Friday 10 April 2015

[Fanfiction Hunhan/Oneshoot] A Message


Ada satu hal yang tak pernah diketahui orang lain tentang aku. Yaitu bahwa aku yang berusia lima belas tahun, tiga tahun yang lalu, pernah membohongi kakakku tentang seseorang yang ia sukai.

Aku memiliki seorang kakak laki-laki. Namanya Sehun. Dia dua tahun lebih tua dariku. Dia tinggi dan lumayan tampan. Dia cerdas dan selalu mendapatkan peringkat pertama di sekolahnya. Dia juga aktif dalam organisasi sehingga termasuk siswa populer di kalangan remaja putri. Semua guru, pegawai, siswa, bahkan penjaga kantin mengenalnya. Sehingga tak sulit untuk menemukannya jika kau ingin mencarinya di sekolah. Dia pun terkenal taat beribadah. Dia tak pernah meninggalkan ibadah setiap minggu pagi. Al kitab pun menjadi bacaannya sehari-hari. Dia juga termasuk salah satu pengurus di gereja dekat rumah kami. Dia adalah kesayangan pendeta di sana. Walaupun demikian, bukan berarti dia menutup diri dari pergaulan. Dia mempunyai banyak teman, aku tak bisa menghitungnya. Dia sering bermain basket di sore hari bersama teman-temannya. Kadang di hari libur, dia pun pergi mendaki bersama teman-temannya. Jadwal kegiatannya mungkin lebih padat dari seorang menteri. Ya, itulah dia, kakakku, Sehun.

Namaku Sena. Jangan tanyakan tentang diriku, karena aku bahkan tidak berminat untuk membicarakannya. Yang pasti, aku berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kakak sempurnaku itu. Orang-orang bahkan ragu kalau aku benar-benar adiknya. Adik seorang Oh Sehun.

Aku lelah mendengar kedua orang tuaku memujinya. Aku lelah mendengar mereka membanggakannya. Baik di waktu pagi, siang, atau malam. Tak pernah terlewat satu haripun tanpa membicarakannya. Mereka selalu membicarakannya dan diakhiri dengan nasihat seperti “Sena, kau harus mencontoh kakakmu itu.”. Sebuah kalimat yang selalu sukses membuat wajahku cemberut dalam sekejap dan berhasil membuat kakak sempurnaku tersenyum puas di hadapanku.

Jangan salah sangka. Kakakku kakak yang baik. Paling tidak kami tidak pernah bertengkar berebut remote tv karena dia jarang berada di rumah. Satu hal yang patut kusyukuri. Terlebih karena dia tak seperti kakak kolot lainnya yang terlalu mencampuri masalah adiknya. Kami sangat jarang bertengkar, jarang berbicara juga. Dia hanya kuanggap sebagai kakak karena kedua orang tua kami menyebutnya begitu. Sehun seorang kakak, dan aku adiknya.

Suatu hari, di usiaku ke lima belas tahun, aku masuk di sekolah yang sama dengannya. Sejak hari pertama, aku menginjakkan kaki di sekolah itu, semua orang sudah menaruh perhatian padaku. Well, bukan karena aku secantik Song Hye Gyo, tapi karena mereka ingin tahu seperti apa adik seorang Oh Sehun yang populer itu. Tanggapan mereka pun sudah seperti dugaanku, mereka tidak percaya kalau aku benar-benar adik Sehun. Jadi, raut wajah kecewa sudah terlihat jelas di wajah mereka kecuali satu orang yang memperkenalkan dirinya sebagai Luhan. Dia orang yang sangat ramah dan senyum manisnya tak pernah luntur dari bibirnya. Aku jadi iri melihatnya. Kami seumuran. Dia juga siswa baru di sekolah ini. Bedanya, dia terlihat lebih cantik dariku. Padahal dia laki-laki. Sungguh, membuat iri saja.

“Kau mau ke kantin?” Luhan sudah berdiri di sampingku setelah jam istirahat berbunyi lima menit yang lalu. Aku menatapnya sebentar, dia satu-satunya teman yang kupunya saat ini. Seseorang yang tanpa sungkan menyapaku dan mengajakku ke kantin. Aku bisa tahu kalau orang yang bernama Luhan ini pasti orang yang sangat baik.

“Tidak. Aku ingin berada di kelas saja. Tapi terima kasih sudah mengajakku.” Tolakku halus. Luhan tampak sedikit kecewa. Tetapi dia masih tersenyum sambil berpamitan. Tak lama setelah ia meninggalkan mejaku, beberapa siswa menghampirinya dan mengajaknya ke kantin bersama. Bisa dilihat kalau dia benar-benar orang yang pandai bergaul. Aku yakin dia akan memiliki banyak teman dalam waktu singkat.

Ada alasan mengapa aku tidak ingin beranjak dari kelasku. Alasannya, karena kelas ini adalah tempat yang paling nyaman dimana aku tak harus berhadapan dengan tatapan tajam yang mengintimidasi. Bayangkan jika aku harus keluar dari kelas, apalagi pergi ke kantin. Bisa jadi siswa-siswa yang berada di sana menghujaniku dengan sindiran yang sudah biasa kudengar. “Hei, dia akan menghabiskan semua makanan di sini!”

Tidakkah itu berlebihan? Menghabiskan makanan di kantin? Yang benar saja. Aku tidak serakus itu!

“Ini! Makanlah.” Dua potong sandwich dan sekotak susu strawberry sudah tersedia di mejaku. Aku mendongak untuk melihat siapakah malaikat baik hati yang memberiku makanan ini saat kusadari bahwa malaikat itu orang yang sama yang berpamitan ke kantin sepuluh menit yang lalu. Luhan, mengambil duduk di depanku sambil meletakkan dua potong sandwich dan susu cokelatnya di atas meja. Dia tersenyum sambil memintaku untuk makan seraya membuka bungkus roti sandwichnya. Aku menurutinya dengan senang hati. Tak pernah ada yang begitu perhatian sampai membelikanku makanan seperti ini. Luhan satu-satunya.

Selama makan, kami banyak mengobrol. Atau lebih tepatnya, Luhan yang banyak cerita. Dia bercerita bahwa dia adalah pindahan dari China dan masih belum terlalu mengenal kota Seoul. Dia adalah anak tunggal. Kedua orang tuanya mengurus bisnis di China sehingga dia tinggal di Korea seorang diri. Dia tinggal di sebuah apartemen dekat sekolah.

Seperti itulah awal pertemananku dengan seorang pemuda baik hati bernama Luhan. Dia menjadi teman yang membuatku banyak bersyukur. Karena dia, aku tidak menjadi penyendiri lagi. Dia selalu menemaniku. Dia bahkan mengajakku berkumpul bersama teman-temannya yang lain tanpa sungkan. Sehingga teman-temannya berteman denganku juga. Tak sampai sebulan, kami menjadi sangat akrab.

Banyak yang menanyakan tentang hubungan kami. Apalagi sejak Luhan bergabung dengan tim sepak bola sekolah yang membuatnya menjadi pusat perhatian. Dia memiliki banyak fans dalam sekejap. Dia juga bergabung dengan klub musik dan suaranya yang sedang bernyanyi sambil diiringi gitar akustik itu sungguh membuat hati perempuan manapun meleleh bagai cokelat. Aku hanya seseorang yang selalu duduk di bangku penonton dan melihatnya dengan tatapan kagum.

“Hei, apa boleh kami bertanya? Apa hubunganmu dengan Luhan? Kulihat kalian... hmm... sangat akrab.” Beberapa siswa perempuan menghampiriku dan seorang dari mereka bertanya. Aku balik melihat gadis yang bertanya itu. Dia Seulgi, si gadis populer.

“Kami hanya berteman.” Jawabku yang segera mendapat helaan nafas lega dari mereka.

“Syukurlah. Sudah kuduga, kalian tidak mungkin punya hubungan spesial. Terima kasih.” Mereka beranjak pergi. Apa itu? Tidak mungkin punya hubungan spesial? Hah! Menyebalkan sekali mereka! Walaupun itu... ya benar. Aku dan Luhan tidak mungkin punya hubungan spesial. Dia tidak mungkin tertarik pada seseorang yang tubuhnya ...ekhm... tiga kali lebih lebar darinya.

Itu membuatku berpikir. Seandainya aku seorang gadis yang cantik dengan tubuh seksi seperti Seulgi, orang-orang mungkin tidak akan berpikiran seperti itu. Seandainya aku adalah orang yang pantas bersanding dengan Luhan, atau orang yang pantas menjadi adik Sehun, mereka pasti tidak akan berpikiran seperti itu. Intinya, aku memang bukan orang yang pantas berada di samping kedua orang yang sempurna itu.

Hari ini adalah hari terakhir semester pertama. Waktu memang berlalu begitu cepat, tanpa sadar sebentar lagi aku akan memasuki semester kedua. Aku hanya berharap semoga saja tidak ada perollingan kelas. Rolling sudah menjadi satu hal yang menakutkan bagiku, dimana aku harus bertahan di kelas yang baru dengan teman-teman yang baru pula. Aku tidak yakin aku bisa senyaman di lingkunganku sekarang. Apalagi jika tidak ada teman yang sebaik Luhan di sana.

Luhan sedang mengikuti rapat klub. Dia meninggalkan tasnya di sini denganku. Rencananya kami akan pulang bersama nanti, seperti hari-hari sebelumnya. Kami memang selalu menaiki bus yang sama karena tempat tinggal kami searah walaupun dia harus turun lebih dulu daripada aku.

Aku masih duduk manis di bangkuku saat aku merasakan sesuatu bergetar. Itu berasal dari ransel Luhan. Tampaknya Luhan menyimpan ponselnya di dalam tas. Aku pun mencari ponsel Luhan dan menemukan benda pergi panjang itu sedang berkedip-kedip. Sebuah pesan masuk. Dari seseorang yang sangat kukenal. Bedanya, nama yang tertera di layar bukan ‘Sehun oppa’ melainkan ‘Sehun hyung’.

Dddrrtttt....dddrrrttt....dddrrrttt....

From: Sehun Hyung

Luhan, kenapa kau tidak membalas pesanku?


Keningku mengerut. Oh, jadi kakakku mengenal Luhan? Kenapa aku tidak tahu?

Dddrrtttt....dddrrrttt....dddrrrttt....

From: Sehun Hyung

Apa kau masih marah padaku?


Apa ini? Masih marah? Mereka bahkan sudah cukup akrab untuk saling marah-marahan? Mencurigakan sekali.

Dddrrtttt....dddrrrttt....dddrrrttt....

From: Sehun Hyung

Aku minta maaf.


Aku sama sekali tidak mengerti maksud kakakku mengirimkan pesan seperti ini pada Luhan. Kenapa kakakku harus minta maaf?

Dengan rasa penasaran yang amat besar, aku memberanikan diri membalas pesan tersebut.

To: Sehun Hyung

Hyung, kenapa aku harus marah padamu? Kenapa kau minta maaf? Kau tidak salah apa-apa.

Send


Tak sampai semenit kemudian, ponsel itu berbunyi lagi.

Dddrrtttt....dddrrrttt....dddrrrttt....

From: Sehun Hyung

Jadi kau tidak marah? Terima kasih Luhan. Aku sangat senang jika kau tidak marah padaku. Jadi, bisa aku menemuimu sekarang?


Oh, astaga. Kakakku yang sempurna bahkan belum menjawab pertanyaanku. Sebenarnya mengapa kakakku minta maaf? Mungkin akan terjawab kalau mereka bertemu.

To: Sehun Hyung

Baiklah. Aku masih di ruang rapat klub sepak bola.

Send


Bersamaan dengan terkirimnya pesan itu, aku bisa melihat beberapa siswa melewati kelasku. Mereka adalah anggota klub sepak bola. Berarti rapatnya sudah selesai. Aku segera memakai tasku dan menjinjing tas ransel Luhan menuju ruang klub sepak bola.

Langkahku terhenti tepat di depan pintu klub. Aku masih berdiri terpaku melihat pemandangan yang baru pertama kali tertangkap oleh kedua mataku. Kakakku berdiri di sana, mencengkram kuat kedua tangan Luhan dan memojokkannya di dinding. Bibirnya menempel di bibir Luhan dengan begitu intim. Luhan bergerak gelisah tapi tidak mampu melepaskan diri. Kakakku justru semakin memperdalam ciumannya.

Sial. Aku segera bersembunyi di balik pintu, membiarkan tas ransel Luhan yang terlepas begitu saja dari tanganku. Oh jantungku. Mataku. Hatiku. Astaga, aku belum siap menerima kenyataan ini. Ini terlalu... tak terduga. Jadi... jadi...

“Ya! Apa yang kau lakukan?!” Aku mendengar suara Luhan meninggi di dalam sana.

“Bukankah kau sudah menerimaku?”

“Apa?! Menerima?! Apa maksudmu?!”

“Kau tidak marah walaupun aku bilang bahwa aku menyukaimu. Bukankah itu tandanya kau menerimaku?”

“Aku bahkan tidak membalas pesanmu. Itu tandanya aku marah, bodoh!”

“Kau membalas pesanku. Jangan berbohong lagi.”

“Tapi aku tidak hhmmmppphhh...

Aku segera meninggalkan tempat itu sambil menutup telinga. Oh astaga! Astaga! Astaga! Bunyi kecipak di ruangan itu sungguh sudah mengotori telinga dan pikiranku! Ampuni aku Tuhan!

Jadi, Sehun, kakakku menyukai Luhan. Aku tidak tahu dengan Luhan. Tapi pesan yang kukirim itu sukses membuatnya terjebak di dalam sana. Aku harus meminta maaf padanya nanti.

Sebuah permintaan maaf yang tak pernah kuucapkan.

Karena saat ini mereka sudah menjadi sepasang kekasih yang sempurna.

Aku menyebutnya Hunhan. Sehun dan Luhan.


No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...