Friday 26 June 2015

[Hunhan Fanfiction] Pretty Boy (Chapter 9)

Hunhan Fanfiction, Sehun & Luhan as main cast
BL, yaoi, rated M
I just own the story
Don't like, don't read
Happy reading~ ~
 
 
 
-Chapter 9-

Kyuhyun dan Victoria, sepasang orang tua kaya itu memutuskan untuk mengunjungi anak semata wayang mereka yang jarang mereka temui beberapa bulan terakhir. Akibat kesibukan yang menyita perhatian keduanya, ditambah anak mereka yang sudah semakin jarang memberi kabar membuat mereka harus membatalkan semua janji pertemuan hari itu hanya untuk menemui anak mereka, Oh Sehun. Namun, kenyataan yang mereka dapatkan jauh lebih mengejutkan di saat mereka melihat Sehun sedang memeluk erat seorang namja sambil mengucapkan kalimat cinta yang terdengar menjijikan bagi keduanya.

“SEHUN!!!” Kyuhyun tak dapat mengendalikan amarahnya melihat pemandangan itu. Pelukan Sehun dan Luhan terlepas karena terkejut. Sehun mengarahkan pandangannya ke sumber suara dan matanya melebar melihat kedua orang yang familiar itu.

“Ayah...Ibu...”

Luhan ikut melihat ke sumber suara dan menemukan seorang pria paruh baya yang menatapnya tajam dan wanita yang masih terlihat cantik di usia yang tak lagi muda.

“Apa yang kalian lakukan?!” tanya Kyuhyun, mencoba memastikan bahwa apa yang dilihat oleh kedua matanya dan terdengar oleh kedua telinganya itu tidak benar. Ia hanya berhalusinasi. Ya, hanya itu alasannya.

Sehun menghela nafas, “Duduklah dulu, ayah, ibu, aku akan menyiapkan sarapan untuk kalian.” ucapnya tenang.

“Tidak perlu! Jelaskan saja apa yang baru saja kau lakukan dengan namja itu! Siapa dia?!” Kyuhyun menunjuk-nunjuk Luhan. Wanita di sampingnya ikut menatap namja yang berdiri di samping Sehun itu. Cantik, itu pikir Victoria.

Sehun menoleh menatap Luhan yang menunduk dan tampak ketakutan dengan suara membentak yang dilayangkan ayah Sehun. Sehun memilih menggenggam tangan Luhan. Luhan mendongak menatapnya. Sehun tersenyum menenangkan Luhan, lalu beralih menatap orang tuanya dengan berani, “Dia Luhan, kekasihku.”

Rahang Kyuhyun seakan terjatuh ke lantai. “Kekasih? KEKASIH KATAMU?! Kau sudah tidak waras, Sehun! Kita perlu bicara!!!” Kyuhyun memilih berbalik meninggalkan kedua sejoli itu menuju ruang tamu, diikuti Victoria dari belakang. Mereka duduk di sofa. Kyuhyun memijat plipisnya, kepalanya seakan baru saja dihantam oleh palu. Sementara wanita yang duduk di sampingnya hanya mengelus pundak pria itu untuk sekadar mengurangi amarah sang suami.

Sehun kembali menatap Luhan, “Lu, kau bisa menungguku di kamar?”

Luhan menatap Sehun, “Tapi,”

“Tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya, kau tenang saja. Sekarang pergilah ke kamar, tutup pintunya, pakai earphone dan dengarkan musik yang bisa menenangkanmu, hmm?”

Luhan tampak keberatan, namun kedua mata Sehun yang menatapnya penuh harap membuat kepalanya mengangguk. Sehun tersenyum tipis lalu mendaratkan kecupan manis di kening Luhan. Luhan beranjak meninggalkan dapur menuju kamar dengan padangan Sehun masih mengekorinya. Setelah Luhan menutup pintu kamar, barulah Sehun meninggalkan dapur menuju ruang tamu.

Luhan terdiam, memasang earphone di kedua telinganya tanpa memutar satu lagupun. Suara bentakan dan teriakan yang saling bersahutan, ditambah suara benda pecah memenuhi gendang telinganya. Luhan tahu dan menyadari, merengkuh kebahagiaan bersama Sehun tidak akan mudah.

“Aku mencintainya, ayah!”

“CINTA KATAMU?!! KAU HANYA TERSESAT, SEHUN!!! AYAH TAHU JIWA REMAJAMU YANG MASIH LABIL DAN BERJALAN DI JALAN YANG SALAH. KAU KELIRU!!! ITU BUKAN CINTA!!!”

“Ayah tahu apa tentang cinta?! Di pikiran Ayah hanya ada uang, uang, dan uang. Ayah tidak perlu mendikteku tentang cinta!”

Plakkk!!!

Tamparan keras telah mendarat di pipi Sehun. Sehun menyunggingkan senyum merasakan panas di pipinya. “Aku tahu apa yang aku rasakan, ayah, ibu. Aku mencintainya, dan itu tidak akan pernah berubah.”

“KAU!!” Kyuhyun menarik baju anaknya itu kasar, bersiap untuk memberikan pukulan namun suara lembut wanita di sampingnya menahannya.

“Hentikan, yeobo! Jangan memukul Sehun.” Victoria menahan tangan Kyuhyun, membuat pegangan Kyuhyun pada baju anaknya itu mengendur dan akhirnya terlepas.

“ARRGGGHH...!!!” Kyuhyun mengalihkan amarahnya dengan membanting vas bunga, guci, dan meja tamu.

“Ayah tidak akan pernah merestui hubungan kalian!!! Cam kan itu baik-baik Oh Sehun!!! Sebaiknya kau segera menentukan pilihan. Tetap menjadi anakku dan penerus perusahaan atau bertahan pada cinta konyolmu itu. Pilihan ada di tanganmu!!!” Kyuhyun meninggalkan apartemen itu dengan amarah yang masih berkobar.

Sehun terdiam, Victoria memandang anaknya itu khawatir. “Ibu tidak tahu mengapa kau bisa berubah seperti ini, Sehun. Perasaanmu pada namja itu adalah suatu hal yang salah. Kau tahu itu, nak. Segala hal di dunia ini diciptakan berpasangan, begitu pula dengan laki-laki, diciptakan untuk berpasangan dengan perempuan. Perasaanmu itu, menyalahi kodrat yang ada, anakku. Tidakkah kau merasa berdosa?”

Sehun menggeleng pelan, “Ibu... hanya Luhan yang membuatku bahagia. Aku tidak menginginkan apa-apa selain dia. Ini tidak salah, bu. Aku mencintainya. Kalaupun ini adalah sebuah dosa, ini adalah dosa terindah yang pernah kulakukan.”

Victoria tak berkata apapun lagi mendengar penuturan anaknya. Kedua mata elang Sehun dipenuhi kesungguhan dan Victoria tak pernah melihat tatapan Sehun seperti itu sebelumnya. Victoria pun tersenyum miris, “Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Tapi, kau tahu ayahmu bukan orang yang mudah menyerah, bukan? Dia akan melakukan apapun untuk memisahkan kalian.”

“Aku tahu, bu.”

“Baguslah kalau kau tahu. Jaga dirimu baik-baik, anakku. Ibu pulang dulu.” Victoria memeluk anaknya sesaat lalu beranjak pulang. Sehun menghela nafas lalu menutup pintu apartemennya. Ketika berbalik, Luhan sudah berdiri di depannya.

“Luhan...”

Grep. Luhan memeluk Sehun tanpa berkata apa-apa. Sehun ikut mengeratkan pelukannya pada Luhan. Tak lama, terdengar isakan kecil dari bibir Luhan.

“Mianhe... hiks... mianhe...Sehunna... hiks....mianhe..” Luhan menggumankan kata maaf berkali-kali.

Sehun tersenyum, “Kau tidak salah, Lu. Ini bukan salahmu.” Sehun mengelus pundak Luhan pelan, menenangkan pemuda itu, “Aku sungguh mencintaimu, Lu.” ucapnya. Tak perlu menunggu lama untuk memikirkan ucapan ayahnya tadi. Sehun telah membuat pilihan. Ia tak peduli pada apapun selain Luhan. Luhan adalah hidupnya.

***

Minggu-minggu terakhir di bangku SHS menyita banyak waktu dan perhatian para siswa. Selain persiapan untuk ujian akhir, mereka juga harus mempersiapkan ujian masuk universitas yang tak kalah berat. Tambahan jam pelajaran tak membuat mereka merasa lelah karena belajar adalah suatu keharusan jika ingin lulus dengan nilai yang memuaskan.

“Lu,” panggil Kyungsoo. Luhan menoleh melihat sahabatnya itu, “Wae?” tanyanya berbisik menyadari mereka masih berada di perpustakaan dan suara sekecil apapun dapat membuatnya menjadi pusat perhatian.

“Apa kau dan Sehun baik-baik saja? Kudengar hubungan kalian tidak direstui orang tua Sehun.” tanyanya.

Luhan tersenyum miris mendengarnya. Ternyata berita tentang dirinya dan Sehun telah menyebar begitu cepat membuat temannya yang notabene tak suka bergosip ikut bersuara. Padahal dia dan Sehun hanya siswa biasa, bukan grup idola yang perlu dicari tahu kehidupan pribadinya. Luhan menghela nafas, menatap mata owl sahabatnya itu yang semakin membulat karena menunggu.

“Benar. Orang tua Sehun tidak merestui hubungan kami.”

“Lalu? Apa yang akan kalian lakukan?” tanya Kyungsoo penasaran. Sebenarnya ia berharap dalam hati semoga Sehun dan Luhan akan tetap bersama karena dari pasangan itulah Kyungsoo mendapat kekuatan dalam hubungannya dengan Jongin. Kyungsoo sudah menerima Jongin sebagai kekasihnya beberapa hari yang lalu, namun hatinya masih tidak tenang mengingat perjalanan cinta mereka tidak akan semulus wajahnya. Apalagi saat mengetahui apa yang terjadi pada Sehun dan Luhan. Kyungsoo takut akan mengalami hal yang sama. Bagaimanapun Jongin adalah tuan muda yang tidak akan dibiarkan menyimpang oleh kedua orang tuanya yang sudah memperlakukan Jongin layaknya pangeran sejak lahir.

Luhan menatap bukunya, “Kami akan tetap bersama. Untuk itu...” Luhan menghela nafas, “Sehun akan meninggalkan statusnya sebagai anak keluarga konglomerat dan hidup denganku.”

Kedua mata owl Kyungsoo melebar, “Benarkah?”

“Ya, itu yang dikatakan Sehun. Setelah ujian akhir usai, kami akan pindah dari apartemen Sehun ke sebuah rumah sederhana. Meninggalkan semua fasilitas mewah di belakang dan mencari pekerjaan tambahan selain bisnis online yang sudah ia jalani sejak lama.” jelas Luhan.

“Daebak...” Kyungsoo tidak dapat menyembunyikan perasaan kagumnya pada pasangan itu. “Sebegitu besar cinta Sehun padamu, Luhan. Kau beruntung memiliki Sehun di sisimu.”

“Aku tidak tahu, Kyung.” Luhan menghela nafas, “Aku memang beruntung memilikinya, tapi Sehun tidak. Aku hanya menyulitkan hidupnya. Aku hanya menjadi beban untuknya.”

“Jangan berbicara seperti itu, Lu. Aku yakin Sehun melakukan semua itu karena ia benar-benar mencintaimu dan merasa beruntung memilikimu. Aku akan selalu mendoakan kebahagiaan kalian.” Kyungsoo tersenyum, mencoba menguatkan sahabatnya yang tampak tertekan itu.

Luhan ikut tersenyum melihatnya, “Semoga, Kyung.”

***

Ujian akhir sekolah telah usai. Sehun dan Luhan telah meninggalkan apartemen yang sudah mereka tempati bersama tiga bulan terakhir ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Rumah itu tak terlalu luas dengan satu kamar tidur utama, kamar mandi, ruang tv, dan dapur. Dengan cat biru langit, dan beberapa perabot minimalis, rumah itu tampak penuh namun tetap tertata rapi dan apik berkat tangan dingin Luhan sehingga terlihat nyaman meski tak semewah tempat tinggal mereka sebelumnya. Sebenarnya, bagaimanapun keadaan rumah itu, tak penting bagi Sehun, selama Luhan bersamanya.

Minggu pagi pertama di rumah baru mereka, Sehun bangun setelah matahari menyilaukan tertangkap retinanya. Ia terlambat bangun untuk mengganti jam tidurnya yang berkurang seminggu kemarin. Jadwal yang padat, dimana ia harus menyisikan waktunya untuk ujian sekolah, bekerja paruh waktu sebagai pelayan di kafe, dan bartender di malam hari. Namun, semua itu dilaluinya dengan ringan karena ia selalu menemukan Luhan di setiap pagi, yang selalu membuatnya bersemangat menjalani aktivitasnya dan melihat Luhan di malam hari, yang selalu berhasil menguapkan rasa lelahnya.

Sehun telah mandi dan berganti pakaian lalu keluar dari kamar dan segera disuguhi dengan meja makan yang dipenuhi beragam menu sarapan. Namun Sehun mengurungkan niatnya untuk duduk di meja makan dan memilih mencari kekasihnya. Luhan sedang menyiram tanaman-tanaman mungil yang berjejer di jendela rumah saat sepasang tangan Sehun memeluknya dari belakang. Luhan tersenyum sambil menoleh ke samping kiri.

“Pagi, Sehunna..” Kecupan manis pun mendarat di bibir tipis namja yang lebih tinggi. Sehun tersenyum, “Morning, baby..” Sehun mengeratkan pelukannya, sembari menghirup aroma tubuh Luhan dari ceruk leher pemuda cantik itu. Aroma yang sudah sangat familiar dengan indra penciumannya. “Kenapa kau tidak sarapan, hmm?”

Luhan mencoba mengabaikan rasa menggelitik di lehernya, “Aku menunggumu bangun.”

“Sungguh? Woah, kau sangat setia, Luhan. Aku tidak salah memilihmu.” Kecupan-kecupan ringan pun mendarat di pundak Luhan yang terbuka karena baju kaos kebesaran yang dipakainya. Luhan menggeliat, “Sehun hentikan, geli.”

Sehun tidak berhenti, justru semakin gencar menggoda kekasih manisnya itu. Tangannya bergerak menggelitik pinggang Luhan membuat Luhan tak dapat menahan tawanya. Badannya berbalik dan menghindari Sehun, namun Sehun berhasil menggelitiknya lagi membuat Luhan kembali tertawa terbahak-bahak.

Ting tong...

Suara bel rumah itu menghentikan kegiatan mereka. Sehun dan Luhan saling berpandangan sejenak kemudian melangkah mendekati pintu.

“Surprise!!!” seru Baekhyun, Kyungsoo, Jongin, dan Chanyeol, yang berdiri tepat di depan pintu sambil menjinjing beberapa paper bag. Mereka pun masuk tanpa dipersilakan pemilik rumah.

“Woah... tempat tinggal kalian lumayan juga.” seru Baekhyun sambil meletakkan paper bag di atas meja makan.

“Benar, terlihat nyaman dan hangat.” Sambung Kyungsoo sambil mengedarkan pandangan owl-nya ke seluruh isi rumah.

“Couple goal, heh?” Chanyeol melingkarkan lengannya di bahu Baekhyun, “Kau ingin tinggal bersama denganku juga, Baekkie?” tanyanya bersemangat.

“Dalam mimpimu, tuan Park. Tak tinggal bersama pun kau masih tidak dapat mengendalikan nafsumu. Apalagi kalau tinggal bersama? Kau mau membuat badanku remuk, heh?”

Chanyeol tertawa mendengarnya. Sementara Sehun dan Luhan yang sedari tadi terdiam karena sedikit terkejut pun berdehem, membuat perhatian berpusat kepada mereka.

“Kalau boleh kutahu, apa tujuan kedatangan kalian?” tanya Sehun dengan ekspresi datar andalannya.

“Pesta rumah baru, Sehun. Karena kau tidak berniat mengadakannya, maka kami yang akan mengadakannya untukmu.” ujar Jongin, “Kami sahabat yang baik, bukan?”

Sehun memutar bola matanya malas, “Bilang saja kalian tak ada tujuan liburan dan memilih mengacau di rumah kami.”

“Oh, benar! Kau pintar, Sehun!” seru Baekhyun, “Tidak apa-apa, kan? Lagipula Luhan tidak keberatan. Benar kan’, Lu?” Baekhyun menghampiri Luhan dengan mata yang berkedip-kedip.

“Iya, tidak apa-apa.” jawab Luhan canggung. Membuat semua orang di rumah itu tersenyum, kecuali Sehun yang masih menampakkan wajah dinginnya.

“Baiklah, sekarang lebih baik kita menyiapkan makanan. Aku yakin kalian juga belum sarapan. Ayo, Baek, Lu.” Kyungsoo menarik kedua temannya menuju dapur dengan semangat. Membuat Luhan bertanya dalam hati, sebenarnya siapa yang tuan rumah di sini?

Sementara Sehun, Chanyeol, dan Jongin memilih duduk di ruang tv sambil memainkan playstation.

“Maaf mengganggu minggu pagi ceriamu, Sehun.” ucap Chanyeol sambil terkekeh bareng Jongin. Sehun hanya berdecak sebal mengetahui bahwa keempat tamu itu pasti sempat mencuri dengar kegiatan Sehun dan Luhan sebelumnya.

“Jadi, bagaimana malam pertama kalian?” tanya Baekhyun blak-blakan.

Uhuk! Luhan yang sedang mengaduk sup ayam pun tersedak ludahnya sendiri.

“Jangan bertanya macam-macam, Baek.” ujar Kyungsoo.

Baekhyun mengidikkan bahunya, cuek, “Aku hanya penasaran. Jadi, bagaimana Sehun di ranjang, Lu? Selama ini aku hanya melihat wajah datarnya. Tak ada ekspresi apapun selain itu. Apa ketika bercinta dia tetap berwajah datar?”

Glek. Luhan menelan ludah gugup. Pembicaraaan ini terlalu vulgar untuk remaja seumuran mereka. Apalagi ada Kyungsoo, namja polos yang masih seperti anak kecil di mata Luhan.

“Jangan membahas itu, Baek. Ada Kyungsoo di sini.”

“Tidak apa-apa, Lu. Kyung juga sering melakukannya bersama Jongin. Benar kan’ Kyung?”

Uhuk! Kali ini Kyungsoo yang tersedak ludahnya sendiri. Wajahnya merona tanpa aba-aba, membuat Luhan berpikir bahwa apa yang dikatakan Baekhyun itu benar.

“Ayo cepat ceritakan, Lu. Kalian biasa bermain berapa ronde, eoh? Apa milik Sehun besar dan bisa memuaskanmu? Apa hhhmmpp...” Luhan segera membekap mulut Baekhyun.

“Ya tuhan, Baek...” Luhan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah laku Baekhyun.

Setelah Luhan melepaskannya, Baekhyun hanya mendengus kesal. “Aku hanya penasaran.” Baekhyun tersenyum miring, “Walaupun aku yakin milik Sehun maupun Jongin tidak sebesar milik Chanyeol.”

“Yak!!!” Luhan dan Kyungsoo berseru bersamaan.

“Milik Jongin sangat besar, kalau kau mau tahu.” ujar Kyungsoo.

“Apalagi Sehun. Dia bisa menemukan titik terdalamku dalam satu hentakan. Ups.” Luhan menutup mulutnya sendiri dengan tangan kanannya. Meruntuki kebodohannya yang kelepasan bicara. Sementara Baekhyun dan Kyungsoo menatapnya tak percaya. Tak lama terdengar suara tawa Baekhyun yang cetar membahana.

“Ha..ha..ha... Arasso.. arasso.. Lu. Aku tidak akan bertanya lagi.” tawa Baekhyun membuat wajah Luhan semerah tomat matang. Sementara Kyungsoo hanya terpaku dengan mata owl-nya yang melebar.

Tanpa mereka ketahui, ketiga orang seme mendengar perbincangan kecil mereka dari balik tembok. Mereka saling menatap dalam diam, sampai kemudian Chanyeol bersuara, “Apa kita harus membuktikan milik siapa yang paling besar?”

“Ayo! Siapa takut!” sambung Jongin.

“Kalian sudah gila. Aku tidak ikut.” Sehun memilih meninggalkan kedua temannya itu. Namun, ia tidak dapat menahan bibirnya untuk tidak tersenyum mengingat Luhan membelanya dengan cara yang sangat lucu.

“Astaga, kau manis sekali, Lu. Aku tidak sabar ingin memakanmu lagi.” guman Sehun.

***

Luhan mengendarai motor skuter milik bos-nya saat mengantarkan mie lada hitam ke rumah-rumah pelanggan. Inilah rutinitas barunya seminggu terakhir, pekerjaan mengantar makanan yang dilakoninya dari pagi sampai sore untuk mengisi hari kosong menunggu pengumuman seleksi masuk universitas. Semua ia lakukan tanpa sepengetahuan Sehun. Sehun tidak akan membiarkannya bekerja. Sehun sangat menjaganya seperti selebar kertas yang akan kusut jika terlipat sedikit saja. Tapi Luhan tidak ingin menjadi beban bagi Sehun. Jadi, ia memilih bekerja di saat Sehun sibuk bekerja juga.

Motor yang Luhan kendarai mendadak disalip sebuah mobil sedan hitam, membuat Luhan oleng dan terjatuh dari motornya. Luhan hendak memaki si pengemudi mobil tapi urung ia lakukan melihat sosok pria paruh baya yang duduk di belakang membuka jendela mobilnya sambil menatap Luhan dingin. Luhan mengenal pria itu. Itu adalah Kyuhyun, ayah Sehun.

“Naiklah.” Kata Kyuhyun. Luhan ingin membantah namun lidahnya kelu untuk mengucapkan sepatah kata saja. Sampai seorang pria berpakaian hitam-hitam membukakan pintu mobil untuknya. Luhan terpaksa masuk ke dalam mobil.

Di sinilah Luhan. Di sebuah rumah bergaya eropa dengan pilar-pilar marmer mengkilat yang menjulang tinggi. Luhan terkagum melihat rumah itu sejak pertama menginjakkan kakinya di lantai mengkilat di rumah itu. Beberapa lukisan yang terpajang di dinding mengalihkan perhatiannya. Luhan terkagum melihat betapa rumah itu seperti cerita dongeng tentang istana kerajaan.

“Duduklah.” Sebuah suara menginterupsi Luhan dari kekagumannya. Luhan mengangguk canggung kemudian duduk di sofa salah satu ruangan di rumah itu. Dari penampakannya, Luhan yakin ruangan ini semacam ruang kerja karena terdapat banyak buku di rak, meja kayu yang besar dengan beberapa peralatan kantor di atasnya. Namun kegugupan Luhan berhadapan langsung dengan ayah Sehun membuatnya tidak dapat berbuat banyak selain menundukkan kepalanya.

“Kalian telah pindah dari apartemen dan tinggal bersama di sebuah rumah kecil. Benar?” tanya Kyuhyun. Meski tanpa bertanya pun telah nampak keyakinan dari nada bicaranya.

Luhan mengangkat kepalanya, lalu mengangguk pelan.

“Sehun bekerja siang malam untuk memenuhi kebutuhan kalian. Benar?”

Luhan mengangguk lagi, walaupun agak sedikit terlambat.

“Luhan.”

“N-ne?”

“Aku tidak akan berbasa-basi denganmu. Kau tahu aku tidak akan pernah merestui hubungan kalian. Bagaimanapun kalian mencoba, hubungan kalian memang sudah salah sejak awal.”

Luhan terdiam, membiarkan Kyuhyun terus berbicara.

“Sehun, anak sematawayang kami, adalah anak baik yang selalu menuruti keinginan orang tuanya. Dia tidak pernah membangkang dalam hal apapun. Tapi sejak mengenalmu, dia bahkan rela meninggalkan semua yang dia miliki. Menjalani hidup seperti manusia kebanyakan dengan pekerjaan yang berucucuran keringat.”

“....”

“Bisa kau bayangkan bagaimana kecewanya kami? Kami sudah merawat Sehun dengan memberikan yang terbaik untuknya dengan harapan bahwa kelak dia akan menjadi penerus perusahaan. Sebuah perusahaan dengan tujuh puluh ribu pegawai di seluruh dunia yang menggantungkan masa depan mereka di tangan Sehun. Tapi semua tidak akan terjadi mengingat dia meninggalkan kehidupannya dan memilihmu.”

“....”

“Sehun bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik di luar negeri, memiliki pekerjaan yang tak perlu menguras energinya, dan memiliki pasangan normal yang sederajat dengannya. Sehun akan mendapatkan masa depan yang cerah, tanpamu.”

“....”

“Jadi, jika kau benar-benar mencintai putraku, tinggalkanlah dia. Biarkan dia berbahagia di jalan yang memang sudah ditentukan untuknya. Saya akan menanggung semua kebutuhanmu. Ku dengar kau berasal dari China. Pulanglah kembali ke negaramu dengan kepala terangkat. Aku akan menjamin kehidupanmu di sana.”

Air mata Luhan telah menggenang di pelupuk matanya. Tubuhnya gemetar mendengar semua yang dikatakan oleh ayah Sehun itu. Jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Luhan membenarkan perkataan ayah Sehun.

Sehun akan menjalani hidup yang bahagia tanpanya.

Tak perlu bekerja siang dan malam. Tak perlu memikirkan biaya kuliah. Tak perlu memikirkan cemooh orang lain.

Sehun akan bahagia tanpanya.

Luhan mengangkat kepalanya, menatap ayah Sehun dengan mata yang berkaca-kaca. “Baiklah. Jika itu yang Anda inginkan. Aku... akan pergi meninggalkan Sehun.” ucapnya dengan nada lemah di akhir kalimat. Luhan bahkan tak pernah membayangkan kalimat itu terlontar dari mulutnya.

Kyuhyun sedikit terkejut namun bahagia mendengarnya. Ia tak menyangka akan semudah ini membujuk namja itu. “Aku tahu kau anak yang baik, Luhan. Kau memilih keputusan yang tepat. Dalam waktu seminggu, semua kebutuhanmu akan siap. Kau akan pergi seminggu kemudian tanpa diketahui siapapun.”

Luhan mengangguk mengerti, lalu bangkit dari tempat duduknya. Ia membungkukkan badannya, memberi penghormatan kepada ayah Sehun sebelum melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu.

“Terima kasih, nak.” Hanya itu yang diucapkan Kyuhyun dengan senyum tipis di bibirnya. Senyum pertama dan terakhir yang dilihat Luhan dari pria itu.

Luhan berjalan pulang dengan pandangan kosong menatap jalan. Waktu telah menunjukkan pukul enam petang saat langit terlihat gelap dan hujan turun dengan derasnya. Luhan tak berusaha berteduh sedikitpun dan membiarkan seluruh tubuhnya basah oleh air hujan. Air matanya terjun bebas telah bercampur dengan beningnya air hujan. Luka di lututnya akibat terjatuh dari motor tak terasa perih sama sekali. Semua karena luka di hatinya jauh lebih menyakitkan dari itu. Bisakah dia meninggalkan Sehun? Bisakah dia meninggalkan namja yang telah menjadi separuh jiwanya itu? Bisakah dia, menjalani hidup tanpa Sehun di sampingnya?

Tidak. Luhan tidak bisa melakukannya. Tapi ia harus melakukannya, demi kebaikan Sehun, demi masa depan namja yang ia cintai.

Tubuh Luhan bergetar hebat, dengan air mata yang terus mengalir deras sederas awan menjatuhkan airnya ke muka bumi. Luhan membutuhkan Sehun saat ini. Luhan membutuhkan pelukan namja itu. Luhan butuh menghirup aroma tubuh namja itu. Luhan butuh mendengar suara namja itu menenangkannya sambil berkata semua baik-baik saja. Luhan membutuhkan Sehun.

***

Sehun mengantarkan pesanan terakhirnya pada sebuah meja yang dipenuhi wanita-wanita muda yang menatapnya terpesona. Sehun meletakkan cangkir-cangkir kopi itu di meja. “Selamat menikmati.” ucapnya ramah membuat wanita-wanita itu serasa terbang ke langit ke tujuh. Sehun beranjak meninggalkan meja itu ketika tangan seorang wanita menyisipkan beberapa lembar uang won di saku kemejanya putihnya.

“Tips untukmu, tampan.” Bisik wanita itu sensual. Sehun tersenyum kaku namun tak menolak karena pegawai memang diperbolehkan menerima tips dan menolak dianggap sebagai tindakan kasar yang melanggar kenyamanan pelanggan. Sehun berjalan cepat menuju ruang ‘staf only’ untuk mengganti pakaiannnya. Jam kerjanya telah berakhir.

“Wah, Sehun. Setiap kau bekerja, kafe selalu ramai, tahu? Tak heran bos memintamu bekerja lebih lama.” ujar salah satu temannya yang bernama Jongdae itu. Sehun hanya tersenyum mendengarnya.

“Ada apa? Kau tampak terburu-buru sekali.” tanya Jongdae.

“Perasaanku tidak enak. Aku ingin segera pulang ke rumah.” Sehun memakai jaketnya cepat. “Aku duluan ya. Sampai jumpa.” Sehun segera mengenakan tas ransel dan topinya meninggalkan kafe.

Memang benar perasaan Sehun tidak enak sejak beberapa jam yang lalu. Entah mengapa pikirannya terus tertuju pada Luhan. Ia pun berjalan menuju ke halte bus setelah membuka payung yang disiapkan Luhan dalam tas-nya. Hujan turun dengan sangat deras.

Luhan telah mandi dan berganti pakaian sesampainya di rumah. Ia tak mau Sehun mengetahui apa yang terjadi hari ini. Biarlah semua menjadi rahasia hingga saat kepergiannya nanti. Luhan memilih memasak makan malam sambil menunggu Sehun pulang.

Sehun masuk ke dalam rumah dan melihat Luhan sedang sibuk menata piring di meja makan. Sehun menghembuskan nafas lega melihat Luhan baik-baik saja.

“Sehunna... kau sudah pulang? Cepat ganti pakaianmu lalu kita makan malam.” ucap Luhan tanpa melihat ke arah Sehun karena sibuk menuangkan sup ke mangkuk.

“Baiklah.” Sehun beranjak ke kamar untuk mandi dan mengganti pakaiannya. Tak lama kemudian, ia sudah keluar dari kamar dan duduk di meja makan.

“Bagaimana harimu?” tanya Luhan sambil memberikan sepotong daging di atas nasi Sehun.

“Seperti biasa. Aku tak sabar pulang untuk bertemu denganmu.” kata Sehun tersenyum.

Luhan terdiam tak menanggapi.

“Luhan.” panggil Sehun, membuat Luhan mendongak untuk menatapnya. “Kau habis menangis?”

Luhan menggeleng cepat, “Tidak. Kenapa?” tanyanya balik dengan rasa gugup yang kentara.

Sehun tahu ada yang Luhan berusaha tutupi sejak awal. Namun ia memilih untuk tidak membahasnya sekarang. “Tidak apa-apa.” Sehun melanjutkan makan malamnya. Luhan melakukan hal yang sama.

Setelah makan malam, Sehun menghampiri Luhan yang sedang memotong buah di dapur. Memegang tangan Luhan, melepaskan pisau dari jemari Luhan dan menatap Luhan dalam. “Kau baik-baik saja?”

Luhan terdiam. Terpaku di tempat. Sesungguhnya Luhan sangat ingin menghambur dalam pelukan Sehun, memeluk namja itu erat dan meluapkan semua perasaan yang terpendam dalam hatinya. Namun ia tidak ingin semakin bergantung pada namja itu yang pada akhirnya akan menyulitkannya untuk berpisah dengan Sehun. Luhan mengangguk pelan, “Aku baik-baik saja, Hunna. Wae?”

Sehun menatap Luhan tidak percaya. Ia memandangi tubuh Luhan dari atas sampai bawah sampai ia menemukan luka di lutut Luhan yang masih terbuka dan tidak terobati. “Ya tuhan, Lu. Lututmu berdarah.” Sehun segera mendudukkan Luhan di sofa ruang tv, lalu mengambil kotak P3K di atas rak buku.

Sehun membersihkan luka Luhan dengan alkohol. “Sakit?” tanyanya ketika kapas bercampur alkohol itu mengenai luka Luhan. Luhan menggeleng pelan membuat Sehun meneruskan pekerjaannya membalut luka Luhan yang telah diberi obat merah dengan kain kasa.

“Kau ingin menceritakan darimana kau mendapatkan luka ini?” tanya Sehun masih bertumpu pada satu lututnya di depan Luhan.

“Aku... terjatuh saat berolahraga lari sore tadi.” jawab Luhan.

Sehun menghela nafas mendengarnya. “Kau bukan pembohong yang baik, Lu.”

Mata Luhan melebar mendengarnya, “Aku,”

Sehun bangkit dan duduk di samping Luhan, menarik namja itu ke dalam pelukannya. “Jangan menutupi apapun, Luhan.” Sehun mengelus punggung Luhan lembut. “Kau tahu aku paling tidak bisa melihatmu terluka, Luhan. Aku merasa telah gagal menjagamu.”

“Tidak, Sehunna. Itu terjadi karena kecerobohanku. Sama sekali bukan salahmu. Maaf.”

“Cobalah lebih berhati-hati lagi, Lu. Jaga dirimu di saat aku tak ada di sampingmu. Kau orang yang kuat, kau pasti bisa. Dirimu sangat berharga untukku.”

“Arasso... Aku mengerti, Hunnah. Maaf membuatmu khawatir.” Luhan mengeratkan pelukannya pada Sehun. Membiarkan dirinya ternggelam dalam kehangatan dan perasaan nyaman itu untuk sejenak. Melupakan bahwa beberapa hari lagi, ia tidak akan berada di samping kekasihnya itu.

Sehun mencium puncuk kepala Luhan, membuat namja yang lebih pendek itu mendongak menatapnya.

“Sehunnah...”

“Hmm?”

“Ayo kita bercinta.”

Sehun terkejut dengan kalimat yang dilontarkan Luhan. Belum sempat mulutnya menjawab, Luhan sudah mendorongnya bersandar di sofa. Luhan menduduki pahanya dan mencium bibirnya dengan terburu-buru. Tangan mungil itu bergerak membuka pakaian Sehun hingga membuat namja itu setengah telanjang. Bibirnya tak henti menghisap bibir Sehun bergantian, memaksa Sehun membuka mulutnya dan membiarkan lidahnya bermain di dalam sana.

Beberapa menit kemudian, Sehun mengambilalih kendali. Lidahnya masuk ke dalam mulut Luhan dan mengabsen seluruh isinya. Tangannya bergerak melepaskan pakaian Luhan dan mengelus punggung Luhan dengan gerakan sensual. Luhan memisahkan diri, menghirup nafas banyak-banyak saat Sehun sibuk memberi tanda di lehernya.

(Sorry guys, i have to cut the nc part cause the most of silent reader is just children. And i don't want to join children's brain broken. I will change all my fanfiction rated M to T. Hope you'll understand)

Kulit yang bergesekan, cairan yang lengket dan suara kecipak yang sangat kentara memenuhi ruangan. Gerakan Luhan semakin cepat di atas tubuh Sehun. Tak lama kemudian, keduanya mencapai klimaks dalam waktu yang hampir bersamaan. Cairan Sehun keluar memenuhi dinding rektum Luhan. Sementara cairan Luhan keluar membasahi perut Sehun.

Luhan memeluk leher Sehun, bersandar di bahu lebar kekasihnya sambil menetralkan nafasnya yang putus-putus. Sehun memeluk tubuh Luhan erat dengan kontak yang belum terlepas sejak tadi.

“Apa yang membuatmu menjadi agresif, Lu?” tanya Sehun sambil menyeka bulir-bulir keringat yang membasahi kening kekasihnya itu.

Luhan tersenyum menatapnya, “Hanya mencoba gaya baru yang diajarkan Baekhyun tempo hari. Bagaimana? Apa kau menyukainya?”

“Ya. Tidak buruk.” ucap Sehun tersenyum. Ia akan mengingat untuk berterima kasih pada Baekhyun nanti. “Walaupun aku lebih senang menjadi pihak yang mendominasi.”

“Baiklah, aku mengerti. Asalkan kau merasa puas.” Luhan mengecup bibir Sehun. “Mau ronde kedua?”

Sehun terkejut lagi, “Kau tidak lelah?”

“Tidak, selama kau yang melakukannya.”

“Oke! Aku tidak keberatan.” Sehun bersmirk ria sambil mengangkat tubuh Luhan dan menggendongnya ala koala. Luhan tersenyum memeluk Sehun. Paling tidak, hanya ini yang bisa ia lakukan untuk memuaskan kekasihnya itu.

***

“Ayo masuk, Luhan. Bukankah kau yang ingin pergi ke namsan tower?” tanya Sehun saat menunggu Luhan di pintu kereta gantung yang digunakan untuk menuju namsan tower.

Luhan menggigit bibirnya gugup. “Apa kita tidak bisa berjalan kaki saja? Aku takut ketinggian.” ucapnya dengan nada rendah di akhir kalimat karena menyadari ada beberapa pengunjung yang terus menatapnya sebal.

Sehun tersenyum, menarik tangan Luhan memasuki kereta gantung lembut. “Tenang saja, kau bersamaku. Kalau kau takut, cukup melihatku saja. Hmm?”

Luhan mengangguk pelan. Kereta gantung itu mulai bergerak, membuat nafas Luhan semakin memburu. Pegangan Luhan di tangan Sehun menguat disertai keringat dingin yang membasahi tangannya.

Sehun mendekatkan diri pada Luhan, memegang kedua pipi Luhan lembut untuk menatapnya. Luhan membuka kedua matanya yang terpejam dan melihat kedua mata Sehun menatapnya dalam. Luhan terdiam, menyadari wajah tampan itu tidak akan dilihatnya lagi esok hari. Waktu berlalu begitu cepat dan esok adalah hari yang telah ditentukan itu tiba, hari dimana ia akan meninggalkan kekasihnya. Hatinya berdenyut sakit mengingat betapa besar luka yang akan ia goreskan pada namja yang sedang tersenyum itu. Sehun akan membencinya, pasti. Luhan tahu Sehun sangat membenci orang yang tidak menepati janji. Sayangnya, Luhan akan menjadi orang itu.

“Nah, kita sudah sampai.” Suara Sehun menyadarkan Luhan dari lamunannya. Sehun mengajak Luhan keluar dari kereta gantung menuju sebuah stan snack yang menyediakan makanan dan minuman ringan. Sehun membeli dua gelas buble tea rasa taro dan dua twister chips untuk mengurangi ketegangan Luhan sehabis menaiki cable car tadi.

“Gumawo.” Luhan menerima pemberian Sehun, lalu meminum buble tea miliknya cepat. Jujur tenggorokan memang sudah sangat kering. Namun ia heran melihat Sehun meminum buble tea dengan rasa yang sama, padahal itu bukan rasa kesukaan Sehun.

“Apa cokelat buble tea-nya sudah habis?” tanya Luhan.

Sehun menyadari mengapa kekasihnya itu bertanya, “Tidak, aku hanya sedang ingin meminum buble tea yang sama denganmu.” Ia tersenyum.

Luhan mengangguk mengerti, lalu memakan twister chipsnya. “Woah... Ini enak, Hunnah.” ucapnya kagum. Itu memang kali pertama Luhan memakan twister chips.

“Aku senang kau menyukainya.”

Setelah menghabiskan snack mereka, Sehun dan Luhan beranjak memasuki puncak menara namsan. Dari tinggi menara yang mencapai 243 meter itu, mereka dapat melihat hampir seluruh kota Seoul. Sehun mengajak Luhan mendekat ke salah satu balkon pengamatan dan mengamati pemandangan itu dengan lebih jelas melalui teleskop.

“Oh ya, Hunnah, dimana letak pemasangan gembok cinta? Aku ingin memasang satu untuk kita.”

“Ada di sana, Lu. Kau mau? Kita harus membeli gemboknya terlebih dahulu. Ayo.” Sehun mengajak Luhan untuk memasuki sebuah toko penjual gembok. Di sana terdapat berbagai macam pernak pernik lucu yang cukup membuat lapar mata. Beruntung Luhan masih dapat mengendalikan dirinya agar tidak membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan.

Luhan memilih sebuah gembok berwarna biru laut dengan tanda love di tengahnya. Lalu membayar di kasir dan mulai menuliskan namanya di gembok itu.

Luhan & Sehun are One 
Forever

Luhan tersenyum miris melihat gembok itu terpasang di salah satu sisi pagar. Ia berharap meskipun kelak ia tak lagi bersama Sehun, mereka tetap mengingat bahwa keduanya pernah menyatu dalam ikatan cinta yang dalam.

“Sudah?” Sehun kembali membuyarkan lamunan Luhan.

“Hmm.” Luhan mengangguk kecil.

Sehun tersenyum, lalu kembali menggandeng tangan Luhan meninggalkan tempat itu. Mereka menuju restoran N Grill untuk mengisi perut mereka.

***

Matahari mulai kembali ke peraduannya, menampakkan warna jingga di langit, saat Sehun dan Luhan berjalan pulang. Mereka bergandengan tangan melewati taman kota yang ramai oleh pengunjung. Pegangan tangan Luhan pada Sehun mengerat, mengingat bahwa mungkin ini kali terakhir ia dapat menggenggam tangan itu.

“Sehun-na...”

Sehun menoleh sejenak menatap kekasihnya, “Hmm?”

“Aku mencintaimu.”

Sehun tersenyum, “Aku tahu.”

“Apapun yang kulakukan, semua itu untuk kebahagiaanmu. Seperti yang selalu kau lakukan untukku.” kata Luhan. Matanya tetap menatap aspal, menahan bulir-bulir air mata yang siap berlomba keluar.

“....”

“Aku- ingin kau bahagia. Aku-ingin kau berhasil, menjadi orang yang sukses. Aku- aku tidak akan memaafkanmu jika kau gagal.”

“Luhan.” Sehun menghentikan langkahnya, mengarahkan tubuh Luhan untuk menghadapnya. Kemudian mengangkat wajah yang menunduk sejak tadi itu. Sehun terkejut melihat kedua mata Luhan menatapnya dengan berkaca-kaca.

“Luhan... Kau kenapa?” tanya Sehun khawatir. Sungguh, ia tidak ingin wajah cantik itu basah oleh air mata. Sehun tidak sanggup melihatnya.

Luhan terdiam membuat Sehun harus berpikir kembali, mencerna kalimat yang Luhan ucapkan barusan.

“Apa kau khawatir padaku?” Luhan tak menjawab pertanyaan Sehun itu.

“Kau tenang saja, Lu. Aku akan menjadi orang sukses dengan usahaku sendiri kelak. Aku akan membahagiakanmu dan kita akan hidup dalam kenyamanan dan bahagia selamanya. Hmm?”

Luhan tersenyum miris menatap Sehun. Ia memeluk Sehun erat, tak peduli dengan orang-orang yang menatap mereka meremehkan. Di dunianya saat ini, hanya ada dirinya dan Sehun di bawah sinar matahari senja.

Sehun ikut memeluk Luhan erat, “Aku akan melakukan segalanya untukmu, Luhan.” bisiknya.

-

-

-

Brukk!

Sehun menutup pintu rumah dengan kakinya, sementara tangannya sibuk mendorong tubuh Luhan ke dinding tanpa melepaskan penyatuan bibir mereka. Kepala Sehun bergerak ke kanan dan kiri mengeksplor seluruh isi mulut Luhan dan mengecap rasa manis yang telah menjadi candu baginya. Sehun baru melepaskan Luhan setelah oksigen mereka menipis, meninggalkan benang saliva yang terputus saat wajah Sehun menjauh.

Kedua pasang mata itu bertatapan dalam diam. Hingga Sehun tersenyum lalu mengangkat ibu jarinya menyeka sisa saliva di sudut bibir Luhan. Sedetik kemudian bibir Sehun kembali menyatu di bibir Luhan dalam ciuman yang dalam namun singkat.

“Sarange,” Ciuman itu terpisah, dan tak sampai sedetik kemudian, bibir mereka kembali menyatu.

“Sarange.” Cup.

“Sarange.” Cup.

“Sarange.” Mereka tetap berciuman dalam waktu singkat namun dalam. Sehun menggumankan kata sarange di sela-sela cumbuannya, membuat dada Luhan berdenyut menyakitkan.

‘Mianhe.’ Hanya itu kata yang dapat diucapkan Luhan dalam hatinya berulang-ulang, sebanyak Sehun mengucapkan kata cinta.

Saat tubuh mereka kembali menyatu dalam kenikmatan dunia, Luhan meneteskan air matanya yang terakhir tanpa sepengetahuan Sehun.

-tbc-


No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...