Thursday 5 February 2015

My Mistake 2 Part 9 (End)


“Arlin!” suara itu menghentikan langkah kaki Arlin yang baru saja ingin memasuki bandara. Arlin berbalik. Tiba-tiba sebuah pelukan hangat memeluknya erat. “Radit? Apa yang kau lakukan?” Arlin berusaha melepaskan pelukan itu. Tapi ia tidak bisa. Radit memeluknya terlalu kuat. “Katakan yang sebenarnya, Arlin. Katakan kalau kau juga menyukaiku.” Ucap Radit. Mata Arlin membulat karena terkejut. “Apa yang kau bicarakan?” tanya Arlin. Radit melepaskan pelukannya.

“Dina sudah mengatakannya padaku. Dia bilang kalau sebenarnya kau juga menyukaiku. Itu benar, kan? Tolong katakan kalau itu benar.” Kata Radit. Arlin terdiam memandangi wajah Radit yang terlihat begitu bahagia itu. Ia tak ingin mengecewakan Radit. Sungguh ia ingin mengatakan kalau itu benar. Ia pun ingin merasakan perasaan bahagia itu. Tetapi ia tak ingin membuat Radit semakin tidak bisa melupakannya nanti. Ia tidak mau memberikan Radit kebahagiaan yang semu.

“Maafkan aku, Radit. Tetapi itu tidak benar. Aku memang menyukaimu, sebagai adik. Bukan seperti yang kau pikirkan. Justru kedatanganku ke sini untuk menarik kembali kesempatan yang kuberikan. Aku tidak bisa menerimamu. Sampai kapanpun, kau akan tetap menjadi seorang adik bagiku. Jadi, lupakanlah apapun yang pernah kau ucapkan padaku.”

“Bohong..” Radit tidak dapat menerima penjelasan Arlin itu.

“Itu benar Radit. Bukalah matamu dan terima kenyataan kalau kita memang tidak bisa bersama. Biarkanlah aku bahagia dengan kehidupanku sendiri dan aku mohon kau jangan pernah mengusik kehidupanku lagi.” Arlin berjalan meninggalkan Radit sambil menahan air matanya yang nyaris tumpah. Radit hanya bisa memandangi Arlin yang berjalan menjauh tanpa bisa berkata apa-apa lagi.

***

Sudah tiga hari Dina tidak bertemu Radit. Radit tak pernah keluar dari apartemennya dan tak pernah masuk kuliah. Dina jadi cemas juga dibuatnya. Apalagi saat Dina menekan bel apartemen Radit, pintu apartemen itu tak juga terbuka. Akhirnya, Dina berinisiatif untuk meminta kunci duplikat pada penjaga apartemen. Ia takut terjadi apa-apa pada Radit.

Benar saja. Setelah pintu apartemen Radit terbuka, Dina mendapati Radit terbaring lemas di tempat tidurnya. Di samping Radit ada sebuah meja dimana terdapat belasan puntung rokok dan botol-botol minuman yang sudah kosong. Dina terkejut melihatnya. Ia tak pernah sekalipun melihat Radit merokok.

“Kak Radit..” Dina berusaha menyadarkan Radit. Tapi Radit tak kunjung membuka mata. Dina pun segera menghubungi dokter keluarganya.

“Kau tidak perlu cemas. Dia tak sadarkan diri karena sudah tidak makan dan hanya merokok dan minum alkohol. Akibatnya, asam lambungnya naik dan membuatnya demam. Kamu kompres demamnya, saya beri obat untuk meredakan demannya.”

“Iya, trima kasih paman.” Ucap Dina lalu mengantar dokter itu menuju pintu. Ia pun menyiapkan air hangat dan handuk kecil dan baskom. Lalu menghampiri Radit. Dina memegang kening Radit yang sangat panas lalu meletakkan handuk kecil yang sudah dibasahi air hangat. Dina tidak tahu mengapa Radit bisa menjadi selemah ini. Yang ia tahu, Radit memang berubah sejak pulang dari bandara.

Dina meletakkan bubur dan air minum yang sudah ia siapkan di meja. Lalu kembali mengompres kening Radit. Tak lama kemudian, Radit membuka mata.

“Dina? Kenapa kau..” Radit merasa mual. Dina pun memberikan baskom kecil sehingga Radit bisa memuntahkan seluruh isi perutnya. Dina lalu membawa baskom itu ke belakang.

“Syukurlah, kak Radit sudah sadar. Sebaiknya kak Radit makan dulu, aku sudah buatkan bubur.” Dina mengambil mangkuk berisi bubur itu, mengambil sesendok, mendinginkannya, lalu menyuapkannya pada Radit. Radit merasa sedikit risih dengan perlakuan itu.

“Trima kasih, Dina. Biar kumakan sendiri,” Radit mengambil mangkuk itu dari pangkuan Dina lalu memakannya sedikit demi sedikit. “Kak Radit habiskan buburnya ya. Baru minum obat. Aku keluar dulu,” kata Dina keluar dari kamar dan mulai membersihkan apartemen yang sudah dipenuhi debu itu.

***

Setelah beristirahat sebentar, Radit bangun dari tempat tidurnya. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Radit berjalan keluar kamar mencari Dina. Ia melihat apartemennya yang sudah bersih dan tercium aroma pengharum ruangan. Dari jendela pun ia bisa melihat baju-bajunya yang dijemur di luar yang masih setengah kering. Radit mengalihkan pandangannya di sofa depan tv. Di tempat itu, Dina tertidur dengan masih mengenakan celemek. Radit bisa mengetahui kalau Dina sudah sangat lelah. Radit pun menghampiri Dina lalu membuka celemek Dina dengan hati-hati agar Dina tak terbangun. Setelah itu, ia mengangkat Dina ke dalam kamar dan meletakkannya di atas tempat tidur. Lalu menarik selimut menutupi tubuh Dina. Sejujurnya, Radit merasa berterima kasih pada Dina. Ia tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan Dina tersebut.

***

“Oh, kau sudah bangun? Ayo makan,” kata Radit saat melihat Dina keluar dari kamar. Dina pun menghampiri Radit di meja makan. Dua piring spagetti tersaji di meja dengan aroma yang menggugah selera. Kebetulan Dina sudah merasa sangat lapar.

“Wah, tampaknya enak nih. Mari makan,” seru Dina sambil melahap makanan di hadapannya. “Bagaimana?” tanya Radit. “Ini spagetti terenak yang pernah kumakan,” kata Dina sambil tersenyum.

“Haha.. Kau terlalu melebih-lebihkan. Syukurlah kalau kau menyukainya. Aku tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikanmu. Terima kasih, Dina.”

“Tidak usah dipikirkan. Lagipula aku senang membantu kak Radit. Tapi, kalau kak Radit memang mau berterima kasih, sebenarnya ada film yang mau kutonton. Tapi gak enak kalo nonton sendiri. Hmm..kak Radit mau gak temani aku nonton?”

“Tentu saja. Kapan?”

“Besok, gimana? Sore jam 3?”

“Baiklah.” Kata Radit menyetujui.

***



4 bulan kemudian...

Radit berlari menuju ruang operasi rumah sakit di Jakarta. Sementara Dina mengikutinya dari belakang. Radit berhenti saat melihat wajah orang-orang yang dikenalnya. Ada ibu dan adik perempuan Arlin, Anita, yang berpelukan sambil menangis dan Anton yang berusaha menenangkan keluarganya. Sejenak kemudian, sebuah jenazah keluar dari ruang operasi dengan seluruh tubuh yang tertutup kain putih. Seluruh keluarga Arlin menghampiri jenazah itu dan menangis pilu. Sang ibu masih berusaha membangunkan Arlin yang sudah terbujur kaku. “Bangun nak! Ini mama. Bangun sayang...” ucap ibu Arlin histeris. Anita mencoba menenangkan ibunya itu tapi ia tidak bisa menahan air matanya yang mengalir deras. Sementara Radit hanya berdiri terpaku, tidak mempercayai apa yang dilihatnya kini. Ia kehilangan tenaga hingga kakinya tak dapat menopang tubuhnya lagi.

Dina menghapus air matanya. Jenazah Arlin sudah dimakamkan dan keluarga Arlin sudah pulang ke rumah. Tinggal Radit yang masih setia berlutut di samping pusara makam Arlin. “Radit...” Dina menyentuh pundak Radit dari belakang untuk mengajaknya pulang. “Ini pasti hanya mimpi. Aku hanya sedang bermimpi, kan?” Radit masih tidak percaya Arlin telah tiada. Dina hanya terdiam membisu. Ia hanya bisa menatap punggung Radit yang berguncang. Walaupun ia tidak melihatnya, tapi ia tahu saat ini Radit sedang menangis. Ia pun kembali meneteskan air matanya.

***

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...