Tuesday 25 November 2014

[Cerbung] Story of My Life (5)


Aku mencoba membuka mata. Kepalaku masih terasa pusing tapi aku tetap bangun dan memperhatikan sekelilingku. Di mana aku? Tempat ini sangat asing bagiku.

Aku pun berusaha berdiri. Ada yang berbeda dari penampilanku. Dress yang kukenakan semalam sudah robek sana-sini. Aku berusaha mengingat kembali apa yang terjadi. Tetapi tak satupun hal yang terlintas di pikiranku selain kejadian di diskotik itu. Lalu apa yang terjadi? Dimana Arlin?
Aku pun beranjak menuju kamar mandi. Masih dengan pikiran yang kalut aku memandangi wajahku di cermin wastafel kamar mandi. Entah mengapa ada bercak kemerahan di leher dan dadaku. Aku pun membuka pakaianku dan berniat untuk mandi. Tetapi perasaanku mulai tidak enak saat aku buang air kecil. Rasanya sakit. Aku pun mulai menyadari apa yang telah terjadi.

Air mataku pecah seketika. Aku berharap ini hanya mimpi. Tetapi tidak, ini kenyataan. Aku harus mengakui aku telah kehilangan hartaku yang paling berharga. Aku bahkan tidak tahu telah memberikannya pada siapa. Yang kutahu, Arlin terlibat dalam hal ini. Jahat. Tak kusangka dia tega melakukan hal ini saat tahu tentang keadaanku. Aku tak bisa mempercayai siapapun lagi.

(Skip time)

Aku ingin mati saja. Mungkin itu adalah jalan yang terbaik untuk mengakhiri penderitaan ini. Lagipula tak ada lagi yang dapat membuatku bertahan. Aku sudah hancur. Ibarat telur yang sudah pecah, tak bisa dikembalikan seperti semula. Aku hancur.

Aku berjalan menuju balkon. Tampak pemandangan kota Bandung dari ketinggian sepuluh meter. Aku pun baru tahu kalau aku sedang berada di kamar hotel tingkat delapan. Ini cukup tinggi untuk membuat nyawaku melayang. Sekarang aku hanya perlu terjun bebas dan semuanya akan berakhir.

Ku panjat dinding yang tidak terlalu tinggi itu dan bersiap-siap untuk melompat. Namun, belum sempat aku melakukannya, seseorang menarikku hingga membuatku terjatuh menimpa orang itu. Aku pun membuka mataku yang sempat tertutup saat akan melompat tadi.

“Radit?”

“Ya! Kau sudah gila?! Bagaimana bisa kau mau lompat dari tempat itu? Kau bisa mati!”

Aku segera bangkit dan terduduk di lantai. Radit pun bangun dan duduk di depanku.

“Kenapa kau bisa ada di sini?” tanyaku.

“Ayo ikut aku, aku akan mengantarmu pulang.”

“Kau tidak menjawab pertanyaanku.”

Aku menatapnya tajam. Ia hanya menatapku tanpa berkata apa-apa.

“Kau tahu apa yang terjadi?” tanyaku lagi. Ia masih tak menjawab. Tetapi aku sudah dapat menduga jawabannya.

“Kau juga bersekongkol dengan mereka?” aku menatapnya nanar.

“Tidak! Tentu saja tidak. Aku tahu dari Arlin.”

“Lalu?”

Radit menghela nafas, “Dia mengatakan agar aku menjauhimu karena kau bukan gadis baik-baik”

“Apa?”

“Kau tenang saja, aku tidak menceritakan hal ini pada siapapun.”

Air mataku kembali menetes deras. Aku tidak tahu harus dimana lagi aku menaruh wajahku. Semua orang mungkin sudah mengetahui apa yang terjadi padaku. Aku segera berdiri dan melanjutkan niatku yang sempat tertunda.

“Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah, Dina.”

Radit menahan tanganku. Aku tetap menangis tanpa memandang wajahnya.

“Lalu aku harus bagaimana? Aku bahkan tidak punya keberanian untuk menatap wajahmu. Bagaimana aku bisa memandang orang lain dengan kepala tegak? Aku malu, Radit. Kau tidak mengerti rasanya.”

“Aku memang tidak mengerti. Tapi aku bisa menjadi pelindungmu, Dina. Kau tidak perlu malu.”

Radit menarikku dalam pelukannya. Aku tidak tahu apa yang dia maksud untuk menjadi pelindungku. Tetapi aku bisa merasakan ketulusannya. Dalam pelukannya, aku merasa lebih tenang.

(skip time)

Matahari pagi menyapaku dengan sinar yang menyilaukan mata. Aku membuka mataku perlahan dan menemukan sosok ibuku yang duduk di sampingku sambil menatapku dalam.

“Bangunlah. Ibu sudah menyiapkan makanan kesukaanmu.”

Aku menarik selimutku lagi dan menutupi seluruh wajahku. Bagaimana aku bisa menatap matanya setelah apa yang terjadi?

“Ibu minta maaf, Dina. Ibu tidak tahu kalau tindakan ibu sangat menyakitimu. Sebenarnya, sudah lama ibu ingin berpisah dengan ayahmu. Dia sudah mengkhianati ibu sejak kau masih kecil.”

“Tapi ibu tetap bersabar untukmu, Dina. Ibu tidak mau kau tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Ibu tidak mau kau hidup dalam pengasuhan seorang ibu tunggal dengan gaji yang pas-pasan. Karena itulah ibu tetap bertahan menghadapi ayahmu.”

“Ibu sadar ternyata semua kehidupan mewah yang kita jalani tak membuat hidup kita bahagia. Ibu minta maaf karena baru menyadari hal itu. Setelah ini, ibu akan berpisah dengan ayahmu. Ibu berharap kau bisa memahami keputusan yang ibu buat.”

Aku hanya terdiam tak menanggapi penjelasan ibu. Akhirnya, ia pun beranjak keluar dari kamarku.

“Jangan lupa makan, nak. Ibu pergi dulu.” Ucapnya lalu menutup pintu.

Aku hanya menghela nafas berat.

(skip time)

Aku melangkahkan kakiku memasuki restauran tempat ayahku menunggu. Ia mengenakan pakaian batik dan celana hitam. Kacamata membingkai kedua mata sayunya seperti biasa. Ia melihatku sambil tersenyum dan melambaikan tangan kanannya, memintaku segera menghampirinya.

“Bagaimana kabarmu, nak?” tanyanya begitu aku duduk di kursi berhadapan dengannya.

“Sangat buruk.” Jawabku datar tanpa memandangnya.

“Ayah minta maaf atas apa yang terjadi. Mungkin kau sudah mendengarnya dari ibumu. Kami akan bercerai.”

Aku menghela nafas berat.

“Aku tahu. Selamat ayah.”

“Selamat?”

“Iya, selamat. Bukankah ini keinginan ayah sejak lama? Akhirnya ayah bisa terbebas dari aku dan ibu.”

Ayah mengerutkan dahinya tampak bingung.

“Walaupun ayah berpisah dengan ibumu. Tetapi kau masih anak ayah, Dina. Ayah tidak akan mengabaikanmu.”

“Entahlah, ayah. Aku tidak bisa mempercayai apapun lagi.”

Aku menatapnya dalam.

“Apa boleh aku meminta sesuatu?”

“Boleh, anakku. Apapun itu akan ayah kabulkan.”

“Aku ingin belajar di luar negeri.”

Ayah terkejut mendengar permintaanku. Tetapi ia mengangguk pelan.

“Baiklah. Ayah akan mengurus semuanya.”

“Terima kasih, Ayah.” Aku pamit pulang. Ayah hanya menatap kepergianku dalam diam.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...