Thursday 5 February 2015

My Mistake 2 Part 6


Dina tidak dapat melupakan akan apa yang terjadi padanya di malam itu. Hanya ciuman. Ia selalu berusaha menganggap hal itu sepele. Hanya sebuah ciuman. Tapi Dina tak bisa. Itu adalah ciuman pertamanya. Dan Dina merasa sangat sedih telah melakukannya bersama seseorang yang bahkan tak ia tahu namanya.

Radit berjalan keluar kelas, seorang gadis menghampirinya. Dia Shelly. Shelly menitipkan sebuah buku untuk diberikan pada Dina. Katanya Dina sudah beberapa hari ini tidak kuliah. Radit mengangguk mengerti.

Selama beberapa hari, Radit memang tidak bertemu Dina. Radit pun tidak berniat mencari tahu. Ia berpikir mungkin Dina sedang sibuk dengan kuliahnya. Tapi ucapan Shelly membuat Radit berpikiran lain. Pasti telah terjadi sesuatu pada gadis itu.

Radit menekan bel pintu flat Dina. Beberapa kali. Hingga akhirnya Dina membuka pintu. “Oh, Kak Radit, ada apa kak?” tanya Dina berusaha tersenyum. Namun Radit dapat melihat jelas bahwa itu senyum yang dibuat-buat, tidak seperti biasanya. Suara Dina pun tampak lebih murung dari biasanya. “ Boleh aku masuk?,” tanya Radit. Dina mengangguk pelan lalu mempersilakan Radit masuk.

“Kau baik-baik saja?” tanya Radit. Dina terdiam. Sebuah cangkir berisi teh yang masih panas itu jatuh mengenai jari tangan Dina. Radit bergegas menghampiri Dina dan membersihkan jarinya yang sedikit melepuh. “Sebenarnya ada apa? Kenapa kau tidak masuk kuliah?” tanya Radit lagi sambil mengoleskan obat ke jari tangan Dina. Dina menangis. Ia menangis mengeluarkan segenap air matanya yang sudah ia tahan selama beberapa hari ini.

“A...ak..aku... Kak,...orang itu...” Dina menangis sesegukan. Radit melihatnya prihatin. Lalu menepuk-nepuk bahu Dina pelan. “Sudah tak apa. Ceritakan saja padaku,” kata Radit berusaha menenangkan Dina. Dina menatap Radit dengan air mata yang masih mengalir deras. “Seseorang menciumku, Kak. Aku tidak mengenalnya... Dia memaksaku,” kata Dina. Radit terkejut mendengarnya. Namun ia tidak ingin menanyakan hal itu lebih lanjut. Ia tidak ingin membuat Dina merasa lebih buruk. Ya, di Amerika memang hal seperti itu sangat sepele. Tapi tidak bagi Dina. Radit tahu itu. Ia prihatin melihat keadaan Dina.

“Lupakan hal itu. Anggap saja tidak pernah terjadi.” kata Radit. Dina menggeleng keras, “A.., aku tidak bisa kak. Tidak bisa...” Dina menangis lagi. Radit kasihan juga melihatnya. Dan entah apa yang sedang ia pikirkan. Radit menghapus air mata Dina dengan jari-jarinya lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Dina lalu mencium gadis itu lembut. Dina terdiam. Tapi matanya tertutup perlahan. Ia membiarkan Radit menghapus kenangan buruk itu.

***

Radit tak tahu mengapa ia melakukan hal itu. Hal itu terjadi begitu saja. Tanpa bisa ia kendalikan. Mungkinkah perasaannya telah berubah? Tidak. Dia masih mencintai Arlin. Tapi bagaimana dengan Dina? Bagaimana perasaannya pada Dina? Ia sendiri tidak tahu. Menurutnya, Dina hanya teman biasa. Tapi mengapa ia bisa melakukan hal itu? Apa karena ia sudah terpengaruh budaya di Amerika? Kalau begitu, bukankah ia sama saja dengan pemuda yang mencium Dina dengan paksa? Radit merebahkan tubuhnya di tempat tidurnya lalu memejamkan mata, mencoba melupakan kesalahan yang telah ia lakukan.

Di tempat lain, Dina duduk termangu. Ia sedang memikirkan Radit. Setelah menciumnya, Radit meminta maaf. Tapi menurut Dina, tidak ada yang perlu dimaafkan. Radit telah menghapus kenangan buruk itu dari pikiran Dina. Sebaliknya, Dina ingin berterima kasih. Terima kasih karena Radit telah menghapus kenangan buruk itu dan mengubahnya menjadi kenangan yang tak ingin ia lupakan. Entah mengapa, jantung Dina berdebar dua kali lebih cepat memikirkannya.

Radit mengambil tas ranselnya dan melangkah keluar flat menuju lift. Hari ini ia kuliah pagi. Ia harus bergegas ke kampus. Pintu lift pun terbuka, “Selamat pagi, kak!” seru Dina sambil tersenyum. Ya, Dina memang tinggal di lantai atas. Tanpa sengaja mereka bertemu. “Pagi,” kata Radit lalu melangkah memasuki lift. Lalu keadaan menjadi canggung, tanpa suara. Dina memulai pembicaraan. “Kak Radit mau ke kampus kan? Kita berangkat bareng saja, aku juga mau ke kampus,” kata Dina. Radit menggeleng cepat, “Tidak, aku ingin pergi ke suatu tempat. Kau pergi saja duluan,” ujar Radit. Dina mengangguk mengerti. Namun ia merasa ada yang aneh dengan sikap Radit. Pintu lift pun terbuka. Radit bergegas pergi setelah mengatakan sampai jumpa tanpa menunggu Dina buka suara. Dina pun menyadari akan apa yang terjadi. Radit mencoba menghindar darinya.

***

“You come tonight right? Jason’s party,” tanya seorang pemuda berambut pirang pada Radit. “Maybe, i’m not sure. I Have to finish my assignment, bye” ujar Radit sambil berlalu pergi. Di koridor ia bertemu Dina. “Kak, kuliahnya sudah selesai?” tanya Dina. “Tidak, aku masih ada kuliah,” jawab Radit. Dina kecewa, “Ooh.. kirain sudah selesai. Aku mau ajak kak Radit makan,” kata Dina. “Lain kali saja, aku pergi dulu ya. Bye,” kata Radit berlalu pergi. Dina pun menghampiri teman kelas Radit untuk menanyakan jadwal kuliah. Ternyata apa yang dipikirkannya benar. Radit berbohong.

Dina berjalan menyelusuri jalan menuju flatnya. Sepanjang jalan pikirannya terus tertuju pada Radit. Ia sungguh ingin kembali seperti dulu. Bisa berbicara dan bercanda dengan Radit. Radit pun akan bersedia untuk membantunya atau menemaninya pergi kemanapun yang ia mau. Seperti hubungan antara seorang senior dan junior, kakak dan adik. Namun, Dina tahu ia tak bisa seperti dulu lagi. Ia pun tak bisa menganggap Radit sebagai seorang kakak lagi. Ia mencintainya.

Hujan turun. Sangat deras. Tapi Dina tidak berusaha berteduh. Ia membiarkan air hujan membasahi seluruh tubuhnya. Agar pikirannya bisa kembali tenang.

***

Arlin memandangi layar komputernya. Tak ada pesan baru dari Radit. Hanya pesan lama yang dibacanya berulang-ulang dan membuatnya tersenyum sejenak. Namun, ketika ia menyadari itu hanya pesan lama, senyumnya memudar. Ia mulai memikirkan Radit. Bagaimana kabarnya sekarang? Apa yang sedang ia lakukan? Arlin tidak tahu. Yang ia tahu, ia merindukan Radit. Sungguh.

***

Hari sudah malam. Radit menaiki lift menuju flatnya. Ia memutuskan untuk tidak pergi ke pesta Jason. Ia hanya merasa harus pulang. Namun, ia sangat terkejut melihat seorang gadis menunggunya di depan pintu flatnya. Gadis itu duduk sambil menekuk kedua lututnya.

“Dina,” Radit mencoba menyadarkan Dina. Dina tersadar dan mencoba membuka matanya. Ia pun tersenyum saat tahu orang yang memanggilnya itu adalah Radit. Namun, ia tidak dapat menahan pandangannya yang mulai menjadi gelap.

***

Dina membuka matanya dan mendapati dirinya terbaring di tempat tidur yang bukan miliknya. Ia pun bangun. Sebuah handuk kecil hangat terjatuh dari keningnya. Di samping tempat tidur itu sudah ada segelas air dan sebotol obat sirup. Dina memandang sekelilingnya. Sepertinya ia mengenal ruangan ini. Ini kamar Radit.

“Bagaimana keadaanmu? Sudah merasa baikan?” tanya Radit yang muncul dengan membawa baskom kecil berisi air hangat. Dina mengangguk pelan. Radit meletakkan baskom yang dibawanya dan menyentuh kening Dina. “Syukurlah, demammu sudah turun,” ucap Radit. “Istirahatlah dulu. Ada tugas yang harus kukerjakan. Kalau kau butuh sesuatu, panggil saja aku, ya.” kata Radit. Dina mengangguk. Radit pun berjalan menuju meja tempat komputernya berada. Lalu duduk dan mengerjakan tugasnya. Dina memandang jam dinding, sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Lalu mengalihkan pandangannya ke Radit. Apa Radit merawatnya sejak tadi? Kalau benar seperti itu berarti Radit belum istirahat. Tugasnya pun baru ia kerjakan. Dina menjadi merasa bersalah, tapi bersyukur di saat yang sama. Terima kasih, Radit.

***

Dina duduk terdiam memandangi punggung Radit dari meja makan. Radit sedang menyiapkan sarapan. Sepertinya itu nasi goreng. Dina bisa mencium wanginya. “Kak Radit kok gak pernah bilang sih kalau kakak juga jago masak?” tanya Dina. Radit tersenyum, “Bukan jago, Cuma bisa. Itupun hanya masakan sederhana. Tidak sepertimu,” ucapnya lalu menyajikan nasi goreng dalam dua piring putih. “Makanlah,” kata Radit. Dina mengangguk lalu menyuap sesendok ke dalam mulutnya. “Bagaimana?” tanya Radit. Dina mengerutkan keningnya, “Walaupun aku melihat sendiri tapi aku masih tidak bisa percaya. Benar ini masakan kakak?” tanya Dina sambil tertawa. Radit ikut tertawa mendengarnya, “Jadi balas dendam nih ceritanya,” Dina mengangguk mengiyakan tanpa menghentikan tawanya.

“Kak, Trima kasih,” kata Dina saat ia dan Radit berjalan menuju lift. Radit menoleh sebentar lalu tersenyum. “Ya, tidak masalah. Kita memang harus saling menolong bukan? Tapi kenapa kau kemarin menungguku? Padahal kau sendiri habis kehujanan,” tanya Radit. Dina ragu untuk menjawab. “Itu karena...” Dina menghentikan langkahnya. Radit ikut berhenti lalu menunggu jawaban Dina. “Kak Radit menghindariku kan’? Kenapa kak?” tanya Dina balik. Radit tak tahu bagaimana menjawabnya. “Apa...karena pacar kakak? Kak Radit sudah punya pacar?” tanya Dina takut-takut. Radit terkejut mendengarnya. “Kau tahu dari mana?” tanya Radit balik. Dina kecewa, “Jadi benar kakak sudah punya pacar...”

“Hmm...Sebenarnya belum jadi pacar. Hanya cinta yang bertepuk sebelah tangan.” jelas Radit. Dina mulai mengerti. Ia tahu persis bagaimana rasanya. “Gadis yang sangat beruntung. Aku jadi iri padanya,” ujar Dina. Radit memandang Dina sambil tersenyum, “Hei, kau juga beruntung kan’, bisa punya kakak sepertiku.” canda Radit sambil mengacak-acak rambut Dina usil. “Ih..Kak Radit apaan sih,” Dina kembali menata rambutnya yang berantakan. Radit tertawa melihatnya.

Dina tersenyum tipis. Ia berusaha keras menahan genangan air matanya yang nyaris bobol.

***

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...