Sunday 1 March 2015

[Fanfiction Hunhan] Say No!

Apakah suatu kesalahan jika kau selalu berbuat baik?
Apakah suatu kesalahan jika kau selalu mengabulkan apapun yang mereka inginkan?
Apakah suatu kesalahan jika kau selalu menjaga perasaan orang lain dengan berkata ‘ya’?
Aku tahu aku bodoh.
Orang bodoh yang tidak bisa berkata ‘tidak’.
-Luhan-


Sehun’s POV
Hari ini masih tampak sama bagiku. Suasana sekolah yang ramai. Terlalu banyak orang di tempat itu. Dari sekian banyak orang, aku bisa mengenali seorang pemuda mungil memakai kaca mata tebal berjalan pelan dengan tumpukan buku di kedua tangannya. Dia sekelas denganku. Namanya Luhan.
Beberapa siswa menghampirinya. Berniat membantu? Tentu tidak. Mereka menambah tumpukan buku yang dibawa Luhan sehingga tinggi tumpukan buku itu telah menghalangi pandangannya. Samar-samar aku mendengar mereka berkata, “Luhan, kumpulkan buku-ku juga ya.” Dan aku tidak mendengar penolakan dari pria mungil itu. Bodoh.
Aku tidak berniat memperdulikannya. Walaupun sekelas, kami tak begitu akrab. Aku hanya tahu namanya, ia berasal dari Cina, dan ia bisa disebut cerdas karena berhasil menggeser posisiku menjadi peringkat pertama. Tetapi bukan itu yang membuatku hampir tak pernah berbicara padanya. Aku hanya tidak merasa perlu untuk berbicara dengannya. Sesama orang cerdas, tak pernah saling membutuhkan. Aku tidak mengatakan bahwa aku cerdas, itu kenyataan.
Yang kutahu, Luhan tak pernah menolak akan permintaan yang disebutkan lawan bicaranya. Walaupun permintaan itu lebih terlihat seperti perintah. Seringkali dia harus pergi ke kantin hanya untuk membeli pesanan siswa lain yang sedang malas keluar kelas. Tak jarang juga dia menuliskan tugas siswa lain yang tidak sempat mereka kerjakan, atau meminjamkan barang-barang miliknya, seperti buku, alat tulis, dan baju olahraga.
Pernah suatu waktu, aku juga melihatnya meminjamkan sepatunya pada Kim Jongin, yang tidak mengenakan alas kaki. Aku ingat sepatu Jongin disita karena corak yang berlebihan dan tidak cocok untuk digunakan ke sekolah.
Beberapa kali aku melihatnya meminjamkan uang kapada siswa lain yang tak pernah dikembalikan. Karena itu, aku sering melihatnya berjalan kaki ketika pulang sekolah dari bus yang kutumpangi.
Semua yang dia lakukan, entah mengapa, sedikit banyak, membuatku muak. Aku tahu dia tidak sebodoh itu untuk menyadari bahwa apa yang orang lain lakukan padanya hanya sekadar ‘memanfaatkannya’. Atau mungkin logikanya sudah buta oleh senyum palsu dan ucapan terima kasih yang tidak tulus yang selalu diberikan orang-orang itu. Tidakkah dia sadar bahwa mereka hanya mendekatinya di saat mereka butuh? Bodoh.
“Hei, Sehun, kau ikut bermain futsal besok?”
Aku membuka mataku saat melihat Jongin duduk di depanku. Aku melirik keadaan kelas, tampak lengang. Aku sadar ini sudah jam istirahat. Luhan tampak sedang menuliskan sesuatu di agenda kecilnya sambil berbicara pada sekumpulan siswa yang duduk di sudut. Dia pasti sedang mencatat pesanan yang harus dibelinya di kantin.
“Sehun, kau mendengarkanku?”
Aku memutar bola mataku kembali menatap Jongin.
“Entahlah. Ada tugas bahasa yang harus kukerjakan. Kau tahu tugas itu harus dikumpul lusa.” ucapku jujur.
“Tugas bahasa? Astaga Sehun, bukankah songsaenim sudah memberikan waktu satu minggu untuk tugas itu dan kau belum mengerjakannya?” Jongin berseru berlebihan. Aku malas menanggapinya. Ya, benar tugas itu sudah diberikan minggu lalu. Aku pun bukan malas atau tidak tahu cara mengerjakannya. Aku hanya belum menemukan kesempatan untuk menyelesaikan tugas itu, tugas kelompok yang harus kukerjakan bersama Luhan.
“Tapi, bukankah kau sekelompok dengan Luhan? Kau minta saja dia mengerjakannya sendiri, jadi kau bisa ikut bermain futsal bersama kami. Lagipula ini kali pertama kau sekelompok dengannya, manfaatkan dengan baik.”
Ya, ini memang kali pertama aku sekelompok dengan Luhan. Selama ini setiap tugas berkelompok, tak pernah sekalipun aku satu kelompok dengannya, karena dua orang cerdas tidak mungkin berada di satu kelompok yang sama. Idealnya, setiap kelompok harus memiliki satu anggota andalan yang kemampuannya di atas rata-rata dan siswa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata masih bisa dihitung jari. Namun, tampaknya guru pelajaran bahasa memiliki pemikiran lain. Suatu kenyataan yang harus kusesali.
“Tidak, Jongin. Aku masih bisa mengerjakannya sendiri tanpa bantuan.”
“Lalu kenapa kau tidak mengerjakannya?”
“Karena aku tidak mau dimanfaatkan olehnya. Tugas kelompok harus diselesaikan secara berkelompok. Itu baru adil.”
Jongin memutar bola matanya, “Bagiku, itu yang namanya terlalu perhitungan.”
Aku tak memperdulikannya, lalu kembali mengenakan earphone di telingaku.
Sepertinya, dengan terpaksa, aku harus berbicara dengannya sepulang sekolah nanti.
***
Bel sekolah berbunyi nyaring menandakan jam pelajaran terakhir telah selesai. Aku segera memasukkan buku dan alat tulisku ke dalam tas sambil menyisakan satu buku tugas yang harus dikumpul di ruang guru. Mataku mencari pria mungil itu. Dia sedang membereskan barang-barangnya saat beberapa siswa lain mulai menghampirinya.
“Luhan, kumpulkan buku tugasku juga ya?”
“Aku juga.”
“Aku juga.”
“TIDAK.”
Semua mata melihat ke arahku. Aku sudah berada di samping pria yang lebih pendek dariku itu- Luhan- yang ikut melihatku bingung.
“Aku ada perlu dengannya. Jadi, sebaiknya kalian kumpulkan buku kalian masing-masing.”
Mereka serempak meninggalkan meja itu walaupun tanda tidak rela masih terlihat jelas di wajah mereka. Aku tahu mereka tidak mungkin membantahku. Siapa yang mau berurusan dengan ketua OSIS yang dikenal dingin? Walaupun sifatku sebenarnya tidak sedingin itu. Salahkan wajahku yang selalu terlihat datar.
Aku kembali menoleh saat kusadari sepasang mata bening yang dibingkai kaca tebal itu masih memandangku. Mungkin, dia terkejut karena ini kali pertama aku berbicara di jarak yang dekat dengannya.
“Tugas bahasa. Apa besok kau ada waktu untuk mengerjakannya?” tanyaku.
Dia tampak terkejut, mengalihkan pandangannya ke arah lain sejenak, lalu menatapku lagi.
“Oh, itu... Sebenarnya.. aku sudah selesai mengerjakannya. Kau tidak perlu memikirkannya.”
Aku tidak dapat menahan perasaan terkejut dan sedikit diremehkan, saat itu juga.
“Kenapa kau mengerjakannya sendiri? Kau tahu itu tugas kelompok dan seharusnya dikerjakan secara berkelompok! Kau pikir aku tidak bisa menyelesaikannya sendiri?!”
Dia tampak terkejut melihat ekspresiku.
“Jangan harap aku akan berterima kasih padamu!”
Aku segera mengeratkan ranselku dan pergi dari tempat itu, sebelum amarahku semakin memuncak. Sungguh, hal itu membuatku semakin muak padanya. Dia menyamakanku dengan siswa lain yang mengambil keuntungan darinya. Aku tidak seperti mereka. Aku tidak mau menyusahkan orang lain jika aku sendiri mampu mengerjakannya. Menyebalkan.
***
Rapat OSIS yang membahas perpisahan tingkat 3 nanti telah selesai. Para anggota satu persatu telah meninggalkan ruangan. Sebagai ketua, aku selalu menjadi yang paling terakhir meninggalkan ruang OSIS dan mengunci pintu. Aku berjalan keluar gedung saat kedua mataku menangkap sosok pria mungil itu lagi di ujung koridor. Dia bersama dua orang laki-laki yang kuketahui bernama Chanyeol dan Kris. Entah apa yang mereka bicarakan, sampai akhirnya Luhan mengeluarkan uang di sakunya dan memberikannya pada Chanyeol.
 “Aku tidak percaya dia semudah itu percaya kalau kita tidak punya uang untuk pulang.”
“Sudah kubilang kan’ dia itu bodoh. Hahaha...”
Aku dapat mendengar pembicaraan kedua orang itu saat mereka berjalan melewatiku. Pandanganku beralih melihat sosok itu lagi, dia berjalan ke arahku sambil menunduk. Entah apa yang membuatnya begitu tertarik melihat lantai, sampai-sampai tidak sadar aku berada di hadapannya.
Setelah matanya menangkap sepatuku, ia mengangkat kepalanya.
“Se..Sehun...” Dia melihatku terkejut. Aku bisa menangkap perasaan takut yang tersirat jelas di kedua matanya. Apa itu? Memangnya aku hantu?
“Kau,”
“Aku minta maaf.” Dia memotong ucapanku. “Seharusnya aku membicarakan tugas itu terlebih dahulu denganmu, tapi tidak kulakukan. Aku... aku hanya berpikir mungkin kau sibuk dan tidak punya waktu untuk menyelesaikannya. Maaf.”
Dia menunduk dalam, membuatku tidak mengerti akan apa yang dia bicarakan. Untuk apa dia minta maaf? Apa salahnya?
“Kau bodoh.” Dia kembali menatapku.
“Ap.. apa?”
“Kau bodoh. Apa kau tidak bisa membedakan antara mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan dan mereka yang hanya berpura-pura membutuhkan bantuan?”
Mulutnya tertutup rapat, matanya membulat seolah-olah tak percaya apa yang kukatakan.
“Dua orang tadi, mereka hanya berpura-pura tak punya uang. Mereka hanya mempermainkanmu. Kau tahu sudah berapa kali mereka mengatakan hal yang sama. Aku yakin kau sebenarnya cukup pintar untuk mengetahui kebohongan mereka.”
Aku menghela nafas, lalu melanjutkan, “Kau salah jika mengira dirimu dewa. Kau hanya menusia biasa. Tidak seharusnya kau mengabulkan apapun yang mereka inginkan. Cobalah untuk menolak, katakan TIDAK jika kau tidak ingin melakukannya. Jangan menurut seperti orang bodoh.”
Perkataanku sedikit menekan di kalimat terakhir. Mungkin efek pendapat yang tersimpan terlalu lama di pikiran.
Dia tampak bergetar, kedua matanya berkaca-kaca, bibirnya ia gigit sendiri. Apakah itu kemarahan atau kesedihan, aku tidak bisa membedakannya.
 “Apakah suatu kesalahan jika aku selalu berbuat baik?” Dia menarik nafas dalam, “Apakah suatu kesalahan jika aku selalu mengabulkan apapun yang mereka inginkan? Apakah suatu kesalahan jika aku selalu menjaga perasaan orang lain dengan berkata ‘ya’? - Aku tahu aku bodoh. Aku orang bodoh yang tidak bisa berkata ‘tidak’. Tapi kau... kau tidak punya hak untuk menghakimiku.”
Luhan berjalan cepat melewatiku. Aku sempat melihat liquid bening yang sempat menetes dari sudut matanya dan dia menghapusnya dengan cepat.
Aku segera mengejarnya, menarik pergelangan tangannya dan memojokkannya di sudut koridor di bawah tangga. Nafasku masih memburu ketika kedua matanya menatapku penuh  tanda tanya.
“Kalau kau memang tidak bisa berkata ‘tidak’ maka,” aku menarik nafasku, “aku memintamu menjadi kekasihku.”
Kedua matanya membulat menatapku tidak percaya, seakan-akan baru mendengar bahasa alien yang tak ia pahami.
“Kau tidak bisa berkata ‘tidak’, benar?”
Dia masih terpaku saat bibirku bersentuhan dengan bibirnya, mencicipi benda lunak merah muda itu dengan cara melumatnya lembut. Terasa manis, jauh lebih baik dari yang kupikirkan. Aku tak pernah menyangka bibir pria lain bisa semanis ini. Aku pun mengerti alasan Jongin menyukai Kyungsoo, mungkin karena bibirnya pun terasa manis dan nikmat seperti ini, seperti marsmallow.
Dia mulai memberontak, mendorongku dengan kekuatan yang dia miliki. Sayangnya, dia masih kalah dariku. Akhirnya, dia beralih menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras, membuatku harus menekan tengkuknya untuk memperdalam penyatuan kecil kami. Satu-satunya yang menghentikanku adalah suara kaca pecah yang kusadari sedetik kemudian bahwa itu adalah kacamatanya.
Dia masih menghirup oksigen sebanyak-banyaknya saat aku untuk pertama kali melihat kedua mata itu dengan lebih jelas. Matanya bening, tampak seperti mata seekor rusa kecil. Menarik.  Walaupun ia menatapku dengan penuh amarah. Matanya masih terlihat begitu indah. Tampaknya, aku telah jatuh pada kedua mata indah itu.
“Kau, mulai detik ini adalah kekasihku.” Aku menariknya meninggalkan sekolah. Dia melepaskan tanganku.
“Kenapa?” tanyaku.
“Untuk apa aku ikut denganmu?” tanyanya balik.
“Tentu saja karena kau kekasihku dan aku tahu kau tidak mempunyai uang untuk pulang dengan bus. Lagipula, kita harus mencari kacamata yang lebih baik.” Aku kembali menariknya menuju halte bus. Dia mengikutiku walaupun wajahnya tampak tidak rela.
Apa dia melakukannya karena tidak bisa mengatakan ‘tidak’? Mungkin. Itu sedikit menyebalkan. Dia terlalu baik. Aku muak. Aku membencinya. Tetapi tanpa kusadari, ada perasaan lain yang lebih besar dari itu. Perasaan ingin melindunginya dari orang-orang yang hanya memanfaatkannya. Dia terlalu baik untuk disakiti. Aku tidak rela.
Aku masih belum bisa mengatakan kalau ini cinta. Masih terlalu awal. Tapi aku tidak akan menutup kemungkinan itu. Hubungan sesama jenis bukan hal yang tabu bagiku.
Sekarang aku memiliki sebuah tugas, mengajarkan Luhan untuk berkata ‘tidak’.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...