Thursday 12 March 2015

[Fanfiction Hunhan] I'm In Love With My Best Friend - Chapter 04



Sehun mondar-mandir di depan kamar Luhan, gelisah. Sesekali ia berhenti untuk menggaruk tubuhnya. Lalu kembali mondar-mandir lagi.

‘Apa aku harus memintanya? Ah, tidak. Luhan tidak akan memberikannya.’ Batin Sehun berdebat dengan pikirannya sendiri.

‘Mungkin lebih baik jika aku mengambilnya diam-diam. Dia pasti sudah tidur.’ Setelah berperang batin, Sehun pun berhenti di depan pintu kamar Luhan dan memutar knop pintu itu dengan sangat pelan.

Kepala Sehun menengok ke dalam, ia benar. Luhan sudah tertidur pulas. Sehun pun masuk ke dalam kamar itu dan kembali menutup pintu hati-hati.

Sehun melangkah pelan mendekati Luhan yang sedang tertidur pulas. Baru kali ini ia melihat wajah sahabatnya yang sedang tertidur. Tampak seperti anak kecil. Sehun tersenyum tipis lalu mendekatkan tubuhnya pada Luhan.

‘Maafkan aku, Luhan. Tapi kau satu-satunya orang yang bisa membantuku sekarang.’ Batin Sehun.

Sehun mendekatkan wajahnya ke wajah Luhan. Sehun dapat merasakan hembusan nafas teratur dari Luhan. Sehun pun mendaratkan bibirnya di bibir Luhan. Beruntung, bibir Luhan sedikit terbuka, memudahkan Sehun untuk melesatkan lidahnya ke dalam mulut Luhan dan menghisap air liur hangat yang terdapat di sana.

Suara kecipak terdengar jelas dari kamar Luhan. Luhan melenguh namun matanya terlalu lelah untuk terbuka. Ia setengah sadar saat lidah Sehun menjelajah semakin dalam di rongga mulutnya. Luhan tidak terlalu peduli dengan benda asing di dalam mulutnya, ia kembali tertidur pulas.

Sehun melepaskan pertautan lidah itu sambil mengatur nafas. Tenggorokannya tak lagi terasa kering dan tubuhnya tak lagi gatal. Ia berhasil mengatasi alerginya. Ya, dengan air liur Luhan.

‘Apa kau memang semanis ini, Lu? Kenapa aku baru menyadarinya?’ batin Sehun sambil menyeka saliva yang tertinggal di sudut bibir Luhan dengan ibu jarinya.

‘Terima kasih, Luhan.’

***

“Jadi, bagaimana kabarmu di rumah Sehun?” tanya Kai setelah meletakkan nampan berisi makan siangnya di meja yang dihuni Luhan.

“Hmm.. menyenangkan.” Luhan tersenyum simpul.

“Menyenangkan bagaimana?” tanya Kris ikut nimbrung. Ia memakan makan siangnya dengan lahap.

“Tempatnya nyaman. Mau apa saja tinggal bilang. Rasanya seperti tinggal di hotel.”

“Benarkah?” Kris melirik tidak percaya.

“Kalau gitu aku juga mau tinggal di rumah Sehun, ah.” Ujar Kai.

“Tidak sembarang orang bisa tinggal di rumahku, tahu?” Sehun muncul sambil membawa nampan makan siangnya.

“Yayaya, aku tahu. Harus perempuan kan’?”

“Aku penasaran bagaimana rupa Luhan saat menyamar jadi perempuan.” Ujar Kris sambil melihat Luhan.

“Aku punya fotonya.”

Luhan hampir tersedak.

Kai mengeluarkan ponsel dari sakunya. Lalu memperlihatkan salah satu foto di galerynya.

“Wah, kau lumayan juga, Luhan.” Kagum Kris.

“Yak! Berikan!” Luhan segera merampas ponsel Kai.

Itu benar foto dirinya saat pertama kali didandani seperti perempuan. Ia pun menoleh menatap Sehun tajam. Kapan Sehun memotretnya? Kenapa ia bisa tidak sadar?

“Maaf, Lu. Kai yang memaksaku.” Bela Sehun.

Luhan tidak memperdulikannya. Ia segera meghapus foto itu dari ponsel Kai lalu mengembalikannya.

“Kenapa kau hapus? Menurutku, kau sangat cantik di foto itu.” ujar Kai.

“Benar. Kalau fotonya jelek, baru kau hapus.” Tambah Kris.

Luhan hanya mendengus kesal, ia segera meninggalkan meja itu walaupun makanannya belum habis.

Ketiga orang itu terdiam sejenak.

“Apa dia marah?” Kai bertanya.

“Mungkin.” Kata Kris.

“Ini salahmu, Sehun.”

Sehun hanya terdiam seribu bahasa.

***

Hari sudah malam. Luhan belum pulang ke rumah Sehun. Sehun cemas.

‘Apa Luhan masih marah?’

‘Tapi kenapa ia harus semarah itu?’

Sehun kembali berdebat dengan dirinya sendiri. Tak lama kemudian, Luhan muncul. Wajahnya terlihat sangat lelah.

“Kau dari mana saja? Kenapa handphonemu tidak aktif?” tanya Sehun.

“Apa aku harus menjawabnya?”

“Tentu saja. Kau tahu aku cemas.”

Luhan menghela nafas.

“Aku bekerja, Sehun. Tidak mungkin aku terus tinggal di sini. Aku harus mendapatkan uang untuk menyewa paling tidak sebuah kamar.” Luhan berjalan melewati Sehun menuju kamarnya di lantai dua.

“Kenapa?”

Luhan menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Sehun.

“Kau tahu alasannya, Sehun. Tidak selamanya kita bisa berpura-pura. Sepandai apapun kita menyembunyikannya, tetap akan ketahuan juga. Aku hanya berharap aku bisa menemukan tempat tinggal sebelum orang tuamu tahu.”

“Apa kau tidak nyaman tinggal di rumahku?” tanya Sehun, matanya masih menatap Luhan lurus.

Luhan menggeleng, “Rumahmu tempat yang paling nyaman, Sehun. Hanya saja, tidak nyaman untuk menyamar menjadi perempuan.”

Sehun mengerti. Luhan memutar kenop pintu kamarnya ketika mendengar Sehun berbicara lagi.

“Oh ya, soal foto itu... aku minta maaf. Seharusnya aku tidak mengambilnya diam-diam.”

Luhan tersenyum, “Tidak apa-apa, Sehun. Asal jangan kau ulangi lagi. Itu memalukan tahu. Ingat, aku manly. Selamat malam, Sehun.”

“Malam, Luhan.”

Luhan menghilang di balik pintu. Sehun menghembuskan nafas lega. Tangan kanannya memegang dadanya sendiri.

‘Kenapa jantungku jadi berdebar cepat begini?’ tanyanya pada diri sendiri. ‘Mungkin aku harus periksa ke dokter besok.’

***

Hari ini kedua orang tua Sehun pulang dari Beijing. Mereka disambut oleh anak kesayangan mereka, Sehun, dengan wajah terkejut.

“Ayah? Kupikir kalian di Beijing dua minggu, kenapa pulang sekarang?” tanya Sehun sambil mengikuti kedua orang tuanya ke kamar mereka. Ini belum genap dua minggu sejak kepergian mereka.

Pria Korea bernama Taehyun itu melirik anaknya sekilas, “Memangnya kenapa, anakku? Kau tampak tidak senang orang tuamu kembali.” Ia tersenyum.

“Kau pasti mengerti, sayang. Sehun ingin berduaan saja dengan pacarnya.” Pria bule satunya melirik Sehun sambil tertawa.

“Bukan begitu,” Sehun menunduk malu. Entah mengapa ia jadi salah tingkah.

Taehyun tersenyum, “Ayah tahu kau pasti lupa dengan hari ulang tahunmu. Karena itu, kami pulang lebih awal untuk menyiapkan pesta untukmu.”

“Pesta?”

“Yes, my son. Besok hari ulang tahunmu. Kita akan mengadakan pesta di rumah. Kau boleh mengundang teman-temanmu.”

“But, Dad. Ayah tahu aku tidak suka ulang tahunku dirayakan.” Sehun menolak. Ya, selama ini ia memang hanya merayakan pesta ulang tahunnya dengan sekadar mentraktir teman-temannya di restoran mahal.

“Semuanya sudah dipersiapkan, Son. Kau pasti menyukainya. Lagipula, ayah ingin kau memperkenalkan kekasihmu pada semua orang. Itu hal yang baik.”

“Tapi

“Tidak ada kata ‘tapi’, son. Oya, ini hadiah untuk Luna. Pastikan dia memakainya besok.” Roger memberikan sebuah kotak persegi pada Sehun.

Sehun terdiam. Oh, sial. Dia hampir lupa soal Luhan. Bagaimana reaksi Luhan saat mengetahui rencana ini?

***

Sehun mengedarkan pandangannya di seluruh penjuru kafe, tempat Luhan berkerja. Ia menemukan Luhan sedang mengantar pesanan seorang pelanggan. Sehun pun memilih tempat duduk di dekat jendela, sambil memperhatikan gerak-gerik pemuda itu. Luhan tampak giat bekerja. Padahal ia pasti sudah lelah. Bayangkan jika kau harus mengantarkan koran dan susu di saat fajar, kuliah di pagi sampai siang hari, bekerja sebagai pelayan di siang dan sore hari, lalu sebagai bartender di malam hari. Sudah lebih dari seminggu Luhan melaksanakan jadwal yang sama. Kalau Sehun jadi Luhan, ia yakin dirinya akan ambruk di hari ketiga.

“Hei, apa yang kau lakukan di sini?” sapa Luhan menghampiri meja Sehun. Sehun tersadar dari lamunannya.

“Ada sesuatu yang ingin kubicarakan. Kapan kau selesai?”

Luhan melirik jam tangannya.

“Dua puluh menit lagi, kau bisa menunggu?”

Sehun mengangguk.

“Baiklah. Aku akan memesankan buble tea kesukaanmu.” Luhan melesat pergi.

Sehun tersenyum. Tidakkah menyenangkan saat orang lain sudah mengetahui keinginanmu tanpa kau harus repot mengeluarkan kata-kata? Itulah yang Sehun rasakan. Ia senang saat Luhan mengantarkan buble tea rasa cokelat dan cake krim keju ke mejanya.

“Selamat makan, tuan Oh. Panggil aku kalau kau butuh sesuatu.” Luhan berkedip lalu berlalu pergi. Sehun tersenyum lagi.

***

Sehun duduk di belakang kemudi sambil menyetir meninggalkan kafe. Luhan sudah duduk di sampingnya sambil mengikat tali sepatunya. Mereka menuju bar, tempat kerja Luhan berikutnya.

“Oya, apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Luhan setelah mengikat tali sepatunya. Ia memandang Sehun lurus.

“Besok aku ulang tahun.”

“Hpfff... Kau tidak perlu mengingatkanku, Sehun. Aku tahu. Jangan cemas, aku sudah menyiapkan kado untukmu.” Ujar Luhan sambil menahan tawa. Pikirnya Sehun sedang meminta hadiah.

Sehun melirik Luhan sebentar, ia terkejut juga saat Luhan mengingat hari penting itu padahal dirinya sendiri melupakannya. Benar-benar sahabat yang baik.

“Bukan itu, Luhan. Besok, orang tuaku akan merayakan pesta ulang tahun untukku.”

“Benarkah? Wah, pestanya pasti meriah.” Luhan menatap keluar jendela.

Sehun menghentikan mobilnya, “Kau harus hadir, Luhan.”

Luhan menoleh menatap Sehun, “Tentu saja, Sehun.”

“Hadir sebagai kekasihku. Apa kau bisa melakukannya?”

Kedua mata Luhan membulat sempurna, rahangnya hampir terlepas karena terkejut. Ah, Luhan hampir lupa kalau kedua orang tua Sehun mengenal Luhan sebagai Luna, kekasih Sehun.

“Maafkan aku, Luhan. Aku sudah mencoba menolak. Tapi orang tuaku bahkan sudah menyiapkan gaun yang akan kau kenakan nanti.”

Luhan masih terdiam seribu bahasa.

“Mereka mengatakan kalau di pesta itu aku harus mengenalkanmu pada seluruh keluarga, kerabat, dan teman-teman.”

“Teman? Itu berarti teman-teman kuliah kita juga datang?” Luhan buka suara. Wajahnya masih terkejut.

Sehun mengangguk lemah.

Punggung Luhan melemah, ia bersandar di jok mobil.

“Teman-teman kita, Sehun... Apa mereka tidak akan mengenaliku?” Luhan berujar lemah.

Sehun menghela nafas berat. Ia tidak bisa memastikan hal itu. Hanya saja, ia juga tidak bisa tidak menghadirkan Luhan di acara penting itu. Kekasih mana yang tidak hadir di pesta ulang tahun pacarnya sendiri? Orang tua Sehun pasti akan langsung curiga.

“Luhan, aku tahu posisimu. Aku akan berusaha agar mereka tidak mengenalimu. Percaya padaku, hmm?” Sehun menatap Luhan lekat.

Luhan menghela nafas berat. Ia tahu kedua orang tua Sehun pasti akan curiga jika ia tidak datang.

“Baiklah.” Kata Luhan kemudian, dengan sangat-sangat berat.

-
-
-
TBC

1 comment:

Yuko said...

sehunnya udah mulai suka ama luhan tapi kayanya luhan biasa2 aja tuh..
nah kira2 temen2nya bakal langsung ngenalin luhan ga? kasian juga kalk ampe ketauan

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...