Thursday 30 April 2015

[Hunhan Fanfiction/Oneshoot] Say No! Sequel


Tak apa untuk menolak.

Tak apa untuk berkata ‘tidak’.

Tak apa untuk menjadi egois.

Karena manusia memang diciptakan seperti itu adanya.

-Sehun-


Say No!
Warning: BL, yaoi, rated T+

Luhan POV

Aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh seorang Oh Sehun. Kami baru berbicara kemarin dan esoknya dia memintaku menjadi kekasihnya. Tidakkah itu terdengar gila? Aku masih normal. Aku bisa menjamin itu. Walaupun banyak orang yang salah sangka dengan wajahku yang lebih bisa dikatakan cantik daripada tampan.

Aku tidak bisa menolak. Rasanya sulit untuk mengatakan ‘tidak’ pada seseorang. Terlebih lagi ini menyangkut perasaan dan harga diri. Aku tidak sehebat Sehun. Aku tidak terlalu aktif dalam organisasi. Aku tidak memiliki banyak teman. Aku tidak terkenal. Aku bahkan tidak bisa olahraga. Olahraga adalah pelajaran yang paling kubenci. Aneh, aku tahu. Seorang pria yang tidak tahu olahraga. Itulah alasan banyak orang sering membully-ku.

Aku yang tidak ada apa-apanya, sepertinya terlalu tak tahu diri jika menolak seorang Oh Sehun yang hebat dalam segala hal. Oleh karena itu, aku harus mengesampingkan semua pemikiran normal dan menerimanya. Entah sampai kapan dia akan bertahan berada di sampingku.

Hari ini tampak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Berita tentangku dan Oh Sehun sudah menyebar cepat seperti virus yang membuat orang-orang serempak menaruh rasa ‘tidak suka’ pada tatapan mereka. Tentu mereka tidak suka jika seseorang sepertiku bersanding dengan Sehun. Apa kau tahu berapa banyak fans Sehun yang sedang marah saat ini? Aku yakin hidupku tidak lama lagi melihat betapa marahnya mereka.

Aku dikepung beberapa siswa yang berdiri mengelilingiku. Mereka menatapku tajam dari ujung kepala sampai ujung kaki seakan-akan tatapan itu bisa menelanjangiku. Selanjutnya, mereka melontarkan kalimat-kalimat yang sudah bisa kuduga sebelumnya. Seperti, “Mengapa kau bisa berpacaran dengan Sehun? Kau tidak pantas bersamanya! Kau harus tahu diri! Siapa kau! Kau hanya orang aneh! Alien! Orang bodoh!” Mereka terus menghujat seraya mendorong tubuhku dari satu sisi ke sisi yang lain. Ibarat bola yang dioper ke sana ke sini. Membuat kepalaku pusing.

“Putuskan Oh Sehun!”

Sebuah kalimat yang kutunggu-tunggu akhirnya diucapkan oleh salah seorang siswi. Tanpa sadar, aku tersenyum.

“Ba

“TIDAK.” Tiba-tiba Oh Sehun muncul dibalik kerumunan, para siswa pun serempak menyingkir dan memberi jalan. Senyumku menghilang seketika. Dia menatapku tajam.

“Jangan pernah berpikir untuk memutuskanku, Luhan.” Ucapnya tegas lalu beralih melihat siswa lainnya.

“Karena kalian sudah tahu kalau Luhan adalah kekasihku, aku ingin kalian bersikap baik padanya. Tidak ada yang boleh memerintah atau meminta apapun darinya. Dia milikku dan hanya aku yang berhak atas dirinya. Mengerti?”

Serempak mereka mengangguk, kecuali aku. Apa? Miliknya? Sejak kapan aku menjadi miliknya? Aku adalah milik diriku dan Tuhan. Tetapi, seperti biasa, aku tidak bisa berkata ‘tidak’.

***

Ini kali pertama aku makan siang di kantin sekolah. Biasanya, aku tidak kebagian tempat untuk duduk di sini. Setiap anak sudah mengklaim tempat masing-masing. Tentu, mereka yang populer dan berpengaruh mendapatkan tempat yang paling strategis. Seperti Oh Sehun. Satu hal yang patut kusyukuri karena dia, aku bisa makan di kantin. Tapi, apakah terasa nyaman saat kau sedang makan dan ada orang yang menatapmu? Tentu tidak. Tapi itulah yang saat ini terjadi. Sehun terus menatapku. Aku berusaha tidak peduli. Tapi tatapannya terlalu tajam untuk diabaikan. Aku bahkan tidak tahu arti tatapannya itu.

“Pacarku sangat manis.”

Uhuk! Huk! Huk! Aku tersedak dan segera meneguk minuman di depanku.

“Sorry. Kau tidak apa-apa?” Dia menepuk-nepuk pundakku dan segera kusingkirkan tangannya.

“Ada apa denganmu Oh Sehun?”

“Aku? Aku baik-baik saja.”

“Kalau kau baik-baik saja, seharusnya kau tidak meminta aku menjadi pacarmu. Kita bahkan tidak saling mengenal. Aku hanya tahu namamu dan aku yakin kau pun hanya tahu namaku. Kita bahkan tidak akrab untuk disebut teman, apalagi pacar.” Ucapku dalam satu tarikan nafas.

Sehun menatapku sambil tersenyum.

“Kau salah jika mengira aku hanya tahu namamu. Aku tahu siapa orang tuamu, tanggal lahirmu, tempat tinggalmu, riwayat pendidikanmu, hobimu, semua yang kau sukai dan tidak kau sukai. Kau menuliskannya dengan rinci di biodatamu, ingat?”

Tentu saja.

“Kau sudah menyalahgunakan jabatanmu, Oh Sehun.” Ucapku sarkastik. Namun, lagi-lagi membuatnya tersenyum.

“Bagiku, itu memanfaatkan kesempatan yang ada, Luhan. Lagipula tidak ada yang dirugikan dari hal itu, bukan?”

Ada, orang itu aku. Tapi percuma saja berdebat dengan orang ini.

***

Makan bersama, belajar bersama, pulang sekolah bersama merupakan hal yang wajar dilakukan oleh sepasang kekasih. Aku kadang membayangkan memiliki seorang kekasih yang cantik dan baik hati dan melakukan hal itu bersamanya. Namun, apa yang terjadi jika aku harus melakukan semua itu bersama Oh Sehun, pemuda dingin yang dengan seenaknya mengklaim hubungan kami sebagai berpacaran? Sungguh, ini sangat tidak menyenangkan. Aku harus merelakan semua hal yang kubayangkan tentang gadis pujaanku kelak lenyap dalam hitungan detik.

Para gadis mulai menjauhiku. Oh, tidak. Mereka bahkan membenciku. Menganggapku saingan terberat yang telah menaklukkan seorang Oh Sehun. Sungguh, aku merasa harapanku untuk memiliki pacar seorang gadis lenyap begitu saja.

Saat ini, aku sedang menonton pertandingan basket di lapangan. Bukan karena aku suka, tapi karena Sehun yang mengajakku. Aku pun menurut saja karena tidak bisa menolaknya. Suara fans Oh Sehun yang sedang meneriakkan nama pemuda itu sudah menggganggu pendengaranku sejak awal pertandingan. Pandangan tidak suka terus kurasakan dari segala penjuru. Mungkin, aku adalah orang yang paling tidak diharapkan di tempat ini. Apalagi, ketika Oh Sehun mencetak skor, senyuman yang ia tunjukkan padaku hanya membuat segalanya semakin mencekam. Oh Tuhan, entah sampai kapan aku bisa bertahan.

Tanpa kusadari, pertandingan telah usai dan para penonton mulai bubar. Aku beranjak meninggalkan lapangan saat Sehun menghampiriku dengan nafas yang masih memburu.

“Bagaimana permainanku?” tanyanya.

Keringatnya membanjiri tubuhnya. Rambutnya berantakan. Mulutnya sedikit terbuka untuk mengatur nafas. Namun, entah mengapa dia terlihat... seksi? Oh, seharusnya dia terlihat menjijikkan bukan? Tapi tidak. Dia sungguh terlihat seksi. Oh, tidak! Ada apa denganku?

“Kau baik-baik saja, Luhan? Wajahmu merah.”

“Ten.. tentu aku baik-baik saja!” Astaga, apa yang kupikirkan? Aku segera mengalihkan pandanganku ke arah lain.

“Jangan pulang dulu. Tunggu aku. Okey!” Sehun berlari menuju ruang ganti pemain.

Apa aku harus menunggunya? Apa kutinggal saja? Tapi bagaimana jika nanti dia mencariku? Aish... Sungguh, aku belum pernah se-dilema ini hanya untuk memutuskan pulang atau tidak.

***

Disinilah aku dan Sehun, duduk berhadapan sambil meminum buble tea di meja dekat jendela. Ternyata Sehun pun menyukai buble tea. Aku sempat terkejut saat mengetahui ia mengajakku ke kedai buble tea sepulang sekolah. Pasalnya, aku tidak mengenal banyak orang yang suka dengan minuman ini. Maksudku, tidak ada yang benar-benar menganggap buble tea sebagai minuman surgawi selain pelepas dahaga. Hanya aku, mungkin.

“Kau suka?”

Aku hanya mengangguk pelan tanpa melepaskan mulutku dari sedotan.

“Mau kupesankan lagi?”

Kali ini aku menggeleng pelan. Walaupun dalan lubuk hati yang paling dalam aku ingin mengiyakan, tapi melihat dua cup kosong di depanku membuatku berubah pikiran. Bagaimana kalau uang jajannya habis hanya untuk mentraktirku buble tea? Yeah, walaupun banyak yang bilang Sehun itu anak orang kaya, tapi tetap saja, dia hanya siswa SMA.

Tak lama seorang gadis berseragam sekolah berbeda menghampiri kami.

“Oppa!” Dia tiba-tiba duduk di samping Sehun lalu memeluk lengan Sehun. Sehun melihatnya terkejut, “Seulgi?”

“Oppa! Kenapa oppa tidak pernah main ke rumahku lagi?” tanya gadis itu dengan bibir cemberut yang diimut-imutkan.

“Oh.. Itu... Oppa hanya sedang sibuk saja. Mianhe, Seulgi-ya.” Sehun tersenyum sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kenapa dia terlihat salah tingkah begitu?

“Gwenchana, oppa. Oh ya, apa sekarang oppa ada waktu? Oppa bisa temani aku ke toko buku? Plis...” gadis itu menatap Sehun dengan puppy eyesnya. Sehun sedang berpikir sejenak sebelum akhirnya dia menyadari aku masih berada di sini.

“Oh ya, Seulgi-ya. Perkenalkan, ini Luhan. Luhan, ini Seulgi.” Kata Sehun memperkenalkan aku dan Seulgi. Seulgi tersenyum sambil mengulurkan tangannya, “Perkenalkan, aku Seulgi. Istri masa depannya Sehun oppa.”

Aku hampir tersedak ludahku sendiri. Apa?! Istri masa depan katanya?! Aku tidak bisa menahan wajah terkejutku, namun segera kukendalikan dan membalas uluran tangannya, “Luhan.” Ucapku singkat. Entah mengapa ada perasaan tidak suka yang tiba-tiba muncul pada gadis berambut pirang itu.

“Jangan dianggap serius, Luhan. Dia hanya tetanggaku.”

Aku tidak menanggapi ucapan Sehun itu. Seulgi yang mendengarnya hanya mengerucutkan bibirnya, kesal.

“Jadi, oppa bisa menemaniku?”

“Mianhe, Seulgi-ya. Oppa sudah janji untuk pulang bersama Luhan.”

Seulgi kembali menatapku. “Luhan oppa, biarkan Sehun oppa menemaniku, ne? Luhan oppa bisa pulang sendiri kan’? Plis...” Gadis itu kembali mengeluarkan puppy eyesnya, walaupun sebenarnya itu tidak akan berhasil padaku.

Aku mengalihkan pandanganku menatap Sehun. Sehun hanya menggelengkan kepalanya tanpa sepengetahuan Seulgi. Mungkin, dia berharap aku akan berkata ‘Tidak’. Tapi seperti biasa, aku tidak bisa menolak. Aku pun mengangguk pelan, “Ya.”

“Asik! Gumawo, Luhan oppa. Ayo, Sehun oppa! Nanti tokonya keburu tutup.” Seulgi segera bangkit dari duduknya sambil menarik lengan Sehun untuk mengikutinya. Sehun yang ditarik hanya pasrah. Namun, aku sempat melihat matanya menatapku.... kecewa? Entahlah. Namun, ada sedikit perasaan menyesal melihat punggung Sehun menjauh. Padahal biasanya aku tak pernah menyesal setelah memenuhi keinginan orang lain. Tapi kenapa? Ada apa denganku?

***

Jarum jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 5 sore. Bel tanda jam pelajaran tambahan berakhirpun berbunyi nyaring seakan menjadi suara surgawi yang membebaskan jiwa-jiwa terpenjara dari tempatnya. Siswa-siswa berhamburan keluar kelas dengan tergesa-gesa. Aku masih memasukkan buku terakhirku ke dalam tas saat tiba-tiba tangan dingin Sehun menarikku meninggalkan kelas. Sehun berjalan cepat di depanku tanpa melepaskan cengkramannya, membuatku harus bersusah payah menyeimbangi langkahnya yang lebar dan cepat.

“Sehun, pelan-pelan jalannya! Aish...” Aku kelabakan sendiri, apalagi ranselku belum tertutup sehingga membuatku harus memeluk ranselku dengan satu tangan. Sementara langkahku lebih seperti berlari kecil demi mengimbangi langkah Sehun yang semakin cepat. Apalagi saat dia membawaku menaiki tangga yang cukup tinggi, membuatku hampir terjungkal jika tidak hati-hati.

Aku hampir menabrak punggung Sehun karena tidak menyadari kalau ia sudah berhenti di depan. Ia melepaskan cengkramannya di tanganku saat aku mengamati sekelilingku. Tempat ini adalah tempat paling tinggi di sekolah, atap sekolah, tempat dimana aku bisa melihat pemandangan kota dengan lebih jelas.

“Kenapa kau membawaku ke sini?” tanyaku.

Sehun berbalik menghadapku. Menatapku sebentar sambil melepaskan jas almamaternya, mengeluarkan kemejanya yang terselip di celananya, melonggarkan dasinya, dan menggulung ujung kemeja di lengan kanan dan kirinya. Aku hanya menatapnya bingung.

“Kau tahu, aku masih marah padamu.”

“Hah?” Aku sama sekali tidak mengerti perkataannya.

Dalam hitungan detik, dia sudah mendorongku ke tembok, mengcengkram bahuku kuat dan menempelkan bibirnya di atas bibirku dengan tiba-tiba. Aku terpaku untuk beberapa saat, masih dengan perasaan terkejut yang teramat sangat. Namun, lidahnya yang berhasil masuk ke dalam mulutku membuatku tersadar akan apa yang terjadi.

Aku berusaha mendorong tubuhnya, namun dia lebih kuat daripada yang kuduga sehingga membuatku tidak bisa berkutik saat lidahnya semakin liar berjelajah di dalam mulutku dan bergelut dengan lidahku dalam pergemulan yang panas.

Dadaku terasa sesak. Ciuman ini entah mengapa terasa menyiksa. Dia melakukannya terlalu terburu-buru dan cenderung kasar membuatku hatiku berdenyut menyakitkan.

“Kau menyukainya?” Sehun menjauhkan wajahnya, membuatku sedikit bernafas lega untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Namun, itu tidak berlangsung lama karena dia kembali menyatukan bibir kami dengan tiba-tiba. Tangannya bergerak menurunkan jas almamaterku, melepaskan dasiku dan membuka kancing kemejaku. Mataku membulat seraya menggenggam tangannya untuk berhenti. Namun, dia menepis tanganku kasar dan membuka kancing ketigaku dengan mudah.

“Kau ingin aku melanjutkannya?” Sehun kembali menatapku intens. Di sela-sela mengatur nafasku, aku ingin mengatakan ‘Tidak’. Namun, kata itu hanya tersangkut di tenggorokanku saat Sehun mulai menempelkan bibirnya yang basah di leherku, menyesap dan menggigit hingga aku bisa tahu kalau itu akan berbekas tanpa kulihat sekalipun.

‘Tidak, jangan. Sehun! Hentikan! Kumohon!’

Aku merutuki kebodohanku yang tidak bisa mengatakan penolakan itu. Hingga bibir Sehun semakin leluasa bergerilya di leherku.

Katakan tidak, Luhan!

Aku menggigit bibirku sendiri, menahan liquid bening yang sudah menggenang di pelupuk mataku.

Sehun kembali melepaskan kancing kemejaku. Dia akan melakukan hal yang lebih jauh. Aku menelan ludah kasar, mengumpulkan segenap keberanian untuk menolaknya. Lalu menghentikan pergerakan tangannya dengan tanganku yang bergetar hebat. Aku menggeleng cepat.

“Ti-tidak. Jangan. Sehunna.” Suaraku akhirnya keluar walaupun terdengar sangat serak. Aku tidak peduli asalkan itu dapat menghentikan Sehun. Bahkan, air mataku sudah berlomba untuk keluar. Sungguh aku terlihat cengeng saat ini. Aku tidak peduli.

Sehun terdiam menatapku. Tak lama tangannya terangkat menyeka air mataku dengan jari-jarinya. Lalu mendekapku hangat, membuat tangisanku semakin menjadi-jadi dan membasahi kemejanya.

“Tidak apa-apa untuk menolak, Lu. Katakan ‘tidak’ jika kau tidak menginginkannya. Tidak apa-apa. Sungguh. Bahkan jika orang lain menganggapmu egois, tak apa. Karena pada dasarnya manusia memang terlahir seperti itu, egois.”

“Maafkan aku sudah menyakitimu. Aku benar-benar ingin mendengar kau mengucapkan kata ‘tidak’ dan menolak. Maafkan aku. ”

Sehun membisikkan kata maaf berulang-ulang di telingaku.

***

Hari Minggu adalah hari yang paling cocok digunakan untuk melepas kepenatan setelah tujuh hari penuh di sekolah. Biasanya, di hari libur seperti ini aku hanya tidur di kamar sampai mataku lelah terpejam atau menonton drama yang sempat kulewatkan. Namun, kali ini berbeda. Aku akan menghabiskan waktu bersama Sehun.

Di sinilah aku, berdiri di depan rumah Sehun. Aku memencet bel rumahnya tiga kali. Tak lama kemudian, Sehun muncul dengan mengenakan baju kasual.

“Kau sudah sampai, tunggu sebentar ya,” Sehun masuk lagi dan keluar membawa keranjang makanan.

“Kita mau kemana?” tanyaku heran melihat bekal yang dia bawa.

“Piknik. Kita akan piknik di bawah pohon sakura. Kajja!” Sehun menarik tanganku menuju mobil sedan hitam yang terparkir di depan rumahnya. Lalu meletakkan keranjang makanan di jok belakang.

“Oppa!!!” suara nyaring yang familiar itu menghentikan pergerakan kami. Gadis itu, Seulgi, berlari menghampiri kami.

“Oppa mau kemana?” tanyanya penasaran.

Sehun menatapku dalam diam. Mungkin dia tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Mencoba menyembunyikan keranjang makanan dari penglihatan Seulgi. Terlambat. Gadis itu sudah melihatnya.

“Mau piknik ya?? Aku ikut ya!” Seulgi kembali memasang puppy eyesnya sambil menatap Sehun.

“Tidak, kau salah Seulgi-ya. Aku hanya ingin mampir ke rumah Luhan.”

Seulgi berbalik menatapku. “Benarkah? Kalau ke rumah Luhan oppa juga tidak apa-apa. Aku ikut pergi ke rumahmu ya, oppa? Aku boleh ikut kan?” Seulgi kembali melancarkan serangan puppy-eyesnya padaku.

Aku melihat Sehun menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Mian, Seulgi-ya. Tapi kau tidak boleh ikut. Kajja Sehunna.” Aku segera naik ke dalam mobil. Sehun pun melakukan hal yang sama.

“Bye-bye!” Sehun melambai ke arah Seulgi sebelum menjalankan mobilnya, meninggalkan Seulgi dengan tampang cemberut.

Mobil yang dikendarai Sehun melaju cepat diiringi lagu GD&Taeyang yang mengalun dari mp3. Sesekali aku melirik Sehun, entah mengapa dia tampak senang sekali, senyuman tak pernah luntur dari bibirnya.

“Sehunna, aku merasa tidak enak karena menolak keinginan Seulgi.” Ucapku jujur. Sehun menoleh sebentar lalu kembali fokus ke jalan.

“Tidak apa-apa, Luhan. Aku senang kau menolaknya. Bayangkan saja kalau dia ikut, aku tidak akan bisa berduaan denganmu. Kencan ini jadi tidak ada artinya, kan?”

Kencan? Oh, jadi ini kencan?

Sehun hanya ingin berdua denganku? Aish... Kenapa aku merasa malu sekali? Jangan sampai Sehun melihat wajahku memerah.

“Wajahmu merah, Lu. Manis sekali.” Sehun terkekeh pelan membuatku harus memalingkan wajahku melihat keluar jendela. Astaga, perkataannya sungguh membuatku semakin salah tingkah.

Dasar. Oh Sehun menyebalkan!!!

***

-End-

1 comment:

Anonymous said...

Sands Casino
Play and win at the หาเงินออนไลน์ Sands Hotel & Casino – one of septcasino the hottest casinos on the Las Vegas Strip! Located on 1xbet the Las Vegas Strip, this gaming resort is minutes  Rating: 4.3 · ‎4,326 votes

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...