Dina memasuki pub yang terkenal di Los Angels itu.
Musik up beat memenuhi seluruh ruangan mengiringi muda-mudi yang tengah menari mengikuti dentuman irama. Beberapa orang hanya duduk sambil menikmati minuman mereka. Dina memandang sekeliling, ia tidak terbisa dengan tempat seperti ini. Tapi ia takut menolak ajakan temannya itu. Takut dibilang kampungan.
“Why you just sit? Lets dance!” seru Shelly. Dina menggeleng keras, “ I have headache, i want to go home now,” ujarnya. “Headache? Oh, you should go home. Wait, i will ask my friend see you back,” kata Shelly lalu meminta seorang teman prianya untuk mengantar Dina pulang.
“I can go home my own,” kata Dina pada pemuda yang akan mengantarnya itu. “It’s okey. I can drive,” kata pemuda itu. Walaupun merasa ragu, Dina menyetujuinya. Sesampainya di depan gedung hijau tua, Dina turun. Tapi pemuda itu mencegahnya, “Wait, where’s my pay?” tanya pemuda itu. Dina mengeluarkan beberapa lembar uang dolar. “ No,no,no. Not money, but a kiss. Just kiss,” ujar pemuda itu. “What? Kiss? You’re crazy!” ketus Dina lalu berlari menjauh. Sayang tepat di depan pintu, pemuda itu menarik Dina dan memaksa untuk menciumnya. Dina berteriak meminta pertolongan. Tapi tak ada yang menghiraukannya. Akhirnya, pemuda itu mendapatkan keinginannya. Lalu pergi meninggalkan Dina yang menangis terduduk di depan pintu gedung. ***
No comments:
Post a Comment