Saturday 21 March 2015

[Hunhan Fanfiction] I'm In Love With My Best Friend - Chapter 08

Warning: This is boy x boy love story, yaoi, mature, nc.
Don't like, don't read. That's simple.
I just own the story. The cast belong to God and the
mselves.
I'm hunhan hard shiper.
Happy reading...


Sehun duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya dan kakeknya di ruang tengah. Pasalnya, Sehun berhutang penjelasan pada ketiga orang itu tentang siapa sebenarnya Luna, gadis yang baru mereka ketahui ternyata adalah seorang pria tulen. Jangan bayangkan betapa terkejutnya mereka saat menemukan Sehun dan Luna. Namun, lebih terkejut lagi saat melihat Luna berambut pendek dalam sekejap dan dokter pribadi yang memeriksanya menyatakan kalau pria itu baik-baik saja.

“Jadi, siapa sebenarnya Luna?” Taehun pertama buka suara. Suaranya lembut seperti biasa. Tangan kanannya menggenggam tangan Roger untuk meredam amarah pria itu.

“Dia Luhan, teman kuliahku.” Sehun menunduk dalam. Ia tahu ia harus menghadapi hal ini cepat atau lambat.

“Kami bersahabat baik. Saat itu, aku membutuhkan seseorang untuk kujadikan pacar agar perjodohan dibatalkan. Sedangkan Luhan membutuhkan tempat tinggal karena semua harta keluarganya disita oleh bank. Kami sepakat untuk saling membantu dengan ia menyamar sebagai wanita dan pacarku dan mendapatkan tempat tinggal sebagai gantinya.”

“Hanya karena perjodohan itu?! Kau sudah membohongi kami, son!”

“Tenanglah, Roger. Dengarkan Sehun.” ujar Taehun.

Sehun menghela nafas panjang, sebelum menatap ayahnya dalam.

“Aku mengakui aku sudah berbohong pada kalian. Aku meminta maaf. Aku tidak pernah berpikir untuk berbuat sejauh ini. Aku siap menerima hukuman apapun dari kalian.”

Roger menghela nafas berat, “Baiklah. Kalau begitu batalkan pertunanganmu dengan Luhan. Sebaliknya, kau akan tetap ayah jodohkan dengan Sulli.”

“But, Dad.”

“Itu hukumanmu. Luhan pun akan menerima hukuman karena telah membohongi kami.”

“Jangan, Dad. Aku mohon jangan libatkan Luhan. Dia tidak bersalah. Semua ini salahku. Aku yang memintanya untuk berpura-pura sebagai wanita dan menjadi kekasihku.”

Sehun menatap ayahnya sebelum melanjutkan ucapannya. “Aku bisa menerima hukuman apapun selain djodohkan dengan Sulli. Kami tidak saling mencintai, Dad. Aku sama sekali tidak mempunyai perasaan apapun padanya.” Sehun kembali menunduk.

Oh haraboji tersenyum. “Kau tidak memiliki perasaan apapun pada Sulli tetapi mempunyai perasaan pada Luhan, benar?”

Sehun, Roger, dan Taehun menatap pria tua itu terkejut.

“Haraboji... tahu dari mana?”

“Terlihat jelas dari caramu memandangnya.”

Taehun ikut tersenyum. “Jadi, kau menyukai Luhan?”

Sehun melihat ayahnya sejenak lalu mengangguk pelan. “Aku mencintainya.”

“Sudah jelas, tidak ada yang perlu diributkan. Menurutku, Luhan anak yang baik. Tidak masalah jika dia pria. Mereka hanya melakukan sedikit kenakalan. Maafkanlah mereka. Toh, kalian juga pernah muda.” ujar Oh haraboji sambil meminum teh hijaunya.

Taehun setuju dengan pendapat ayahnya itu. Ia menoleh menatap Roger dan berharap Roger akan sependapat dengannya.

“Apakah Luhan memiliki perasaan yang sama denganmu?”

Sehun terdiam mendengar pertanyaan ayahnya itu.

***

Luhan membuka kedua matanya perlahan. Matanya masih mengerjap-ngerjap beradaptasi dengan cahaya yang masuk. Ia dapat melihat sosok Sehun yang duduk di sampingnya sambil tersenyum lembut.

“Syukurlah, kau sudah sadar.”

Luhan mencoba bangkit. Sehun membantunya bersandar di kepala tempat tidur.

“Maafkan aku, Sehun. Seharusnya aku tidak terlalu fokus mencari petunjuk itu. Orang tuamu pasti khawatir.”

“Tidak apa-apa, Luhan.” Sehun masih tersenyum hangat. Luhan memandang bibir Sehun yang sedang tersenyum itu membuatnya menyadari kejadian semalam saat Sehun menciumnya untuk kali kedua. Luhan menunduk, kejadian itu sukses membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Ada apa denganku? Batinnya.

“Oh ya, Lu. Orang tuaku sudah mengetahui semuanya.” Perkataan Sehun membuat Luhan menatapnya terkejut. “Aku sudah menjelaskan semuanya. Bahwa kau hanya temanku dan kita hanya berpura-pura sebagai sepasang kekasih.”

“Orang tuamu pasti marah...”

“Ya, mereka marah. Tapi pada akhirnya, mereka mengerti. Jadi, kau tidak perlu berpura-pura menjadi wanita di depan mereka lagi.”

Luhan mengangguk mengerti. Benarkah mereka tidak marah? Luhan sendiri tidak yakin. Perasaannya masih tidak enak. Ia merasa sangat bersalah telah membohongi keluarga Sehun yang sudah begitu baik padanya.

“Setelah kau merasakan baikan, kita akan kembali ke Seoul. Orang tuaku sudah pulang lebih dulu.”

Perkataan Sehun menjelaskan semuanya. Orang tua Sehun bahkan tidak berniat untuk melihat Luhan. Mereka pasti membencinya sekarang.

“Aku baik-baik saja, Sehun. Lebih baik kita pulang sekarang. Aku harus segera berkemas.” Luhan berusaha bangkit dari tempat tidur. Kaki kanannya yang menginjak lantai masih terasa sakit akibat terkilir. Tetapi Luhan tidak mau menunda lebih lama lagi. Ia harus segera bersiap pindah dari rumah Sehun.

Sehun mengetahuinya. Dari ekspresi Luhan terbaca kalau ia memaksakan diri sendiri. “Kau tidak perlu terburu-buru, Lu. Orang tuaku tidak mengusirmu. Kau masih bisa tinggal di rumah kami. Lagipula aku tidak yakin kondisimu baik saat ini.”

“Aku baik, Sehun. Sungguh.”

“Istirahatlah.”

Luhan dan Sehun menoleh ke arah pintu, di sana Oh Haraboji berdiri dengan tongkat di tangan kanannya.

“Haraboji, mianhe. Aku

“Istirahatlah, Luhan. Dengan begitu, haraboji akan memaafkanmu.” Haraboji tersenyum lalu meninggalkan kamar Sehun.

Luhan hanya bisa menatap kepergian Oh haraboji yang menghilang dari balik pintu. Perasaan bersalah di hatinya semakin dalam.

“Kau tahu, Sehun. Seandainya kita tidak pernah melakukan penyamaran itu sejak awal, maka kita tidak akan melalui semua ini...” Luhan menatap kosong ke depan.

‘Ya. Mungkin aku pun tidak akan jatuh cinta padamu.’ Sehun menunduk dalam. Ia tahu Luhan sangat menyesal dengan hal tersebut. Tapi Sehun tidak. Baginya, penyamaran itu membuatnya menyadari perasaannya sendiri terhadap sahabatnya, dan itu bukan suatu hal yang patut disesali, melainkan disyukuri.

***

Hari ini Sehun dan Luhan kembali ke Seoul. Mereka sudah berpamitan pada Oh haraboji pagi tadi. Oh haraboji hanya titip pesan agar mereka kembali lagi nanti. Khususnya Luhan, Oh haraboji ingin bermain catur go dengan Luhan lagi. Sedangkan Luhan hanya tersenyum tanpa mengiyakan. Well, ia pun tidak yakin akan kembali ke rumah itu. Karena mengangkat kepala untuk melihat pria tua itu pun masih terasa berat untuk ia lakukan.

Sesampainya di Seoul, Luhan segera berkemas. Ia memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Beberapa buku yang sempat dibawanya juga dimasukkan ke dalam kardus. Memang barang bawaannya tidak banyak. Toh, semua yang ia butuhkan tersedia di rumah Sehun.

“Luhan.”

Luhan menghentikan kegiatannya sejenak melihat seseorang memanggilnya di ambang pintu. Itu Sehun. Tampaknya ia baru bangun tidur. Penampilannya masih berantakan.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Sehun. Walaupun masih mengantuk, ia tidak bisa mengabaikan suara kesibukan yang terdengar dari sebelah kamarnya. Ia tahu suara itu berasal dari kamar Luhan.

“Berkemas.” Jawab Luhan sambil melanjutkan packingnya.

“Demi Tuhan, Luhan. Ini sudah malam. Kita pun baru kembali dari Busan. Kalau kau memang ingin segera meninggalkan tempat ini, paling tidak tunggulah sampai esok hari.” Sehun melangkah masuk dan duduk di tempat tidur Luhan.

“Tidak, Sehunna. Aku tidak bisa menunda lagi. Menunggu sampai besok pun tak ada bedanya. Rasanya terlalu berat.”

Sehun hanya terdiam memperhatikan. Ia tidak menyangka perasaan bersalah Luhan lebih besar darinya. Sehun sudah merasa baik-baik saja. Berbeda dengan Luhan. Luhan tidak bisa tidur dengan nyenyak. Nafsu makannya pun berkurang. Padahal Sehun tahu benar bagaimana Luhan jika sudah dihadapkan dengan makanan. Luhan akan makan dengan lahap. Namun, dua hari ini Luhan kehilangan nafsu makannya.

“Mianhe, Lu. Ini semua salahku.”

Luhan mengalihkan pandangannya menatap Sehun.

“Ani, Sehun. Jangan dipikirkan. Semua sudah terjadi. Oh ya, tolong sampaikan permintaan maafku pada orang tuamu. Aku benar-benar menyesal.”

Luhan menarik kopernya sambil menjinjing kardus yang sudah diikat tali. Sehun segera mengambil alih kardus tersebut dan membawanya.

“Aku akan mengantarmu.”

***

Dua minggu berlalu sejak kepindahan Luhan dari rumah Sehun. Luhan tinggal di sebuah apartemen kecil yang cukup nyaman untuknya. Sehari-hari Luhan kuliah dan bekerja seperti biasa. Bedanya, Luhan sudah jarang, hampir tak pernah, berkumpul lagi dengan teman-temannya, Kris, Kai, dan Sehun. Setiap kali diajak, alasan Luhan selalu sama, sedang belajar, atau sibuk bekerja. Tapi Sehun tahu Luhan hanya menghindarinya.

Jangan tanya tentang keadaan Sehun. Ia seperti kehilangan nyawa selama dua minggu ini. Ia tak pernah bertemu Luhan. Sekalipun ingin memaksa bertemu, seperti mengunjungi tempat kerja Luhan, Sehun akan diabaikan. Alasannya, Luhan sedang sibuk bekerja. Sehun tidak lagi melihat wajah ceria Luhan yang sering ditunjukkannya. Sehun tidak lagi mendengar suara lembut Luhan memanggil namanya. Bahkan Sehun tidak lagi melihat senyum indah Luhan yang sanggup membuatnya berdebar cepat. Sehun bisa gila. Oh tidak, jangan sampai itu terjadi.

Hari itu, hanya ada Kai yang menemani Sehun bermain bilyard. Seperti biasa, jika sedang banyak pikiran, permainan Sehun tidak akan pernah bagus. Kai tahu itu. Kai adalah orang yang paling mengerti alasan dibalik kemurungan seorang Oh Sehun.

“Kau tahu kesalahanmu, kawan? Kau sudah membiarkan Luhan keluar dari rumahmu yang sama saja dengan membiarkan Luhan keluar dari hidupmu.” kata Kai setelah meneguk minumannya.

Sehun menghela nafas, “Kau benar. Tapi apa yang bisa kulakukan?”

“Kau seharusnya mencegahnya dengan cara apapun. Yang paling berat, mungkin, menyekapnya di rumahmu.”

Mata Sehun melebar mendengar ucapan sahabatnya itu. “Aku bukan psycho, tahu.”

“Well, ya, aku tahu. Walaupun aku belum bisa memastikan seratus persen kalau kau bukan psycho.”

Sehun mendelik mendengarnya, “Maksudmu?”

“Coba kutanya, apa kau tidak pernah memikirkan Luhan dengan cara yang berbeda? Seperti ingin menciumnya saat melihat bibirnya, atau terangsang hanya dengan melihat tubuhnya. Apa kau pernah berpikir seperti itu tentang Luhan?” tanya Kai serius, matanya terlihat seperti memancarkan api.

Sehun mengalihkan pandangannya. Ia merasa sial karena ucapan Kai selalu benar. Ia memang sering berpikiran seperti itu. Tak perlu ditanya.

“Benar, kan? Itu namanya kau sudah berpikiran psycho. Keinginan untuk memiliki secara seksual.”

“Sok tahu kau, Kai. Menurutku itu hal yang wajar jika seseorang ingin memiliki orang yang disukainya.”

“Memiliki hati atau tubuhnya? Yang mana yang lebih kau pilih?” Kai kembali mengajukan pertanyaan, membuat Sehun harus memutar otak.

Hati atau tubuh?

“Aku tidak akan munafik. Kalau bisa dua-duanya kenapa tidak?”

“Nah, itu jawaban yang kutunggu-tunggu. Secara sadar kau sudah mengakui kalau kau juga seiring memikirkan berhubungan intim dengan Luhan, benar?” Kai tersenyum janggal.

Sehun hanya meminum minumannya untuk menghilangkan dahaga.

“Karena aku lebih loyal padamu, aku akan membantumu mewujudkan mimpimu itu, kawan.” Ujar Kai senang.

“Maksudmu?”

“Aku akan membantu agar kau bisa berhubungan intim dengan Luhan.”

“Bodoh.”

“Mungkin setelah berhubungan intim, dia akan menyukaimu juga. Bagaimana?”

“Tidak perlu, Kai. Aku tidak mau memperkosanya jika itu yang kau pikirkan. Aku pergi dulu, ya. Bye!” Sehun segera meninggalkan Kai yang masih memikirkan rencana gilanya.

“Kau tidak akan memperkosanya, Sehun. Dia yang akan menyerahkan diri.” Kai tersenyum lebar.

***

Hari ini pesta ulang tahun Kris. Pesta itu diadakan di sebuah bar ternama di gangnam. Kris mengundang semua teman-temannya yang lebih dari seratu orang untuk minum-minum dan dugem. Termasuk Luhan, Kai, dan Sehun.

Sehun menjadi tamu paling terakhir datang karena harus mengantarkan orang tuanya terlebih dahulu yang akan berangkat ke Jepang. Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul satu malam. Beberapa orang sudah mabuk tak sadarkan diri. Namun, masih banyak yang berada di lantai dance sambil meliuk-liukan tubuhnya.

“Woi, bro! Akhirnya, kau datang juga. Kai dan Luhan ada di sana.” Kris menyapa Sehun sambil menunjukkan meja bar paling sudut.

Sehun hanya mengangguk paham lalu berjalan menuju meja yang ditunjukkan Kris. Sebenarnya, ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Luhan.

“Hai, kawan.” Sapa Kai sambil tersenyum. Matanya tampak merah. Namun, ia masih sadar. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan pemuda yang duduk di depannya. Mata pemuda itu sudah terpejam dengan pipi kiri yang menempel di meja. Itu Luhan.

Sehun segera duduk di samping Luhan sambil mencoba membangunkannya. Luhan membuka sedikit matanya, “Oh Sehunna.” Luhan tersenyum. Lalu kembali menutup mata.

“Berapa banyak yang dia minum?” tanya Sehun pada Kai. Kai melirik sebentar lalu menunjuk lima gelas kosong di meja. Sehun terkejut bukan main. Karena ia tahu Luhan tidak pernah minum sebanyak itu. Bahkan dua gelas pun sudah mampu membuat Luhan mabuk.

“Cepat bawa dia pulang. Aku masih mau tinggal.” Kai segera meninggalkan mereka menuju lantai dance.

Sehun kembali menatap Luhan. Oh, dia sangat merindukan orang itu. Walaupun Luhan sedang tidak sadar, ia senang karena akhirnya mereka bisa bertemu. Sehun pun memapah Luhan menuju mobilnya setelah berpamitan dengan Kris.

Sehun mengantar Luhan ke apartemen Luhan. Apartemen Luhan terletak di lantai tiga. Karena itu apartemen sederhana, tidak ada lift di sana. Sehingga Sehun harus membawa Luhan di pundaknya sambil naik tangga. Hitung-hitung olahraga dini hari.

Sampai di apartemen 15, Sehun masuk ke dalam setelah mengambil kunci dari saku Luhan. Sehun membaringkan Luhan di tempat tidur, lalu menutupi tubuh Luhan dengan selimut tebal. Sehun pun berjalan ke dapur. Ia harus membuat minuman pengar untuk Luhan yang terdiri dari madu dan air hangat.

Luhan bergerak tidak nyaman di tempat tidurnya. Tubuhnya terasa panas dan bergairah. Keringat dingin bercucuran dari pelipisnya. Tubuhnya seperti bergejolak, ingin disentuh. Tangannya meraba-raba perut dan dadanya sendiri, tetapi masih belum bisa menghilangkan perasaan itu. Luhan setengah sadar saat menyadari pusat tubuh bagian selatan miliknya telah menegang.

Sehun masuk kembali ke kamar Luhan sambil membawa minuman pengar terkejut melihat kondisi Luhan. Luhan berkeringat. Selimutnya sudah terjatuh di lantai. Tiga kancing kemejanya terbuka, dan tangannya sibuk meraba-raba tubuhnya sendiri dengan kedua mata yang masih terpejam. Sehun segera meletakan minuman yang dibawanya di meja nakas lalu duduk di pinggir ranjang.

“Luhan. Bangunlah.” Sehun mencoba membangunkan Luhan karena berpikir Luhan sedang bermimpi buruk. Luhan membuka matanya sedikit dan bisa mengenali sosok Sehun.

“Sehunna...” Luhan kembali memejamkan matanya. Tangannya lalu membuka kancing kemeja keempatnya sehingga memperlihatkan dada dan perut mulusnya. Sehun menelan ludahnya kasar.

“Luhan, sadarlah!” Sehun mencoba menyadarkan Luhan. Tapi sia-sia. Tangan Luhan masih meraba-raba tubuhnya sendiri.

“Sehun... Sehunna... Panasshh...”

Luhan kembali membuka sedikit matanya lalu menarik tangan kanan Sehun dan meletakkannya di atas tubuhnya.

“Sehunna... Kau dingin...”

Sehun masih terpaku karena terkejut. Luhan mengarahkan tangan Sehun menyentuh wajah, leher, dada, perut, dan bagian bawah tubuhnya sendiri.

“Luhan, apa yang...

Perkataan Sehun terpotong saat Luhan menariknya dan mencium bibirnya. Mata Sehun melebar ketika bibir Luhan mengecap setiap sudut bibirnya dan lidahnya memaksa masuk ke dalam mulutnya. Sehun memberikan cela sehingga lidah Luhan dapat leluasa bergulat dengan lidahnya dalam ciuman yang panas.

‘Sadarlah Sehun!’ Sehun menyadarkan dirinya sendiri, kemudian melepaskan ciuman itu segera. Keduanya berusaha mengatur nafas mereka sambil menatap dalam diam.

“Sehunna... Jebal...” Mata Luhan menatap Sehun dengan mata yang berkabut.

“Tidak, Lu. Kau tidak sadar.” Sehun berusaha mengendalikan diri walaupun Luhan sudah sangat menggodanya. Ia mengalihkan pandangannya dan Luhan kembali menariknya untuk saling bertatapan.

“Jebal Sehunna... Aku.. ingin.. kau..”

Oh shit! Sehun tidak bisa menahan diri lagi. Bibirnya segera melumat bibir Luhan lembut dan mengecap setiap sudut bibir merah muda itu. Luhan membuka mulutnya dan membiarkan lidah Sehun masuk ke dalam mulutnya menjelajah isinya. Bunyi kecipak hasil pertautan itu begitu mengisi ruangan. Sehun menjauhkan wajahnya untuk mengatur nafas. Ia masih menatap Luhan intens.

Sehun mengagumi betapa wajah Luhan terlihat mempesona malam ini. Keringat yang bercucuran di wajahnya justru membuatnya terlihat sexy. Sehun tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Tubuhnya sudah menegang. Namun, jauh di lubuk hatinya ia merasa tidak seharusnya melakukan hal ini.

Luhan menatap Sehun dengan mata yang sayu. Ia sedikit terganggu saat Sehun menghentikan kegiatannya dan hanya menatapnya. Luhan pun mengalungkan kedua tangannya di leher Sehun dan mempersempit jarak di antara mereka.

“Sehunna... Wae...? Kau tidak menginginkanku, huh..?” Luhan berbisik tepat di telinga Sehun. Tak ayal membuat Sehun menjauhkan pemikiran logisnya dan membiarkan nafsu menguasai tubuhnya.

“Kau akan menyesalinya, Luhan. Tapi satu hal yang perlu kau ingat, aku, mencintaimu.” Sehun berbisik di telinga Luhan lalu mencium tengkuk Luhan. Menyesap dan menggigit kecil hingga meninggalkan tanda kepemilikan di sana. Tangannya tiba di bagian selatan tubuh Luhan yang mulai mengeras dan menggelisahkan. Tangannya memanjakan dengan lihai, melingkar, menggenggam, dan meremas lembut sehingga Luhan terkesiap oleh sensasinya.

Dengan lembut, Sehun meloloskan pakaian Luhan dari tubuhnya dan menjalarinya dengan ciuman. Luhan menggeliat tidak nyaman namun tak kuasa untuk menolak saat bibir Sehun menggoda tubuhnya yang telanjang. Rasanya basah dan sejuk saat lidah Sehun menjelajah di sekitar dada dan perutnya.

Sehun merangkak turun dan mendaratkan satu ciuman panjang di pusat tubuh Luhan. Ujung lidahnya menyentuh permukaan tubuh Luhan yang menegang. Dalam satu gerakan berhasil memasukkan seluruh bagian kecil tubuh Luhan dan menghujaninya dengan lelehan saliva.

Luhan mendesah panjang, tangannya menggapai bantal dan meremasnya untuk melampiaskan kenikmatan yang ia rasakan. Luhan tak kuasa menampikkan bahwa sentuhan Sehun telah membuatnya merasa berada di surga. Sehingga cairan yang tertahan di dalam tubuhnya berlomba keluar dan disambut hangatnya mulut Sehun.

Sehun menelannya habis kemudian merangkak ke wajah Luhan, mencium kening, hidung, dan bibir Luhan dengan lembut. Sementara tangannya bergerak perlahan membelai rektum hingga Luhan mengejang. Jemari Sehun terasa dingin dan memabukkan menyelip masuk ke dalam rektum Luhan.

Luhan mendesah. Keningnya mengernyit kaget merasakan sensasi itu. Sehun menciumnya intim lalu menarik jemarinya dan menggantinya dengan dirinya sendiri yang masuk dalam satu hentakan. Luhan mengerang. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri menahan sakit yang menghujam tubuh bagian bawahnya.
 
Sehun bergerak perlahan dan mendesah tiap kali tubuhnya merasakan pijatan ketat rektum Luhan. Rasanya menakjubkan bagaimana cara Luhan memanjakan tubuhnya yang haus kehangatan. Nafasnya memburu dan gerakannya menjadi kacau, tak lagi penuh kelembutan. Sehun telah dibutakan oleh nafsu dan kenikmatan yang baru kali pertama diteguknya. Ia tahu Luhan adalah orang yang tepat, yang dapat memenuhi semua kebutuhannya.

Sehun mendesah keras saat klimaks menghampirinya. Luhan dibawahnya tercekat dengan mata setengah terpejam dan meremas bahunya untuk melampiaskan sakitnya. Sehun menjatuhkan dirinya dari atas tubuh Luhan, berbaring di sisinya dengan tubuh penuh peluh. Kepalanya terangkat mendaratkan ciuman singkat di bibir Luhan yang terbuka dan wajah yang memerah.

“Sarange.” Bisiknya pelan seraya menarik Luhan dalam pelukannya hingga terlelap.

***


TBC

1 comment:

Yuko said...

huwaaaaaaaa kaiiiii, kamu emang daebak!! bener2 sahabat yg bisa diandalkan... tapi gimana kalo pas luhan udah sadar sepenuhnya dia malah benci ama sehun ;____; hayoloh kai kamu harus tanggung jawab

duh sehun, dikasih ikan asin langsung aja dilahap... nc nya wkwk aw panas!

trus itu roger setuju ga sih ama hunhan?._.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...