Tuesday 25 November 2014

[Cerbung] Story of My Life (4)

 
Aku berusaha menghapus sisa-sisa air mataku saat menginjakkan kaki di kantor gubernur. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku harus menceritakan semua ini pada ayahku.

Pegawai-pegawai di kantor itu mengenaliku sehingga mempersilakan aku masuk. Aku pun berjalan ke lantai 2 dimana ruangan ayahku berada. Mungkin dia ada di ruangannya. Tapi aku tidak melihat sekretaris yang bisa menyambutku di ruang depan. Apa mungkin dia tidak ada di sana? Aku pun membuka pintu ruangan ayahku untuk memastikan. Tapi betapa terkejutnya aku melihat ayahku sedang bermesraan dengan wanita yang kutahu adalah sekretarisnya itu. Aku segera berbalik dan berlari meninggalkan tempat itu. Aku bisa mendengar ayah memanggilku, tapi aku tidak memperdulikannya. Aku berusaha menahan air mataku yang nyaris tumpah.

(skip time)
Aku berharap semua ini hanya mimpi buruk. Aku berharap esok aku akan terbangun dan semuanya tak seperti yang kupikirkan. Tapi aku tidak sedang bermimpi. Ini adalah kenyataan. Kenyataan paling pahit dalam hidupku.

Sungguh aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Bagaimana bisa mereka memiliki simpanan lain saat mereka masih terikat dalam hubungan suci pernikahan? Aku sungguh tidak mengerti. Lalu apa arti keluarga? Keluarga tidak berarti apa-apa. Bahkan aku pun mungkin tidak berarti apa-apa di mata mereka.

Lalu apa gunanya aku hidup?

Aku sudah tidak memiliki apa-apa.

Semuanya sudah hancur.

Harapan. Cinta dan kepercayaanku.

Semuanya sudah hancur.

Aku tidak memiliki apa-apa lagi.

Aku tidak bisa mempercayai apapun lagi.

Semuanya hanya kepalsuan belaka.

Aku tidak mau hidup di dunia yang penuh kepalsuan ini.

(skip time)

Aku kembali ke sekolah. Jam sudah menunjukkan pukul 5 petang. Masih ada beberapa siswa yang tinggal untuk kegiatan ekstrakurikuler. Ini adalah tempat terakhir yang bisa kutuju. Aku tidak tahu harus kemana lagi.

Baru saja kakiku melangkah memasuki gedung sekolah, rombongan anak OSIS yang tampaknya baru mau pulang berpapasan denganku. Sial. Kenapa aku harus bertemu mereka di saat seperti ini?

“Lho, Dina, ngapain kamu ke sekolah? Sudah sore nih.” tanya Desi, salah satu anggota OSIS. Aku mencoba tersenyum tipis. “Ada barangku ketinggalan di kelas..” jawabku sebisanya lalu melangkah melewati mereka. Aku masih bisa merasakan mata-mata mereka masih menatapku tajam. Kakiku melangkah cepat menuju kelas. Namun langkahku kembali terhenti melihat Arlin yang baru saja keluar dari kelas.

“Dina? Kamu ngapain masih di sekolah?” tanyanya dengan nada yang ramah seperti biasanya. Padahal baru beberapa jam yang lalu dia marah padaku.

“Lo baik-baik aja kan?” tanyanya lagi setelah tidak ada jawaban dariku. Matanya menunjukkan rasa prihatin padaku. Yang entah kenapa membuat air mataku menetes lagi.

“Arlin...” aku menangis sejadi-jadinya, mengeluarkan semua kesedihan yang kualami. Arlin melingkarkan tangannya memeluk pundakku lalu menuntunku duduk di kursi.

“Ada apa? cerita aja sama gue,” aku menatap Arlin sambil menceritakan apa yang terjadi. Dia tampak terkejut mendengarnya tapi tetap berusaha untuk menghiburku.

“Lo nginap di rumah gue aja dulu ya?” ucapnya. Aku menyetujuinnya tanpa berpikir dua kali.

(skip time)

Aku menghela nafas panjang sambil mengeringkan rambutku di depan cermin. Sekuat apapun aku berusaha melupakan masalah keluargaku, aku tetap tak bisa. Hal itu terus menghantuiku. Walaupun aku berharap itu hanya mimpi buruk.

“Ini Din, lo pake baju gue aja dulu.” Arlin memberiku sebuah dress pendek berwarna merah muda. Aku hanya menatapnya heran. “Dress?”

“Iya. Lo ikut gue aja ke diskotik malam ini. Gue jamin lo bisa melepas rasa penat lo sejenak. oke?”

“Diskotik? Kita kan’ belum cukup umur Lin.”

“Udah, lo tenang aja. Itu biar gue yang urus. Yang penting sekarang, lo ikut gue. Biar kita bisa senang-senang.” ucap Arlin antusias. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Benarkah ke diskotik bisa membuatku melupakan masalahku? Aku juga tak tahu. Tapi tidak ada salahnya dicoba. Mungkin Arlin benar. Aku pun mengangguk menyetujui ajakan Arlin.

Jam menunjukkan pukul 10 malam. Aku mengukuti Arlin memasuki salah satu diskotik di kota Bandung. Kami bisa masuk tanpa kendala berarti. Sepertinya Arlin sudah sering mengunjungi tempat ini. Karena penjaga diskotik itu mengenalinya dan langsung membiarkan kami masuk.

Kami sudah disambut alunan musik beat yang cukup keras. Arlin menarik tanganku menuju meja di pojok ruangan. Di sana telah menunggu teman-teman Arlin.

“Din, kenalin teman-teman gue. Yang baju biru itu Anton, terus disampingnya David, Sinta, Eni, dan Wandy.” Ucap Arlin setengah teriak agar aku bisa mendengarnya di tengah dentuman suara musik yang keras.

“Guys, kenalin ini Dina, sahabat gue.” Aku pun tersenyum sambil menjabat tangan mereka satu per satu.

“Yuk duduk Dina.” Kata Eni. Aku menurutinya. Kami pun mulai mengobrol. Mereka bercerita tentang banyak hal. Tapi entah kenapa tak satu pun perkataan mereka yang masuk di pikiranku. Satu-satunya yang kutahu adalah mereka teman satu gank Arlin waktu masih SMP dulu.

“Din, ikut dance yuk!” ajak Arlin. Aku mengggeleng pelan. “Gak Lin. Aku di sini saja.” Tolakku halus. Arlin mengangguk mengiyakan. Lalu beranjak pergi bersama Eni, Sinta, dan Wandy.

“Baru pertama ya ke sini?” tanya David. Aku hanya tersenyum hambar. “Ini, minumannya diminum dong Dina. Enak lho!” ujar Anton.

“I. Iya.” Aku pun mengambil segelas minuman berwarna hijau di depanku sambil memperhatikannya dengan seksama.

“Tenang aja. Itu non-alkohol. Cuma coktail biasa.” David menjawab rasa penasaranku. Aku pun meneguk minuman itu pelan. Rasanya manis. Seperti sirup dengan sedikit rasa lemon.

“Gimana?”

“Hmm.. Iya enak.” Ucapku lalu kembali meneguk minuman itu sampai tetes terakhir. Aku memang sangat haus.

(skip time)

Entah kenapa mataku terasa berat. Sedangkan musik keras yang mengalun terdengar seperti lagu nina bobo yang semakin membuatku ingin terlelap.

“Dimana Arlin?” tanyaku pada David.

“Itu di sana. Kenapa Dina? Lo sudah mau pulang?”

“Iya. Bisa tolong panggilin Arlin gak?”

“Baiklah.” David beranjak pergi. Aku masih mati-matian berusaha menahan rasa kantukku agar tak tertidur di sini. Tak lama kemudian, Arlin muncul.

“Lo sudah mau pulang, Din?” tanyanya.

“Iya. Kita pulang yuk Lin.”

“Oke.”

Arlin pun mengajakku pulang. Setelah sampai di mobil, aku sudah tidak bisa menahan rasa kantukku. Mataku pun terpejam rapat.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...