Tuesday 16 June 2015

[Hunhan Fanfiction] Pretty Boy (Chapter 5)

Hunhan Fanfiction, Sehun & Luhan as main cast
BL, yaoi, rated T for now
I just own the story
Don't like, don't read
Happy reading~~


-Chapter 5-

Aku pertama kali melihatmu di suatu malam, di usiaku ke delapan. Aku sedang makan malam bersama kedua orang tuaku, di sebuah restoran italia. Merayakan keberhasilanku menjadi peringkat pertama di sekolah. Tetapi, perhatian kedua orang tuaku sama sekali tidak ada padaku. Mereka sibuk dengan ponselnya masing-masing. Bercakap tentang perusahaan yang sama sekali tidak kupahami. Tenggelam dalam dunia mereka sendiri yang dipenuhi kata-kata uang, saham, dan jabatan. Aku memilih pergi. Meninggalkan restoran dan berjalan seorang diri. Di depan sebuah toko kue, aku melihatmu. Tersenyum pada sepasang orang tua yang kau panggil baba dan mama sambil menunjuk sebuah cup cake yang terpajang di dalam toko. Kedua orang tua itu tersenyum menyetujui sehingga kalian pun masuk ke dalam toko dan membeli sekotak cup cake bergambar rusa itu. Kau tertawa senang, mencium kedua pipi orang tuamu sebagai tanda terima kasih dan mereka memelukmu hangat. Kau bercerita panjang lebar sampai matamu menatap ke arahku. Aku hanya terdiam menatapmu. Mengagumi kedua bola matamu yang bening dan berbinar cerah. Tanpa kuduga, kau menghampiriku. Kau tersenyum dan memberiku sebuah cup cake milikmu. “Makanlah.” ucapmu waktu itu. Aku menerimanya karena tak sanggup menolak. Mana mungkin aku mengatakan tidak pada seorang anak manis yang tersenyum dengan kedua pipi yang merona? Apalagi jika anak itu memiliki suara malaikat sepertimu. Aku suka. Kurasa aku telah jatuh cinta. Meski aku sendiripun masih tak tahu artinya. Hanya banyak orang yang mengatakan kalau kau merasa bahagia hingga dadamu seperti terdapat banyak kupu-kupu yang berterbangan, itu artinya kau sedang jatuh cinta. Dan aku merasakannya.

Sehun terbaring di kamar. Rambutnya masih setengah kering, mengenakan kaos putih dan celana pendek. Tangannya bergerak mengambil iphone hitam di atas nakas, membuka galeri dan memandangi sebuah foto yang terpajang di sana. Sebuah foto enam orang pemuda dengan latar pegunungan.

Sehun memperbesar foto itu, memusatkan perhatian pada seorang namja yang berdiri kedua dari belakang. Namja itu tersenyum menghadap kamera dengan jari berbentuk V dan mata yang berbinar cerah. Ekspresi yang sangat berbeda dengan yang dilihat Sehun di pegunungan pagi kemarin. Apakah Sehun yang salah lihat atau Luhan memang sangat pandai berakting? Entahlah. Yang Sehun tahu, ada sesuatu tentang Luhan dibalik senyumnya yang ceria itu.

Flashback

Sehun terdiam sejenak. Lalu menghela nafas panjang, “Kenapa kau melakukannya?”

Kening Luhan bertaut, “Hah?”

“Kenapa... kau ingin bunuh diri?”

“....”

“Aku tahu kau ingin menyerah saat aku menyelamatkanmu tadi. Kenapa Luhan? Apa kau memang merencanakannya? Naik gunung dengan tujuan bunuh diri?”

Luhan terdiam sejenak dengan wajah menunduk lalu menengadah menatap Sehun. Senyum paksaan terukir di bibirnya. “Siapa juga yang ingin bunuh diri? Kau salah Sehunna. Aku tidak ingin bunuh diri.”

Sehun masih menatap Luhan tajam, menyadari kebohongan pemuda yang lebih pendek itu. Luhan memang tidak pandai berbohong. Matanya bergerak gelisah dengan bibir yang ia gigit sendiri. Tapi Sehun tidak ingin memperpanjang hal itu. Baginya yang paling penting Luhan selamat.

“Baiklah. Aku percaya padamu. Lain kali lebih berhati-hatilah. Sayangi hidupmu.” Sehun beranjak sambil memegang tangan Luhan menuruni gunung. Tangan mungil yang dingin itu terasa sangat pas dalam genggamannya. Luhan hanya terdiam tak menanggapi kalimat Sehun.

***

Hari yang cerah. Matahari bersinar terik di pagi hari. Siswa-siswi berlarian masuk ke dalam gedung sekolah. Tak sampai lima menit lagi bel berbunyi dan terlambat di hari pertama ujian semester tentu bukan pilihan yang baik.

Seperti biasa, bahkan sebelum siswa yang lain terbangun dari tidurnya, Sehun sudah berada di sekolah. Sehun sudah dikenal sebagai siswa teladan yang tak pernah mengenal kata terlambat. Semua nilai yang diperolehnya mendekati kata sempurna. Hanya ada beberapa orang seperti Sehun di kelas itu, Kyungsoo dan Luhan contohnya.

Luhan, sebagai ketua kelas di kelasnya, merupakan pemandangan tak lazim saat melihat namja berambut cokelat keramel itu baru menampakkan dirinya saat bel berbunyi lima menit yang lalu. Luhan tampak terengah-engah, mengatur nafas, lalu menghadap ke guru yang mengawas pagi itu untuk menjelaskan keterlambatannya. Beruntung sang guru mempercayainya karena tahu Luhan tidak pernah mendapat reputasi buruk di sekolah. Luhan dipersilakan duduk di tempatnya. Luhan tersenyum pada kedua temannya yang duduk di sisi kanan dan kirinya.

“Tumben kau terlambat.” ucap Jongin yang hanya dibahas senyuman oleh Luhan. Saat semua perhatian kembali kepada sang guru yang sedang menerangkan peraturan selama ujian, Luhan menghela nafas. Tampak begitu terbebani oleh suatu hal. Terlebih penampilan Luhan yang tampak kusut, rambut tak serapi biasanya, wajah lelah dengan lingkaran hitam di bawah matanya, membuat Sehun tahu ada yang tidak beres dengan Luhan.

“Kau sakit?” tanya Sehun saat ia dan Luhan sudah berada di kantin pada jam istirahat. Luhan menggeleng pelan, mulutnya masih mengunyah makanan dengan lambat. Tak lama Baekhyun dan Chanyeol datang. Baekhyun duduk di samping Luhan sedangkan Chanyeol duduk di depannya, di samping Sehun.

“Hai!” sapa Baekhyun ceria saat nampan makan siangnya sudah ditaruh di atas meja. 
 
“Kau baik-baik saja, Lu? Wajahmu pucat.” tegur Chanyeol begitu melihat Luhan. Baekhyun pun menoleh, memperhatikan Luhan, “Benar. Kau baik-baik saja, Lu?”

Luhan mengangguk untuk kali kedua. Meminum air putih sebentar. “Aku baik-baik saja.” ucapnya sambil tersenyum.

“Baik bagaimana? Bahkan suaramu juga serak begitu.” kata Baekhyun yang disetujui oleh Chanyeol. Sementara Sehun hanya terdiam tanpa mengalihkan pandangannya dari Luhan.

Baekhyun menyentuh kening Luhan dan terkejut mendapati tubuh Luhan yang begitu panas, berbanding terbalik dengan cuaca dingin sebelum musim gugur itu. “Astaga, Lu. Kau demam.”

Luhan menyingkirkan tangan Baekhyun pelan. “Aku baik-baik saja.” ucapnya lagi.

Baekhyun kembali menempelkan tangannya di kening Luhan dan tangan yang lain memegang keningnya sendiri, membandingkan. “Kau demam, Luhan. Sebaiknya kau istirahat di UKS.”

“Tidak perlu. Aku baik-baik saja.”

“Kau ini keras kepala juga ternyata.” Baekhyun menghela nafas, lalu menjauhkan tangannya dari Luhan. Sesaat kemudian, Baekhyun menyadari ada bercak merah kebiruan di leher Luhan yang tertutupi kerah baju seragamnya. “Eoh?!” Baekhyun menarik kerah seragam Luhan, sedikit melebarkan agar apa yang dilihatnya lebih jelas.

“Ini kan’...” Baekhyun menghentikan kalimatnya. Luhan terkesiap dan segera menyingkirkan tangan Baekhyun kasar dan merapikan kembali seragamnya.

“Itu kissmark, bukan?” tanya Baekhyun yakin. Chanyeol terkejut mendengarnya, terlebih Sehun.

“Benarkah?” Chanyeol ikut penasaran dan memandangi leher Luhan dengan teliti. Luhan merasa tidak nyaman.

“Aku duluan, ya.” ucap Luhan sambil beranjak meninggalkan mejanya. Meninggalkan ketiga orang yang masih penasaran dan menatapnya hingga menghilang di ujung jalan.

“Aku yakin itu kissmark. Lihat!” Baekhyun melonggarkan kerah seragamnya, “Sama dengan Luhan.” ucapnya memperlihatkan bekas merah kebiruan di beberapa bagian.

“Astaga, sayang. Kau berlebihan.” Wajah Chanyeol memerah melihat hasil karyanya itu. Seandainya mereka sedang tidak berada di kantin, mungkin ia akan menyerang Baekhyun sekarang juga.

Berbanding terbalik dengan namja poker face di sampingnya. Pegangan Sehun pada sendok makannya menguat, menyiratkan amarah yang terpendam di dalamnya.

Siapa bajingan yang sudah berani menandai miliknya?

***

Jam pulang berbunyi, siswa-siswi berhamburan keluar kelas. Sehingga tertinggal Luhan yang masih memiliki tugas mengumpukan buku-buku ke ruang guru.

“Biar kubantu.” Sehun mengambil sebagian tumpukan buku setelah memakai tas ranselnya. Luhan tersenyum berterima kasih sebelum keluar dari kelas diikuti Sehun berjalan di sampingnya. Tak ada yang berbicara hingga buku-buku itu telah tersimpan di tempat yang seharusnya, Luhan pamit.

“Terima kasih, Sehunna.” Luhan tersenyum. Lalu berbalik pulang meninggalkan Sehun bersama senyumnya yang semakin memudar. Sehun hanya menatap punggung kecil itu menjauh dalam diam. Namun, tiba-tiba ia melihat tubuh kecil itu ambruk di depan matanya, membuatnya berlari menghampiri namja itu.

“Luhan!”

Luhan pingsan.

***

Sehun masih menunggu di samping Luhan dengan sabar. Menunggu pujaan hatinya itu sadar. Mereka sudah berada di rumah Luhan. Sehun yang membawa Luhan pulang. Beruntung rumah Luhan tidak dalam keadaan terkunci sehingga Sehun dapat membaringkan namja itu di ranjangnya. Sehun kembali membasahi handuk kecil, kemudian meletakkannya di atas kening Luhan. Lalu berjalan keluar kamar, berniat membuatkan sedikit makanan untuk Luhan.

Ini adalah kali pertama Sehun masuk ke dalam rumah Luhan. Biasanya ia hanya mengantar Luhan sampai di depan rumah tanpa sedikitpun ditawari untuk berkunjung. Rumah Luhan tak lebih besar dari apartemennya. Berbeda dengan kamar Luhan, ruangan-ruangan di rumah itu terlihat berantakan dengan botol-botol kosong bekas minuman keras dimana-mana. Saat Sehun menginjak dapur, ia hanya bisa menemukan mie instan di lemari. Kulkas nyaris tak berisi dan tak ada beras sama sekali. Sebenarnya kehidupan seperti apa yang dijalani kekasih hatinya itu? Sehun memilih menelpon, meminta bantuan orang suruhannya untuk membereskan rumah dan membeli makanan.

Sehun kembali ke kamar Luhan dengan semangkuk bubur, air minum, dan beberapa pil obat. Sehun meletakkan nampan itu di atas meja, lalu memandangi wajah damai namja yang masih berada dalam alam mimpinya itu. Tubuh Luhan berkeringat hingga membasahi seragam sekolahnya. Sehun memilih menggantikan pakaian Luhan dengan piyama yang ia ambil dari lemari. Membuka satu per satu seragam Luhan dan mendapati beberapa bercak kebiruan di tubuh putih nan mulus itu. Amarah Sehun kembali tersulut menyadari bahwa bercak itu memang adalah kissmark.

Sehun hanya memandangi wajah Luhan setelah mengganti pakaian namja itu. Terdapat puluhan pertanyaan dalam benaknya saat ini yang hanya dapat terjawab jika Luhan telah sadar dari tidurnya. Tak berapa lama kemudian, Luhan membuka kedua matanya. Mengerjap beberapa kali membiasakan cahaya lampu kamar memasuki retinanya.

“Syukurlah kau sudah sadar.”

Luhan menoleh ke asal suara itu dan mendapati Sehun tersenyum ke arahnya. Luhan bangun dan Sehun membantunya bersandar di head board (papan kepala tempat tidur).

“Sehun...”

“Makanlah dulu. Kau sudah melewatkan makan malammu.” Sehun mengangkat mangkuk bubur dan menyendok pelan. Meniup-niup bubur hingga cukup dingin lalu mengarahkannya ke mulut Luhan. Luhan membuka mulutnya menerima.

“Kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Luhan setelah suapan pertama. Sehun menyendok bubur lagi dan meniupnya sebelum memberikannya pada Luhan.

“Kau pingsan di sekolah. Jadi, aku mengantarmu pulang.”

Luhan mengangguk mengerti lalu menelan buburnya. “Terima kasih, Sehunna.”

“Tidak masalah.” Sehun memberikan sesendok bubur lagi, dibalas gelengan kecil oleh Luhan. “Kau harus makan banyak, Luhan. Apa kau mau sakit lagi?”

Luhan pun menurut. Memakan bubur yang terasa hambar dan cenderung pahit untuknya. Sehingga bubur itu habis dan Sehun tersenyum melihatnya. Luhan meminum air putihnya dan Sehun memberikan obat padanya.

Setelah meminum obatnya, Luhan baru sadar kalau ia sudah berganti pakaian menjadi piyama. Luhan menatap Sehun bertanya. “Seragammu basah. Jadi aku menggantinya.” kata Sehun.

Luhan menunduk dalam. Itu berarti Sehun sudah melihatnya, bukan? Melihat tanda-tanda menjijikan yang menempel di tubuhnya.

“Luhan.” Sehun memanggilnya. Luhan menoleh khawatir. Berharap Sehun tidak bertanya macam-macam.

“Kau punya kekasih?” tanya Sehun, mencoba mengendalikan amarah di balik wajah poker face-nya. Luhan terdiam, tak tahu harus menjawab apa karena ia tahu kemana pertanyaan itu akan bermuara.

“SAYAAAAANG!!!”

Luhan baru akan membuka mulutnya saat mendengar suara seorang pria di luar. Matanya membulat terkejut. Luhan segera berdiri dengan tergesa-gesa dan panik membuat Sehun melihatnya heran. Luhan menarik Sehun ke dalam lemari pakaian dan meminta Sehun bersembunyi di sana.

“Jangan keluar, apapun yang terjadi.” kata Luhan dengan nada ketakutan yang kentara. Sehun menurut saja saat Luhan menutup pintu lemarinya lalu berjalan ke arah pintu kamar. Namun, sebelum Luhan sampai di sana, seorang pria paruh baya dengan wajah berantakan dan dalam keadaan teler sudah mendobrak pintunya paksa.

“Kau darimana saja sayang?! Kau tahu aku mencarimu.” Pria itu mendekat dengan jalan sempoyongan. Luhan terpaku di tempatnya, terlalu takut untuk sekadar menjauh. Sampai pria itu leluasa mengusap wajahnya dan mencumbunya di beberapa bagian.

“Hen.. hentikan.. Baba..” Luhan mulai menangis. Bulir-bulir air mata menetes membasahi pipinya. Namun, pria itu tidak bergeming. Justru mendorong tubuh mungil Luhan ke ranjang dan menarik piyama Luhan hingga kancing-kancingnya terlepas. Luhan bergerak mendorong tubuh sang ayah sekuat tenaga tapi tak berhasil. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulusnya karena berusaha membangkang.

Sehun tak percaya dengan apa yang dilihatnya dari sela-sela pintu lemari yang terbuka. Amarahnya sudah memuncak di ubun-ubun dan ia memutuskan keluar dari persembunyiannya.

“BAJINGAN!!!” Sehun menarik tubuh pria itu dan memukulnya keras hingga tersungkur di lantai. Tak sampai di situ, Sehun menduduki tubuh pria itu dan meninjunya berkali-kali hingga tak sadarkan diri.

“Hentikan, Sehun...” Luhan menahan tangannya dengan air mata yang mengalir deras. Sehun menghela nafas berat sebelum akhirnya berdiri dan menatap wajah Luhan yang basah dengan pipi merah bekas tamparan. Tangan Sehun terangkat menyentuh pipi Luhan dan mengusapnya lembut. Luhan hanya menatap Sehun tanpa berkata apa-apa, lalu kembali menunduk dalam.

“Ikut aku.” Sehun memakaikan jaket di tubuh Luhan lalu menarik tangan Luhan meninggalkan rumah itu.

 
-tbc-

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...