Arlin membuka sebuah album foto bersampul merah hati itu. Sebuah album yang sudah tak pernah dihiraukannya selama sepuluh tahun terakhir. Isi foto itu sudah berantakan. Ada guntingan di sana sini. Tepat di wajah seorang pria. Setiap foto seperti itu. Tapi bukan pria itu yang membuat Arlin menguatkan diri untuk membuka kembali kenangan masa lalunya. Melainkan sesosok anak laki-laki yang berdiri tepat di sampingnya. Dengan jas hitam yang tampak pas di badan tambunnya, anak itu melihat ke arah kamera dengan ekspresi yang berbeda dari orang lain di sekitarnya. Jika semua orang tersenyum, tidak dengan anak itu. Ia hanya memandang ke arah kamera dengan ekspresi datar. Tanpa seulas senyum pun yang terukir di bibir mungilnya. Arlin mengenali anak itu. Dia Radit.
Arlin menutup album itu dengan beribu pertanyaan dalam benaknya.
***
Radit melipat pakaiannya satu per satu lalu memasukkannya ke dalam koper miliknya. Sebelumnya, buku-buku yang bertumpuk di samping lemari telah ia masukkan ke dalam kardus. Setelah memasukkan pakaiannya yang terakhir, Radit duduk di sisi tempat tidurnya sambil memandangi selembar tiket pesawat dan sebuah paspor di ditangannya. Tekadnya sudah bulat untuk meninggalkan negeri ini.
Setelah selesai mengajar, Arlin keluar kelas menuju tempat parkir mobilnya. Langkahnya terhenti ketika melihat Radit berdiri di samping mobilnya. “Syukurlah kau sudah datang. Makan yuk! Aku sudah lapar,” ujar Radit saat melihat Arlin. Arlin menatap tak percaya. Tempat parkir memang sedang ramai. Beberapa mahasiswa terlihat nongkrong di atas motornya sambil berbincang-bincang. Dan kalimat Radit barusan sukses membuat semua mata tertuju pada mereka. Arlin tidak menghiraukan ajakan Radit. Ia langsung masuk ke dalam mobilnya. Radit mengikut tanpa dipersilakan.
“Kenapa lagi? Bukankah aku bukan mahasiswamu lagi? Aku sudah berhenti kuliah. Jadi kurasa tidak akan ada masalah,” kata Radit. Arlin melajukan mobilnya tanpa melirik Radit sedetikpun. Radit menyalakan radio. Lagu Carly Rae Jepsen mengalun cepat. Arlin membanting stir dan berhenti di dekat halte bus. “Turunlah,” pinta Arlin. “Aku tahu kau sudah menolongku waktu itu. Tapi bukan berarti aku menerimamu. Walaupun kau bukan mahasiswaku lagi. Aku masih menganggapmu sebagai adikku,” lanjut Arlin.
“Aku tidak bisa,” Radit angkat bicara, “Mungkin bagimu mudah untuk beranggapan seperti itu. Tapi aku tidak. Sejak dulu aku menyukaimu, Arlin. Sebelum kau memilih orang itu untuk menjadi pendampingmu. Aku sudah menyukaimu, sampai saat ini,” lanjut Radit. Arlin menatap Radit tidak percaya. Ia tak dapat berkata apa-apa.
“Percayalah padaku. Aku bisa membuatmu bahagia. Aku bisa mengobati lukamu. Aku hanya memintamu untuk memberiku kesempatan. Apa itu terlalu sulit bagimu?” tanya Radit sambil menatap Arlin dengan seluruh kesungguhannya. Arlin terdiam. Ia tak pernah melihat seorang pria yang menatapnya dengan penuh kesungguhan seperti itu. Hatinya mulai menghangat. Jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya. Arlin sendiri tidak mengerti akan perasaan yang dirasakannya.
“Kumohon pikirkan baik-baik ucapanmu, Radit. Mungkin kau memang menyukaiku saat ini, tapi itu tidak bisa menjamin kau akan tetap menyukaiku hingga sepuluh bahkan puluhan tahun mendatang. Jalanmu masih panjang, Radit. Mungkin saja suatu saat kau menemukan gadis lain yang kau sukai dan hatimu bisa berpaling,” kata Arlin kemudian. Radit menghela nafas panjang, “Kau benar, aku memang tidak bisa menjamin sesuatu yang belum tentu terjadi. Aku hanya menyukaimu. Perasaan suka yang sederhana. Aku sudah bertahan sepuluh tahun untuk menyukaimu, bahkan saat kau bersama orang lain. Aku menyukaimu, bahkan saat aku sendiri belum tahu artinya. Aku hanya menyukaimu, Arlin. Itu satu-satunya yang bisa kuucapkan saat ini,” jelas Radit. Matanya beralih menatap jauh ke dapan.
“Aku akan pergi, melanjutkan pendidikanku di Amerika. Jika aku kembali, dan perasaanku masih sama, masih menyukaimu. Apa kau akan memberiku kesempatan?” tanya Radit. Arlin terkejut mendengar keputusan Radit itu. Namun, ia mengangguk menyetujuinya.
Arlin menutup album itu dengan beribu pertanyaan dalam benaknya.
***
Radit melipat pakaiannya satu per satu lalu memasukkannya ke dalam koper miliknya. Sebelumnya, buku-buku yang bertumpuk di samping lemari telah ia masukkan ke dalam kardus. Setelah memasukkan pakaiannya yang terakhir, Radit duduk di sisi tempat tidurnya sambil memandangi selembar tiket pesawat dan sebuah paspor di ditangannya. Tekadnya sudah bulat untuk meninggalkan negeri ini.
Setelah selesai mengajar, Arlin keluar kelas menuju tempat parkir mobilnya. Langkahnya terhenti ketika melihat Radit berdiri di samping mobilnya. “Syukurlah kau sudah datang. Makan yuk! Aku sudah lapar,” ujar Radit saat melihat Arlin. Arlin menatap tak percaya. Tempat parkir memang sedang ramai. Beberapa mahasiswa terlihat nongkrong di atas motornya sambil berbincang-bincang. Dan kalimat Radit barusan sukses membuat semua mata tertuju pada mereka. Arlin tidak menghiraukan ajakan Radit. Ia langsung masuk ke dalam mobilnya. Radit mengikut tanpa dipersilakan.
“Kenapa lagi? Bukankah aku bukan mahasiswamu lagi? Aku sudah berhenti kuliah. Jadi kurasa tidak akan ada masalah,” kata Radit. Arlin melajukan mobilnya tanpa melirik Radit sedetikpun. Radit menyalakan radio. Lagu Carly Rae Jepsen mengalun cepat. Arlin membanting stir dan berhenti di dekat halte bus. “Turunlah,” pinta Arlin. “Aku tahu kau sudah menolongku waktu itu. Tapi bukan berarti aku menerimamu. Walaupun kau bukan mahasiswaku lagi. Aku masih menganggapmu sebagai adikku,” lanjut Arlin.
“Aku tidak bisa,” Radit angkat bicara, “Mungkin bagimu mudah untuk beranggapan seperti itu. Tapi aku tidak. Sejak dulu aku menyukaimu, Arlin. Sebelum kau memilih orang itu untuk menjadi pendampingmu. Aku sudah menyukaimu, sampai saat ini,” lanjut Radit. Arlin menatap Radit tidak percaya. Ia tak dapat berkata apa-apa.
“Percayalah padaku. Aku bisa membuatmu bahagia. Aku bisa mengobati lukamu. Aku hanya memintamu untuk memberiku kesempatan. Apa itu terlalu sulit bagimu?” tanya Radit sambil menatap Arlin dengan seluruh kesungguhannya. Arlin terdiam. Ia tak pernah melihat seorang pria yang menatapnya dengan penuh kesungguhan seperti itu. Hatinya mulai menghangat. Jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya. Arlin sendiri tidak mengerti akan perasaan yang dirasakannya.
“Kumohon pikirkan baik-baik ucapanmu, Radit. Mungkin kau memang menyukaiku saat ini, tapi itu tidak bisa menjamin kau akan tetap menyukaiku hingga sepuluh bahkan puluhan tahun mendatang. Jalanmu masih panjang, Radit. Mungkin saja suatu saat kau menemukan gadis lain yang kau sukai dan hatimu bisa berpaling,” kata Arlin kemudian. Radit menghela nafas panjang, “Kau benar, aku memang tidak bisa menjamin sesuatu yang belum tentu terjadi. Aku hanya menyukaimu. Perasaan suka yang sederhana. Aku sudah bertahan sepuluh tahun untuk menyukaimu, bahkan saat kau bersama orang lain. Aku menyukaimu, bahkan saat aku sendiri belum tahu artinya. Aku hanya menyukaimu, Arlin. Itu satu-satunya yang bisa kuucapkan saat ini,” jelas Radit. Matanya beralih menatap jauh ke dapan.
“Aku akan pergi, melanjutkan pendidikanku di Amerika. Jika aku kembali, dan perasaanku masih sama, masih menyukaimu. Apa kau akan memberiku kesempatan?” tanya Radit. Arlin terkejut mendengar keputusan Radit itu. Namun, ia mengangguk menyetujuinya.
No comments:
Post a Comment