Monday 24 March 2014

Keterampilan Berbicara

Hakikat Berbicara

Berbicara adalah sebagai sesuatu yang berhubungan dengan tindakan menyatakan sesuatu kepada seseorang dalam bentuk ujaran (bahasa lisan) (Tarigan, 1997). Hal tersebut berkaitan dengan perbedaan antara kompetensi (competence) dan performansi (performance) yang dikemukakan oleh Chomsky (dalam Stern, 1983). Gagasan kompetensi berhubungan dengan penge­tahuan ini harus diungkapkan melalui performansi (Clark dan Clark, 1977). Selanjutnya, Widdowson (1985) menggambarkan usage sebagai satu aspek performansi tempat pengguna bahasa menunjukkan pengetahuannya mengenai aturan linguistik. Use adalah performa lain tempat pengguna bahasa menun­jukkan kemampuannya untuk menggunakan pengetahuannya mengenai aturan linguistik bagi komunikasi yang efektif. Berkenaan dengan usage, berbicara sebagai keterampilan produktif tertinggal di belakang kecakapan reseptif, bergantung pada siswa, cara ia mengalami kemajuan dalam pembelajaran bahasanya dan kompleksitas bahan linguistiknya. Jadi, berbicara dan menulis selalu berada di belakang kecakapan reseptif.


Clark dan Clark (1977) mengemukakan bahwa berbicara merupakan suatu aktivitas instrumenta. Pembicaraan mengatakan sesuatu dalam suatu suasana untuk memberikan efektif kepada pendengar atau untuk menambah pengetahuan mereka, seperti memberi pertanyaan agar untuk meng­komunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan pendengar atau penyimak. Tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan; dia harus mampu mengevaluasi efek komu­nikasinya terhadap pendengarnya; dia harus mampu mengevaluasikan prinsip-prinsip yang mendasarkan segala situasi pembicaraan.

Pengertian lain mengenai berbicara terdapat dalam Depdiknas (2003a). Di sana dinyatakan bahwa kemampuan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan gagasan, pendapat, dan perasaan kepada pihak lain secara lisan, ketepatan penggunaan gagasan, pendapat, dan perasaan sebaiknya didukung oleh penggunaan bahasa secara tepat, dalam arti sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku.

Untuk memperdalam pemahanan mengenai kemampuan berbicara, diuraikan konsep dasar berbicara menurut Tarigan, dkk (1997), yaitu: (1) berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal, (2) berbicara adalah proses individu berkomunikasi, (3) berbicara adalah ekspresi yang kreatif, (4) berbicara adalah tingkah laku, (5) berbicara adalah tingkah laku yang dipelajari, (6) berbicara distimulasi oleh pengalaman, (7) berbicara alat untuk memperluas cakrawala, (8) kemampuan linguistik dan lingkungan, dan (9) berbicara adalah pancaran kepribadian.

Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa berbicara adalah aktivitas manusia dengan bahasanya yang terwujud dalam kegiatan ber­komunikasi secara lisan. Oleh karena itu, retorika pada hakikatnya senantiasa berkaitan dengan manusia dalam berkomunikasi. Berkomunikasi yang dimaksud adalah kegiatan berkomunikasi yang dilakukan dengan meng­gunakan bahasa sebagai alatnya. Atas dasar itu, berbicara dapat dipahami sebagai seni kemampuan menyatakan pendapat, mengemukakan gagasan, menyampaikan informasi kepada orang lain secara efektif dengan menggunakan bahasa lisan sebagai alatnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam proses belajar mengajar, seorang guru harus mampu memahami dan memperhatikan keseimbangan konsep dasar berbicara tersebut. sebagai pihak yang paling berkompeten, efektif, dan berperan, gurulah yang paling mengetahui, memahami, dan menghayati betapa pentingnya keterampilan berbicara bagi seorang siswa.

Untuk menjadi pembicara yang baik, seorang pembicara harus memberikan kesan bahwa ia menguasai masalah yang dibicarakan dan memperhatikan keberaniannya, selain itu, pembicaraan juga harus berbicara dengan jelas dan tepat. Agar kegiatan berbicara menjadi efektif, seorang pembicara harus memperhatikan aspek-aspek berbicara, yaitu aspek kebahasaan dan aspek pengungkapan.

1) Aspek kebahasaan

Aspek kebahasaan yang menunjukkan keterampilan berbicara diuraikan berikut ini.

a) Lafal. Menurut Arsyad dan Mukti (1988), secara resmi lafal standar bahasa Indonesia belum ada. Namun, dalam Seminar Bahasa Indonesia tahun 1968, Seminar Politik Bahasa Nasional tahun 1975, dan beberapa karangan, secara tidak langsung tampak kecenderungan mengenai kehadiran lafal yang dapat dijadikan lafal standar bahasa Indonesia. Lafal yang demikian itu dirumuskan sebagai lafal yang tidak memperhatikan ciri-ciri lafal bahasa daerah.

Meskipun penstandaran lafal dalam bahasa Indonesia dianggap sulit, tetapi patut dicatat bahwa usaha menuju lafal baku bahasa Indonesia telah dimulai oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Salah satu tujuan penstandaran lafal bahasa Indonesia ialah pemakaiannya secara merata di kalangan pemakai bahasa Indonesia dalam situasi-situasi yang menghendaki penggunaan lafal standar tersebut, misalnya dalam komunikasi resmi, komunikasi teknik, dan penghormatan.

Seorang pembicara mengucapkan bunyi-bunyi bahasa sastra secara tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkan perhatian pendengar. Setiap pembicara mempunyai gaya tersendiri dan gaya bahasa yang dipakai berubah-ubah sesuai dengan pokok pembicaraan, perasaan, dan sasaran. Tetapi, kalau perbedaan atau perubahan itu terlalu mencolok, sehingga menjadi suatu penyimpangan, maka keefektifan berbicara menjadi terganggu. Misalnya, pembicara menambahkan bunyi-bunyi tertentu di belakang suku kata atau di belakang kata, seperti kata “jembatan” diucapkan “jembatang”, kata “makan” diucapkan “makang”. Tambahan bunyi seperti itu dapat mengalihkan perhatian pendengar. Sehingga mengurangi keefektifan berbicara.

b) Kosakata. Kegiatan komunikasi merupakan jalinan kata-kata dalam suatu konstruksi yang lebih besar berdasarkan kaidah sintaksis yang ada dalam suatu bahasa. Hal yang paling penting dari rangkaian kata-kata tersebut adalah pengertian (makna) yang tersirat di balik kata yang digunakan itu. Setiap anggota masyarakat yang terlibat dalam kegiatan komunikasi, selalu berusaha agar orang lain dapat memahaminya. Di samping itu, ia juga harus bisa memahami orang lain. Dengan cara ini, dapat terjalin komunikasi yang baik dan harmonis.

Untuk mewujudkan komunikasi yang baik dan harmonis, seorang pembicara harus memiliki kosakata yang luas. Kata merupakan alat penyalur gagasan, ini berarti bahwa semakin banyak kata yang dikuasai seseorang semakin banyak pula ide atau gagasan yang dikuasainya dan yang sanggup diungkapkannya. Namun, yang perlu diperhatikan adalah cara memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan ide dan gagasan tersebut. Pilihan kata inilah yang disebut dengan diksi.

Kridalaksana (2001) menyatakan diksi adalah pilihan kata dan kejelasan lafal untuk memperoleh efek tertetu dalam berbicara di depan umum atau dalam karang-mengarang. Lebih lanjut, Keraf (2004) menyatakan bahwa diksi adalah: (1) kata-kata yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, cara membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya yang paling baik digunakan dalam suatu situasi, (2) kemampuan membedakan secara tepat nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menentukan bentuk yang serasi (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar, dan (3) pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu.

Pendengar lebih tertarik dan senang mendengarkan kalau pembicara berbicara dengan jelas dalam bahasa yang dikuasainya. Selain itu, pilihan kata juga harus disesuaikan dengan pokok pembicaraan. Kalau pokok pembicaraan masalah ilmiah, pemakaian istilah tidak dapat dihindari dan pendengar pun dapat memahaminya karena pendengarnya juga orang-orang tertentu. Oleh karena itu, dalam berbicara pilihan kata hendaknya tepat, jelas, dan bervariasi. Pilihan kata harus jelas maksudnya dan mudah dimengerti oleh pendengar, serta disesuaikan dengan pokok pembicaraan.

c) Tata bahasa. Ketepatan penggunaan tata bahasa menyangkut pemakaian kalimat efektif. Pembicaraan yang menggunakan kalimat efektif akan memudahkan pendengar menangkap isi pembicaraannya. Arsyad dan Mukti (1988) mengemukakan bahwa kalimat efektif mempunyai ciri keutuhan, perpautan, pemusatan, perhatian, dan kehematan. Ciri keutuhan akan terlihat jika setiap kata betul-betul merupakan bagian yang padu dari sebuah kalimat. Perpautan, bertalian dengan hubungan unsur-unsur kalimat, misalnya antara kata dengan kata, frase dengan frase, dalam sebuah kalimat. Hubungan itu harus jelas dan logis. Pemusatan perhatian pada bagian yang penting dalam kalimat dapat dicapai dengan menempatkan bagian tersebut pada awal atau akhir kalimat, sehingga bagian ini mendapat tekanan pada waktu berbicara. Selain itu, kalimat efektif juga harus hemat dalam pemakaian kata, sehingga tidak ada kata yang mubazir, artinya tidak berfungsi sehingga harus dibuang.

Sebuah kalimat yang efektif mempersoalkan cara ia mewakili secara tepat isi pikiran atau perasaan pembicaraan secara segar dan sanggup menarik perhatian pendengar terhadap sesuatu yang dibicarakan. Kalimat yang efektif memiliki kemampuan atau tenaga untuk menimbulkan kembali gagasan pada pikiran pendengar identik dengan sesuatu yang dipikirkan pembicara. Di samping itu, kalimat efektif selalu tetap berusaha agar gagasan pokok selalu mendapat tekanan atau menonjol dalam pikiran pendengar.

Untuk dapat menciptakan kalimat yang efektif, selain kerangka sintaksis dan kosakata, diperlukan juga syarat-syarat lain. Syarat-syarat tersebut adalah kesatuan gagasan, koherensi yang lengkap, penekanan, variasi, paralelisme, dan penalaran atau logika.

Kalimat dikatakan efektif jika mampu membuat proses penyampaian dan penerimaan berlangsung sempurna. Kalimat efektif mempunyai isi atau maksud yang disampaikan tergambar lengkap dalam pikiran pendengar persis seperti sesuatu yang dimaksud oleh pembicara. Di samping itu, seorang pembicara harus mengetahui pendengarnya dan menyesuaikan gaya kalimatnya dengan pendengarnya, dengan memperhatikan ciri kalimat efektif.

2) Aspek pengungkapan

Selain aspek kebahasaan, keterampilan berbicara juga didukung oleh aspek pengungkapan, bahkan dalam pembicaraan formal, aspek pengungkapan sangat mempengaruhi keterampilan berbicara. Dalam proses belajar mengajar berbicara, aspek pengungkapan juga perlu diperhatikan. Aspek pengungkapan yang dimaksud adalah frekuensi (kefasihan/­kelancaran) dalam berbicara.

Arsyad dan Mukti (1988) mengungkapkan bahwa pembicara yang lancar berbicara akan memudahkan menangkap isi pembicaraannya. Seringkali ada pembicara yang berbicara terputus-putus, bahkan antara bagian-bagian yang terputus itu diselipi bunyi-bunyi tertentu yang sangat mengganggu pendengar, misalnya bunyi “ee”, “oo”, dan sebagainya, sebaliknya, pembicara yang terlalu cepat berbicara juga menyulitkan pendengar menangkap pokok pembicaraan.

Aspek keterampilan berbicara yang menjadi fokus dalam penelitian ini ada dua, yaitu aspek kebahasaan dan aspek pengungkapan, aspek kebahasaan menyangkut lafal, kosakata, dan tata bahasa. Sedangkan, aspek pengungkapan adalah fluensi (kefasihan/kelancaran). Dalam pembelajaran keterampilan berbicara, kedua aspek inilah yang harus mendapat perhatian oleh guru, agar siswa dapat memiliki keterampilan berbicara yang memadai sesuai dengan tuntutan standar kompetensi dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

Pelaksanaan penilaian kemampuan berbicara juga sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan siswa, baik dari segi kemampuan berbahasa maupun berpikirnya. Jika kemampuan berbahasa siswa masih sederhana, tugas berbicara yang diberikan masih bersifat “mem­bimbing” misalnya berbagai dialog sederhana, berbicara dengan rangsangan gambar (visual), atau buku-buku bacaan sederhana, dan sebagainya. Sebaliknya, jika kemampuan berbahasa berbahasa siswa sudah lebih tinggi, tugas berbicara yang diberikan dapat lebih bebas, seperti tugas diskusi, berpidato, wawancara, berbicara dengan rangsangan buku yang lebih kompleks, dan sebagainya.

Daftar Pustaka

Arsyad, Maidar G dan Mukti U. S., 1988. Pembinaan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Clark, Herbert H and Eve V. Clark. 1977. Psychology and Language. Harcourt: Brace Jovanovich Publisher.

Depdiknas, 2003b. Pedoman Khusus Pengembangan Penilaian Berbasis Kompetensi SMA. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Kridalaksana, Herimutri. 2001. Kamus Linguistik. (Edisi Ketiga). Jakarta: Gramedia.

Strn, H. H. 1983. Fundamental Concept of Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.

Tarigan, Djago dan Henry Guntur Tarigan. 1987. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tarigan, Djago, dkk. 1997. Pengembangan Keterampilan Berbicara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D III

Tarigan, Henry Guntur. 1990. Berbicara sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...