Tuesday 25 November 2014

[Cerbung] Story of My Life (2)


Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Jalanan sudah mulai sepi. Aku duduk di halte bus. Hanya memperhatikan mobil yang lalu lalang dengan pikiran kosong. Itu kali pertama aku membentak ibuku. Sebelumnya aku sudah berusaha keras untuk tidak berbicara padanya. Agar aku tidak berkata kasar padanya. Namun, justru hal itu yang membuat amarahku pecah. Ada penyesalan di dalam benakku. Tapi perasaan benci itu masih lebih besar mengendalikan hati dan pikiranku. Aku bersumpah tidak akan memaafkannnya.
 

“Sedang apa tuan putri di sini?” aku mendongak melihat si empunya suara. Dia Radit. Radit lagi.

“Bukan urusanmu,” aku berusaha menyembunyikan mataku yang mungkin terlihat sembab karna menangis tadi.

“Ya, itu bukan urusan gue. Tapi gue kaget aja bisa ketemu tuan putri di sini. Gak biasanya anak pejabat keluyuran malam-malam begini. Apa tuan putri gak dicariin?” tanyanya lagi.

“Mau tau aja sih lo. Suka-suka saya dong mau keluyuran atau tidak. Dan tolong jangan panggil aku tuan putri lagi. Aku bukan tuan putri!” kesalku tanpa melihat ke arahnya. Tiba-tiba tangan Radit memegang daguku sambil mengarahkanku menatap ke arahnya. Segera aku menepis tangannya kasar.

“Apa-apaan sih!”

“Kenapa lo nangis?” tanyanya lagi. Aku tidak tahu kenapa pertanyaannya itu semakin membuatku ingin menangis. Aku berusaha menahan butir-butir air mataku agar tidak jatuh.

“Lo bisa cerita ke gue,”

“Enggak. Kau mungkin lupa kalau kita itu rival. Alias lawan atau musuh. Mana mungkin aku cerita padamu? Aku tahu saat ini dalam hati kau tertawa melihatku menderita, kan?” entah kenapa kata-kata itu meluncur begitu saja keluar dari mulutku. Padahal aku tahu itu tidak benar. Radit bukan orang yang seperti itu. Walaupun sering berdebat dengannya, dia satu-satunya orang yang bisa mengerti setiap perkataanku, setiap pemikiranku, bahkan mungkin perasaanku.

“Maaf. Aku tidak bermaksud mengatakan...” kata-kataku terhenti. Air mataku mulai jatuh. Aku mengusap air mata yang jatuh di pipiku cepat. Tapi air mata ini tidak mau berhenti.

“Gue tau. Jangan dipendam, menangis saja,” kata Radit sambil menepuk-nepuk pundakku pelan membuatku semakin menangis sesegukan.

Beberapa menit kemudian, aku sudah bisa mengendalikan diriku. Kuhapus sisa-sisa air mata di pipiku dengan punggung tanganku. Radit memberikan sebotol air minum. Aku pun menguknya pelan. Aku memang merasa sangat haus.

Aku menoleh melihat Radit yang sedari tadi hanya memperhatikanku dalam diam. Mungkin dia terkejut melihatku menangis. Ini kali pertama aku menangis di depan orang lain. Biasanya aku tidak seperti ini. Aku hanya akan menangis jika berada di dalam ruangan seorang diri. Tetapi entah mengapa aku bisa menangis di depan orang lain. Apalagi orang itu Radit.

“Kenapa kau bisa ada di sini?” tanyaku pada Radit.

“Gue dari minimarket, tempat tinggal gue di dekat sini. Kalo tuan putri sendiri. Kenapa bisa ada di sini?” dia bertanya balik dan masih dengan sebutan tuan putri-nya itu. Kebiasaan memang susah hilang.

“Aku... ,” Aku ragu menjawabnya. Haruskah aku terus terang kalau aku sedang lari dari rumah? Tidak. Dia pasti akan berpikir kalau aku sangat kekanak-kanakan. Walaupun kenyataannya memang seperti itu.

“Oh,, gue tau, tuan putri pasti lagi galau. Memangnya ada masalah apa?”

Aku hanya menunduk mendengar pertanyaan Radit. Aku ragu apakah aku harus menceritakan hal ini padanya karena itu sama saja dengan membuka aib keluargaku sendiri. Tetapi kenapa aku harus peduli? Bahkan orang tuaku saja tidak peduli. Kenapa aku harus peduli?

“Kalau kau tidak mau cerita juga gak apa-apa,” sambung Radit.

Aku menghela nafas berat. Lalu mulai bercerita.

“Aku jarang bertemu ayahku. Dia orang yang sangat sibuk. Tapi sebelumnya hal itu tidak pernah menjadi masalah. Aku mengisi hari-hariku dengan banyak kegiatan, ikut kursus dan eskul. Belajar dan belajar hanya untuk menjadi yang terbaik, membanggakan orang tua,”

“Yang paling menguatkanku, adalah karena ibuku yang selalu memberiku semangat,”

Aku menelan ludah. Lalu menoleh melihat Radit.

“Kau ingat saat kita ikut pertandingan debat?”

Radit mengangguk. “Itu sebulan yang lalu, kan’?”

“Iya. Itu diadakan di hotel. Saat itu... aku tidak sengaja melihat ibuku. Dia datang bersama pria lain, dan memesan sebuah kamar. Aku berharap penglihatanku salah. Tapi ternyata tidak. Itu benar-benar dia. Dia bahkan tak pulang ke rumah malam itu, dengan alasan menyusul ayahku. Sejak saat itu, aku mulai membencinya. Padahal aku selalu bercita-cita ingin menjadi wanita sepertinya. Tapi dia... sudah menghancurkan semuanya,” tanpa bisa kutahan, air mataku kembali jatuh mengingat peristiwa itu.

Radit mendekatkan duduknya lalu memelukku. Dalam pelukannya, entah kenapa aku merasa tenang.

(skip time)

Radit membuka pintu kamar kosnya lalu mempersilakan aku masuk. Sebuah kamar bernuansa biru tua yang sebenarnya cukup besar. Tapi banyaknya barang-barang di dalam kamar itu membuatnya tampak penuh.

“Maaf, berantakan,” Radit merapikan kamar seperlunya.

Aku masih memperhatikan seisi kamar itu. Ada satu tempat tidur, lemari, dan rak buku yang terisi penuh. Di dekatnya ada sebuah meja bundar yang rendah yang hanya bisa digunakan jika kita duduk melantai. Ada gitar bersandar di dinding. Ada dua lampu, lampu ruangan dan lampu tidur yang terletak di samping tempat tidur. Di atas lemari, piala-piala Radit terpajang yang sebagian besar merupakan piala untuk juara kedua. Ya, itu karna aku yang selalu merebut tempat pertama. Dia hanya mengalahkanku saat pertandingan olahraga karna aku memang tak mahir dalam olahraga.

Aku sudah menceritakan masalah yang sedang kuhadapi pada Radit dan memberitahu kalau aku sedang lari dari rumah. Aku yang memintanya untuk mengizinkan aku menginap di tempatnya karena hanya tempat Radit yang mungkin ibuku tidak tahu. Lagipula aku tidak membawa uang sepeserpun. Aku tidak tahu harus kemana lagi. Radit pun meyetujuinya setelah berpikir panjang. Paling tidak malam ini aku tidak akan menginap di jalanan.

(skip time)

Setelah menyikat gigi dan mencuci muka, aku keluar dari kamar mandi. Radit memberikan sebuah handuk kecil untuk menyeka sisa air di wajahku.

“Kau bisa tidur di tempat tidur, gue akan tidur di lantai,” kata Radit. Aku mengangguk menurutinya sambil berjalan ke tempat tidur.

Radit melebarkan sebuah tikar di lantai lalu meletakkan bantal di ujung atasnya. Ia pun berbaring di atas tikar itu. Sementara aku masih mencoba memejamkan mataku. Dari luar aku bisa mendengar rintik-rintik hujan yang semakin lama semakin deras. Udara mulai dingin. Aku pun membuka mataku sambil merapatkan selimutku.

“Radit, kau...sudah tidur?” tanyaku.

“Belum, kenapa?” tanyanya sambil membalikan tubuhnya melihat ke arahku.

“Apa kau tidak kedinginan? Naiklah ke tempat tidur, kau bisa tidur di sampingku,” ucapku.

Radit tampak terkejut mendengarnya. “Gue gak apa-apa. Tidurlah,” balasnya.

“Mana mungkin aku bisa tidur? Aku merasa tidak enak padamu. Aku sudah terlalu merepotkanmu. Tidurlah di sini, aku tahu di lantai itu sangat dingin,” kataku lagi.

Radit berpikir panjang sebelum akhirnya bangun dan pindah ke tempat tidur. Aku menarik selimutku untuk menutupi badannya juga. Lalu menatap kosong langit-langit kamar Radit.

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku selalu berharap seandainya saat itu aku tidak melihat ibuku bersama pria itu, mungkin saat ini aku baik-baik saja. Seandainya aku tidak mengetahui kalau ibuku seperti itu, mungkin saat ini hubungan kami masih baik-baik saja. Aku jadi benci pada diriku sendiri.

Aku berbalik menghadap Radit yang tidur memunggungiku. Entah kenapa dia bisa tertidur di saat seperti ini. Lama kelamaan mataku semakin berat dan akhirnya tertutup rapat.

Hari ini, aku merasa lelah sekali.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...