Monday 2 February 2015

[Fanfiction-oneshoot] Rewind


Seulgi turun dari mobil sedan hitam, lalu berjalan pelan diikuti asisten pribadinya dari belakang.

“Benar, ini tempatnya?” tanya Seulgi.

“Iya, nona. Rapatnya akan dimulai lima menit lagi.”

Seulgi pun melanjutkan langkahnya menuju tempat pertemuan itu. Sepanjang jalan, ia berusaha tetap tenang agar rapat dengan calon inverstor itu dapat berjalan lancar. Karena hanya inilah satu-satunya harapan bagi perusahaan tempatnya bekerja yang sedang berada di ujung tanduk.

Tetapi, ia tak dapat menyembunyikan perasaan terkejutnya saat mengetahui siapa yang ditemuinya siang itu. Seseorang yang pernah ia kenal. Seseorang yang pernah singgah dalam kehidupannya. Seseorang yang telah lama hilang dari hidupnya. Orang itu adalah Luhan.

Flashback

Delapan tahun yang lalu...

Udara mulai dingin, Seulgi berjalan cepat menuju apartemen Luhan sambil membawa cake cokelat yang ia beli di kafe tadi. Ia berharap Luhan menyukainya. Hingga melupakan apa yang terjadi kemarin.

(Kriek) Luhan membuka pintu apartemennya dengan wajah datar. Tampak jelas ia masih marah pada Seulgi.

“Syukurlah kau di rumah. Aku membawakan cake kesukaanmu.” Seulgi segera memasuki dapur untuk menyiapkan cake itu. Luhan mengikutiku dari belakang.

“Tumben, kau datang. Apa kau sedang tidak sibuk belajar?” tanyanya. Seulgi tahu pasti pertanyaan itu untuk menyinggungnya.

“Ah, mianhe, Luhannie. Kemarin itu... aku benar-benar lupa. Aku terlalu fokus menyiapkan diri untuk olimpiade itu. Aku minta maaf. Karena itu, sebagai gantinya aku membelikanmu cake ini. Oh ya, aku juga membawa kado ini. Bukalah.” Seru Seulgi bersemangat sambil menyerahkan sebuah kado berbungkus pita biru. Luhan hanya menatap kado itu sebentar tanpa menyentuhnya.

“Terlambat. Ulang tahunku itu kemarin, Seulgi.”

Dia masih marah pada Seulgi. Tampak jelas dari raut wajahnya.

“Aku minta maaf, Luhan. Apa kau benar-benar tidak akan memaafkanku?” Seulgi menatapnya nanar. Luhan hanya berbalik dan duduk di sofa sambil menonton televisi.

Dia benar-benar seperti anak kecil. Sampai kapan dia akan seperti itu? Batin Seulgi.

“Ya, Luhannie. Paling tidak cobalah kue ini. Enak lho!” Seulgi membawa sepiring kue dan ikut duduk di samping Luhan. “Buka mulutmu. Aaaa...” Seulgi ingin menyuapkan sesendok kue tart itu. Tetapi Luhan tak memperdulikannya dan hanya fokus melihat televisi.

“Ya sudah kalau kau tidak mau. Aku akan menghabiskannya sendiri.” Ucap Seulgi sambil memakan kue itu sendok demi sendok. Luhan menoleh melihatnya.

“Ya! Kenapa kau malah makan sendiri? Aish! Jinja! Kau benar-benar egois!”

“Kau sendiri yang tidak mau. Sebenarnya apa maumu? Aku sudah minta maaf. Memang salahku melupakan ulang tahunmu kemarin. Tapi, kenapa kau masih marah padaku? Kau bahkan tidak membuka kado yang kuberikan.”

“Mauku? Aku hanya menginginkanmu. Apa itu terlalu sulit?”

Seulgi menatapnya bingung.

“Yang kau pikirkan hanya pelajaran. Aku yakin aku tidak pernah terlintas di benakmu, iya kan’? Kau pun tidak pernah mengatakan perasaanmu yang sesungguhnya. Aku ragu apa kau benar-benar mencintaiku?”

Luhan menatap Seulgi serius. Seulgi mencoba mengalihkan pandangannya karena tatapan Luhan itu membuat dadanya sesak.

“Kau bahkan tidak mau menatapku.” Tambah Luhan.

“Bukan begitu, aku hanya,”

“Sudahlah, Seulgi. Aku lelah hanya menjadi bayanganmu. Hanya menjadi seseorang yang mengikutimu dan memperhatikan setiap tingkahmu. Hubungan ini tidak akan berhasil. Mungkin memang benar apa yang dikatakan teman-temanmu. Kau terlalu baik untukku. Sedangkan aku hanya seorang pemuda berandalan yang bahkan tidak bisa lulus ujian universitas.”

“Hentikan, Luhan.”

“Wae? Itu benar kan’? Menurutmu aku hanya orang bodoh. Jadi, kenapa kau mau menjadi pacarku?”

“Yak!!” Seulgi menatap Luhan dengan mata yang berkaca-kaca menahan tangis.

“Kau tidak bodoh, Luhan. Kita hanya memiliki minat yang berbeda. Aku lebih suka belajar. Sedangkan kau lebih suka olahraga. Itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kecerdasan seseorang.”

Seulgi masih menatap Luhan dalam.

“Jangan memikirkan apa yang mereka katakan. Justru aku iri padamu karena kau bisa bebas melakukan apa yang kau inginkan. Sedangkan aku harus selalu berada di jalan yang sudah ditentukan oleh kedua orang tuaku. Itu sangat berat, Luhan. Tapi, sejak mengenalmu, hidupku menjadi jauh lebih berwarna. Aku memang tidak pernah mengatakannya, tapi aku selalu memikirkanmu. Hanya saja, aku tidak semudah itu mengungkapkan perasaanku. Karna hanya dengan menatapmu, jantungku berdebar lebih cepat dan tak dapat kukendalikan...”

Seulgi menunduk, ia tidak berani menatap Luhan. Luhan baru mengerti apa yang dirasakan kekasihnya itu. Ia merasa bersalah karena tidak dapat memahami pacarnya sendiri. Bahkan, sebenarnya dialah yang egois karena hanya memikirkan diri sendiri.

“Mianhe, Seulgi-ya.” Luhan menarik tubuh Seulgi dan memeluknya erat.

“Aku mencintaimu, Luhan.”

“Ya. Aku tahu.” Luhan tersenyum lalu mencium kepala Seulgi.

Seulgi menengadah menatap Luhan, lalu mencium bibir Luhan sekilas.

“Yak! Ciuman apa itu?” tanya Luhan tak terima karena baginya itu terlalu singkat.

Seulgi hanya tertawa kecil. Lalu kembali memakan cake cokelat di meja.

“Lebih baik kau makan kue saja, Luhannie.” Ujar Seulgi. Mulutnya masih dipenuhi cokelat.

“Baiklah.” Luhan pun menarik tengkuk Seulgi lalu menciumnya. Mata Seulgi membulat sempurna saat lidah Luhan berhasil masuk dalam mulutnya dan bertemu dengan lidahnya hanya untuk merasakan cokelat yang ada di dalam mulutnya. Namun, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Tubuhnya seperti beku. Bahkan saat cokelat yang ada di dalam mulutnya habis, Luhan tak juga melepaskannya. Matanya hanya bisa terpejam sambil mengalungkan tangannya di leher Luhan.

Luhan menganggap Seulgi memberinya izin untuk melakukan hal itu. Perlahan, ia pun mendorong tubuh Seulgi hingga terbaring di sofa lalu menindihnya tanpa melepaskan ciumannya.

“Se… Ssak.. Hannie…” Desah Seulgi dan berusaha mendorong dada Luhan. Luhan pun merasakan sesak di dalam dadanya. Pasokan oksigen mereka sudah menipis. Luhan segera melepaskan ciumannya.

Mereka pun bertatapan sambil mengatur nafas mereka yang terengah-engah.

“Mian, Seulgi-ya.” Ucap Luhan. Seulgi hanya terdiam menatap pria yang dicintainya itu. Sejujurnya ia terkejut melihat tingkah Luhan. Luhan tak pernah bertindak seperti itu sebelumnya.

“Jangan minta lebih, ya.” Ucap Seulgi seakan membaca arah pikiran Luhan.

Luhan tertawa, “Haha...Kau tahu saja.”

“Tentu saja aku tahu. Bukankah semua laki-laki pasti memikirkan hal itu?”

“Wah, kau memang sangat pintar, Seulgi-ya. Tapi, apa kau tahu kalau laki-laki pun tidak bisa mengendalikan perbuatannya?”

Seulgi menatap Luhan tak mengerti. Luhan kembali mencium Seulgi. Bibir Seulgi yang mungil dan penuh itu menggoda Luhan untuk terus melumatnya lembut. Setelah puas, Luhan pun beralih ke leher jenjang milik Seulgi. Ia menjilat, menghisap, dan menggigit kecil leher Seulgi hingga meninggalkan jejak kemerahan di sana. Seulgi hanya bisa menggigit bibirnya sendiri untuk menahan agar suara desahan tak lolos keluar dari mulutnya. Namun, ia tak berhasil.

“Aish.. Hen..ti...khannn.. Luh...”

Luhan pun berhenti lalu menatap Seulgi. Ia tak dapat menyembunyikan seringai kemenangan dari bibirnya. Sedangkan Seulgi tak dapat menyembunyikan wajahnya yang merah padam.

“Ne, arasso. Aku akan berhenti di sini.” Luhan terkekeh pelan sambil bangkit dan kembali dalam posisi duduk. Seulgi pun menghela nafas lega.

Luhan beralih mengambil kado yang menganggur sejak tadi lalu membukanya dengan penuh antusias.

“Otte? Kau suka?” tanya Seulgi.

Luhan hanya menatap sepasang sepatu olahraga berwarna biru dominan itu.

“Suka, tidak? Cobalah dulu, kurasa akan cocok di kakimu.” Seulgi mengambil sepatu itu lalu berjongkok di depan Luhan untuk memakaikannya di kaki Luhan.

“Wah, pas sekali!” seru Seulgi sambil tersenyum senang. “Nyaman, tidak?”

“Iya, nyaman sekali. Gumawo, Seulgi-ya.” Luhan pun tersenyum. Namun, Seulgi tahu ada yang menjanggal di hatinya.

“Kau tidak suka, ya?” tanya Seulgi kembali sambil duduk di samping Luhan.

“Suka, kok. Hanya saja... Sudahlah, tidak apa-apa.”

“Hanya saja apa? Kau membuatku penasaran.”

“Kau benar tidak tahu?” Luhan menatapnya serius.

“Tidak tahu apa?” Seulgi bertambah bingung.

“Pamali memberikan sepasang sepatu pada pasangan.”

“Hah? Kenapa?”

“Katanya, kelak mungkin dia akan lari darimu. Kau benar-benar tidak tahu?”

Seulgi mengangguk, matanya masih menampakkan kebingungan.

“Lalu kau percaya?” tanya Seulgi.

“Tidak juga, sih. Tapi tidak ada salahnya juga kan’ menghindarinya. Aku tidak ingin hubungan kita berakhir.”

Seulgi tersenyum, lalu memeluk lengan Luhan erat.

“Jangan khawatir, Luhannie. Aku percaya hubungan kita tidak serapuh itu. Kau pun tidak akan bisa lari dariku, tahu?”

Seulgi tertawa kecil, kedua matanya menyipit.

“Kau percaya diri sekali, Seulgi-ya.” Luhan ikut tertawa sambil mengacak-ngacak rambut Seulgi.

Flashback end

Seulgi tidak dapat menyembunyikan perasaan canggungnya saat kedua mata berwarna cokelat itu bertemu dengan matanya. Jantungnya kembali berdebar lebih cepat dari biasanya. Perasaan yang menurutnya telah menghilang itu kini kembali ia rasakan.

“Nona tidak apa-apa?” tanya asistennya itu saat Seulgi menghentikan langkahnya tiba-tiba. Seulgi tersadar, dan mengangguk pelan. Ia pun memberanikan diri menghampiri pria yang menatapnya sejak tadi itu.

“Maaf telah membuat Anda menunggu.” Kata Seulgi tetap berusaha tenang.

Luhan tersenyum. Senyum yang mampu membuat perasaan Seulgi kembali bergejolak.

“Lama tak bertemu, Seulgi-ya. Bagaimana kabarmu?” tanya Luhan.

Bagaimana bisa Luhan bersikap seperti tak terjadi apa-apa, setelah ia menghilang tiba-tiba selama ini?

Seulgi hanya menatapnya sambil berusaha menahan genangan air matanya. Seharusnya ia segera melancarkan serangan pada pria itu, memukulnya hingga babak belur. Atau memakinya dengan beragam cacian yang terpendam selama ini. Namun, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya merasa bersyukur dapat bertemu Luhan lagi. Karena sesungguhnya ia sangat merindukan pria itu. Sangat rindu.

“Mianhe.” Luhan mengerti arti tatapan Seulgi.

Air mata Seulgi jatuh seketika. Ia segera berlari meninggalkan tempat itu.

“Nona!” asistennya berniat mengerjarnya, tapi Luhan menghentikannya. “Biar aku saja.” Ucapnya.

***

Seulgi berlari secepat yang ia bisa. Ia tidak memperdulikan tatapan orang-orang yang melihatnya aneh. Bahkan ia tidak memperdulian suara merdu yang memanggil namanya sejak tadi. Ia tidak akan berhenti berlari kalau saja sepatu high heels yang dipakainya tak patah secara tiba-tiba.

Brukk!!!

Seulgi terjatuh. Lututnya terluka dan itu meninggalkan rasa perih yang amat sangat. Hanya saja hal itu belum dapat mengalahkan rasa perih di hatinya yang kembali muncul setelah sekian lama.

“Kau tidak apa-apa?” Luhan berusaha membantunya berdiri. Namun Seulgi menepis kedua tangan itu dan berusaha bangkit dengan usahanya sendiri.

“Kau terluka. Apa kau bisa berjalan? Atau mau kugendong?”

Seulgi menatap pria di hadapannya tidak percaya.

“Kenapa kau seperti ini? Jangan berpura-pura seakan-akan tidak terjadi apa-apa, Lu.”

Seulgi beranjak pergi, meski dengan langkah yang terseok-seok. Luhan menahan tangan Seulgi.

“Mianhe, Seulgi-ya. Mianhe. ” Luhan hanya bisa menatap Seulgi dalam membuat air mata Seulgi kembali menetes deras. Luhan pun menarik tubuh Seulgi ke dalam pelukannya, memeluknya erat seakan tak ingin melepasnya lagi. Seulgi berusaha melepaskan diri tapi sia-sia. Entah mengapa ia justru tenggelam dalam kehangatan yang diberikan Luhan. Bahkan, sejujurnya ia merindukan aroma tubuh pria itu.

***

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...